236
Penyajian data, dalam kegiatan ini penulis menyusun kembali data berdasarkan klasifikasi dan masing-masing topik dipisahkan Ketiga, Data yang telah dikelompokkan yang sesuai
dengan topik-topik, kemudian diteliti kembali dengan cermat, mana data yang sudah lengkap dan mana data belum lengkap yang masih memerlukan data tambahan, dan
kegiatan ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Keempat, Setelah data dianggap cukup dan dianggap telah sampai kepada titik jenuh atau telah memperoleh kesesuaian,
maka kegiatan selanjutnya adalah menyusun laporan hingga pada akhir pembuatan kesimpulan. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten, khusunya di pemukiman komunitas Nelayan antar etnik.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran. Wilayah ini adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah
daratan dan laut atau sebaliknya Dahuri dkk. 2001: 5. Masyarakat peisir, sebagain besar menggantungkan hidupnya dari hasil biota laut dan bekerja sebagai nelayan. Kehidupan
sebagai nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya adalah menangkap ikan berdasarkan pada musim yang sedang berjalan. Profesi sebagai nelayan, merupakan
sumber mata pencaharian sehari-hari bagi komunitas nelayan, dan hasil tangkapan tersebut, sebahagian untuk dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangganya dan atau
dijual seluruhnya. Biasanya nelayan akan berangkat kelaut pada sore hari setelah sekitar jam 15.00 Wib dan biasanya nelayan kembali mendarat pada pagi hari sekitar jam 07.00
wib dan atau jam 09.00 wib. Bagi komunitas nelayan di perkampungan Binuangen, selalu meyakini bahwa hari jumat merupakan hari sakral yang tidak boleh melaut. Walaupun
sebenarnya tidak ada larangan, namun masih banyak yang meyakini bahwa hari jumat merupakan hari keagamaan yaitu masuk jumatan.
Perkampungan nelayan di Panimbang, merupakan perkampungan yang memiliki jumlah sekitar kurang lebih 200 KK yang berada di sepanjang pesisi pantai. Perkampungan
nelayan yang padat diperkampungan nelayan, namun memiliki dampak sosial tersendiri, diantaranya adalah kurangnya fasilitas lingkungan yang memadai serta tingkat kebisingan
yang cukup sesak. Kondiai perumahan yang sangat padat, sebenarnya bagi masyarakat tidak menjadi persoalan yang serius, namun bagi warga yang berkunjung ke perkampungan
sangat tidak nyaman, karena adanya perbedaan kultur dan pola hidup.
Lamanya berinteraksi dan menetap, bagi komunitas nelayan di Panimbang, tidak hanya tercipta hidup berdekatan namun sangat akrab dan saling memelihara kondisi
lingkungan sekitarnya. Pemeliharaan kondisi lingkungan sosial sangat penting agar tetap terbangun hubungan baik sesama manusia, walaupun berbeda suku dan latar belakangnya.
Kesadaran akan lingkungan tempat tinggal yang kondusif, maka komunitas nelayan di binuangen membentuk berbaga kegiatan untuk tetap harmonis, baik dalam bidang olahraga
maupun dalm bidang keagamaan. Dalam bidang olahraga, melakukan kegiatan sepak bola antar rukun tetangga maupun kegiatan bola voly dilokasi lapangan yang telah di sediakan
di wilayah pesisir pantai. Sedangkan kegiatan keagamaan, dilakukan kegiatan pengajian ibu-ibu secara bergiliran dari rumah penduduk yang dilaksanakan pengajian bulanan dan
bergantian menjadi tuan rumah.
Pola kekerabatan dan perkampungan yang padat, maka pola kedekatan terbangun dengan baik, maka dari segi perkembangan berita diperkampungan memudahkan
penyebaran informasi apapun. Misalnya kejadian-kejadian yang menyangkut pergeseran moralitas maupun pelanggaran etika yang tidak sesuai dengan kebiasaan maka akan mudah
diketahui oleh penduduk setempat. Pola keakraban yang terjadi selama ini sangat sulit
237
menyimpan rahasia pribadi atau rumah tangga karena yang ada hanyalah rahasia umum, begitu pun halnya dengan berita-berita kesuksesan maupun kesedihan semuanya menjadi
konsumsi masyarakat kampung. Kondisi sosial budaya masyarakat lokal dengan komunitas antar etnis Bugis, Jawa
dan Sunda sebelum kedatangan masyarakat transmigran dengan setelah kedatangan para transmigran mengalami pergeseran-pergeseran melalui proses asimilasi dan akulturasi dan
kemudian berintegrasi dengan masyarakat lokal. Pendatang mengalami proses perubahan setelah berinteraksi lama dan intens satu sama lainnya. Pola hidupnya mengalami
penyesuaian dan penyelarasan yang dilakukan untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada mereka seperti pada cara mereka berkomunikasi, model rumah yang mereka buat dan
proses pernikahan campur diantara mereka. Adanya pernikahan diantara mereka memungkinkan terjadinya pertukaran nilai antara kultur dari masyarakat asli dengan kultur
yang dibawa oleh para transmigran.
Proses penyatuan antar Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda merupakan suatu proses dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi
perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan
proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang
sama, walaupun kadang-kadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit untuk mencapai suatu integrasi dalam organisasi, fikiran dan tindakan.
Karakteristik Solidaritas Sosial
Komunitas nelayan yang bediam di wilayah perkampungan pessir, sebagaimana masyarakat lainnya melakukan interaksi sosial dan proses sosial berbasis kebutuhan hidup
dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hidup secara berdampingan dan saling menyapa satu sama lainnya seakan-akan tidak ada batas yang memisahkan diantara mereka. Kesamaan
mata penaharian sebagai nelayan, membuat komunitas nelayan di Panimbang melakukan interaksi sosial dengan membangun kerjasama dan kepercayaan dalam menjalankan
tugasnya sebagai komunitas nelayan.
Kehidupan kolektifitas dan kebersamaan senasib merupakan gambaran fenomena sosial yang terjadi di Panimbang dan proses sosial berjalan dalam sebuah sistem kerja
bersama untuk mencapai tujuan hidupnya sebagai nelayan. Kesadaran kolektivitas merupakan pemandangan yang sering di saksikan dalam melakukan pelayaran dan juga
dalam membenahi alat tangkap pada saat kembali dalam menjalankan aktifitasnya. Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan, komunitas nelayan di Panimbang lebih
mengedepankan pendekatan kebersamaan sebagai sistem, dan selanjutnya dalam menjalankan aktifitasnya modal kepercayaan dijadikan sebagai modal untuk saling
bekerjasama satu sama lainnya.
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang hidup Di Pesisir Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten merupakan pembauran dari masyarakat lokal.
Komunitas lokal yang berdatangan dari berbagai antar etnik itulah, secara pendekatan kebudayaan mereka memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan asal-usul dan latar
belakang kebudayaan itu, telah mempengaruhi pola tingkah laku berdasarkan wiayah dan dialek asal-usulnya. Komunitas nelayan di Panimbang dengan latar belakang yang
berbeda-beda itu, sehingga menjadi dinamika yang sangat menarik dan hingga saat ini tetap melekat pada masyarakat pendatang yang bermukim di Panimbang.
