Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed
(2)
(3)
VOLUME I
Prosiding
KONFERENSI NASIONAL SOSIOLOGI V
Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia
Padang 18
–
19 MEI 2016
GERAKAN SOSIAL
DAN KEBANGKITAN BANGSA
Tim Editor:
Jendrius (Universitas Andalas)
Emy Susanti (Universitas Airlangga)
Ida Ruwaida (Universitas Indonesia)
Bagus Haryono (Universitas Sebelas Maret)
Herlan (Universitas Tanjung Pura)
Azwar (Universitas Andalas)
e-ISBN:
ISBN: 978-602-99467-03
978-602-99467-1-0 (jil. 1)
Kerjasama:
APSSI dan Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas
Diterbitkan Oleh:
Laboratorium Sosiologi, FISIP Universitas Andalas
2016
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahuwataala, berkat
limpahan karunia dan rahmat-Nya penyusunan prosiding Konferensi Nasional
Sosiologi V ini berhasil diselesaikan. Konferensi yang mengambil tema
Gerakan
Sosial dan Kebangkitan Bangsa
dan berlangsung dari tgl 18
–
19 Mei 2016 ini,
melingkupi sub-tema yang cukup luas dan beragam. Karena itu penyusunan
prosiding ini juga disesuaikan dengan sub-tema yang ada dalam konferensi
tersebut.
Prosiding ini terdiri dari dua Volume. Volume I terdiri dari 7 BAB yakni
(BAB I
–
BAB VII), mencakup beberapa sub-tema, yakni sub-tema gerakan
perempuan, gerakan agraria, gerakan buruh, gerakan lingkungan, gerakan petani,
gerakan kelompok marginal dan gerakan politik. Sementaraitu, Volume II terdiri
dari 10 BAB (BAB VIII
–
BAB XVII) yang mencakup sub-tema yang lebih
beragam yakni gerakan keagamaan, pendidikan transformatif, gerakan pemuda,
keluarga, komunitas, gaya hidup, gender dan sub-tema lainnya.
Atas selesainya penyusunan prosiding ini, terima kasih tak terhingga
diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung mulai dari
pelaksanaan konferensi sampai penyusunan prosiding ini. Kepada pengurus pusat
Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI), Rektor Universitas Andalas,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Ketua Yayasan
dan Direktur STKIP PGRI Sumatera Barat, para editor, panitia pelaksana serta
semua pihak yang telah ikut bertungkuslumus dalam membantu pelaksaan
Konferensi Nasional Sosiologi V dan penyusunan prosiding ini yang namanya tidak
mungkin disebutkan satu-persatu, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya.
Padang, 18 Mei 2016
(5)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
VOLUME I
I. GERAKAN PEREMPUAN
1. Wahidah Rumondang Bulan
1
Fenomena Cerai Gugat = Indikasi Kebangkitan Perempuan?
2. Kustini
31
Perempuan Menggugat: Fenomena Perceraian Masyarakat Muslim
Di Indonesia
3. Yunindyawati
39
Resistensi dan Praktik Kuasa Pengetahuan Perempuan Petani Padi
Sawah Lebak dalam Pemenuhan Pangan Keluarga
4. Ida Ruwaida
58
Kemiskinan dan Aksi Kolektif Perempuan
5. Novita Saseria
71
Gerakan Sosial Dukung Ibu Menyusui Di Sumatera Barat
6. Tri Rini Widyastuti, Riris Ardhanariswari
99
Menolak untuk Menyerah: Upaya Perempuan Perajin Batik Tulis untuk
Tetap Menjaga Tradisi Batik Tulis di Kab. Banjarnegara
7. Sulsalman Moita, I Ketut Suardika
113
Relasi Struktur dan Aktor dalam Arena Kontestasi Politik Perempuan
8. Vina Salviana Darvina S, Hutri Agustiono
126
Pendidikan Politik dan Pengembangan Ekonomi Lokal Perempuan Desa
9. Syafruddin
137
Tradisi Perceraian: Ketidakadilan Gender dan Perlawanan Perempuan
Di Suku Sasak Lombok
10. Soetji Lestari, Suksmadi Sutoyo, JarotSantoso, Tri Sugiarto, Joko
Santoso, Nalfaridas Baharuddin, Rin Rostikawati
………
152
Beras dan Gerakan Solidaritas Perempuan dalam Tradisi Nyumbang
Di Tengan Monetisasi Perdesaan.
11. Rizki Takriyanti
167
Gerakan Sosial untuk mewujudkan perilaku wanita Pro Lingkungan
12. Shirley Goni
195
Kepemimpinan Perempuan pada Penyelenggaraan Pemerintahan
di Provinsi Sulawesi Utara
13. Selinaswati
202
Mobilisasi Sumber Daya dan Identitas Kelompok dalam Menolak
Ranperda Diskriminatif: StudiKasus Gerakan FKWIS
Sumatera Barat tahun 2001
14.
Indraddin
……….………...………… …..
215
(6)
Kemiskinan
15.
Suwaib Amiruddin, Titi Stiawati
………
231
Solidaritas Sosial Komunitas Nelayan antar Etnik di Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten
II. GERAKAN AGRARIA
1. Alfitri, Firman Muntaqo, Ranjasa Putra, Rogaiyah, Abdul Kholek 254
Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Pendekatan Mediasi:
Kasus Petani Desa Rengan dan Limbang Jaya dengan PTP VII
di Ogan Ilir
2. Ferdinal Asnim
266
Reforma Agraria Bidang Kehutanan: Sebuah Tinjauan Politik Simbolik
3. Herlan
280
Kerawanan Konflik Sosial Pembanginan Perkebunan Kelapa Sawit
di Kalimantan Barat
4. Siti Aminah
292
Ekologi dalam Pergulatan Tanah Ulayat Masyarakat Adat
5. Amruddin
303
Petani Kecil di Tengah Agribisnis Kapitalis
6. Sityi Maesarotul Qori’ah
313
Strategi Penghidupan Warga Dusun Bonto di Kawasan Hutan Pinus
di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
7. Iskandar Dzulkarnain
329
Heterotopia Perang Kepemilikan Tanah Bagi Masyarakat Madura:
Studi Terhadap Gerakan Sosial Dekonstruksi Makna Tanasangkol
8.Caritas Woro Murdiati Runggandini
336
Renegosisasi Masyarakat Adat di Tengah Arus Pergeseran Paradigma
dalam Pengelolaan Hutan.
9. Edi Indrizal, Muhammad Ansor
...
356
Ketundukan dalam Perlawanan: Kemasan Modernitas dan Narasi
Perlawanan Orang Akit di Riau
III. GERAKAN BURUH
1. Rio Tutri
...
372
Jerat Bagi Kaum Buruh: Imajinasi Sosiologi dalam
Melihat Gerakan Buruh
2. Anggreni Primawati
...
388
Gerakan Sosial terhadap Perlindungan Sosial Buruh Migran Indonesia
Di Malaysia
3. Sigit Rochadi
...
400
Pergerakan Pekerja Muslim: Studi terhadap Sarbumusi
dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
4. Yoyok Hendarso
...
418
Negosiasi Buruh Migran Indonesia di Perkebunan Sawit Serawak,
Malaysia
(7)
Melawan Tembok Besi Tuan tanah: Sebuah Realitas Ketidakberdayaan
Buruh Tani Melawan Hegemoni Alat Panen di Sulawesi Selatan
6.
Ikhsan Muharma Putra
461
Gerakan Kelompok Miskin dan Marginal pada Konteks Pengurangan
Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
7.
Indhar Wahyu Wira Harjo, Yogi Eka Chalid Farobi
477
Konstelasi Media Massa Lokal dalam Gerakan Penolakan
Pembangunan Hotel Rayja
IV. GERAKAN LINGKUNGAN
1. Damsar, Indrayani
...
490
Pasar Loak: Gerakan Lingkungan Global
2. Victoria Sundari Handoko
... .
500
Komodifikai Desa Wisata: Gerakan Masyarakat dalam Pengelolaan
Desa Wisata di Bejiharjo, Gunung Kidul
3. Siti Zunariyah, Akhmad Ramdon
...
512
Gerakan Sosial Warga untuk Mendorong Tata Kelola Sungai yang
Berwawasan Lingkungan
4. Rachmad K. Dwi Susilo
...
528
Modal Sosial, Jejaring Sosial dan Identitas Kolektif dalam Gerakan
Sosial untuk Konservasi Sumber Air
5. Irsadi Aristora
...
538
Melawan Asap Sebagai Hak Dasar Manusia
6. Tri Agus Susanto, Vieronica Varbi Sunundiati, Diana Dewi Sartika
.
555
Gerakan Masyarakat Pasang Surut Melestarikan Sungai: Analisis
Struktur, Kesempatan Politik, mobilisasi dan Perubahan Sosial
7. Bintarsih Sekarningrum, Yusar
...
568
Perilaku Komunitas dalam Gerakan Pungut Sampah (GPS)
di Kota Bandung
8. Lina Marina Rohman
...
577
Gerakan Rakyat Melawan Proses Pembangunan Waduk Jatigede di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
9. Lutfi Amiruddin
...
600
Gerakan Penolakan Pembangunan Hotel di Sekitar Sumber Mata Air
10.
Rusfadia Saktiyanti Jahya
...
611
Gerakan Lingkungan Penyadaran UKM Untuk Pembangunan
Berkelanjutan
11. Sulistyaningsih
...
621
Peran NGO Arupa dalam Sertifikasi Hutan Rakyat di Desa Giri Sekar,
Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul.
12. Bernardus Wibowo Suliantoro
...
638
Model Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Hutan Berperspektif
Gender Berbasis Kearifan Lokal.
13. Royke R. Siahainenia
...
646
Ruang Publik Virtual sebagai saluran Perlawanan terhadap Kapitalisme
Pertambangan
(8)
14. Miswanto
...
671
Model Pengelolaan Sampah Secara Partisipatif pada Masyarakat
Kampung Bugis, Kota Tanjung Pinang
15. Akhmad Ramdon, Kusumaningdyah, Siti Zunariyah
...
685
Kampungnesia: Media Transformasi Komunitas untuk Merawat Kembali
Kampung, Sungai dan Kota
16. Vieronica Varbi Sununiati
...
699
Diet Kantong Plastik di Kota Palembang
17. Yogi Suprayogi Sugandhi, Rini Susetyawati Soemarwoto, Mila
Mardotillah
...
