160
mereka tetap menyumbang beras, akan terasa memberatkan. Oleh karena itulah, pada masa krisis 1998 yang lalu bentuk sumbangan telah bergeser dari beras menjadi uang. Ketika
terjadi pergeseran bentuk sumbangan, kriteria setempat umume menyepakati sumbangan kepada tetangga jauh dan kerabat jauh berkisar antara Rp. 10.000,00
– Rp 15.000,00, sedangkan untuk kerabat dekat antara Rp. 30.000,00
– Rp. 50.000,00, tergantung pada intensitas hubungan dan kondisi ekonomi mereka.Hal ini setidaknya memperlihatkan
bahwa secara ekonomi, Banyumas memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih rendah.
Gambar 1. Tas NyumbangBeras : Tas Resiprositas Tas Memberi Menerima dan Membalas Khas Banyumas
Dengan demikian diferensiasi sumbangan, yakni yang menyangkut jenisbentuk, dan besar kecilnya sumbangan ditentukan oleh dua hal, yakni jenis kelamin dan ikatan
kekerabatan. Sumbangan uang laki-laki bagi sebagian warga desa dianggap singgetatau simpel sederhana, tidak pusing memikirkan jenis sumbangannya. Sementara untuk bahan
sumbangan perempuan, terutama untuk tetangga dan kerabat dekat dianggap njlimet, karena tidak cukup hanya beras melainkan bahan-bahan pangan lainnya. Bukan hanya
njlimet dalam memikirkan bentuk sumbangan, namun juga njlimet dalam mencari sumber penghasilan untuk nyumbang. Sistem hutang adalah hal biasa bagi perempuan desa. Bagi
mereka lebih baik hutang daripada tidak hadir nyumbang.
Uang dan beras memiliki nilaiyang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras jugabukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan
keduanya telah menjadiinstrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. Uangdan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol
yangmengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan berastidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagaisebuah
“komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satusama lain di pedesaan. Kesediaan
menyimpan sejumlah uang dan beras tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan trust seseorang kepada orang lainnya.Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras
yang pernahditerimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga Prasetyo, 2012.
2. Bertahannya Sumbangan Beras dalam Monetisasi Desa
Bentuk sumbangan desa pada awalnya memiliki nilai fungsional secara langsung untuk keperluan hajatan. Ketika dunia industri semakin berkembang bentuk sumbangan
juga mulai berubah mengikuti ekonomi pasar, banyak makanan rumah tangga sudah tergantikan oleh produksi pasar. Demikian pula ketika sistem ekonomi uang telah
161
mendominasi kehidupan “pasar’ desa, nyumbang seperti transaksi ekonomi, ibarat orang membeli makan di sebuah warung makan. Ciri utama dari ekonomi pasar adalah
penggunaan uang sebagai sarana transaksi dan orientasi tindakan ke arah profit dari para pelaku ekonomi Nugroho 2001.
Menurut Simmel Blikololong 2010, pertukaran ekonomi merupakan bentuk interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, terjadi perubahan
menyolok pada bentuk-bentuk interaksi antara para aktor sosial. Uang dapat dibagi-bagi dan dimanipulasi secara presis, dan memungkinkan pengukuran yang eksak untuk
ekuivalennya. Uang bersifat impersonal, berbeda dengan benda-benda yang dibarter seperti gong dan kerang. Uang mendorong kalkulasi rasional dalam kehidupan manusia dan
meningkatkan rasionalisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Manakala uang menjadi penghubung utama antarmanusia, ia menggantikan ikatan personal yang berakar dalam
perasaan yang meluas dengan relasi impersonal yang mempunyai tujuan spesifik. Akibatnya, kalkulasi abstrak merasuk ke bidang-bidang kehidupan sosial seperti hubungan
kekerabatan atau bidang estetika yang sebelumnya menjadi domain penilaian kualitatif. Dengan kata lain, uang adalah mesin utama yang meretas jalan dari Gemeinschaft ke
Gesellschaft. Karena uang, spirit kalkulasi dan abstraksi modern mengalahkan pandangan dunia lama yang memberikan tempat utama bagi perasaan dan imajinasi. Dampak dari
monetisasi juga terasa pada aspek sosial budaya. Penggunaan uang telah memudahkan orang untuk mengekspresikan rasa simpati, dan juga kontribusi sosial dalam pengertian
jumlah dan menjadi lebih obyektif Nugroho 2001. Pada awalnya simpati hanya bisa diartikulasikan dalam bentuk subyektif tetapi kemudian dengan monetisasi membawa
pengaruh pada obyektifikasi ekspresi simpati.