Sebagai masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, dan sudah dianggap sebagai dinamika dalam berinteraksi bagi masyarakat yang berdiam di
Panimbang, sudah menjadi kebiasaa-kebiasaan dan saling mengakui bahwa sesama
238
pendatang memiliki latar belakang budaya dan asal usul yang berbeda. Kesadaran akan latar belakang yang berbeda itu sangat mudah diperhatikan melalui tindakan mereka dalam
kehidupan sehari-hari pada saat hidup berkelompok dan melakukan sosialisasi satu sama lainnya.
Terjadinya dinamika hidup perbedaan itu, bagi komunitas nelayan yang bermukim di Panimbang sudah dialami secara turun menurun dan bahakn dari berbagai sumber dari
informan terkait kedatangan pendahulunya, bahwa sebenarnya mereka sudah hidup menetap dalam dekade dari generasi ke generasi. Informan dari antar etnik Bagis
mengunkapkan bahwa kedatangan masyarakat Bugis di Panimbang bermula pada tahun 1960-an dan bahkan ada informasi bahwa pendatang Bugis sekitar era akhir tahun 1950-
an. Secara pengakuan oleh beberapa masyarakat berasal dari Bugis, memperkirakan bahwa secara pastinya menetap di Panimbang sudah hidup generasi yang ketiga saat ini yang
bernata pencaharian sebagai nelayan.
Tradisi sebagai pekerja atau nelayan musiman, bagi antar etnik Jawa sampai saat ini masih terdapat komunitas yang hanya menggantungkan hidupnya sebagai buruh
nelayan musiaman di perkampungan Panimbang. Dalam perkembangan dan dinamika tuntutan hdup, maka dulunya sebagai buruh nelayan musiman, telah mengalami dinamika
sosial yang menuntut mereka untuk menyewa dan bahkan ada niatan untuk membeli perahu dan alat tangkap. Melalui kepemilikan alat tangkap itulah, maka mau tidak mau atau suka
atau tidak suka komunitas nelayan yang telah memiliki alat tangkap itu merasa berkewajiban untuk menjaga dan menjalankan alat tangkapnya. Komunitas yang bersal
dari etnik Jawa yang menetap sudah cukup lama yaitu sekiar tahun 1970-an. Kedatangan mereka sebenarnya diawali sebagai buruh nelayan, namun dalam perkembangannya,
karena desakan tuntutan hidup maka mereka menetap sebagai nelayan. Berbagai perbedaan-perbedaan dan perubahan yang tampak pada kondisi sekarang, merupakan hasil
dari suatu perubahan sosial budaya yang telah terjadi dan dialami oleh mereka sejak awal. Untuk lebih mengetahui lebih mendalam tentang perubahan itu. Perubahan strukur sosial
budaya yang terjadi sering saling memahami yang akan mengarah pada stuktur masyarakat yang berkelanjutan.
Kehadiran komuitas nelayan yang berasal dari antar etnik Sunda, sebagain besar penduduk lokal yang sudah menetap sudah cukup lama. Komunitas nelayan berasal dari
antar etnik Sunda itu, sebenarnya juga berasal dari luar Banten misalnya dari Jawa Barat. Komunitas antar etnik sunda itu, ada yang berasal dari Cirebon dan Sukabumi. Namun
karena kesamaan bahasa dan budaya, maka hampir sulit dibedakan antara antar etnik sunda pendatang dengan antar etnik sunda yang berasal dari Banten. Profesi sebagai nelayan bagi
komunitas nelayan antar etnik sunda, sebenarnya merupakan pekerjaan yang ditekuninya secara turun menurun. Hampir apa yang dialami antar etnik Jawa dan Bugis, bahwa bagi
komunitas nelayan yang menetap di pesisir Panimbang, sebagain besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, baik nelayan pemilik alat tangkap maupun sebagai
buruh nelayan yang tidak memiliki alat tangkap, namun diberikan kepercayaan untuk mengelola milik orang lain.
Perubahan sistem nilai budaya yang dianut dan dimengerti oleh orang yang mendukung budaya itu. Demikian halnya pada masyarakat yang bermukim di pesisir
Panimbang memiliki ikatan-ikatan kultur secara khas berdasarkan latar belakang asal usulnya. Kepemilikan secara individu maupun secara sosial terkait karakteristik itu, lebih
terlihat pada saat sosialisasi atau saling menyapa satu sama lainnya. Secara fisik sebenarnya sudah bisa dikenal asal usul sesorang bahwa mereka berasal darimana dan antar etnik mana.
Secara penataan pemukiman, bagi komunitas nelayan yang bermukim di Perkampungan nelayan Panimbang memiliki blok pemukiman berdasarkan kesukuan.
239
Pemukiman yang dibuat secara terpisah, sebenarnya menurut informan tidak ada unsul saling tidak menghargai satu etnik dengan antar etnik lainnya. lagi pula pemukiman
antar etnik sebenarnya dibuat pada masa lalu berdasarkan kesamaan komunikasi, sehingga saling memudahkan dalam bekerjasama. Sebagaimana terungkap diungkapkan oleh MHR
59 th beliau berasal dari etnik Jawa bahwa :
Setiap masyarakat yang bermukim di Panimbang, memiliki masing-masing latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda, juga logat dan dialek
yang berbeda-beda berdasarkan asal usul kami. Tetapi pembedaan latar belakang itu, tidak akan mengurangi kebesamaan dalam kehidupan maupun
bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah sejak lama kami bersama-sama hidup di Panimbang ini. Walaupun kami berbeda asal usul
dan latar belakang kampung halaman, namun perbedaan nilai-nilai yang kita yakini tidak membuat kita saling mencurigai
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa sebenarnya masyarakat yang bermukim di Panimbang, sebenarnya memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang
berbeda-beda. Walaupun berbeda asal usul mereka, tetap menjunjung tinggi dinamika yang ada di perkampungan Panimbang. Kesadaran komitmen pengakuan perbedaan itupula,
sehingga tidak tapak adanya ketersinggungan secara individu maupun kelompok. Kehidupan
berdampingan melalui
kebesamaan dalam
kehidupan maupun
bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah sejak lama bersama-sama hidup di perkampungan pesisir Panimbang. Komitmen secara berkelompok sangat
dikuatkan, maka berbeda asal usul dan latar belakang kampung halaman serta perbedaan nilai-nilai tidak membuat ada sikap saling mencurigai.
Masyarakat yang bermukim di Panimbang, perbedaan etnis tidak menjadikan sebuah jurang pemisah dalam melaksanakan aktivitas keseharian. Walaupun berbagai etnik
itu memiliki masing-masing latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda, namun tidak menjadi penghalang dalam berkomunikasi. Sebagai bangsa yang berbeda-beda,
tentunya juga logat dan dialek yang berbeda-beda berdasarkan asal usul dimana masyarakat itu berasal. Tetapi pembedaan latar belakang itu, tidak akan mengurangi kebersamaan
dalam kehidupan maupun bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah sekian lama hidup secara bersama-sama di Panimbang ini.