717
Gerakan Sosial Melalui Rumah Sehat dan Imunisasi BCG sebagai
Langkah Menurunkan Kejadian TB di Padang
18. Evelin J.R. Kawung
729
Kaji Tindak Konsep Pembagian Kerja Antara Aparat dengan Masyarakat
dalam Program Berbasis Lingkungan ; Studi Kasus Kelurahan Malalayang
Satu Timur Kota Manado
V. GERAKAN PETANI DAN NELAYAN
1. Zaiyardam Zubir, Lindayanti, Fajri Rahman
...
740
Dari Mukjizat ke Kemiskinan Absolut: Perlawanan Petani Riau
Masa Orde Baru dan Reformasi 1970 - 2010
2. Iwan Nurhadi
...
761
Habitus Petani dan Gagalnya Gerakan Sosial di Arena Perebutan
Ruang Hidup
3.
Suparman Abdullah
...
772
Diskontinyuitas Komunitas Nelayan: Kasus Lae-lae dan Kampung
Nelayan, Kel. Untia, Makasar
4. Desi Yunita, Wahju Gunawan
...
788
Perubahan Struktur Sosial dalam Masyarakat Petani Plasma Kelapa Sawit.
5. Dhevy Setya Wibawa, Clara Rosa Pudjiyogyanti Ajisukmo, Herry
Pramono
...
810
Transformasi Sosial Komunitas Miskin di Kota Jakarta.
6.
Hartoyo
...
827
Perubahan Struktur Peluang Politik dan Strategi Adaptasi Gerakan Petani
7. Bob Alfiandi, Izar Ul-Haq
...
842
Gejala Involusi Gerakan Petani Organik: Kasus Pada Komunitas Petani
Alam, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
8. Dewi Anggraini
860
Respon Pemerintah Lokal Terhadap Gerakan Perlawanan 300 KK Petani
VI. KELOMPOK MINORITAS DAN MARGINAL
1.Elizabeth Imma Indra Dewi Windajani, Victoria Sundari Handoko,
Gregorius Widiartana
...
881
Gerakan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Melalui
(9)
2. Cici Darmayanti
898
LGBT
Identity Of Implimentation Islamic Shari’a In Aceh
3. Victoria Sundari Handoko
919
Komodifikasi Desa Wisata: Gerakan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Desa Wisata Di Bejiharjo, Gunungkidul
4. Rinaldi
...
930
Representasi Gerakan LGBT dalam Media Massa: Analisis Wacana Kritis
terhadap Pemberitaan LGBT dalam Pemberitaan Media Online
5. Ilham Havifi
...
937
Konten LGBT Di Media Sosial Dan Persepsi Kelompok Usia Muda
Dalam Berprilaku
6. R.A. Tachya Muhammad, M.Fadhil Nurdin, Budi Sutrisno
968
Gerakan Sosial LGBT di Indonesia: Sejarah dan Tahapannya
7. Fifin Triswanti, Bangun Sentosa D. Haryanto
...
982
Menguak Eksistensi Minoritas Hindu Di Antara Agama Mayoritas
Dalam Bingkai Tindakan Sosial Max Weber
8
.
Wahyu Pramono, Dwiyanti Hanandini
988
Perlawanan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Sebagai Upaya Mempertahankan
Eksistensinya Dalam Sistem Ekonomi Kota
9. Dhevy Setya Wibawa, Clara Rosa Pudjiyogyanti Ajisuksmo,
Herry Pramono
1002
Transformasi Sosial Komunitas Miskin Kota Jakarta
VII. GERAKAN POLITIK
1. Wirdanengsih
...
1020
Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Dalam Rangka Partisipasi
Politik Yang Cerdas
2.Sutrisno
...
1030
Relasi Kuasa Organisasi Sipil dengan Polisi Pasca 2000
3. Virtous Setyaka
...
1052
Relevansi Gerakan Sosial untuk Memperkuat Daya Saing Indonesia
Dalam Masyarakat ASEAN
4. Al Rafni, Suryanef
...
1071
Relawan Demokrasi dan Pendidikan Politik Transformatif
5. Robertus Robet
...
1086
Anti Intelektualisme dan Terbenamnya Gerakan Sosial
6. Andri Rusta, Putri Gemala
...
1092
Akuntabilitas Masyarakat Kota Padang Terhadap Pemilu Legislatif 2014
7. Asrinaldi
...
1119
Politik Kekuasaan Penghulu dalam Praktik Demokrasi di Sumatera Barat
(10)
BAB I
(11)
FENOMENA PENINGKATAN CERAI GUGAT = INDIKASI
KEBANGKITAN PEREMPUAN?
Wahidah Rumondang Bulan
Komunikasi, FISIP, UPN “Veteran” Jakarta [email protected]
Abstrak
Peningkatan kasus cerai gugat di banyak daerah di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir (Badilag MA, 2014) menarik didalami mengingat dalam kasus perceraian, perempuan kerap diposisikan sebagai pihak yang tersub-ordinasi (Gulardi dalam Ihromi, 1999; dan Nany Razak, 1980 dalam Fachrina, 2005). Apakah fenomena peningkatan kasus cerai gugat tersebut mengindikasikan kebangkitan perempuan? Dengan tujuan menemu-kenali alasan perempuan melakukan cerai gugat, dampak cerai gugat pada keluarga, serta respon struktur terhadap cerai gugat; studi kualitatif yang dilaksanakan pada April 2015 di Kota Padang ini juga mengelaborasi peran adat Minangkabau dalam cerai gugat karena budaya Minang dinilai menempatkan perempuan dalam posisi lebih berdaya. Hasil studi menunjukkan, meski perempuan melakukan cerai gugat, alasan tindakan lebih sebagai tindakan responsif ketimbang purposif, yaitu untuk memperjelas status pernikahan. Temuan lain, perempuan maupun laki-laki pada tiga pasangan muda yang diteliti cenderung lebih rasional baik karena faktor pendidikan maupun karena intervensi informasi dari media massa. Toleransi tiga pasangan tersebut terhadap kondisi yang tak diinginkan cenderung rendah yang mengindikasikan menurunnya ketahanan keluarga. Terkait peran adat, adat Minangkabau tidak menstimuli cerai gugat namun membantu perempuan mantap atas keputusannya melalui dukungan keluarga luas. Meskipun mulai memudar, peran keluarga luas dalam pernikahan tetap eksis dengan keterlibatan para pihak yang makin terbatas dan dengan kadar dukungan yang makin rendah (formal-normatif).
Keyword: cerai gugat, keluaga luas, ketahanan keluarga, tindakan responsif, tindakan purposif.
Abstract
The increasing number of petitions of divorce by women in many regions in Indonesia in the last decade (Badilag MA, 2014) interesting to elaborate because in case of divorce women often placed in sub-ordination position (Gulardi in Ihromi, 1999; and Nany Razak, 1980 in Fachrina, 2005). Are these indications the revival of women? With the aim to understand why women propose the divorce, the impact of divorce for family, and the structural response to the divorce by women; studied that held in April 2015 in the city of Padang also intended to elaborate the role of indigenous Minangkabau in cases of divorce by women because culture of Minangkabau assumed to place women in more equal social position. The results of the study showed that although women took initiative to divorce, the reason of action is more as responsive action rather than purposive action, namely to clarify the status of marriage. Other findings, both women and men on three pairs of young families that studied tend more rational because of their education beside the information from the media; their tolerance toward unwanted conditions generally low; and there are indications of declining of family resilience in young couples (more subjective and not substantive). Related with the role of indigenous Minangkabau, custom do not stimulate the divorce but help women convinced with their action through extended family support. Although it began to fade, role of extended family still exist in Padang City
(12)
but the parties that involved more limited and the level of involvement getting lower (formality or normative orientation).
Keyword: divorced by women, indigenous of Minangkabau, extended family, family resilience, purposive action, responsive action.
I. PENDAHULUAN
Ada yang menarik dari data yang dilansir Badan Pengadilan Agama (Badilag MA-RI) tahun 2010- 2014. Selain terjadi peningkatan angka perceraian, angka cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan pihak istri diberbagai daerah di Indonesia juga mengalami tren naik, bahkan dengan jumlah angka melampaui cerai talak (gambar 1 dan 2).
Gambar 1: Data Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014
Gambar 2: Prosentase Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat Tahun 2014 Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014
81,535 85,779 91,800 111,456 113,850 169,673 191,013
212,595 250,360
268,381
2010 2011 2012 2013 2014
Perbandingan Cerai Talak & Cerai Gugat
Cerai Talak Cerai GugatCerai Talak
30% Cerai Gugat 70%
(13)
Apa yang menjadi penyebab? Kementerian Agama selaku kementerian yang sebelumnya bertanggung-jawab menangani kasus-kasus perceraian melalui institusi strukturalnya (Kantor Urusan Agama atau KUA dan Badan Penasehat, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan atau BP4), menduga hal itu karena perubahan kebijakan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No 3 Tahun 2006. Di dalam aturan tersebut penyelesaian perselisihan suami-isteri (proses perceraian) kini tidak lagi melibatkan KUA dan BP4, akan tetapi sepenuhnya ditangani Pengadilan Agama yang sudah tidak berada di bawah Kementerian Agama. Penyelesaian permasalahan “ala” pengadilan inilah yang ditengarai menyebabkan banyak kasus perselisihan rumah tangga berakhir dengan perceraian termasuk cerai gugat, dan yang memicu pelonjakan jumlah kasus perceraian.
Dugaan lain terkait dengan kesadaran gender perempuan yang makin baik, yang sejak lama disebut-sebut sebagai pemicu. Hal itu juga diungkap George Levinger dalam Rodliyah (2011), yang mengatakan bahwa perceraian dapat disebabkan karena adanya pandangan tentang etos persamaan derajat dan tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa pandangan perempuan yang makin luas dapat melahirkan berbagai alternatif pilihan bagi perempuan apabila bercerai.
Dalam konteks itu pula peningkatan independensi perempuan mengingat pendidikan serta kemampuan mereka memenuhi kebutuhan ekonomi yang makin baik, juga dianggap menjadi penyebab. Di Australia misalnya, peningkatan kesempatan perempuan mencapai kemandirian finansial terbukti menjadi faktor penentu terjadinya peningkatan perceraian yang diinisiasi perempuan, selain karena faktor peningkatan dana jaring pengaman sosial untuk keluarga rentan finansial (termasuk keluarga bercerai) dan melemahnya stigma sosial yang melekat pada perceraian (Qu & Soriano, 2004). Realitas serupa juga terjadi di Indonesia, sebagaimana studi Rodliyah (2011) yang menunjukkan bahwa terjadi tren baru peningkatan perceraian di Indonesia. Jika sebelumnya perceraian banyak menimpa pasangan dengan pendidikan rendah, kini justru banyak terjadi pada pasangan dengan pendidikan tinggi dengan cerai gugat sebagai kasus terbanyak. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (Maret, 2016) mengamini hal tersebut dengan mengatakan bahwa berdasarkan riset terkait dikementeriannya, masalah utama retaknya hubungan suami istri di Indonesia umumnya terjadi karena istri memiliki pendapatan sendiri.