Beras sampai saat ini merupakan alat resiprositas yang vital dalam tradisi nyumbang di perdesaan Jawa.Di perdesaan Banyumas, sumbangan beras ini berlaku untuk semua
aktifitas nyumbang kecuali untuk tilik bayi. Beras menggambarkan kebutuhan pokok masyarakat desa yang paling mendasar. Beras dengan demikian di samping sebagai
kebutuhan pokok konsumsi masyarakat desa, juga berfungsi sebagai kebutuhan pokok bagi rumah tangga desa perempuan untuk nyumbang. Beras juga menjadi simbol sosial untuk
menilai besar tidak sebuah hajatan yakni melalui banyaknya pengeluaran beras karena banyak tamu dan banyaknya sumbangan beras. Sebagaimana dikatakan oleh Kutanegara
2002, di wilayah desa Bantul DIY, ada tiga hal yang dipakai sebagai patokan untuk menilai besar kecilnya hajatan. Kriteria pertama adalah dengan mengukur jumlah beras
yang dihabiskan. Semakin banyak beras yang dihabiskan, semakin besar acara itu. Kedua, cakupan dan banyaknya tamu yang datang. Bila tamunya banyak dan sebagian besar
berasal dari luar wilayah, mereka menyebutnya hajatan besar. Ketiga adalah dengan melihat di pemilik acara apakah menerima atau tidak sumbangan dari tetangga atau orang
lain. Jika ”nompo sumbangan”menerima sumbangan, berarti hajatan itu termasuk besar. Demikian pula masyarakat Tengger Jawa Timur dalam mencatat nilai sumbangan
juga disetarakan dengan nilai kilogram beras, yang kemudian hal ini dijadikan dasar untuk membalas besarnya sumbangan ke pihak penyumbang apabila kelak mengundang hajatan
Hefner, 1983. Selanjutnya di Subang Jawa Barat, pertukaran sosial di desa disebut dengan gantangan yang secara harafiah artinya adalah sebuah satuan ukur dengan nilai 1 gantang
sama dengan 10 liter beras. Pada prakteknya gantangan adalah pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar tetanggakenalan kepada bapak hajat penyelenggara hajatan
sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung yang bersifat sebagai simpanan tamu hajat yang kelak harus dikembalikan oleh bapak hajat Prasetyo, 2012. Nilai gantangan tersebut
minimal sebesar setengah gantang 5 liter. Dengan demikian beras merupakan media penting untuk sistem resiprositas bagi banyak masyarakat desa khususnya dalam tradisi
162
nyumbang. Atau dengan kata lain beras merupakan alat tukar yang berkeadilan bagi warga desa perempuan dibanding dengan uang.
Di Banyumas, alasan lain penggunaan sumbangan beras adalah karena beras merupakan kebutuhan pangan pokok warga desa jadi beras selalu tersedia setiap saat. Hal
ini terutama bagi para rumah tangga petani pemilik. Umumnya mereka memiliki persediaan beras baik itu untuk konsumsi sendiri maupun untuk keperluan nyumbang.
Bahkan menurut penuturan warga, kebutuhan beras untuk nyumbang jauh lebih banyak dibanding untuk konsumsi pangan rumah tangga.
Pada kenyataannya, saat ini tidak semua warga desa bisa menghasilkan beras sendiri. Kelompok ini jumlahnya jauh lebih besar. Sebagian besar subyek dalam penelitian
ini bukan merupakan rumah tangga petani pemilik. Banyak di antara mereka sebagai penerima bantuan raskin beras miskin. Beras raskin ini banyak diburu oleh perempuan
untuk nyumbang yang harganya lebih murah Rp. 1000 dibanding beras umumnya. Beras ini kemudian dikenal dengan nama beras sumbang, karena putarannya dari nyumbang ke
nyumbang. Beras ini dibeli warga perempuan untuk nyumbang yang kemudian dijual kembali oleh pemilik hajatan ke warung dan dibeli lagi oleh warga untuk nyumbang, begitu
seterusnya. Menurut penuturan warga kalau punya hajat pada tanggal muda, biasanya beras yang diterima sebagian besar merupakan beras sembako raskin karena pembagian raskin
umumnya pada tanggal muda.
Ada banyak kalkulasiperhitungan sosial yang dipertimbangkan oleh perempuan untuk tidak beralih dari beras ke uang sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 di bawah.
Perhitungan sosial perempuan ini didasarkan pada banyak aspek, antara realitas dan tuntutan ekonomi pasar uang, norma serta kebutuhan akan eksistensi diri yang
menyangkut pengakuan sosial. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk pertanian, namun sekarang dengan sistem ekonomi pasar, nyumbang lebih banyak
menggunakan uang tunai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Laki-laki menyumbang uang secara langsung, sementara perempuan yang menyumbang bahan
pangan tidak lagi dapat dipenuhi secara subsisten melainkan harus diperoleh melalui ekonomi pasar. Hal ini terutama perempuan dari rumah tangga miskin yang tidak lagi
bekerja di sawah dan tidak memiliki lahan pertanian. Dengan demikian setiap warga desa membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar konsumsi
harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi sosial Husken dan White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011.
Perkembangan semacam ini menyebabkan ketergantungan orang desa terhadap uang semakin besar dan meluas. Ekonomi subsisten kehilangan kekuatan di dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Dalam hal ini perempuan tampak sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perubahan-perubahan yang terjadi, karena secara
sosial budaya, perempuan adalah pengatur ekonomi rumah tangga. Sementara dalam transaksi sosial seperti tradisi nyumbang, perempuan merupakan aktor sosial penting yang
banyak mengambil peran Geertz 1983; Stoller 1984; Abdullah 2001; Djawahir 1999; dan Lestari 2010 . Keterbatasan uang tunai yang dimiliki perempuan menyebabkan
ketergantungan mereka pada warung desa cukup tinggi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan untuk nyumbang, dan dilakukan dengan cara berhutuang. Mereka tidak selalu
memiliki uang tunai, sehingga hutang membeli beras atau bahan sembako lainnya ke warung adalah lebih memungkinkan daripada hutang uang ke tetangga. Sebaliknya warung
juga tidak akan laku kalau tidak dapat dihutangi.