Perbedaan latar belakang etnis tidak menjadi persoalan dalam menjalankan aktifitas sebagai nelayan sebagaimana ungkapan oleh etnik Bugis Bahar 43 tahun bahwa
Sebagai komunitas yang bermatapencaharian sebagai nelayan, berbagai antar etnik tetap berdampingan sebagai satu kesatuan komunitas nelayan. Walaupun sangat
nampak perbedaan latar belakang asal usul keberadaan kampung halaman kami, namun tidak menjadikan alasan untuk tetap hidup berdampingan. Sebagaimana hal
yang tampak bahwa kepemilikan alat tangkap bisa digunakan oleh etnis manapun saja, tanpa melihat latarbelakang. Kepercayaan diantara kami sudah menjadi bagian
yang sangat terpenting dalam mempertahankan hidup yang harmonis secara berdampingan.
Berdasarkan ungkapan di atas sejalan dengan teori fungsional struktural yang menyatakan masyarakat harus dilihat sebagai satu sistem yang komponennya berhubungan,
bergantung, dalam saling mengait yang secara fungsional terintegrasi dalam bentuk equilibrium yang bersifat dinamis. Apabila ada pertentangan, akan muncul nilai budaya
yang akan mengintegrasikannya. Sangat terlihat dalam pola bermasyarakat yang terjadi di Kecamatan Panimbang maupung di Labuan, baik masyarakat Bugis, Jawa Maupun Sunda
sebagai masyarakat setempat. Kemajemukan yang meliputi agama, antar etnik, budaya dan
240
kebiasaan justru mendorong mereka menjaga kerukunan hidup diantara mereka dan berintegrasi satu sama lain.
Proses Solidaritas Sosial Faktor Budaya
Nilai budaya sebagai perekat diantara komunitas telah memiliki nilai-nilai yang mengatur tatanan masyarakat dalam mempertahankan komunitasnya. Melalui nilai-nilai
itulah mereka saling menghargai satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai kesopanan itulah sebenarnya merupakan satu kesatuan yang sangat penting untuk di tegakkan dan
dipersatukan. Kebersatuan masyarakat dalam komunitasnya akan menjadi cerminan pada saat mereka berinteraksi pada komunitas lainnya. Kekuatan budaya yang dianut
masyarakat akan menjadi anutan untuk mewujudkan kebutuhan hidupnya, sebagai bagian mahkluk sosial dan mahkluk yang berbudaya. Hidup dalam sebuah komunitas yang
beraneka ragam akan sangat mudah melakukan hubunganan yang sosial yang lainnya, sekiranya saling memperkuat nilai-nilai pada komunitasnya.
Nilai-nilai budaya yang dianut pada komunitas masyarakat secara berbeda-beda, namun menjadi cerminan untuk mengakurkan dirinya secara individu dan secara kolektif
sebagai masyarakat yang menyatu satu sam lain. Kebersatuan masyarakat antar etnis juga sebenarnya ditunjang oleh adanya ikatan-ikatan simpul budaya melalui kebiasaan-
kebiasaan secara turun temurun yang dijadikan pegangan dalam hidupnya. Sebuah komunitas akan dapat bertahan dan dapat berinteraksi dengan baik ketika diperekat oleh
sistim dan kebiasaan-kebiasan yang telah disepakati secara turun temurun. Sebagaimana diungkapkan oleh HAN 57 tahun etnis Bugis yang menetap di Panimbang bahwa:
Keberadaan komunitas antar etnis Bugis dan Jawa serta Sunda di Panimbang masing-masing memiliki sistem dan aturan masing-masing secara internal.
Menjadikan sebagai masyarakat yang saling mengikatkan diri dalam komunitas yang hidup dengan kemajemukan di Panimbang dengan hidup berdampingan dengan
kegiatan sebagai nelayan dan maupun bukan nelayan tetap merasa satu kesatuan serta ikatan yang memiliki kesamaan pekerjaan dan maupun yang tidak memiliki
kesamaan pekerjaan. Hal yang dapat mempersatukan dalam hidup berdampingan adalah nilai-nilai pola hidup yang mereka pegang secara bersama-sama dan dapat
menjadikan sebagai modal untuk membina ikatan sosial dengan masyarakat sekitarnya. wawancara 25 Mei 2013
Berdasarkan hasil wawancara itu, tergambarkan bahwa keberadaan komunitas antar etnis Bugis dan Jawa serta Sunda di perkampungan nelayan di Panimbang dalam
melakukan interaksi telah memiliki ikatan-ikatan sosial dalam mempertahankan hidupnya. Berdasarkan nilai itulah menjadi pedomana dan berlaku surut bagi masyarakat dalam
melakukan interaksi. Melalui sistem nilai-nilai itulah, etni yang hidup dan menetap di Panimbang telah menjadikan sebagai masyarakat yang saling mengikatkan diri dalam
komunitas yang hidup dengan kemajemukan di Panimbang dengan hidup berdampingan dengan kegiatan sebagai nelayan dan maupun bukan nelayan tetap merasa satu kesatuan
serta ikatan yang memiliki kesamaan pekerjaan dan maupun yang tidak memiliki kesamaan pekerjaan.
Berdasarkan ungkapan dari informan sebelumnya, lebih dipertegas lagi oleh informan yang lain oleh BHN 61 tahun asal etnik Jawa yang sudah menetap 30 tahun di
pemukiman pesisir Labuan menungkapkan bahwa:
241
Hidup kami secara berdampingan dengan antar etnik-antar etnik lainnya yang ada di Labuan dan Panimbang ini, sebagai nelayan, telah menjadikan kami satu
kesatuan sebagai keluarga besar. Walaupun kami ini berbeda asal usul antar etnik bangsa, namun ada nilai-nilai mata pencaharian yang mempersatukan kami yang
sebenarnya tidak akan menjadikan kami saling melupakan. Karena dalam melakukan kegiatan melaut, kami memiliki budaya yang sama untuk tetap saling
menjaga dan bekerjasama dalam mewujudkan dan mendapatkan penghasilan. Melakukan kegiatan pun kita saling membantu dalam berbagai hal kekuarangan
yang kami alami, terkait dengan kelengapan-kelengkapan alat-alat tangkap sebagai nelayan. wawancara 16 April 2013
Berdasarkan hasil wawancara itu, terungkap bahwa komunitas yang menetap di pesisir Labuan memiliki kesamaan dalam kehidupan untuk tetap saling berdampingan
dengan antar etnik-antar etnik lainnya yang ada di Labuan. Tentunya rasa persatuan itu karena adanya kesamaan bermatapencaharian sebagai nelayan. Profesi sebagai nelayan itu
pua telah menjadikan komunitas antar etnis itu, menjalin rasa persatuan dan kesatuan sebagai bagian keluarga besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Sebenarnya diantara
sesama komunita itu, telah menyadari bahwa mereka berasal dari berbeda asal usul antar etnik bangsa, namun ada nilai-nilai mata pencaharian yang mempersatukan mereka dalam
internalisasi nilai-nilai budaya kenelayanan.