Bagaimana dengan kondisi di Kota Padang tempat dimana studi dilakukan? Menarik menyimak catatan kecil Fathur Rizqi yang mengikuti persidangan perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang selama sepuluh bulan mulai dari Mei 2011 hingga Maret 2012, semasa menjalani tugas sebagai calon hakim. Ia mendapati bahwa kebanyakan perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan yang relatif muda, yaitu kurang dari 10 tahun, dengan rata-rata usia pasangan yang bercerai berkisar di bawah 45 tahun (untuk laki-laki) dan 40 tahun (untuk perempuan).
Tentang mengenai apa yang menjadi penyebab, sayangnya Fathur Rizqi tidak menyebutkan secara spesifik mengapa terjadi banyak kasus cerai gugat. Seperti halnya data umum yang terdapat di Pengadilan Kota Padang, perceraian di Kota Padang menurutnya yang dominan karena salah satu pasangan (umumnya suami) tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya (istri dan anak-anak) selain karena salah satu pasangan (umumnya istri) terlalu menuntut dan tidak bisa menghargai hasil usaha pasangannya (suami). Ia juga mencatat adanya kasus perceraian akibat orang ketiga, yang terjadi lebih karena suami-istri tinggal berjauhan serta karena perbedaan yang terlalu mencolok antara pihak suami dengan istri (pendidikan, usia, status ekonomi, kondisi fisik). Ia juga mencatat beberapa kasus perceraian yang terjadi karena permasalahan sepele, yang menjadi fatal
(14)
karena tidak adanya keterbukaan antara suami dan istri ataupun pihak keluarga suami dan istri. Adanya campur tangan pihak keluarga yang berlebihan atau mendominasi, persoalan ketidak-jujuran antara suami dan istri dalam hal finansial (pemasukan maupun pengeluaran), buruknya komunikasi, perilaku yang buruk yang sudah dilakukan sejak sebelum menikah seperti berjudi, mabuk, suka main pukul, dan terjerat narkoba; menjadi penyebab lainnya mengapa perceraian banyak terjadi dalam kasus-kasus yang diikutinya.
Dalam konteks itulah studi ini dilakukan, yaitu mendalami alasan-alasan pihak istri mengenai mengapa mereka memutuskan melakukan cerai gugat, guna melihat apakah keputusan subjektif perempuan tersebut berkorelasi dengan isu-isu kesetaraan gender seperti yang telah dijelaskan. Selain itu, mengingat meski secara legal-formal diperbolehkan (agama maupun hukum positif) namun secara normatif perceraian terlebih lagi cerai gugat masih dinilai sebagai tindakan negatif (Fachrina, 2006); bagaimana fenomena cerai gugat dapat meningkat di Padang sementara masyarakat Minang dinilai masih kuat berpegang pada nilai-nilai transsendental. Yang tidak kalah penting, mengingat keberadaaan adat Minangkabau dengan budaya matrilineal yang khas (terutama bagi kehidupan perempuan), studi juga dilakukan untuk melihat bagaimana adat berperan dalam kasus cerai gugat yang terjadi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Normatif Cerai Gugat
Cerai gugat merupakan salah satu bentuk perceraian yang diakui di dalam Islam,
yang dikenal dengan istilah ‘khulu’,yaitu perceraian dengan tebusan atau imbalan dari istri kepada suami (QS-An-Nisa ayat 4, dan QS al-Baqarah ayat 229). Meski merupakan tindakan yang diperbolehkan, cerai gugat sebagaimana halnya cerai talak merupakan tindakan yang tidak dianjurkan (tindakan yang diperbolehkan tapi dibenci). Cerai gugat bahkan diidentifikasi lebih negatif, karena perempuan yang melakukannya dengan alasan tidak jelas terancam tidak akan mencium bau syurga (Hadist riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Hibban). Sedangkan di dalam hukum positif cerai gugat diatur di dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 20), yang menyatakan bahwa tindakan gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Cerai gugat juga disebut di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 114, yang menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
2.2 Tinjauan Teoretis Cerai Gugat
Merujuk Wong (1976), peningkatan fenomena cerai gugat secara teoretis sesungguhnya mengindikasikan terjadinya peningkatan keberanian perempuan mendobrak mitos yang ada. Mengapa? Karena sebagaimana diungkap Wong, ketika masih gadis, perempuan selalu menurut dan tergantung pada ayahnya. Ketika menikah, ia tergantung pada suaminya dan ketika menjadi janda sekalipun, ia tetap harus menurut dan tergantung pada anak laki-lakinya. Perempuan baru benar-benar bisa “berbicara” ketika ia menjadi mertua (Wong, 1976: 15).
Lalu bagaimana peningkatan keberanian perempuan dapat terjadi? Menurut Levinger (1979) sebagaimana dikutip Rodliyah (2011), hal itu diantaranya karena: (1) Adanya perubahan pandangan tentang nilai dan norma perceraian, (2) Adanya pandangan tentang etos persamaan derajat dan tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, (3) Pandangan yang semakin luas dari pihak perempuan melahirkan berbagai alternatif pilihan apabila bercerai, (4). Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari
(15)
lingkungan keluarga atau kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggan terhadap ketahanan sebuah perkawinan, dan (5) karena kemandirian ekonomi pihak perempuan.
Sedangkan mengenai bagaimana tindakan cerai gugat dapat terjadi, hal itu dapat dipahami melalui Stage Theory (Gambar 3 ).
Gambar 3. Stage Theory (ABCD Theory), Levinger (1980).
Sebuah hubungan menurut teori tersebut berlangsung dalam sejumlah tahapan, yaitu A-B-C-D-E. Tahap paling kritis terjadi ketika hubungan mengalami kerusakan (Deterioration), yaitu ketika hubungan telah berkembang sedemikian rupa sehingga terjadi ketidak-seimbangan antara cost dengan reward. Ketika hubungan telah lebih banyak menimbulkan kerugian, pada tahap itulah kemungkinan keinginan untuk mengakhiri hubungan (Ending), termasuk dalam konteks cerai gugat, dapat terjadi. Lebih detail hal itu dapat dilihat pada Model of Rational Choice in Divorce yang dikembangkan Levinger berdasarkan Rational Choice Theory, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut.
Levinger's Model of Rational Choice in Divorce
Attractions - Magnets = rewards that stem from being married
Barriers () +/- Walls = punishments or losses you'd face if you divorced. You'd have to climb over these walls if you divorced.
Alternative Attractions Lures Away From Your Marriage = something attractive that you could obtain if you were unmarried.
Positive Social Status
Loss of positive status and gain of new negative-status stigma of being divorced
Liberated status with freedom to explore relationships with others Wealth Accumulation
Division of wealth (at least by half)
Opportunity to be disentangled from family costs
Co-parenting
Co-parenting with ex-spouse -- never truly free from this role
Shared custody, alleviating some degree of burden of parenting Sex
Much less availability and
(16)
Gambar 4. Model Levinger Mengenai Rational Choice dalam Perceraian.
(http://freesociologybooks.com/Sociology_Of_The_Family/12_Divorce_and_Separation. php)
Terkait itu perlu pula ditampilkan teori Coleman tentang Rational Choice (Ritzer, 2007), yang gagasan dasarnya mengungkapkan bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada suatu tujuan dan tujuan itu (serta tindakannya) ditentukan oleh nilai atau pilihan/preferensinya (Coleman, 1990). Akan tetapi berbeda dengan Levinger yang cenderung melihat aktor bersikap kalkulatif atas hubungan yang terjalin, menurut Coleman tindakan aktor termasuk tindakan tidak rasional, karena menurut Coleman dalam
kehidupan nyata orang tak selalu berperilaku rasional. Ia mengatakan, “Asumsiku adalah
bahwa ramalan teoretis yang dibuat disini sebenarnya akan sama saja apakah aktor bertindak tepat menurut rasionalitas seperti yang biasa dibayangkan atau menyimpang dari cara-cara yang telah diamati.” Merujuk Coleman maka tindakan cerai gugat dapat dipahami dengan mempelajari apa yang menjadi tujuan tindakan cerai gugat, yang sangat ditentukan oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan yang ditetapkan pelaku cerai gugat atas tindakan; bukan hanya karena aspek rasional namun juga karena aspek tidak rasional.
2.3 Studi Cerai Gugat
Terdapat sejumlah studi cerai gugat yang relevan untuk diulas. Pertama studi Fachrina (2006) bertajuk Pandangan Masyarakat mengenai Perceraian, Studi Kasus Cerai Gugat pada Masyarakat Perkotaan (termasuk Kota Padang), yang menunjukkan bahwa masyarakat masih memposisikan pihak istri sebagai pihak yang bersalah apabila terjadi perceraian. Merujuk hasil studi tersebut penilaian masyarakat tentu akan menjadi lebih negatif terhadap cerai gugat, mengingat perceraian justru diinisiasi pihak wanita. Namun merujuk studi lanjutan yang dilakukan (2012), masyarakat ternyata cenderung mendua. Meski tidak setuju terhadap tindakan perceraian (termasuk cerai gugat), yaitu 73,3% tidak-setuju perceraian dan 80% menganggap perceraian harus dihindari, namun mereka bersikap ambigu jika perceraian terjadi pada teman/tetangga. Mayoritas bersikap biasa saja dan dapat menerima.
Studi kedua adalah studi Nunung Rodliyah (2011) tentang Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi, Studi Kasus di Kota Bandar Lampung. Dalam studi disertasi tersebut Rodhiyah menemukan bahwa kesadaran gender kaum wanita (muslim) telah menimbulkan fenomena baru, yaitu jika sebelumnya perceraian lebih banyak terjadi pada mereka dengan tingkat pendidikan rendah, pada kasus yang ditelitinya justru terjadi pada pasangan Muslim berpendidikan tinggi dengan kecenderungan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai talak. Kesadaran gender dimaksud adalah kesadaran hukum dan hak-hak perempuan.