Tabel 1 di bawah ini menggambarkan kalkulasiperhitungan sosial perempuan desa yang tidak dari beras atau bahan sembakobahan pangan lainnya ke uang yang didasarkan
pada banyak aspek, antara realitas dan tuntutan ekonomi pasar uang, norma serta kebutuhan akan eksistensi diri yang menyangkut pengakuan sosial.
163
Tabel 1 Kalkulasi Sosial Perempuan Desa untuk Tidak Beralih dari Beras ke Uang Dasar RasionalitasKalkulasi
Sosial Ekonomi
Faktor Penyebab Keterangan
1. Kalkulasi Ekonomi 1. Barang sudah tersedia
Rumah tangga
petani pemilik
Daripada harus menjual beras, lebih baik langsung
menyumbang beras 2. Keterbatasan uang tunai
yang dimiliki
rumah tangga non petani
Hutang beras ke warung desa lebih memungkinkan
daripada hutang uang ke tetangga. Warung desa sulit
laku
apabila tidak
menggunakan sistem
hutang. Beras sebagai kebutuhan
pokok relatif selalu tersedia 3. Memiliki alat tukar yang
lebih tepat dibanding uang Nilai tukar uang lebih cepat
berubah 4. Memiliki nilai jual kembali
yang tinggi Dibanding jenis komoditas
lain, beras memiliki nilai jual yang paling tinggi
5. Uang memiliki trust yang rendah dibanding beras
Beras disimpan dalam tas sumbang sehingga legalitas
sosialnya lebih terkontrol dibanding
uang yang
disimpan dalam amplob yang
memungkinkan terjadinya manipulasi.
Kalkulasi Sosial 1. Manfaat langsung
Hidangan utama dalam hajatan di desa adalah
makan besar nasi. Beras juga berfungsi untuk
membayar jasa tenaga yang rewang perempuan
2. Kebiasaantradisi Menurut
sebagian perempuan mereka tidak
mantap kalau
tidak menjinjing tas.
Dengan semakin bergesernya rumah tangga petani ke non petani, beras semakin mahal mereka jangkau, sementara nyumbang adalah kewajiban sosial yang tidak bisa
mereka tinggalkan, sehingga beras sumbang atau beras raskin menjadi alat legalitas sosial yang sah untuk mewujudkan rasa solidaritas sosial mereka sebagai warga desa. Mereka
para perempuan dari rumah tangga miskin rela berebut beras sumbang demi bisa ikut berpartisipasi dalam sistem resiprositas desa.
5.KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa beras masih menjadi bahan sumbangan yang utama bagi perempuan desa. Bagi perempuan desa, beras lebih
memiliki nilai guna dan nilai tukar dibanding uang. Solidaritas sosial yang ditunjukkan
164
melalui beras dalam tradisi nyumbang lebih merepresentasikan bagaimana prinsip-prinsip resiprositas harus ditegakkan mengingat ada mekanisme kontrolnya. Sebagai nilai guna,
beras lebih bermakna daripada uang. Hal ini karena beras langsung berguna sebagai jamuan pokok tamu hajatan maupun untuk membayar jasa tenaga yang membantu acara hajatan.
Sementara beras sebagai nilai tukar ekonomi lebih memiliki nilai kepastian dan memiliki
nilai equivalensi yang ”tepat” sebagai alat resiprositas sumbang-menyumbang; serta memiliki nilai jual kembali yang tinggi dan cepat dibanding komoditas pangan untuk jenis
sumbangan yang lain, sekalipun hal itu yang mereka gunakan adalah beras raskin, beras yang tidak layak konsumsi.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa gerakan solidaritas sosial perempuan desa memiliki akar rasionalitas sosial dan ekonomi secara bersamaan, dimana
pertimbangan untung rugi secara sosial dan ekonomi sebagai dasar tindakan.
6 .DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 1990. ”Perempuan ke Pasar: Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan” dalam Buletin Penelitian dan Kebijaksanaan Kependudukan
POPULASI No. 1Tahun 1990, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Abdullah, Irwan, 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Yogyakarta
Abdullah, Irwan, 2001. ”Teori dan Praktik Komunalisme: Krisis Ekonomi, Sumber Daya Lokal dan Respon Sosial di Sriharjo, Yogyakarta” dalam Franz von Benda-
Beckman, Keebet von Benda-Beckman, Juliette Koning Editor: Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Belshaw, Cyrill S., 1981. Tukar Menukar Tradisional dan Pasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Blikololong, Jacobus Belida, 2010. Du-Hope di Tengah Penetrasi Uang – Sebuah Kajian
Sosiologis Terhadap Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur, Disertasi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Sosiologi
Universitas Indonesia, Depok. Damsar, 1998. Sosiologi Ekonomi, Rajawali Pers, Jakarta.