Kerjasama sesama komunitas nelayan juga sebenarnya menjadikan mereka untuk tidak saling melupakan antara satu sama lainnya. Karena dalam melakukan kegiatan
melaut, memiliki budaya sebagai pelaut yang sama untuk tetap saling menjaga dan bekerjasama dalam mewujudkan dan mendapatkan penghasilan. Kegiatan melautpun tetap
saling membantu dalam berbagai hal kekurangan yang dialami diantara mereka terutama dalam hal kelengapan-kelengkapan alat-alat tangkap sebagai nelayan.
Selain budaya kebersamaan dan senasib dalam bermatapencaharian, maka sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai pergaulan pun tidak terlepas adanya ikatan-ikatan
budaya kesantunan. Sebagai bangsa yang besar Indonesia telah memiliki berbagai kelebihan-kelebihan dalam hal berbudaya, demikian pula halnya pada masyarakat yang
hidup secara lokal, telah memiliki sikap diantaranya adalah sikap ramah tamah, saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai, tolong-menolong dan besarnya rasa
toleransi di dalam masyarakat menjadikan masyarakat itu semakin kuat hungungan sosialnya. Pendekatan budaya toleransi, tentunya sangatlah penting dalam kehidupan di
lingkungan antar etnis, sebagaimana pula halnya terjadi di Labuan yang telah dialami oleh MHMD 65 th berasal dari etnis Sunda mengatakan bahwa
Selama kami hidup disini dengan bedampingan tiga etnis yang berbeda-beda latar belakang, yakni etnis sunda dianggap sebagai komunitas yang pembawaan cara
bahasa dan sikapnya sangat lembut. Demikian pula etnis Jawa yang dianggap masyarakatnya juga tergolong lembut pembawaanya, namun ketika bertemu
dengan etins Bugis yang dianggap keras oleh etnis yang lainnya. Akan tetapi setelah kami melakukan hubungan-hubungan yang terkait dengan pergaulan hidup
kami, baik secara ekonomi, sosial, keagamaan dan kepercayaan lainnya, tidak pernah mengalami suatu pertentangan dan atau perselisihan diantara kami. Dalam
kegiatan ritual-ritual pun kami tetap saling memahami dan saling menghargai, karena kita sama-sama menyadari bahwa sesama manusia kita semua sama dalam
mencari penghidupan untuk keluarga. wawancara 13 April 2013
Faktor Kekerabatan Keberadaan masyarakat ketiga etnis tersebut telah terbina dengan baik, secara
turun temurun dan tanpa membeda-bedakan dengan komunitas lainnya. Selain faktor
242
budaya dan nilai-nilai dalam sistem hidupnya, yang mengakibatkan semakin menyatu dalam perbedaan. Pengakuan perbedaan dalam masyarakat pada komunitas antar etnis,
merupakan suatu kewajaran karena kehadirannya dari berbagai latar belakang yang berbeda. Faktor berikutnya, yaitu hubungan kekerabatan yang ada diantara mereka. Hal ini
merupakan salah satu faktor penting terwujudnya integrasi sosial.
Melalui pendekatan kekerabatan tentu tidak lepas kaitannya dengan masalah pernikahan. Faktor kekerabatan merupakan pengelompokan atas sejumlah orang yang
masih berhubungan, baik karena keturunan maupun perkawinan yang mencakup identitas dan peranan yang digunakan oleh individu-individu dalam interaksi sosial mereka. Dengan
kata lain, sistem kekerabatan terjadi karena keturunan dan perkawinan serta tali darah. Namun dibalik itu sistem kekerabatan secara sosial pun terjadi karena adanya faktor
kedekatan yang sangat akrab dan sangat cukup lama melakukan hubungan secara sosial. Kondisi itu, terjadi pula pada komunitas nelayan, setelah mereka memiliki hubungan
kedekatan dan pekerjaan yang selama ini dilakukan secara turun temurun melalui kesamaan sistem mata pencaharian.
Sistem perkawinan antar etnik dan suku bangsa yang berbeda itu, telah melahirkan tali kekerabatan yang semakin dekat antara masyarakat yang berbeda latar belakang, antar
etnik, ras. Fenomena yang terjadi di Panimbang telah terjadi suatu pola perkawinan silang antar etnik. Masyarakat yang melakukan tali perkawinan yang berbeda antar etnik itulah,
telah mengalami berbagai perkembangan sisitem kekerabatan dan tali persaudaraan semakin melekat. Perkawinan capuran dengan perbedaan etnik, tidak melahirkan suatu
ketegangan antar budaya. Kondisi saling memahami pertemuan dua kutub keluarga antar etnik itu, telah mengarah pada hubungan sosial yang semakin dekat antara komunitas
nelayan yang berbeda di perkampungan Panimbang.
Komunitas nelayan yang melakukan pernikahan campuran baik antara suku Jawa maupun suku Bugis dan juga dengan suku Sunda tidak selamanya memiliki profesi sebagai
nelayan. Namun sebaliknya ada juga profesi sebagai nelayan melakukan perkawinan campuran. Sebagaimana MUH 47 tahun masyarakat asal antar etnik Jawa melakukan
pernikahan campuran dengan antar etnik Bugis, mengatakan bahwa : Melalui pernikahan antar etnis yang saya lakukan, sebenanarnya awalnya membicarakan
perbedaan-perbedaan, kebiasaan-kebiasaan masing-masing adat kami. Lama kelamaan dalam perkawinan kami sudah 25 tahun telah berlangsung tidak ada
kendala. Dan anak-anak kamipun mengikuti aturan nilai-nilai yang berlaku pada kedua etnis yang melekat dalam keluarga kami. Sebenarnya melalui perkawinan
antr etnis yang kami lakukan, malah menambah kumpulan-kumpulan keluarga kami dan jumlahnya semakin besar. Jumlahnya pun semakin bertambah dan
kamipun punya keluarga pada dua perkampungan dan dua etnis yang berbeda. Perkawinan kamipun semakin merekatkan perbedaan menjadi suatu kekuatan
dalam mempersatukan dua etnis yang berbeda. Wawancara 16 Mei 2013 Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa pernikahan antar etnis,
sebenarnya tahap perkenalan budaya yang paling awal perlu dibicarakan. Mengapa hal itu penting karena adanya perbedaan-perbedaan kebiasaan-kebiasaan masing-masing
komunitas yang berbeda latar belakang. Perbedaan yang dipersatukan dalam wadah yang sama melalui tali perkawinan, lama kelamaan akan berlangsung tidak ada kendala. Kedua
keluarga yang melakukan perkawinan campuran etnis mengikuti aturan nilai-nilai yang berlaku pada kedua etnis yang melekat dalam keluarganya. Melalui tali perkawinan antar
etnis akan menambah kumpulan-kumpulan keluarga mereka dan jumlahnya semakin besar. Keluarga yang melakukan perkawinan campuran semakin merekatkan perbedaan menjadi
suatu kekuatan dalam mempersatukan dua etnis yang berbeda.