Health Support and Stress Buffer
Loss of health support and additional stress from divorce process
Different types of stressors and relief from pre-divorce stresses Stay Married Formula
↑Attractions ↑Barriers ↓Lures
Divorce Formula
(17)
Studi lainnya adalah studi tentang Kasus Cerai Gugat Suami Isteri Berpendidikan Tinggi di Kecamatan Depok, Sleman, Jogjakarta Tahun 2007-2009; yang dilakukan oleh Sun Choirul Ummah. Menurut Sun terdapat faktor internal dan faktor eksternal penyebab cerai gugat. Untuk faktor internal diantaranya terkait dengan persepsi terhadap kesetaraan gender dari pihak istri, sedangkan untuk faktor eksternal diantaranya karena campur tangan pihak ketiga baik orang tua maupun kerabat dekat. Studi lainnya dilakukan Nunung Susfita, berjudul Cerai Gugat di Kalangan Masyarakat Kota Mataram, Studi Kasus di Peradilan Agama Kelas 1A Mataram Tahun 2004-2005. Berdasarkan hasil studi Susfita penyebab terbanyak cerai gugat karena faktor ekonomi (40%), diikuti faktor akhlak (25%) dan faktor KDRT (10%). Mengingat lokus studi hal ini dapat dipahami, meski kondisi serupa belum tentu terjadi di Kota Padang.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif jenis studi kasus (tiga kasus cerai gugat), dengan observasi dan wawancara mendalam sebagai metode utama pengumpulan data. Sebagai catatan mengingat usia kritis perkawinan berada pada rentang usia pernikahan 1-5 tahun masa perkawinan, kasus yang dipilih adalah kasus dengan usia pernikahan 1-5 tahun dan telah bercerai maksimal 3 tahun terakhir dengan pertimbangan bahwa informan masih cukup baik mengingat proses perceraian yang terjadi dan bahwa proses perceraian pada rentang waktu tersebut sudah diputus oleh pengadilan. Sebagai key informan adalah pihak istri selaku pelaku cerai gugat, serta informan lainnya yaitu suami sebagai pasangan yang dicerai gugat, atau unsur keluarga dekat yang mendampingi proses cerai gugat (suami tidak dijadikan key informan mengingat dalam kasus cerai gugat umumnya keberadaan suami sulit untuk diketahui atau jika diketahui sulit untuk diajak berkomunikasi), tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural pengadilan agama, serta pejabat Kankemenag Kota Padang termasuk pejabat KUA/penghulu. Selain itu juga dihimpun data pendukung baik dari literatur, dokumen, dan laporan dari institusi terkait, maupun pemberitaan media massa. Selain di Kota Padang, studi Litbang Kemenang yang dilakukan pada April 2015 ini juga dilakukan di beberapa daerah lainnya, namun khusus untuk Kota Padang juga didalami peran adat dalam fenomena cerai gugat yang terjadi.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum.
Sebagaimana terjadi di hampir banyak daerah di seluruh Indonesia, terdapat trend peningkatan angka cerai gugat di Kota Padang dari tahun ke tahun (2008-2013), yaitu:
Tabel 1
Kasus Perceraian di Kota Padang Tahun 2008 – 2013
TAHUN JUMLAH
PERKARA
CERAI TALAK CERAI GUGAT
Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase
2008 771 261 38 424 62
2009 728 246 35 462 65
2010 851 278 33 573 67
(18)
2012 1042 354 34 688 66
2013 1052 351 33 701 67
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Klas I A Padang, tahun 2008-2012 (data diolah)
Mengenai apa yang menjadi penyebab, tak ditemukan data yang secara spesifik menyebut faktor terjadinya cerai gugat. Data yang tersedia hanya menyebut penyebab perceraian secara umum, yaitu tidak adanya keharmonisan dan tidak ada tanggung-jawab, sebagai penyebab utama mengingat selalu muncul dengan frekuensi tertinggi selama kurun waktu 2010-2014. Selain itu terdapat faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, dan cemburu serta krisis akhlak, poligami, dipenjara/dihukum, kekejaman jasmani cacat biologis, KDRT, dan penganiayaan yang muncul dengan frekuensi relatif rendah (tabel 2). Meski tidak terdapat data spesifik tentang penyebab cerai gugat, mengingat kasus cerai gugat cukup dominan terjadi, data tersebut dapat dijadikan sebagai informasi umum.
Tabel 2
Penyebab Perceraian di Kota Padang Tahun 2010-2014
No Penyebab Perceraian 2010 2011 2012 2013 2014
1. Poligami Tidak Sehat 2 4 5
2. Krisis Akhlak 8 31 35
3. Cemburu 2 22 68 16 18
4. Ekonomi 72 126 42 39
5. Tidak Ada Tanggung-jawab 143 328 468 243 169
6. Kawin Dibawah Umur 3
7. Dihukum/Dipenjara 2 1
8. Cacat BIologis 3
9. KDRT
10. Gangguan Pihak Ketiga 30 18 76 132 127 11. Tidak Ada Keharmonisan 301 322 304 548 693
12. Penganiayaan 2
13. Kekejaman Jasmani 2 31 18
Sumber: Pengadilan Agama Padang Tahun 2014 (data diolah).
4.2. Proses Mediasi.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2008, Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian termasuk cerai gugat, dilakukan melalui proses mediasi yang berlangsung maksimal 40 hari. Untuk kasus cerai gugat, proses mediasi tidaklah mudah dilakukan mengingat dalam banyak kasus cerai gugat, pihak suami umumnya tidak datang sementara proses mediasi mensyaratkan kehadiran kedua-belah pihak. Karenanya proses mediasi untuk cerai gugat relatif sangat jarang terjadi, untuk tidak mengatakan tidak pernah dilakukan. Karena itu pula penyelesaian kasus cerai gugat relatif lebih cepat, dapat diselesai putus dalam waktu kurang dari satu bulan!
(19)
Proses mediasi sendiri ditangani tiga hakim, yang sejak tahun 2013 juga melibatkan 2 orang dari unsur non hakim, yang diambil dari hakim senior yang sudah pensiun. Proses mediasi sebagaimana diungkap Ali Amar SH, MHI selaku hakim mediator dari unsur non hakim, diawali dengan disidangkannya perkara yang dilanjutkan dengan penyerahan berkas ke hakim mediator. Mengingat banyaknya kasus, rata-rata hakim mediator menangani 20 perkara setiap bulannya. Karena hal itu proses mediasi (umumnya untuk kasus cerai talak) tidak terlalu efektif, meski beberapa kasus dapat mencegah terjadinya perceraian.
4.3. Peran Adat. 1
Dalam adat Minangkabau, terdapat satu institusi yaitu qodhi atau penghulu, yang dijabat oleh mereka yang dinilai memiliki kepahaman yang baik tentang hukum Islam yang kepemimpinannya berjenjang mulai ditingkat kaum hingga ditingkat Nagari. Qodhi secara umum berperan sebagai tempat kembali bagi suatu kaum umtuk mendapatkan pertimbangan hukum dan karena hal itu pula qodhi kaum dan Nagari dalam praktek sehari-hari kini difungsikan sebagai P3N atau pembantu penghulu.
Sebagaimana tergambar dalam falsafah Minang, rumah bakali, kampung batuo
(rumah atau kaum pasti ada kepemimpinannya, begitu juga kampung atau Jorong pasti ada kepemimpinannya). Penyelesaian permasalahan dilakukan pertama-tama ditingkat kaum, jika tidak selesai baru dibawa ke tingkat jorong, dan jika tidak juga selesai di bawa Jorong, selanjutnya di bawa ke Nagari.
Dalam penanganan berbagai masalah tersebut qodhi memegang peranan penting, yaitu mengurusi masalah perkawinan atau kehidupan berkeluarga. Sebagai contoh jika seorang perempuan suaminya tidak pulang ke rumah paling lama tiga hari, maka pihak ninik-mamak akan mengusut untuk mencari tahu mengapa hal tersebut terjadi. Perempuan yang suaminya tidak pulang akan ditanyai, begitu juga pihak sumando atau keluarga suami. Jika ditemukan masalah, kedua belah pihak akan menerima nasehat dari ninik-mamak agar masalah dapat diselesaikan, sehingga dengan cara ini masalah sejak awal sudah dapat dicarikan jalan keluarnya (tidak perlu berujung dengan perceraian). Jika masalah tidak dapat selesai ditingkat kaum (diistilahkan dengan ranji keturunan), masalah dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ditingkat Jorong, dan dari jorong baru dibawa ke Nagari. Praktek ini kini sayangnya tidak lagi berjalan, bahkan ada kecenderungan untuk membawa masalah langsung ke Pengadilan Agama mengingat kebijakan yang ada, bahkan tanpa perlu menanyakan BP4 Nagari. Informan menduga hal ini ikut berkontribusi pada banyaknya pertikaian suami-istri yang berujung menjadi perceraian (cerai talak maupun cerai gugat), dengan kata lain menjadi salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya perceraian.
Terkait dengan keterlibatan ninik-mamak dalam kehidupan berkeluarga, masyarakat Minang meyakini bahwa para ninik mamak (diistilahkan sebagai bundo kandung) fungsinya diibaratkan sebagai pemegang anak kunci rumah tangga, yaitu mereka yang memegang (perlu mengetahui, pen) segala seluk-beluk persoalan rumah-tangga yang terjadi pada para kemenakannya. Karena pertalian hubungan ini muncullah perasaan ado raso badunsanak, rasa batatanggo, rasa berkorong kampuang, yang memberi efek orang
tidak mudah mengajukan perceraian. “Saya akan bercerai dengan anaknya, padahal istri saya kemenakan bapak saya.” Rasa inilah yang diperhatikan di Minangkabau, yaitu bahwa
kalau bercerai hancurlah persaudaraan, mengingat segala macam ada sangkut-pautnya. 4.4. Uraian Kasus
1 Hasil wawancara dengan H. Aresno Dt. Andomo, S. Ag pada 18 April 2015, Ketua Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Pariangan (Nagari Tuo Minangkabau), Tanah Datar. Selain itu narasumber sudah bertugas di KUA selama 19 tahun dan pernah menjadi KUA teladan.
(20)
Dalam studi ini didalami tiga kasus cerai gugat, yaitu kasus EL-OS, IK-IB, dan Fat-Fik, yang masing-masing berkontribusi memberi gambaran spesifik mengenai fenomena yang dieksplore.