Damsar, 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Djawahir, Fatmah Siti, Soetji Lestari, Rawuh Edy Priyono, Edy Suyanto, 1999. Kajian
Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Tradisi Nyumbang Pada Masyarakat Pedesaan Studi Mengenai Tradisi Nyumbang dan Dampaknya Terhadap
Kesejahteraan Keluarga di Desa-desa IDT di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas
– Laporan Penelitian, FISIP-UNSOED, Purwokerto Hefner, R.W., 1983. The Problem of Preference: Economic and Ritual Change in
Highlands Java, Man, New Series Vol. 184 Koentjaraningrat, 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Kolm, Serge-Christope and Jean Mercier Ythier Ed., 2006. Handbook of the Economics
of Giving, Altruism and Reciprocity, Volume 1, Elsevier B.V. Komter, Aafke E., 2005. Social Solidarity and The Gift, Cambridge University Press, New
York Komter, Aafke, 2007. “Gifts and Social Relations: The Mechanisms of Reciprocity” dalam
jurnal International Sociology January 2007 Vo. 22 1, International Sosiology Association
– SAGE, London. Kusujiarti, Siti, 1997. “Antara Ideologi dan Transkip Tersembunyi: Dinamika Hubungan
Gender dalam Masyarakat Jawa” dalam Irwan Abdullah, ed. Sangkan Paran
165
Gender, Pustaka Pelajar, Diterbitkan untuk Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kutanegara, Pande Made, 2002. ”Peran dan Makna Sumbangan dalam Masyarakat Pedesaan” Buletin Penelitian dan Kebijakaan Kependudukan POPULASI Volume
13 Nomor 2 Tahun 2002, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan - Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kutanegara, Pande Made, 2002. Sumbangan dan Solidaritas Sosial; Jerat Kultural Masyarakat Pedesaan Jawa, Center for Population and Policy Studies Gadjah
Mada University, Yogyakarta. Lestari, Soetji, dkk., 2010. Tradisi Nyumbang dan Feminisasi Kemiskinan Mencari Pola
”Manajemen Nyumbang” yang Berbasis Lokal untuk Pemberdayaan Perempuan Desa, Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Lestari, Soetji, 2014. Posisi Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa:
Potret Dinamika Monetisasi Desa, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Marwah, Sofa. 2012. Representasi Politik Perempuan di Banyumas : Antara Kultur dan Realitas Politik Studi di Lembaga Legislatif Empat Kabupaten Periode 2009-
2014, Disertasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Mauss, Marcel, 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Nasikun, 1990. “Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan: Teori dan Implikasi” dalam Buletin Penelitian dan Kebijaksanaan Kependudukan POPULASI 1 1, PPK
UGM, Yogyakarta. Nugroho, Heru, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Prasetiyo, Ari, 2003. Tradisi Nyumbang dalam Masyarakat Desa Tamantirto
– Suatu Studi Tentang Sistem Pertukaran dalam Masyarakat Transisi
– Tesis – Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas
Indonesia, Depok. Prasetyo, Yanu Endar, 2012. Pertukaran Sosial di Pedesaan: Studi Kasus Komersialisasi
Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang - Tesis – Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Instititut Pertanian Bogor.
GERAKAN SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN PERILAKU WANITA PRO LINGKUNGAN: KASUS KABUT ASAP
Rizki Takriyanti
166
Rancangan Pengajian Gender, FSSS, University of Malaya Email:
rizkitakriyantiyahoo.co.id
Abstrak
Isu pokok dalam penyelidikan ini adalah menganalisis bagaimana tingkahlaku wanita terhadap lingkungan dapat mewujudkan gerakan sosial di sebuah Kota. Penyelidikan ini
adalah penyelidikan kualitatif dan metodenya kes studi feminis. Teknik pengumpulan data dilakukan temubual mendalam dan pengamatan terlibat. Hasil penyelidikan
menyimpulkan tiga perkara yakni hal-hal yang mendorong dan menjadi gerak kuasa catalyst praktis lingkungan tingkahlaku wanita adalah pengetahuan, motif dan sikap.
Kedua tingkahlaku pro lingkungan wanita untuk mengatasi kabut asap, mereka menghemat pemakaian Bahan bakar Minyak BBM dan elektrik, menanam pohon,
memilih rumah yang terdekat dengan kantot. Ketiga usaha yang dilakukan wanita untuk lingkungan yang berkelanjutan adalah mengubah cara pandang tentang memperlakukan
lingkungan dan wanita sebagai objek yang tidak menganggu relasi dan peran laki-laki, wanita dan lingkungan, supaya tidak ada lagi kerusakan lingkungan dan ketidakberdayaan
wanita sehingga dari tingkah laku yang pro lingkungan akan menjadi sebuah gerakan sosial.Penyelidikan menyarankan agar semua pihak khususnya pemerintah perlu mengkaji
kembali paradigma pembangunan yang demokratis dan transparansi berperspektif lingkungan sehingga memungkinkan kontrol penduduk dalam era otonomi ini
sepatutnyalah ada ruang untuk kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan.