243
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hubungan kekerabatan yang terjadi akibat adanya perkawinan diantara masyarakat asli dan pendatang yang berbeda antar etnik
bangsa, menyebabkan terjadinya proses interaksi yang semakin meluas di antara kedua pasangan dan pihak-pihak keluarganya. Hal itu, terjadi pula pada komunitas antar etnis
Bugis, Jawa dan Sunda bahwa hubungan kekerabatan diantara mereka yang sudah melakukan perkawinan campuran. Namun dalam pernikahan yang berasal dari keluarga
yang berbeda biasanya kedua pasangan yang masih baru mereka tinggal dan menetap pada kedua orang tunya. Mereka memilih kebanyakan menetap dilingkungan orang tua dan
tidak memutuskan tali silahturahmi dengan orang tua mereka. Jadi perkawinan bukan mengurangi jumlah keluarga, namun semakin memperkuat keluarga lebih luas dan
terintegrasi dengan baik lagi.
Dalam kenyataannya, perbedaan budaya dan latar belakang asal usul daerah tidak menjadi persoalan bagi hubungan sosial kemasyarakatan di Komunitas antar etnis Bugis,
Jawa dan Sunda sebab masyarakat menganggap bahwa perkawinan semacam itu adalah hal yang lumrah terjadi di masyarakat yang majemuk. Hal ini juga didorong faktor kerukunan
hidup antar etnik yang relatif tinggi dan tidak ditemuinya sikap fanatisme berlebihan dalam kehidupan kesehariannya. Kondisi perbedaan itu pun meyakini tidak menimbulkan
kekacauan-kekacauan baik dipermukaan maupun dalam hati secara individu maupun kolektif di perkampungan Binuangen.
Kekerabatan dibangun bisa melalui tali pernikahan maupun dengan hubungan kait mengkait dalam satu bingkai tali rumpun keluarga. Kekerabatan secara sosial pun juga
terbagung karena faktor kedekatan antara satu etnik dengan etnik lainnya secara terintegrasi. Memelihara kebersamaan satu wadah di perkampungan Panimbang sudah
menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan sosial terbangun pula karena adanya kesamaan nasib dan profesi yang sama sebagai
nelayan dan kegiatan yang lainnya. Menyatukan masyarakat melalui tali kekerabatan sebenarnya bisa terbangun melalui tali darah atau perkawinan dan bisa terbangun pula
melalui hubungan sosial yang tidak memiliki jarak dan antara dalam melakukan hubungan sosial.
Bentuk Solidaritas Sosial Perkawinan Campur
Melalui perkawinan campur yang terjadi di masyarakat Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan sunda sebenarnya merupakan hal yang sudah lumrah di Labuan dan
Panimbang. Perkawinan dapat terjadi melalui asal muasalnya saling mencintai. Dan perkawinan yang terjadi antar etnis di Labuan maupun Panimbang sebenarnya sangat
sedikit dan bahkan tidak pernah terjadi pernikahan dengan perjodohan secara paksa. Pendekatan perkawinan sebenarnya seringkali didapati di dalam masyarakat baik antara
yang berbeda etnis. Perkawinan campuran dapat dijadikan sebagai wadah untuk merekatkan masyarakat di Panimbang maupun Labuan.
Perkawinan campur atau sering disebut perkawinan silang, merupakan ikatan karena adanya jodoh dan perasaan saling suka. Munculnya perasaan suka sama suka itulah,
membuat mereka melangsungkan perkawinan dan tanpa melihat latar belakang asal usul dan etnik. Melangsungkan perkawinan campuran di perkampungan Labuan maupun
Panimbang hampir tidak menemukan kendala, karena komunitas yang berdiam di wilayah tersebut sudah terjalin cukup lama dan juga dari aspek kebiasaan-kebiasaan dalam proses
244
kegiatan prosesi tidak pernah menjadi kendala, karena sejak dilakuakan proses pertunangan sudah dibicarakan.
Nilai-nilai Sosial
Dalam implementasi nilai-nilai sosial, tentunya seiap etnis memiliki komitmen dan bertumpu pada nilai-nilai sosial yang dimiliki dan di yakininya sebagai pegangan dan
pedoman untuk mencapai kesuksesan. Hal itu sebagaimana di tuturkan oleh Asep Haryadi 34 tahun berasal dari suku sunda bahwa :
Berbicara tentang nilai-nilai kepercayaan merupakan salah satu modal solidaritas, pada implementasinya yang dianggap paling mudah dilakukan oleh siapapun,
karena hanya dalam bentuk kontrak sosial yang sangta sederhana. Komunitas nelayan di Panimbang justru melihat sebagai modal yang paling utama dalam
memperkuat tali kebersamaan dan solidaritas dalam kehidupan sebagai nelayan. Faktor utama yang mendukung jalannya nilai-nilai kepercayaan adalah saling
mendudukkan sesorang pada posisinya secara sosial dan tanpa memandang status sosial ekonominya maupun asal muasal etnisnya.
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa kepercayaan sesorang tercermin dalam nilai-nilai sebagai pegangan untuk menjadi modal solidaritas. Kepercayaan bagai
kalangan masyarakat di perkampungan Binuangen dalam implementasinya tidak terlalu berat dan bahkan dianggap paling mudah untuk dilakukan pada kalangan internal siapapun.
Mengapa hal itu dianggap mudah untuk dilakukan, karena hanya dalam bentuk kontrak sosial yang sangta sederhana. Namun dalam perkembangan saat ini masyarakat antar etnis
melihat bahwa dengan adanya nilai-nilai yang mengatur secara sosial menjunjung tinggi nilai- dan pranata sosial sebagai modal yang paling utama dalam memperkuat tali
kebersamaan dan solidaritas dalam kehidupan sebagai nelayan. Faktor utama yang mendukung jalannya nilai-nilai kepercayaan adalah saling mendudukkan sesorang pada
posisinya secara sosial dan tanpa memandang latar elakang dan asal usul individu maupu kemasyarakatan.
Internalisasi tekait nilai-nilai kepercayaan ditumbuhkan melalui sikap dan prinsip- prinsip rendah hati, tulus dari dalam diri untuk dapat saling menerima antar suku yang satu
dengan suku lainnya. Sebagai masyarakat yang multikultural yang berdiam di perkampungan Panimbang menyadari suatu nilai-nilai saling mencintai perbedaan.
Walaupun mereka saling menyadari bahwa perbedaan yang selama ini terjadi memang kadangkala sangat mencolok dari segi kepemilikan teknologi alat tangkap dan eos kerja
yang dimiliki oleh nelayan. Misalnya Suku Bugis dianggap lebih ulet dalam bekerja, sehingga kepemilikan berbagai fasilitas daya dukung kehidupannya lebih maju dan lebih
berkembang dibandingkan dengan suku lainnya.
Keuletan bekerja keras sebanarnya sudah merupakan salah satu prinsip bagi setiap individu untuk menciptakan kolektivitas, dan termasuk pada komunitas nelayan yang
bermukim di perkampungan Panimbang. Etos kerja berisi tentang nilai-nilai semangat dan keinginan untuk mengubah pola hidup seseorang. Pertukaran nilai tentang pengalaman
dalam melakukan aktifitas sebagai nelayan. Sebenarnya, hampir semua masyarakat memiliki nilai-nilai kolektivitas dalam menjunjung nilai-nilai semangat untuk bekerja,
namun yang jadi persoalan adalah pengalaman yang berbeda-beda dalam menggapai impian dan kenyataan hidup. Sebagai komunitas nelayan di Panimbang nilai-nilai etos
kerja seringkali dilakukan pada kesempatan yang tidak terstruktur dengan berkumpul secara berbarengan walaupun sifatnya temporer dan membicarakan tentang pengalaman-
pengalaman hidup mereka dan termasuk dalam melakukan aktifitas sebagai nelayan.