4.4.1. Kasus EL-OS: Dominasi Keluarga Suami atas Suami.
Masa Perkenalan hingga Pernikahan. EL merupakan perempuan terdidik yang menamatkan program diploma tiga (D3) pada tahun 2005 dan setelah bekerja melanjutkan pendidikannya (tahun 2010) hingga tamat S1. Lahir dan besar di Padang, adat Minang di dalam keluarga EL tidak lagi dipraktekkan mengingat keluarga ibunya lama merantau ke Medan. Meski sudah tidak melaksanakan adat Minang, mamak (paman EL yang tinggal di Pondok Gede) masih melaksanakan peran penting. Saat EL hendak memutuskan apakah akan menikah dengan OS atau tidak, peran mamak EL sangat dominan. Mamak EL satu-satunya anggota keluarga yang bertemu langsung dengan OS, yang dimungkinkan karena Mamak EL tinggal di Pondok Gede sementara OS di Bekasi, Mamak EL lah yang ditemui OS dan keluarga (Ibu OS dan kakak OS) untuk meminta agar EL bersedia menjadi istri OS. Tentang perkenalan EL dengan suami (OS), terjadi melalui perantaraan teman kampus EL yang meminta EL mencermati profil OS pada akun FB milik OS mengingat EL dan OS tinggal berjauhan. EL di Padang, sementara OS di Tambun, Bekasi. Setelah OS menghubungi EL lewat telpon sebagai tanda ketertarikannya, perkenalan dilanjutkan dengan menggunakan fasilitas chatting baik melalui FB maupun HP (video call). Karena keduanya merasa mantap, EL meminta OS berkunjung ke rumah mamak EL (kakak ibu EL) yang tinggal di Jakarta untuk berkenalan. OS datang ke rumah Mamak EL ditemani ibu dan kakak kandungnya (OS anak kedua dari dua bersaudara) serta suami kakaknya (kakak ipar OS).
Setelah mamak EL memberi respon positif terhadap OS dan kelaurga, EL mantap meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Menjelang hari raya pada Juni 2012 EL dan OS pun menikah. Sebagaimana tradisi Minang, prores diawali dengan silaturahim keluarga laki-laki ke rumah perempuan, sebagai pertanda persetujuan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, dan dilanjutkan dengan kedatangan keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki untuk meminang (manjapuik).
Tentang waktu pelaksanaan pernikahan, EL sebenarnya menginginkan agar pernikahan dilaksanakan di akhir tahun, yaitu dibarengkan dengan kakak pertama EL yang juga akan menikah. Alasan lain karena kuliah EL belum selesai. Akan tetapi karena OS dan keluarga (terutama kakak OS) tidak berkenan, EL dan keluarga mengalah. Bibit-bibit konflik berupa adanya intervensi kakak (keluarga OS) yang berlebihan sebenarnya mulai tampak, akan tetapi EL dan keluarga tidak menyadari. Tentang hal ini paman EL mengatakan,“Kalau saya liat, keluarganya sih bagus-bagus saja. Hubungan mereka bersaudara kelihatan akrab, baik sekali. Cuma kalau menurut saya penyebab masalah EL itu karena sangat baiknya hubungan mereka. Terlalu dekat. Karena ibunya hanya punya
dua anak. Inilah yang menurut saya penyebabnya.”
Pada awal pernikahan, EL dan OS sudah langsung berhadapan dengan ujian berat. OS diberhentikan dari tempat bekerja beberapa hari saja setelah pernikahan. Karena suami tidak lagi bekerja, tiga bulan setelah pernikahan, EL yang tetap tinggal bersama ibunya untuk menuntaskan studi dan sekaligus mengurus pemberhentian dirinya dari tempat bekerja, harus membiayai sendiri kebutuhan dirinya. Bahkan ketika EL datang ke Jakarta menyusul suaminya untuk sementara waktu (hanya tiga minggu mengingat skripsi EL meski sudah selesai masih belum diujikan), EL terpaksa menggunakan uang simpanan pribadi (uang pesangon) untuk kebutuhan sehari-hari (termasuk membeli tiket Jakarta-Padang PP dan keperluannya selama di Jakarta, sebagian dari keperluan OS, bahkan keperluan keluarga OS mengingat EL tinggal satu atap dengan mereka (kakak OS serta ibu OS). Akibatnya uang pesangon EL habis untuk membayar aneka kebutuhan tersebut.
(21)
Keributan mulai terbuka saat EL untuk sementara waktu tinggal bersama OS di rumah kakak OS; dan semakin menjadi-jadi saat EL kembali datang ke Jakarta beberapa bulan kemudian, segera setelah urusan kuliahnya benar-benar rampung dan ia sudah berhenti dari bekerja. Sumber utama konflik adalah keinginan EL untuk tinggal terpisah dari keluarga OS (tidak tinggal di rumah kakak OS), yang sebenarnya merupakan kesepakatan EL dan OS sebelum menikah. Selain itu EL merasa tidak nyaman mengingat EL dan OS bukan tinggal di rumah orang tua OS, akan tetapi di rumah kakak OS yang sudah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Hal lain karena OS sudah memiliki rumah sendiri meskipun kecil, serta karena EL dan OS sudah mencari kontrakan (dan membayar uang muka) sehingga EL tidak melihat ada alasan mengapa mereka harus bertahan tinggal di rumah kakak OS.
Keributan demi keributan terjadi. Bukan hanya dengan kakak OS, belakangan juga melibatkan ibu OS. Masalah pun berkembang dari ketidak-setujuan EL dan OS keluar dari rumah hingga perilaku sehari-hari EL yang selalu dinilai buruk. Menurut penuturan EL, kakak dan ibu OS memperlakukannya dengan tidak baik. Berbagai urusan rumah-tangga di serahkan pengerjaannya kepada EL sementara EL sedang hamil. OS yang awalnya membela EL belakangan tampak mendua bahkan akhirnya kerap membela kakak dan ibunya. Apapun yang dilakukan EL dinilai salah.
Konflik memuncak ketika EL dan OS akhirnya pindah ke rumah OS. Tapi hanya berlangsung tiga minggu, setelah itu EL diminta OS pulang ke Padang dengan alasan agar dapat melahirkan di Padang padahal sebelumnya OS meminta orangtua EL datang ke Jakarta untuk menemani EL melahirkan. Ketika EL sudah di Padang (sebelum melahirkan), ibu OS sempat datang ke Solok (ke rumah kerabatnya) bahkan tinggal cukup lama (hingga lebaran). Akan tetapi Ibu OS tidak mau mendatangi EL, bahkan meminta EL yang mendatangi Ibu OS di Solok. Mengikuti nasihat OS agar EL mendatangi ibunya, meski berat mengingat kehamilan EL sudah memasuki usia delapan bulan akhir, EL pergi ke Solok ditemani ayahnya. Sesampai di Solok EL tidak berhasil bertemu ibu OS karena ibu OS pergi entah kemana. Belakangan EL tahu bahwa ibu OS sengaja bersembunyi karena tidak ingin bertemu.
Ketika lebaran, EL dan keluarga datang mengunjungi keluarga OS di Solok dan ibu OS yang masih tinggal disana. Akan tetapi EL hanya menerima kemarahan, karena dinilai tidak tahu adat. EL hanya membawa kue-kue dan tidak membawa makanan lengkap sebagaimana kebiasaan di keluarga OS. Saat lebaran, OS juga datang ke Padang. Meski sempat bermalam di rumah orang tua EL, akan tetapi OS lebih banyak tinggal di Solok. Saat hari raya itu pula EL mendapat informasi dari kerabat OS di Solok bahwa orang-tua dan kakak OS serta OS sudah tidak menyukai EL dan akan menceraikan EL setelah EL melahirkan.
Ketika EL melahirkan, OS yang sudah kembali ke Jakarta datang ke Padang. Akan tetapi karena bangun kesiangan, ia ketinggalan pesawat dan terpaksa dipinjami uang untuk membeli tiket oleh orang tua EL agar dapat berangkat ke Padang karena mengeluh tidak mempunyai uang. OS yang hanya semalam tinggal di Padang kembali ke Jakarta karena harus bekerja, adapun kakak dan ibu OS tidak pernah mau melihat anak EL hingga kini. EL sudah mengikuti arahan OS untuk mengirim SMS kepada Ibu dan kakak OS untuk memberitahu bahwa ia sudah melahirkan. SMS EL tidak pernah dibalas. Satu-satunya SMS yang dikirim ibu OS berisi luapan kemarahan dan sumpah-serapah, diantaranya menyebut anak EL sebagai anak setan.
Setelah OS mentalak EL tak lama setelah EL melahirkan, EL menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya. Sehari setelah mentalak EL (melalui telfon) OS sempat mengirim SMS kepada EL mengajak rujuk dengan persyaratan EL dan keluarga harus datang ke Jakarta karena Ibu dan kakaknya tidak mau datang menemui EL dan
(22)
keluarga di Padang. EL dan keluarga menilai hal tersebut sebagai penghinaan. Mereka mendiamkan saja dan menunggu apakah OS akan mendatangi anak dan istrinya. Setelah itu praktis tidak ada kontak antara EL dengan OS, hingga EL melakukan gugatan cerai. Selama itu pula OS tidak pernah mengirim uang. elakangan tersiar kabar bahwa OS sudah menikah dan sudah pula memiliki anak.
Proses Gugatan Cerai. Proses gugatan cerai tidak berlangsung lama. Setelah EL menceritakan perihal masalah rumah-tangganya tak lama setelah OS menyatakan talak kepadanya melalui telpon, kedua orang tua dan mamak EL yang tinggal di Jakarta dapat menerima keinginan EL untuk menggungat cerai. Hal itu karena setelah OS menyatakan talak tidak lagi ada kabar berita dari OS dan mereka melihat EL memerlukan kejelasan status untuk masa depannya. Gugatan cerai dilakukan pada Mei 2014, sementara SK keluar pada Agustus 2014. Menurut penuturan pihak PA, keputusan dapat lebih cepat karena pihak laki-laki (OS) yang tinggal di Jakarta tidak pernah datang dalam persidangan meski surat undangan sudah dilayangkan dan dinyatakan sampai atau diterima oleh pihak yang bersangkutan. Selama proses gugatan cerai EL didampingi oleh ayahnya, sesekali ditemani sepupunya yang juga bertindak sebagai saksi dalam proses cerai gugat tersebut.
Paska Gugatan Cerai. Sejak kembali ke rumah orang tua untuk melahirkan hingga akhirnya suami mentalak lewat telepon dan EL mengajukan cerai gugat, EL tinggal di rumah orang tuanya bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan juga adik-adiknya. Peran pengasuhan karena hal itu ditangani bersama oleh orang tua dan kakak serta ipar dan adik-adik, yang menyayangi anak EL sebagaimana layaknya menyayangi anak dan kemenakan. Karena hal itu EL tidak terlalu menghadapi masalah terkait pengasuhan, mengingat adanya peran dari keluarga besar.