Keywords: Gerakan, Sosial, Perilaku, Wanita, Lingkungan.
Abstract
Central issue in this research is to analyze how the womans behaviour towards the environment can realize a social movement in a city.This research is a qualitative
investigation and case study methode feminimst. Data collection techniques and observation dept interview involeent. The results of the investigation concluded three cases
of pushing and being practical power of the environmental movement behaviour of women is knowledge, motiver and attitudes.The second pro environmental behaviour of women to
overcome the haze, to save onfuel oil and electrical, plant a tree, choose a house that is closet to office. The three efforts made by the woman for the environments and women as
objects no longer interfere with relationship and roles of men, women and the environment. Hopefully no more damage to the environment and powerlessness of women. This study
suggests that all parties, especially the government needs ro review the paradigm of development, of a the democratic and transparent royal perspective enabling
environmental control society especially in the era of autonomy supposed to be a space for local knowledge in environmental management.
Keywords:
Social Movement, Behaviour, Women, Environmental
1.PENDAHULUAN
Peran manusia terhadap pelestarian alam sekitar menjadi sangat strategik, karena
selain manusia menjadi pengguna utama main user, juga manusia sering di claim sebagai pihak yang paling tidak bertanggung jawab pada pelestarian lingkungan. Sebenarnya
167
lingkungan merupakan jantung kehidupan, kerana tanpa lingkungan sebenarnya manusia tidak boleh berbuat banyak; lebih tragis lagi manusia tidak bisa hidup. Lalu kenapa manusia
menyalahgunakan peranan dan manfaat lingkungan tersebut? Hal ini terjadi kerana lingkungan dianggap sebagai sesuatu fenomena dan spektrum yang berjalan secara
pelestarian, padahal banyak akibat yang sudah menjadi realiti sosial dan edukatif yang semestinya telah menjadi pelajaran bermakna bagi manusia dalam memaknai lingkungan
sebagai ”keperluan hidup” manusia. Oleh karenanya perkara alam sekitar merupakan hal yang penting sejak beberapa
dekade yang lampau. Pemanasan global dan perubahan iklim karena efek rumah kaca green house effect, kerusakan tanaman, hutan, dan kepunahan species, berkurangnya
sumberdaya ikan, lahan pertanian, polusi udara dan persediaan air adalah bencana utama bagi lingkungan di bumi Oskamp, 2000.
Awalnya permasalahan lingkungan disadari sebagai perkara teknis dan ekonomi. Sementara pada dekade terakhir dimensi sosial dan permasalahan lingkungan seperti
perhatian publik dan sikap masyarakat terhadap lingkungan menjadi satu dari ranah sosiologi lingkungan dan psikologi lingkungan. Dalam hal ini tingkah laku lingkungan
masyarakat dan tingkah laku ekologi dan akibat-akibat lingkungan telah diselidiki di negara maju dan negara berkembang selama beberapa dekade terakhir Kalantari, Fami,
Asadi, Mohammad, 2007
.
Menurut Herbert Grossman dan Suzanne H.Grossman 1994 ketika generalisasi tentang perbedaan gender dapat menjadi misleading, adalah penting untuk mengenali
bahawa beberapa perbedaan gender cut across kelas, etnis dan geografis terbatas, serta deskripsi kelas sosio-ekonomi atau kumpulan etnis cenderung menerapkan majoriti ahli
mereka. Gender tidak muncul seketika, akan tetapi gender berkembang secara beraturan, masing-masing tahapan mempengaruhi pengembangan secara bertahap untuk membantu
menghasilkan perbedaan gender yang kita lihat sebagai orang dewasa.
Wanita merupakan salah satu major group kumpulan sumber manusia di masyarakat, yang mempunyai potensi besar sebagai kumpulan mandiri penunjang
pembangunan. Kelompok wanita telah disepakati memiliki posisi yang sangat strategik dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio Jeneiro, Brasil tahun 1992 yang
menyepakati untuk melaksanakan agenda 21 sebagai dokumen yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kemudian ditindaklanjuti pada KTT Wanita di
Beijing
Tahun 1995 yang menghasilkan Deklarasi Beijing berisikan 12 CriticalAreas,
diantaranya tindak penglibatan wanita dalam pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di
Johannesburg
tahun 2002, masyarakat dunia menyepakati posisi penting dalam mencapai pola produksi dan konsumsi yang berwawasan lingkungan serta pendekatannya pada
pengelolaan pelestarian Sumber Daya Alam SDA yang berkelanjutan. Kesepakatan terhadap posisi strategik wanita pada berbagai forum Internasional
dalam membuka peluang bagi penyelesaian masalah yang terkait antar wanita dan pembangunan berkelanjutan khususnya masalah lingkungan. Pembagian peranan wanita
dalam kehidupan sosial seringkali menempatkan intensiti wanita lebih sering dengan lingkungan; yang menyebabkan wanita lebih peka dalam mengelola lingkungannya.
Kemampuan organisasi wanita memungkinkan terbentuknya sesuatu gerakan yang mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah yang kurang
sesuai. Karena itu, wanita mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya mengenai keterkaitan wanita dan lingkungan, sehingga peran, akses, dan pengawasan serta
manfaat yang diterima kaum wanita dapat lebih maksimal Bidang Pengembangan Kapasitas BAPEDAL Propinsi Jawa Timur, 2007.