Nilai-nilai dan pranata-pranata sosial yang memperkuat internal masyarakat jawa sebenarnya ada komitmen tersendiri dalam menujukkan eksistensi dirinya, namun sebagai
245
manusia yang bersosialisasi manusia sebenarnya tidak boleh membanggakan dirinya, sebagaimana Wahono 41 tahun suku jawa menuturkan bahwa:
Kami sebagai masyarakat Jawa Memiliki nilai sosial yang kami pegang dalam berbagi pengalaman sebenarnya bukan sebagai ajang membanggakan diri mereka,
namun hanya sekedar untuk mempererat tali solidaritas dan kesetiakawanan sebagai sesama nelayan yang menginginkan kemajuan bersama. Sebagai
komunitas nelayan, tentu memiliki berbagai perbedaan pengalaman dan setiap etnis memiliki nilai-nilai yang dijunjung dalam meningkatkan etos kerja, berupa
semangat yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga maupun timbul dan tumbuh dilingkungan sosial masyarakat. Nilai-nilai sosial untuk pemenuhan
keperluan sebagai komunitas nelayan sangat diperlukan, misalanya bagi etnis jawa mengenal nilai-nilai semangat etos kerja dengan prinsip maju untuk berhasil yang
dipegang sebagai penyemangat untuk mempersatukan sesama komunitas nelayan.
Berdasarkan hasil wawancara itu, terungkap bahwa kalangan masyarakat Jawa Memiliki nilai sosial yang selama ini yang dianut dalam berbagi pengalaman masing-
masing yang membedakan dengan suku lainnya. Namun nilai-nilai yang diyakini sebagai etos kerja sebenarnya bukan sebagai ajang membanggakan diri mereka, namun hanya
sekedar untuk mempererat tali solidaritas dan kesetiakawanan sebagai sesama nelayan yang menginginkan kemajuan bersama. Sebagai komunitas nelayan, tentu memiliki
berbagai perbedaan pengalaman dan setiap etnis memiliki nilai-nilai yang dijunjung dalam meningkatkan etos kerja, berupa semangat yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan dalam
keluarga maupun timbul dan tumbuh dilingkungan sosial masyarakat. Nilai-nilai sosial untuk pemenuhan keperluan sebagai komunitas nelayan sangat diperlukan, misalanya bagi
etnis jawa mengenal nilai-nilai semangat etos kerja dengan prinsip maju untuk berhasil yang dipegang sebagai penyemangat untuk mempersatukan sesama komunitas nelayan.
Nilai-nilai sosial sebagai pranata, sebenarnya berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan sesama nasib dan kesamaan profesi sebagai nelayan dalam memenuhi keperluan
dalam melakukan aktifitas ke laut. Kehdupan dalam kebersamaan dengan melakukan kegiatan tolong menolong dalam pergaulan melalui nilai-nilai kepercayaan dan sopan
santun merupakan bentuk implementasi nilai-nilai pergaulan yang mengedepankan kekerabatan sebagai sistem berbagi pengalaman. Kompleksitas persoalan yang dihadapi
dalam kegiatan melaut, akan mengalami keringanan apabila dilakukan dengan pendekatan budaya kebersamaan.
Sistem kepercayaan dan ritual
Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda memiliki kebiasaan- kebiasaan dalam meminta restu sebelum melaut. Tujuan dari kegiatan itu, lebih
mengarahkan pada pendekatan untuk meminta keselamatan dari sang pencipta. Pentingnya memohon petunjuk dan ridho dari sang pencipta merupakan suatu hal yang sangat wajib
sebelum dilakukan penangkapan, agar memperoleh keselamatan dan keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan melaut. Melalui pendekatan kepercayaan itulah, komunitas nelayan
memiliki ikatan-ikatan yang sama dalam memohon ridho dan pendekatan kepada sang pencipta.
Melalui ritual sesajen dengan membawa makanan ke pinggir laut, yang berisi didalamnya nasi 3 rupa, beras warna merah, putih dan hitam menandakan sebagai
pendekatan meminta untuk dilindungi dari berbagai segi penjuru. Selain nasi sebagai sumber penghidupan dan juga lauk pauk berupa ayam sebagai bentuk simbol mendapatkan
rahmat dan bertambah rezeki. Melalui nilai-nilai kebiasaan secara turun temurun itulah, komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda merasa memiliki kedekatan dalam
246
hal ritual tersebut. Kebersamaan itu merupakan salah satu penyebab terjadinya integrasi dari nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda.
Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang menetap di pesisir Panimbang sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, sehingga keakraban
juga terbangun dalam kegiatan keagamaan dan ritual-ritual dalam hal kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan. Kegiatan silaturahmi juga terlihat dalam kegiatan shalat lima waktu
maupun shalat Jumat. Pelaksanaan kegiatan shalat Jumat dan masyarakat antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda semuanya berbaur di dalamnya. Suasana keakraban pun terlihat dengan
jelas, bahwa melalui pendekatan acara keagamaan memberikan nuansa kesejukan bagi masyarakat yang memeluk agama yang sama.
Selain itu pada kegiatan hari raya keagamaan pun dapat menjadi momentum yang sangat tepat untuk bersilaturahmi antara satu dengan yang lainnya, tanpa melihat latar
belakang antar etnik. Kunjungan silaturahmi kepada teman, keluarga dekat, dan tetangga, merupakan hal yang lumrah bagi komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda,
apalagi dalam rangka hari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hubungan sosial keagamaan antara penduduk setempat dengan warga pendatang
menjadikan warga Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda lebih terbuka untuk menerima berbagai pengaruh budaya luar diantara mereka.
Berdasarkan informasi dari beberapa informan mengungkapkan bahwa kegiatan hari raya sebagai momentum untuk saling melebur diri menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat terpisahkan. Wadah kegiatan ritual keagamaan merupakan momentum untuk saling memaafkan satu sama lainnya. terjadi pada komunitas merekapun tetap menjadi
kehangatan yang sangat baik. Keberadaan hari-hari besar diantara mereka merupakan momentum untuk lebih menambah keakraban di antara mereka.
Kegiatan silaturahmi keagamaan hanya berlangsung sebanyak dua kali setahun yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan
Sunda yang jarang ketemu dengan berbagai kesibukan masing-masing setidaknya memiliki dua kali pertemuan yang pasti dilakukan oleh mereka yaitu pada hari-hari besar tersebut.
Walaupun kegiatan tersebut merupakan hubungan individual diantara mereka untuk saling bersilahturahmi, namun setelah diarahkan bagian dari ritual keagamaan, maka mereka
menyadari bahwa betapa pentingnya saling hadir dalam kegiatan silaturahmi tersebut.