Problem yang agak berat dirasa EL terkait masalah ekonomi karena ia tidak bekerja dan tidak mempunyai tabungan saat ditelantarkan suaminya. Akan tetapi karena EL menilai kejelasan status pernikahan lebih penting dan ia yakin akan memperoleh pekerjaan mengingat ia sebelumnya sudah punya pengalaman kerja serta adanya dukungan penuh dari orang tua, kakak, adik serta kerabat termasuk mamaknya yang tinggal di Pondok Gede; EL mantap dengan keputusannya menggugat cerai. Tak lama setelah gugatan cerai dilakukan EL yang sudah mengirimkan sejumlah lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan akhirnya mendapat panggilan kerja. Ketika studi dilakukan, EL sedang melewati masa job-training dan optimis dapat terus bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Keberadaan keluarga besar dalam pengasuhan anak juga membantu EL berkonsentrasi penuh pada pekerjaan, karena ia dapat meninggalkan anak di rumah dengan tenang saat ia bekerja mengingat anak didampingi oleh orang-orang yang menyayanginya (nenek dan tantenya). Lingkungan sekitar begitu pula kerabat tidak seluruhnya tahu bahwa EL sudah bercerai bahkan ia yang melakukan gugatan cerai. “Biarlah mereka tahu sendiri. Saya tidak ingin ramai-ramai (membicarakannya, pen). Tidak ada gunanya…” Namun mereka yang tahu umumnya memahami posisi EL dan berempati padanya. Karenanya EL tidak mendapat perlakuan negatif dari sekitar atas tindakan cerai gugat yang dilakukannya. Menurut EL kalaupun orang-orang yang kini belum tahu bahwa dirinya sudah bercerai nantinya tahu, EL yakin mereka akan memahami jika diberi penjelasan.“Sekarang masyarakat sudah pintar. Kalau diberitahu akan paham.”
EL kini hanya ingin membesarkan anaknya dan menekuni pekerjaannya dengan baik dan belum berfikir apakah akan menikah lagi atau tidak. Ia yakin akan dapat melewati masa sulit yang kini dialami dengan baik, diantaranya karena dukungan penuh keluarga besar. “Belum ada terpikir (untuk menikah lagi, pen). Mau konsentrasi membesarkan anak dan bekerja. Tapi saya optimis saya bisa. Saya bersyukur papa dan mama serta kakak dan
adik serta uwo di Jakarta dan famili lain sangat mendukung… Saya merasa lebih baik.
(23)
4.4.2. Kasus IK dan IB: Campur Tangan Keluarga Perempuan atas Perempuan.
Masa Perkenalan hingga Pernikahan. IK (31 tahun) berpindidikan S1, usia dua tahun lebih tua dari IB, berasal dari keluarga berada. Ayahnya bekerja di Pemprov Sumatera Barat dan pernah menjabat sebagai kapala dinas. Ibunya pun orang yang berpendidikan, yaitu guru di sebuah SLTA, yang sengaja pensiun dini agar dapat mengurus anak dan cucunya. Secara ekonomi IK tergolong cukup mampu. Sejak sebelum menikah sudah bekerja, yaitu sebagai tenaga MLM pada sebuah produk herbal yang cukup ternama di Kota Padang.
Adapun IB, tingal dan lahir di Padang Panjang meski berasal dari Pariaman. Orang tua lama merantau ke Bukit Tinggi, sehingga kerap merasa lebih sebagai orang Bukit Tinggi ketimbang orang Pariaman. Sebagaimana halnya IK, IB berasal dari keluarga terpandang dan cukup mampu. Bapaknya mantan rektor di salah satu universitas negeri di Sumatera Barat, sementara ibunya kini dekan di salah satu perguruan tinggi negeri. Lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, IB yang menyukai seni sangat halus perasaannya. Ia mengenal IK sebagai teman satu kampus dan telah menjalin hubungan beberapa tahun selama mereka kuliah hingga akhirnya menikah.
Menikah dengan perayaan cukup mewah mengingat kedua orang tua pasangan suami istrri ini merupakan pejabat terpandang, IK dan IB yang setelah menikah tinggal di rumah ibunya semula merupakan pasangan yang cukup berbahagia. Masalah mulai muncul karena IK tidak puas dengan keuangan IB yang dinilainya tidak memadai. IB yang seniman menurut IK tidak bekerja maksimal, sehingga IB hanya bisa membawa pulang uang sedikit. IK menilai IB malas dan tidak bertanggung-jawab, namun dalam perspektif IB dan keluarga persoalan tidak seperti itu. Tentang tidak bekerja maksimal, IB yang bekerja dibidang seni memang memiliki dinamika pekerjaan berbeda dengan pegawai kebanyakan. Ia tidak beroleh uang setiap bulan secara rutin, akan tetapi tergantung pada pertunjukkan yang diselenggarakan. Semenetara itu IB menilai IK tidak dapat memahami keinginannya untuk berusaha, karena terlalu memilih-milih jenis pekerjaan. Ketika IB hendak membuka toko misalnya, IK keberatan karena menilai tidak layak dengan kondisi ekonomi dirinya dan keluarga.
Perbedaan pandang juga terjadi mengenai apa yang menjadi penyebab retaknya rumah-tangga IK dan IB. Jika menurut IK karena IB malas dan kurang berusaha, keluarga IB menilai persoalan karena IK kurang menghargai IB. IK dan IB yang tinggal di rumah orang-tua IK paska menikah menurut keluarga IB kerap memperlakukan IB dengan tidak baik. IB yang merupakan anak dari keluarga terpandang karenanya merasa terhina. Sebagai contoh ketika kakak iparnya pulang bekerja, IB diberi tugas membuka dan menutup pintu garasi. IB melalui lisan orang-tuanya menilai IB kurang mendapat pelayanan yang baik. Ia diperlakukan sebagai orang yang tinggal menumpang dan bukan sebagai suami (tidak ada keleluasaan mengambil lauk-pauk dan makan seolah dicatu). IK juga kerap bicara dengan suara keras sementara IB yang sangat halus dan perasa tidak pernah diperlakukan seperti itu di rumah orang tuanya. “Anak saya tidak dihargai dirumah isterinya. Kita harus
menyadari bahwa perempuan memang di bawah laki-laki kalau di Minang ini… akan
tetapi karena sekarang perempuan sudah merasa tinggi, laki-laki jadi kurang dihargai...” Konflik antara IB dan IK relatifbersifat tidak terbuka. IB yang pendiam lebih banyak memendam rasa. Ketika kesabarannya hilang, ia menghindar dengan memilih pulang ke rumah orang-tuanya. Puncaknya ketika ia meninggalkan rumah isteri dan pergi ke luar Padang. Saat itu IB sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan karena merasa sudah tidak lagi ada kecocokan. IB pergi dari rumah pada saat IK sedang hamil enam bulan dan tidak lagi pernah ada kontak dengan IK hingga IK mengajukan gugatan cerai. IB bukan tidak ingin memberi nafkah setelah ia pergi dari rumah, namun menurut keluarga IB, IK
(24)
selalu menampik pemberian IB karena merasa sudah cukup secara materi. IB menyimpan uang yang sedianya diberikan kepada IK untuk biaya pengasuhan anaknya, dengan rencana akan diberikannya kelak jika waktunya lebih kondusif.
Gugatan cerai. Gugatan cerai diajukan pada Februari 2015 dan sudah mendapat SK putusan pada bulan Maret (kurang dari satu bulan). Sebagaimana diungkap ibu IB, putusan terlalu cepat bahkan mereka tidak tahu bahwa putusan sidang sudah dikeluarkan karena hanya sekali menerima panggilan sidang. Mereka masih menunggu-nunggu pemanggilan berikutnya, bahkan ibu IB menunggu kesempatan untuk dapat bersaksi, sementara putusan ternyata sudah keluar. Saat sidang pertama IB memang tidak datang karena khawatir kemarahannya terbuka di forum selain karena bekerja dan tinggal di luar kota. Namun ia tidak menduga bahwa itu menjadi panggilan sidang satu-satunya dalam proses cerai gugat tersebut dan keputusan segera keluar. Selama proses cerai gugat, IK ditemani ibu dan kakak laki-lakinya yang mendukung penuh keputusan IK dan yang sekaligus menjadi saksi selama proses persidangan.
Paska Cerai Gugat. IK yang tinggal bersama ibu dan kakaknya yang juga sudah menikah dan mempunyai anak, sebagaimana halnya EL, banyak terbantu dengan keberadaan keluarga luas (ibu dan kakaknya) terutama dalam peran pengasuhan. Untuk ekonomi IK juga banyak terbantu, selain ia juga mempunyai penghasilan tetap meski tidak banyak. Respon masyarakat sekitar tempat IK tinggal tidak terlalu terlihat mengingat IK tinggal di perumahan elit yang cenderung agak individualis. Selain itu keberadaan orang-tua IK yang merupakan tokoh menyebabkan IK tidak terlihat memiliki beban dengan keputusan cerai gugat yang dilakukan. Saat ditanya mengenai perasaan dirinya, IK menjawab bahwa ia kini merasa lega karena sudah resmi dapat berpisah dari IB. IK sama sekali tidak mengajukan tuntutan pembiayaan (nafkah) kepada IB paska bercerai, yang menurut penuturan IK dilakukan agar proses dapat berlangsung cepat sebagaimana diutarakan petugas PA. Karena hal itu dalam putusan cerai IB sama sekali tidak diwajibkan memberi nafkah kepada IK, meski IK ditetapkan mendapatkan hak pengasuhan.
4.4.3. Kasus FAT dan FIK: Isteri dengan Pendidikan Rendah dan Usia Relatif Muda
Proses Perkenalan hingga Pernikahan. Berbeda dengan EL dan IK yang berpendidikan tinggi (sarjana), Fat hanya taman SLTA, itu pun setelah ia bersekolah di enam sekolah, karena setiap tidak naik kelas pindah sekolah. Menikah pada usia 19 tahun, Fat secara emosional tidak stabil (meledak-ledak). Saat diwawancarai Fat nampak masih sangat geram terhadap mantan suaminya. Ketika nama FIK disebut, kemarahan Fat langsung terlihat.
Fat merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Keluarga Fat dapat dikatakan secara ekonomi kurang. Kakaknya sempat bekerja sebagai buruh di Jakarta, akan tetapi kini menanggur dan tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Minturun, yang letaknya agak di pinggir Kota. Sedangkan orang tua Fat hanya buruh tani (ladang) dengan penghasilan terbatas. Fat kini bekerja pada home industri didepan rumah, yaitu membantu pengerjaan pengemasan penganan yang diproduksi home industri tersebut.