168
Gerakan sosial wanita pro lingkungan adalah suatu proses tanpa akhir untuk mendukung dan mengembangkan mental, moral, etika, fisik, sikap dan tingkah laku agar
menghasilkan insan yang mampu melestarikan fungsi lingkungan guna keberlangsungan hidup manusia dan mahkluk hidup lain yang ada di dalamnya. Menurut Lutfi Pratomo
http:beritahabitat.net2008 wanita yang selama ini dilupakan oleh kaum lelaki dalam peran lingkungan sangat memprihatinkan. Sistem patriarkis selalu mendominasi dalam
pergerakan dan kepedulian wanita terhadap lingkungan. Kebebasan wanita terbatas oleh kebijakan patriakis yang memberikan dampak kerusakan lingkungan yang fital. Ada
kekeliruan dalam pendidikan yang selama ini di tanamkan oleh kebudayan di dunia.
Otoriti lelaki sangat kuat memberikan impak terhadap wanita lebih tidak percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya karena merasa takut bila diremehkan dan tidak
didengarkan ideanya. Wanita lebih memilih diam karena takut akan represif yang di dominasi kaum lelaki. Mitos dan dogma memberikan punishmentbahwa wanita adalah
makhluk yang lemah dan dididik menjadi makhluk emosi daripada rasio yang selama ini dikuasai oleh otoriti laki-laki. Sudah saatnya kita merubah paradigma yang sudah melekat
bahawa wanita juga sudah boleh berdaya dan tidak lagi di bawah otoriti laki-laki dalam menyelamatkan lingkungan.
Kerusakan lingkungan sa’at ini disebabkan tidak adanya rasa penghormatan terhadap ciptaan khususnya terhadap kaum wanita. Peradaban dunia menciptakan kekuasaan laki-
laki dalam kehidupan yang sukar sekali menerima kritik. Rasionalitas dan biologis cenderung dibesar-besarkan menjadi peranan yang sangat dominan.
Selain itu, rasionaliti lelaki membawa pengurangan rasa hormat terhadap bentuk sesuatu ciptaan. Kebudayaan tersebut semestinya kita tinggalkan bahwa pelestarian
lingkungan seperti halnya wanita sebagai sesesuatu yang boleh dikawal dan dikuasai oleh otoriti lelaki.
Menurut Henry Giroux 1992 gerakan yang lebih luas dalam teori feminis, post- strukturalisme
, post-modernisme, studi kebudayaan, teori kesusasteraan literary, dan
dibidang seni adalah dialamatkan kepada isu pedagogi dalam politik perbedaan kebudayaan yang menawarkan harapan baru bagi sejumlah bidang yang mengalami
kemunduran for a deteriorating field. Dalam dunia tradisi religious dan kebudayaan, wanita sering dipikirkan dekat
dengan pelestarian lingkungan, pelestarian lingkungan dilihat sebagai feminism, maka dunia pelestarian lingkungan disimbolkan sebagai wanita
–Ibu. Selain itu pelestarian lingkungan sebagai wanita bijak yang mengatur segalanya. Akhirnya persepsi tentang
pelestarian lingkungan mengalami perubahan sejarah. Pelestarian lingkungan lambat laun sudah tidak lagi dalam pemuliaan dan melampaui kebudayaan manusia. Pelestarian
lingkungan lebih mudah boleh dikawal dan dieksploitasi tanpa batas seperti halnya otoriti lelaki yang mendominasi kaum wanita. Rasionaliti menciptakan hukumnya sendiri
terbentuklah teknologi yang menguasai pelestarian lingkungan. Transendensi laki-laki didefenisikan sebagai lari dari pelestarian lingkungan dan perang terhadap realiti keibuan,
realiti tubuh dan pelestarian lingkungan, semua yang membatasi dan menahan lebih dari yang dikawal laki-laki. Dengan cara inilah, melalui ilmu pengetahuan, pemikiran laki-laki
memaksakan transendensinya atas pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan tidak lagi menjadi tubuh yang organik namun menjadi mesin yang
dibentuk dan dijalankan dengan alasan yang suci. Hal inilah yang menyebabkan kerakusan ada ditangan lelaki. Apa yang kita alami sebagai makhluk yang semestinya menghormati
ciptaanNya kini di batasi oleh alasan rasionaliti dan dogma agama yang selama ini kita hanya taken for granted. Diskriminasi terhadap wanita yang dilakukan laki-laki hanya
membentuk sesuatu kebudayaan kekuasaan rasionaliti tanpa batas memberikan impak
terhadap krisis lingkungan yang terjadi sa’at ini.
169
Ilmu pengetahuan dan feminisme menurut Ruth Hubbard, Mary Sue Henefin, dan Barbara Fried
adalah, “Sebuah konstruksi manusia muncul kerana sebuah kondisi sejarah tertentu ketika dominasi laki-laki atas pelestarian lingungan masih terlihat sebagai
sesuatu yang baik dan perlu di perjuangkan. Wanita sudah sering menyedari, lebih daripada laki-laki, bahawa kita adalah bahagian dari alam dan nasibnya ada ditangan manusia yang
sering tidak peduli”. Hanne Strong
mengatakan bahawa kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli dan tradisional.