Perayaan saling silaturahmi dalam keyakinan baik melalui pendekatan keagamaan maupun upacara-upacara ritual lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenelayananan.
Pada kegiatan hari raya idul fitri merupakan salah satu pendekatan yang selama ini sangat bagus dilakukan untuk saling mengunjungi baik sesama etnis maupun lintas etnis.
Berdasarkan penuturan beberapa informan bahwa kegiatan rutinitas silaturahmi idul fitri merupakan ajang tahunan yan dilakukan dalam pendekatan Halal Bi halal sebagai wadah
untuk mengakrabkan kembali yang mungkin selama sebelas bulan tidak terlalu erat karena adanya kesalahan yang dilakukan. Ajang silaturahmi memaafkan dalam hari raya lebaran
idul fitri itu, seakan-akan mengajak masyarakat sekitar perkampungan Binuangen untuk saling memaafkan. Walaupun sebenarnya tidak diformalkan namun ajang memaafkan ini
di jadikan sebagai momentum untuk memperkuat tali kekeluargaan yang mungkin sempat terputus.
Ajang halal bi halal sebagai rangkaian acara untuk mempertemukan masyarakat, dan juga sekaligus mengundang pemerintah setempat RT dan RW, serta tokoh masyarakat
berbagai etnis, pemuka agama. Kegiatan halal bi halal ini biasanya dilakukan di masjid dan atau di sekolahan. Melalui kegiatan ajang idul fitri ini, masyarakat saling meningkatkan
kerukunan beragama diantara mereka dan menjalin keharmonisan antara masyarakat dan aparaturnya, sehingga mendukung dan mendorong masyarakat untuk saling berintegrasi
sesamanya.
247
Selain acara halal bihalal sebagai ajang tahunan, bagi komunitas nelayan di perkampungan Panimbang, memiliki tradisi pula dalam menggelar upacara hari turunnya
melaut. Hari turun melaut ini merupakan tradisi tahunan pula yang dilakukan sebagai penanda akan dimulainya melaut. Kegiatan rutinitas hari pertama melaut ini dilakukan
dengan pemberian sesajen dalam bentuk makanan atau kegiatan makan bersama yang dilakukan diatas perahu. Biasanya dilakukan pada saat mau berangkat, maka pemilik
perahu menyiapkan terlebih dahulu makanan dan mengajak masyarakat atau nelayan yang ada isekitarnya. Tradisi makan bersama diatas perahu pada hari melaut ini, sebenarnya
tidak dilakukan semua oleh nelayan dalam bentuk pesta besar-besaran, namun ada orang yang membesar-besarkan.
Kegiatan Perekonomian Bentuk kegiatan usaha penangkapan ikan di Labuan maupun di Panimbang
dikategorikan sebagai usaha perikanan yang berskala kecil. Bagi komunitas yang berprofesi sebagai nelayan yang, dilakukan secara turun temurun dan pekerjaan sebagai
nelayan ditekuni sebagai sumber mata pencaharian keluarganya. Beraktifitas ebagai nelayan merupakan pekerjaan satu-satunya sebagai sumber penghasilan keluarga. Sebagai
nelayan merupakan pilihan bagi Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang meranau dari kampung halamannya, dan diperoleh dari orang tuanya. Sebelum merantau
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda sudah memiliki keahlian tersendiri sebagai nelayan.
Sebagai nelayan yang berskala kecil, kegiatan penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun dan sangat bergantung dari musim. Ketergantungan pada musim itulah
akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan fishing ground yang menjadi sasaran penangkapan. Ketergantungan pada musim itulah, nelayan sering memperoleh
pengasilan pasang surut. Apabila musim lagi banyak ikan maka nelayan dapat memperoleh penghasilan lebih banyak. Dan sebaliknya apabila lagi musim paceklik maka hasilnya pun
diperoleh dengan apa adanya dan bahkan biaya operasional pun tidak tertutupi. Sebagaimana MHN 50 tahun bahwa :
Saya dan teman-teman yang berdomisili di Kampung Labuan dan juga terjadi di Binuangen memiliki ketergantungan sangat tinggi pada musim, karena perahu
yang kami miliki tidak mampu menembus sejauh mungkin, karena keterbatasan ukuran perahu yang kami miliki. Melalui keterbatasn itulah, mengakibatkan kami
lebih banyak melakukan penangkapan di sekitar selat sunda saja. Perahu yang saya miliki sama saja teman-teman nelayan lainnya yang berdomisili di pesisir
Labuan. Penghasilan yang diperoleh sebenarnya kadang banyak dan kadangkala juga apa adanya, sehingga biaya hidup juga kadang tertutupi dan kadang juga
tidak tertutupi.
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa kegiatan ekonomi yang berdomisili di Kampung Labuan memiliki ketergantungan sangat tinggi pada musim dalam
menjalankan roda perekonomiannya. Keterbatasan kekuatan dan muatan perahu yang mereka miliki, tidak mampu menembus sejauh mungkin hingga kelaut yang paling dalam,
karena selain kekuatan juga memiliki keterbatasan ukuran perahu yang mereka miliki. Melalui keterbatasan itulah, mengakibatkan nelayan lebih banyak melakukan penangkapan
di sekitar Selat Sunda saja. Perahu yang dimiliki oleh nelayan lainnya hamir merata yang berdomisili di pesisir Labuan. Demikian pula halnya dengan penghasilan yang diperoleh
sebenarnya kadang banyak dan kadangkala juga apa adanya, sehingga biaya hidup juga kadang tertutupi dan kadang juga tidak tertutupi.
Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat Sunda, Selatan JawaSamudera hindia dan Laut Jawa. Berdasarkan wawancara dengan nelayan daerah
248
penangkapan yaitu sekitar Selat Sunda, Tanjung Panaitan, Kepulauan seribu, Kerakatau, Rompang, Sumur, Kelapa Koneng, Pulau Pucang, Kalianda, Cemara, Karang bawah dan
Batu Item. Daerah penangkapan ini ditempuh para nelayan sekitar 3-4 jam perjalanan. Penentuan daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan di Kecamatan
Labuan dan Panimbang umumnya masih berpedoman pada faktor-faktor alam.
Nelayan masih menggunakan pengetahuan sederhana seperti adanya burung yang terbang di atas perairan atau riak di air yang menandakan adanya ikan. Dengan hanya
mengandalkan sebatas pengetahuan tradisional ini maka nelayan yang beroperasi menangkap ikan berada pada keadaan berburu atau pergi dengan tujuan mencari yang tidak
pasti letaknya. Akan tetapi karena tingkah laku ikan yang sudah diketahui nelayan yaitu dimana ikan memijah dan dimana ikan biasa berkelompok mencari makan maka hal ini
dapat digunakan nelayan dalam menentukan posisi ikan. Keberadaan kelompok ikan juga juga dapat diketahui dengan melihat permukaan laut yang berbuih, adanya ikan-ikan yang
melompat-melompat di permukaan atau burung yang menukik dan menyambar ke permukaan laut. Selain itu, penentuan daerah penangkapan juga ditentukan berdasarkan
pengalaman dan informasi dari kapal yang baru mendarat.