FIK berasal dari keluarga dengan status sosial rendah. Berasal dari keluarga besar dengan jumlah saudara hingga dua belas orang, bapak dan ibu Fik yang bekerja sebagai buruh tani (ladang) tidak mengecap pendidikan cukup. Bapak Fik yang sudah cukup berusia bahkan tidak dapat mengingat nama anaknya (apalagi urutan kelahiran anak-anaknya), bicara dengan tutur kata yang agak kasar dan dengan suara keras, yang sekaligs menunjukkan kemampuan intelektual dan status sosial ekonomi keluarga tersebut.
FIK menikah pada usia 24 tahun (saat bercerai usia 27 tahun) dan sudah mempunyai pekerjaan cukup baik disebuah pabrik besar di Kota Padang pada saat menikah
(25)
dan masih bekerja disana hingga kini. Perkenalan Fat dan Fik difasilitasi oleh kerabat Fik, yang kebetulan kenal baik dengan Fat. Perkenalan berlangsung setahun lebih, hingga kemudian keduanya memutuskan meneruskan ke jenjang pernikahan. Mereka menikah pada Februari 2011, dikaruniai satu anak yang lahir pada Juli 2012.
Setelah menikah, Fat dan Fik sebagaimana tradisi Minang, tinggal di rumah perempuan (Fat). Pernikahan mereka awalnya penuh kebahagiaan. Akan tetapi karena Fat suka membentak-bentak, berteriak, meraung-raung bahkan pernah berguling-guling dipelataran saat marah; keributan demi keributan tak terhindarkan. Persoalan kecil menjadi besar karena mendapat respon berlebihan dari Fat. Selain suka mengamuk, Fik mengeluhkan Fat yang kerap datang ke kantor Fik dan mengamuk disana dan membuat Fik malu. Adapun Fik menurut Fat berubah kasar setelah menikah karena terlibat perjudian. Konflik memuncak ketika Fik meninggalkan rumah Fat dan membawa semua barang-barangnya, sebagai pertanda bahwa ia sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya dengan Fat. Fat yang tidak terima mendatangi Fik dan mengamuk di rumah Fik, meminta Fik kembali ke rumah. Fik tidak menggubris. Kondisi bertambah parah karena bapak Fat juga bereaksi keras, melabrak Fik sambil membawa parang. Fik tidak juga kembali hingga Fat melahirkan, bahkan hingga anaknya sudah bisa berjalan. Sesekali Fik ada memberi nafkah kepada Fat dan hal itu memicu kemarahan Fat dan mendorong Fat melabrak Fik ke kantor. Proses Cerai Gugat. Karena Fik tidak kunjung kembali dan tidak memberi nafkah, Fat atas masukan keluarga dan teman menggugat cerai Fik. Gugatan cerai diajukan Fat pada bulan Mei 2013 dan keluar putusan pada Juni 2003. Sebagaimana halnya IK, putusan gugatan cerai Fat sangat cepat, yaitu hanya sebulan setelah diajukan.
Meski di dalam SK cerai disebutkan bahwa Fik dihukum untuk membayar nafkah setiap bulannya (sebesar lima ratus rupiah), nafkah tersebut tidak pernah diberikan kepada Fat paska putusan cerai gugat keluar hingga kini. Keluarga Fik memang pernah memberi uang saat anak Fat dan Fik berulang tahun, akan tetapi bersifat temporal. Fat dan keluarga pun tidak terlalu paham haknya, karena mereka tidak mengerti bahwa Fik diwajibkan memberi nafkah (di dalam SK disebutkan menghukum) untuk perawatan anak Fik dan Fat. Paska Cerai Gugat. Paska cerai gugat Fat masih terlihat terguncang dan belum dapat menerima. Kemarahan masih jelas terlihat pada wajah Fat yang bereaksi negatif ketika nama Fik disebut atau ketika kasusnya ditanyakan kembali. Untuk pengasuhan Fat mengandalkan dukungan keluarga, namun karena keluarga bukanlah orang yang mengerti pendidikan anak, pengasuhan dilakukan seadanya tanpa pengetahuan yang memadai (oleh ibunya yang sudah agak sepuh atau kakaknya yang belum menikah dan kini menganggur). Fat terbantu dengan dukungan tugas pengasuhan dari keluarga besar, terlbeih lagi karena Fat yang belum dapat berdamai dengan masalah yang dihadapinya cenderung tidak fokus pada pengasuhan anaknya. Ia disibukkan dengan urusan dendamnya kepada mantan suaminya.Lingkungan sekitar tempat tinggal Fat yang masih bernuansakan pedesaan cenderung menilai perceraian sebagai aib. Karena itu respon negatif lingkungan masih kerap diterima Fat selain karena karakter Fat yang temperamental. Meski demikian Fat diuntungkan karena kini sudah mempunyai pekerjaan, sehingga perlahan-lahan dapat mengalihkan kemarahannya pada hal lain yang lebih produktif (bekerja).
4.5. Analisis Kasus
4.5.1.Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai Suami.
Merujuk pada tiga kasus sebagaimana telah diuraikan, faktor penyebab istri menggugat cerai yang utama karena adanya penelantaran oleh pihak suami (suami pergi meninggalkan istri tanpa kabar dan tanpa memberikan nafkah). Perginya suami dari rumah (untuk kasus EL istri diminta kembali ke rumah keluarganya namun tidak kunjung dijemput pulang) bukan karena ketidak-mampuan ekonomi, akan tetapi sebagai isyarat bahwa pihak
(1)
sebagai pemimpinnya. Dengan kedudukan penghulu yang kuat tersebut, pemerintah kolonial memerintahkan anak-kemenakan untuk menanam kopi sebagai bagian dari kerja rodi yang dipaksakan kepada seluruh masyarakat Minangkabau. Hanya penghulu yang dikecualikan karena kedudukannya bagi pemerintah kolonial yang strategis guna membantu kolonial Belanda dalam melaksanakan tujuannya (Hadler, 2010:57-58, Graves, 2007: Bab IV). Sejarah yang berlangsung ini menegaskan bagaimana kedudukan penghulu adat yang memiliki fungsi ke dalam maupun ke luar atas nama kaum dan sukunya.
Ketiga, ketika penghulu dapat menyakinkan anak kemenakannya untuk mendukung salah satu calon kepala daerah, maka langkah yang dilakukan adalah mengarahkan pilihan anak kemenakannya. Pilihan anak kemenakan tersebut adalah bagian komitmen yang terbangun antara calon kepala daerah dengan penghulu dalam pemilihan tersebut. Namun, arahan untuk memilih calon kepala daerah tidak semuanya dapat diterima oleh anak kemenakan. Apalagi, bagi mereka yang kritis, arahan dari penghulu ini dianggap sebagai pandangan saja dari seorang mamak kepada anak kemenakannya. Jika mereka menganggap arahan untuk memilih itu tidak ada manfaatnya untuk anak kemenakan, tentu pilihan tidak akan ditujukan sesuai dengan arahan penghulu mereka. Realita ini sering terjadi, terutama di daerah yang sumber informasinya sangat terbuka terkait dengan informasi calon kepala daerah yang bertanding. Namun, di sisi lain— walaupuntidak banyak, masih ada anak kemenakan yang mengikuti arahan mamak mereka yang juga adalah penghulu adat. Biasanya mereka adalah anak kemenakan yang memang tidak pernah ke luar dari nagari sehingga mengalami keterbatasan dalam mendapatkan pengetahuan dan informasi tentang politik dan pemerintahan.
Bagi mereka tidak ada kepentingan lain yang bisa diharapkan dari pilihan yang dibuat sesuai dengan arahan penghulu tersebut. Apalagi pilihan politik mereka mendukung calon kepala daerah tidak lain adalahpilihan yang menurut mereka tidak memiliki konsekuensi apa-apa. Pandangan anak kemenakan seperti ini sangat menguntungkan bagi penghulu, terutama jika penghulu memiliki kepentingan dengan mobilisasi dukungan dari anak kemenakannya itu. Pertama, ini sangat terkait dengan kedudukan kekuasaannya di mata elite politik yang didukung karena dapat membuktikan eksistensinya dalam kaum dan suku yang masih ada. Kedua, penghulu dapat memperkuat posisi tawar menawarnya di luar konteks kekuasaan adat yang dimiliki dalam kaum dan sukunya. Dengan banyaknya dukungan dari anak kemenakan dalam kaum dan suku, maka kepentingan penghulu baik untuk pribadi maupun kaum dan sukunya dapat diperjuangkan. Apalagi dengan dukungan riil yang diberikan dari anak kemenakannya terhadap permintaan elite politik, khususnya dalam Pilkada.
Keempat, kepemilikan dukungan penghulu adat yang berasal dari anak kemenakannya dalam nagari, juga berimbas pada penguatan legitimasi adatnya. Bahkan tanpa disadari terjadi pula perluasan legitimasi kekuasaan yang dimiliki penghulu yang tidak hanya dalam konteks adat. Akan tetapi sudah masuk ke arena politik praktis. Kecenderungan ini terjadi karena adanya tarikan politik dari elite lokal yang ingin memanfaatkan kekuasaan adat penghulu yang ada dalam kaum dan suku di sebuah nagari. Dalam adat Minangkabau yang sangat terasa atmosfirnya di Provinsi Sumatera Barat dukungan politik yang berasal dari nagari sangat menguntungkan. Apalagi dalam melaksanakan fungsi pemerintahan jika terpilih nantinya. Hal ini terkait dengan kedudukan tanah ulayat yang ada di kabupaten/kota di Sumatera Barat yang kerap bermasalah pemanfaatannya dalam pelaksanaan pembangunan. Tanah ulayat yang dikenal juga dengan pusako tinggi (harta pusaka yang dimiliki bersama kaum dan suku) adalah kepemilikan harta pusaka oleh kaum dan suku dalam alam Minangkabau yang tidak dapat diperjualbelikan karena status kepemilikannya yang melibatkan orang banyak (Navis, 1984). Akibatnya konflik dalam kaum dan suku sering terjadi di Sumatera Barat ketika
(2)
tanah ulayat ini dijual untuk kepentingan sendiri. Oleh karenanya, dalam konteks pemanfaatan, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan harus melalui proses musyawarah dengan mamak kepala waris yang biasanya juga bertindak sebagai penghulu. Jika hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, maka pelaksanaan fungsi pembangunan akan mendapatkan dukungan dari penghulu dan anak kemenakannya di nagari.