Karena itu, masyarakat ini berbincang dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Sementara itu, perjuangan wanita Jambi melalui wakil
rakyat, perjuangan anti pornografi, pelecehan seksual, ilegal logging, dan sejumlah kasus lainnya, merupakan sebahagian kecil perjuangan wanita di Kota Jambi. Perjuangan ini
terasakan masih sangat kecil bila dibandingkan dengan perjuangan wanita masa dahulu.
Alternatif penggantinya perjuangan ini dirasakan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan peranan wanita di kampung-kampung yang langsung bersentuhan
dengan hutan. Wanita Jambi yang bertempat tinggal di wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat TNKS, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh TNBT dan Taman Nasional Bukit
Dua Belas Jambi sejak dahulu hingga kini menjadi pilar utama dalam menjaga kelestarian hutan. Mereka sangat menyadari lingkungan hutan menjadi sumber kehidupan, baik dari
aspek sosio budaya religius maupun aspek ekonomi.
Dahulu bangsa Indonesia punya Kartini sebagai wanita yang memperjuangkan
dunia pendidikan. Kini ada Butet Saur Marlina Warung Informasi Konservasi Jambi, Emmy Hafild
Wahana Lingkungan Hidup dan masih banyak lagi kaum wanita yang semakin peduli dengan lingkungan. Semua ini merupakan cerminan wahana representasi
kemunculan wanita di masanya untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungannya dengan penekanan yang berbeda terhadap lingkungannya.
Sekarang kita semakin sadar bahawa kerusakan lingkungan adalah akibat dari kerakusan yang hampir semua didominasi lelaki yang tidak memperdulikan kebebasan wanita untuk
berucap dan berekpresi terhadap bumi dan makhluk hidup lainnya. Seperti yang diungkapkan Dale Spender
“Ketika kedua jenis kelamin menggambarkan pengalaman- pengalaman mereka sendiri dan ketika kedua versi itu dapat hidup bersama tanpa terbagi
menjadi lebih unggul dan kalah, benar atau salah, aturan atau pelanggar, maka sebahagian dari mekanisme penindasan terhadap wanita telah dibuang
”. Atau seperti
yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi
”Dunia ini cukup untuk menghidupi semua orang yang ada di dalamnya, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir
orang ”.
Perkaranya, kenyataan menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara langsung berimpak terhadap wanita. Revolusi Hijau misalnya, pertama kali, meminggirkan
wanita. Revolusi Hijau memaksa penggunaan bibit varieti unggul, sehingga pekerjaan perawatan dan pemilihan bibit yang tadinya dikuasai oleh wanita, kini tersingkir. Dan
pemaksaan jenis tanaman tertentu dalam sektor pertanian, secara drastis telah menggusur wanita dari proses produksi pertanian, karena pengetahuan wanita atas keanekaan jenis
tanaman tidak lagi dihargai. Ditambah mekanisasi secara intensif di sektor pertanian, mengabaikan eksistensi petani wanita, kerana tidak diperkirakan kapasitas, kemampuan
dan struktur tubuh wanita. Penggunaan mesin huller, menyingkirkan penggunaan ani-ani finger knife
yang biasa digunakan wanita,tergantikan oleh sabit yang lebih berat sehingga wanita kehilangan atau bertambah beban pekerjaannya. Wanita pedesaan tersingkir dari
pertanian ketika peralatan moden diperkenalkan dan diasosiasikan dengan peran laki-laki. Sementara akses wanita pada pengambilan keputusan di sektor pertanian tetap tidak ada.
170
Ancaman lain adalah pekerjaan yang bersentuhan dengan pestisida, dimana wanita, yang paling lama terpapar pestisida karena beban kerjanya di lapangan pertanian,
maupun ketika mereka bekerja di lingkungan rumah tangga, seperti membersih, karena beberapa jenis pestisida menetap dalam air. Ibu mengandung beserta janinnya paling rentan
terhadap kimia beracun seperti DDT, endrin, dsb, yang mengakibatkan resiko penyakit kanker, terganggunya perkembangan janin, metabolisme, maupun jaringan otak. Tentu saja
impak ini tidak terlihat secara langsung dalam hitungan hari atau bulan, melainkan boleh dalam hitungan tahun. Siapakah yang akan bertanggung jawab terhadap resiko-resiko ini?
Perkawinan usia dini sebagai ciri kebudayaan masyarakat agraris, mendorong angka kematian ibu yang tinggi, rendahnya pengetahuan reproduksi dan seksualitas wanita
pedesaan, mengukuhkan peran wanita sebagai ‘pelayan seksual’ dan ‘penanggungjawab pemberi keturunan’ saat melakukan hubungan seksual, pelecehan seksual yang dialami
buruh tani wanita, stigma ‘mandul’ bagi wanita yang belum mengandung, kekerasan dan
‘beban’ alat kontrasepsi terhadap wanita, gagal KB, aborsi, dan lain sebagainya Sri Hadipranoto, Heru Santoso:2001
. Kondisi ini kini semakin diperberat dengan berkurangnya subsidi pemerintah pada sektor kesihatan.