Hubungan bermasyarakat pada Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda terlihat dalam aneka kegiatan perekonomian yang tidak dibatasi oleh perbedaan antar etnik,
agama dan budaya. Ini terlihat dari interaksi masyarakat ketika berada di pasar Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda sebagai pusat kegiatan perekonomian warga yang
menetap di Labuan mapun Panimbang. Pasar Labuan yang berbatasan secara langsung dengan tempat pendaratan perahu, langsung dijual hasilnya ke pasar. Hasil tangkapan ada
yang dijual di tingkat lokal dipasar Labuan dan adapula yang di bawa keluar misalnya kepasar Pandeglang dan bahkan ada yang dipasarkan sampai ke Jakarta. Aktivitas
dipelelangan pun didominasi oleh masyarakat antar etnis yang menetap disekitar Labuan.
Proses integrasi masyarakat lewat kegiatan perekonomian juga ditandai oleh adanya koperasi serba usaha yang anggotanya terdiri dari komunitas nelayan yang diberi
nama koperasi sumber usaha yang dibangun secara bersama-sama oleh nelayan antar etnis di Labuan. Secara umum Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda memiliki koperasi
atau kegiatan ekonomi yang berfungsi sama seperti koperasi dengan kepengurusan yang tidak membedakan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda. Kegiatan ini mengikat masyarakat
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda menjadi satu kesatuan tanpa diskriminasi etnis manapun juga. Melalui wadah simpan pinjam terkait operasional selama melaut dapat
diperoleh dikoperasi dan pada akhirnya mereka saling mengenal satu sama lainnya tentang kebutuhan yang diinginkan dan bahkan tidak sedikitpula melakukan perbincangan tentang
melaut.
Pada kegiatan kenelayanan nelayan memiliki waktu-wakt tertentu yang dianggap sebagai masa masuknya waktu penangkapan. Waktu penangkapan itu sebenaranya dimulai
secara bersama-sama sebagai bentuk kekompakan dalam melakukan operasional di lautan. Kekompakan yang dibangun dalam waktu penangkapan itu, sebenarnya tidak ada aturan
yang tertulis, namun lebih mengedapankan pada nilai-nilai kesepahaman agar tercipta harmonisasi antara sesama komunitas nelayan. Berdasarkan penuturan beberapa informan
mengungkapkan bahwa sebenarnya waktu penangkapan tidak ada pembatasan, namun hanya lebih pada adanya upacara memperingati hari massal memulai penangkapan.
Kesepakatan dan kesepahaman dalam kegiatan ekonomi yang diatur oleh kebiasaan tidak melahirkan suatu pertentangan diantara komunitas nelayan antar etnis di
pemukiman Panimbang. Kesadaran kolektif sebagai masyarakat yang tergolog sederhana, komunitas nelayan memiliki elit-elit sentral yang mengatur jalannya sumber ekonomi
terutama dalam hal hari baik pertama penangkapan. Penentuan hari baik penangkapan ini
249
dilakukan setelah terjadinya kondisi istirahat panjang yaitu terutama pada pasca atau sesudah berlalunya musim penghujan pada bulan oktober hingga bulan Maret.
Selain kegiatan ekonomi proses penangkapan, pada komunitas nelayan juga terjadi hubungan interaksi yang sangat intensitasnya tinggi di lokasi pemasaran. Perkampungan
nelayan di Panimbang terdapat lokasi pemasaran baik di pelelangan ikan maupun di pasar tradisional yang berada di sekitar perkampungan Panimbang. Aktifitas ekonomi dalam hal
pemasaran, ditemukan dilapangan bahwa ada kelompok-kelompok pemasar hasil tangkapan yang berdasarkan kebiasaan-kebiasaan selama ini bagi komunitas nelayan.
Secara struktural komunitas nelayan ada yang memasarkan hasil tangkapannya dengan menjual langsung ke pasar dan ada pula yang memasarkan di pelelangan secara langsung
dan di jual secara terbuka. Kelompok nelayan seperti ini yang berdasarkan informasi adalah kelompok pemilik perahu dan alat tangkap sendiri.
Kelompok pemilik perahu dan alat tangkap, biasanya tidak tergantung pada pemilik modal atau kelompok pengumpul sehingga bisa dipasarkan secara langsung baik
di pasar lokal maupun di pelelangan. Lain halnya pada komunitas nelayan yang sangat menggantungkan modal dari pihak ketiga. Misalnya Asep nelayan sunda yang bergantung
modal pada Pak udin etnis Bugis yang memberikan bantuan permodalan pada Asep sebelum berangkat melaut. Asep sebagai komunitas nelayan hanya memiliki perahu dan
tidak memiliki alat tangkap yang memadai serta bekal untuk melaut, sehingga memaksa dirinya untuk mencari gantungan permodalan. Bagi Asep ketergantungan pada pemilik
modal atau yang membantu selama ini, walaupun berbeda etnis, namun tidak keberatan, karena melakukan gantungan pada siapapun aturan mainnya sama.
Dari segi aspek pemasaran Asep merasa memiliki kenyamanan bekerjasama dengan pak udin, karena aspek pemasaran tidak harus diatur dan dikondisikan oleh Pak
Udin. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan dari beberapa informan mengungkapkan bahwa yang lazimnya atau kebiasaannya kalau ada nelayan yang
menggantungkan aspek permodalan pada seseorang maka biasanya akan mengarahkan dan mengatur dari segi aspek pemasaran. Pada kasus Asep sebenarnya bisa saja juga berlaku,
kalau tidak memiliki perahu sebagai modal awal yang mendukung sebagai sarana alat tangkap.
Aspek kegiatan perekonomian dalam hal operasional penangkapan, bukan hanya dilihat dari kesamaan suku untuk menggantungkan diri dalam hal permodalan, namun
keberadaan etnis pun sangat tertib dan toleransinya sangat tinggi. Dalam hal kegiatan siklus ekonomi yang berjalan selama ini tidak pernah mengganggu aktivitas karena adanya
perbedaan suku. Kesamaan karaktersistik dan menjadi masyarakat lokal, bagi komunitas nelayan bekerja bersama-sama sudah menjadi bagian dari hal penting untuk dilakukan dan
diwujudkan. Hidup berdampingan dengan lain suku dibutuhkan toleransi agar hidup lebih seirama.
Kesimpulan Karasteristik komunitas nelayan antar etnik memiliki kesamaan dalam hal wilayah pemukiman,
pola hidup dan juga dalam hal tradisi sebagai komunitas nelayan terutama dalam hal melakukan aktifitas menangkap ikan di laut. Untuk proses sosial terjadi adaptasi melalui pendekatan
budaya dengan saling memahami serta tumbuh saling pengertian dalam menghargai nilai-nilai yang masing-masing telah diyakininya. Selain itu, faktor kekerabatan terjadi selama ini melalui
hubungan kedekatan berdasarkan pada pola pemukiman dan aktifitas yang sama. Perkawinan antar etnik, selama ini terjadi dan menjadi media untuk saling memahami dan terjadi
pembauran satu etnik dengan etnik yang lainnya.
6. DAFTAR PUSTAKA