Guna bertahan hidup, kebanyakan wanita pedesaan kemudian menjadi buruh tani dengan beban kerja berlebih, upah minimum, dan resiko kerja tinggi. Jika di desa tidak
tersedia lagi pekerjaan, wanita terdesak mencari alternatif penghasilan dalam sektor-sektor yang tidak terlindungi dan eksploitatif, dengan bermigrasi. Hal inilah yang menjelaskan
mengapa kantung-kantung kemiskinan di daerah agraria juga menjadi kantung-kantung daerah asal buruh migran, pekerja seks, dan pekerja sektor informal kota. Ini menjadi
katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negara, seringkali melalui saluran yang tidak resmi. Jumlah wanita yang bermigrasi untuk mencari pekerjaan meningkat
tajam dalam dekade terakhir feminisasi migrasi. Wanita pedesaan umumnya terjerembab menjadi korban perdagangan wanita dan anak women and children trafficking. Selain
itu, dalam berbagai konflik tanah dimana rakyat berhadap-hadapan dengan pengusaha TNCsMNCs dan pemerintah, wanita dan anak-anak menjadi kelompok yang paling
rentan mengalami kekerasan, seperti penggerayangan dan penelanjangan tubuh wanita, seperti yang terjadi di Bulukumba-Sulawesi-Indonesia baru-baru ini. Peristiwa
Bulukumba, hingga kini masih meninggalkan trauma para wanita dan ibu-ibu masyarakat adat Kajang, atas kekerasan yang menimpa mereka.
Hilangnya lingkungan hutan menyebabkan musnahnya tradisi lokal, di mana wanita umumnya mempunyai kepakaran khusus. Untuk wanita Dayak di Kalimantan-
Indonesia juga bagi wanita adat indigenous women di belahan Indonesia lainnya-mereka mempunyai pengetahuan untuk mengenal plasma nutfah dan tahu bagaimana menjaga dan
memeliharanya. Pertanian adalah daerah kekuatan dan kearifan wanita adat. Di Jambi misalnya kaum wani
ta dari kelompok “orang rimba” bukan hanya sekedar sebagai penerus keturunan saja, tetapi merupakan simbol kekuatan adat rimba yang sangat berperan dalam
menjaga keharmonian alam sebagai tempat hidup mereka. Wanita suku Dani di Papua misalnya dapat mengenalkan 70 jenis ubi-ubian, dan wanita Moi di Sulawesi Tengah
mampu mengenal 40 jenis tanaman obat, dan bagaimana cara menggunakannya untuk pengobatan. Jika komuniti lokal kehilangan teritori adatnya, pengetahuan dari kaum wanita
di atas menjadi tidak bererti. Pengetahuan wanita di bidang pertanian kenyataannya mempengaruhi kualitas makanan dan ketersediaan pangan. Namun, kepakaran ini sama
sekali tidak dihargai. Kebudayaan, tradisi dan model pembangunan yang tidak sensitif gender telah membentuk banyak wanita menjadi pribadi yang pasif,
”nrimo”, pantang
bersuara dan tidak percaya diri. Jika kondisi ini terus dipertahankan status quo maka akan
terjadi bencana kemanusiaan yang lebih buruk dari kondisi sa’at ini.
171
Pembangunan industri berbasis sumber daya alam semula jadi seperti industri perkayuan dan pertambangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dalam
skala besar, mengakibatkan hilangnya area lahan bagi masyarakat adat. Wanita adat kehilangan sumber penghidupannya, perlindungannya dan kepercayaan diri dalam skala
masif. Mereka dipaksa untuk menerima pekerjaan apapun untuk kelangsungan hidup
mereka. Di Jambi misalnya, wanita ”orang rimba” yang ratusan tahun hidup di dalam rimba dan terproteksi dari dunia luar, sa’at ini terpaksa harus keluar dari dalam rimba agar
dapat mendapatkan sumber makanan dari orang kampung. Bagi wanita ”orang rimba” berada di luar hutan adalah ancaman bagi keberlangsungan generasinya, karena tidak
memiliki kapasitas untuk dapat cepat beradaptasi dengan dunia luar.
Maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan HPH di Jambi telah memarginalisasi wanita terhadap hutan. Lebih parah lagi telah merusak peradaban dan
kearifan wanita terhadap kelestarian lingkungan kerana mereka harus bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit dan HPH yang sangat ekspolitatif terhadap lingkungan. Hal
yang sama juga terjadi di kawasan lain seperti di Kalimantan banyak wanita Dayak
terjejaskan dalam ‘kawin kontrak’ di mana mereka ‘menikah’ dengan para pekerja di industri perkayuan dan diterlantarkan segera setelah kontrak pekerja itu selesai dengan
perusahaan. Anak-anak yang dilahirkan dari kawin-kontrak ini sering disebut sebagai ‘anak Asean’ di kampung mereka, menandakan para pekerja yang menjadi bapaknya
berasal dari berbagai daerah di Asean, terutama Filipina dan Malaysia.
1. 1. Tempat Kajian