Pentingnya kedudukan penghulu dalam adat Minangkabau memang mengalami pergeseran secara signifikan. Walaupun tidak hilang sama sekali, namun fungsi penghulu mulai mengalami reduksi. Dengan melihat keterlibatan penghulu dalam Pilkada—salah satu aspek dalam melihat pergeseran fungsi penghulu—ternyata tidak semua fungsi penghulu dalam dilaksanakan dalam dinamika politik dan pemerintahan. Apalagi kalau dalam pelaksanaan tersebut, penghulu lebih menonjolkan kepentingannya pribadi ketimbang kepentingan kaum dan sukunya. Bahkan dalam banyak kejadian, penghulu tidak lagi dipandang sebagai sosok yang menentukan dalam kehidupan kaum dan suku di nagari, jika mereka hanya memikirkan diri dan keluarganya sendiri. Selain aspek perilaku penghulu tersebut, status sosial penghulu seperti pendidikan dan pekerjaan yang dimilikinya juga mempengaruhi kewibawaannya di mata anak kemanakannya. Ini tantangan yang dihadapi oleh penghulu di ranah Minang di tengah pergerseran kedudukan anak kemenakan yang terus menunjukan eksistensinya mengikuti perubahan zaman.
Kecenderungan ini juga mempengaruhi proses berdemokrasi yang ada dalam kaum dan suku ketika penghulu membawa persoalan yang dihadapinya ke dalam kaum dan sukunya. Biasanya yang dibicarakan dalam konteks berdemokrasi ini adalah masalah adat dan budaya yang dialami oleh anak kemenakan. Namun, dalam konteks sosial dan politik, apalagi dalam konteks pilihan politik anak kemenakan dalam Pilkada untuk mendukung seorang calon sangat jatrang ditemukan. Ada kecenderungan penghulu untuk berusaha menahan diri menunjukan dukungannya kepada salah satu pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada. Artinya, dukungan politik tidaklah menjadi agenda utama dalam proses musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan dalam implementasi demokrasi kaum dan suku. Kecenderungan ini berlaku umum di semua kaum dan suku di alam Minangkabau. Demokrasi deliberatif yang menjadi ciri kehidupan masyarakat Sumatera Barat dilaksanakan hanya dalam konteks kepentingan bersama. Bagi mereka pilihan politik bukanlah wilayah publik di nagari apalagi menyangkut dukung mendukung dalam Pilkada. Biasanya, urusan itu diserahkan langsung kepada individu sebagai anak kemenakan.
Demokrasi deliberatif hanya dilaksanakan ketika penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota merugikan eksistensi kaum dan suku di nagari. Misalnya, menyangkut pemanfaatan tanah ulayat kaum dan suku yang terkena proyek pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan dianggap merugikan eksistensi mereka. Dalam hal ini, ketika negosiasi dan rundingan tidak dapat dilakukan dengan pemerintah, maka penghulu akan membawa masalah ini ke dalam rapat kaum dan sukunya. Di sinilah demokrasi deliberatif itu berlangsung untuk membahas masalah bersama, terutama kelangsungan eksistensi kaum dan sukunya ketika berhadapan dengan pihak luar. Memang dalam beberapa aspek, dalam kasus ini, penghulu memiliki kewenangan yang besar untuk mengarahkan anak kemenakannya. Karena otoritas adat yang tinggi membuat kewibawaan penghulu menyangkut pusako tinggi untuk kaum dan sukunya dapat menentukan proses demokrasi tersebut. Ini berbeda dengan pengaruh dalam konteks politik dan pemerintahan seperti yang terjadi dalam proses Pilkada.
Demokrasi deliberatif yang bersandarkan pada musyawarah dan mufakat dengan penghulu sebagai otoritas yang memimpin proses tersebut, juga ditemukan dalam perencanaan pembangunan. Banyak ditemukan, penghulu juga memiliki otoritas formal—
(3)
selain otoritas tradisional yang dimilikinya—menjadi wali nagari dan sekretaris nagari. Dengan otoritas formal tersebut, penghulu dengan mudah dapat memobilisasi dukungan anak kemenakannya untuk melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan, terutama terkait dengan pembangunan yang dilaksanakan di nagarinya. Walaupun sering kali terjadi perdebatan, namun kata putus dalam musyawarah dan mufakat tersebut juga ada dalam otoritas penghulu baik dengan menggunakan otoritas tradisionalnya sebagai mamak bagi kemenakannya, maupun sebagai penghulu yang juga pemimpin formal di nagari.
Lebih jauh Gutmann & Tompson menjelaskan bahwa dalam praktik demokrasi deliberatif terdapat prinsip yang terkait dengan resiproksitas justifikasi semua eleman yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang dilakukan. Demokrasi deliberatif tidak hanya sekedar dipahami sebagai prosedur adanya keterlibatan pihak yang ikut saja. Akan tetapi lebih dari itu adanya justifikasi terhadap nilai bersama yang muncul menjadi keputusan. Dalam hal ini Gutmann & Tompson menuliskan “Mutual justification requires reference to substantive values (2010:99).” Artinya, justifikasi bersama tetap mengacu pada substansi perdebatan dan tidak hanya menekankan prosedur keterlibatan semata. Dalam konteks demokrasi deliberatif di nagari, penghulu memberi ruang kepada anak kemanakan dan penghulu lain untuk memberikan argumentasi terkait dengan isu-isu yang dibahas. Perdebatan yang terjadi merupakan bagian dari proses demokrasi deliberatif tersebut. Seringkali dalam memutuskan masalah ini terjadi perdebatan yang panjang dengan argumentasi yang berbagai dari mereka yang ikut proses tersebut.
Walaupun proses demokrasi deliberatif berlangsung—dalam konteks keputusan yang strategis—jika tidak ada mufakat dan cenderung buntu dalam pembuatan keputusan dalam musyawarah kaum dan suku, maka penghulu akan menggunakan otoritasnya untuk memutuskan apa yang terbaik bagi anak kemenakannya. Tidak jarang keputusan itu mengundang kontroversi dari anak kemanakan apalagi jika merugikan mereka. Walaupun, ketidaksukaan keputusan yang dibuat oleh penghulu ini muncul, namun pada akhirnya anak kemenakan juga akan menerima walaupun dengan berat hati. Penerimaan ini terkait dengan otoritas tradisional yang dimiliki oleh penghulu yang memang diakui oleh anak kemenakan. Kalaupun ada konsekuensi dari keputusan yang dibuat, yang paling berat adalah turunnya kewibawaan penghulu di hadapan anak kemanakan dalam kaum dan suku. Di sinilah politik kekuasaan penghulu tersebut dimainkan, terutama dalam konteks kekuasaan adat.
Gejala penggunaan politik kekuasaan seperti di atas jarang terjadi—bukan tidak ada—dalam pemilihan kepala daerah yang melibatkan keputusan penghulu suatu kaum dan suku. Memang dalam konteks musyawarah formal pembicaraan terkait dukungan politik pada satu calon kepala daerah tertentu tidak dilakukan. Akan tetapi, dalam pembicaraan terbatas yang melibatkan para penghulu dan anak kemenakan pembicaraan dukungan politik terkait juga kerap berlangsung. Apalagi kalau calon kepala daerah itu memberikan “keuntungan” tertentu untuk penghulu tersebut. Penghulu dapat saja mengatasnamakan anak kemenakannya dalam kaum dan suku untuk menegaskan dukungan politiknya kepada calon kepala daerah. Apalagi kalau ketokohan dan kewibawaan penghulu tersebut di satu nagari memang terkenal. Calon kepala daerah akan berusaha mendekati penghulu tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan kompensasi tertentu. Akan tetapi dalam riilnya, apakah dukungan yang berhasil didapatkan oleh kepala daerah ini memang berasal dari model patron-klien yang dilakukan penghulu, tentu perlu dibuktikan secarailmiah.
Secara konsepnya, keberhasilan menerapkan hubungan patron klien yang dilakukan penghulu terhadap anak kemenakanya di nagari harus memenuhi beberapa kondisi. Pertama, jika penghulu ini memiliki latar belakang ekonomi yang baik dan sering kali menjadi tempat bergantung anak kemenakannya, maka mobilisasi dukungan terhadap
(4)
calon kepala daerah menjadi lebih efektif dilakukan di nagari tersebut. Karena anak kemenakan tidak hanya memandang otoritas tradisional yang dimilikinya, tapi juga kekuatan ekonomi yang membuat mereka tergantung dengan penghulu tersebut. Dalam masyarakat yang budaya politiknya subjektif, kecenderungan ini kerap terjadi dalam bentuk bos-bos lokal (local bossism) di nagari. Fenomena seperti ini lazim dijumpai di beberapa negara seperti di Thailand, Philipina dan Indonesia (Sidel, 2005).
Kedua, jika penghulu membuat pola hubungan yang rasional objektif dengan anak kemanakannya karena status sosial penghulu yang juga bertindak sebagai intelektual (cerdik pandai) di nagari. Artinya, otoritas tradisional yang ada akan diperkuat dengan intelektualitas yang dimiliki penghulu sehingga kewibawannya dalam mempengaruhi keputusan anak kemenakannya menjadi bertambah. Biasanya karakter penghulu ini disegani dan menjadi panutan bagi anak kemenakan. Ditambah lagi, jika penghulu ini tidak memiliki rekam jejak yang buruk di mata anak kemenakannya, maka setiap ucapannya akan didengar dan menjadi acuan bagi anak kemenakannya dalam membuat keputusan.
Dari realita di atas dapat ditegaskan bahwa praktik demokrasi deliberatif dilaksanakan dalam rangka membicarakan kepentingan sosial dan pembangunan kaum dan suku. Keterlibatan penghulu dengan otoritas adatnya justru terkait dengan kepentingan yang lebih besar, yaitu membicarakan kedudukan kaum dan suku dalam proses pembangunan. Jarang sekali dalam praktik musyawarah mufakat dalam suasana formal seperti pertemuan dalam institusi Kerapatan Adat Nagari membicarakan dukungan politik kepada calon kepala daerah dalam Pilkada. Kalaupun terlihat arah kecenderungan dukungan anak kemenakan kepada calon tertentu itupun dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, melalui kiasan dalam pertemuan yang diadakan oleh penghulu dengan anak-kemenakannya.
5.KESIMPULAN
Politik kekuasaan penghulu adat dalam konteks modern harus dipahami sebagai bentuk pelaksanaan otoritas tradisionalnya dalam dinamika politik kekinian. Apalagi dalam praktik demokrasi di tingkat lokal yang menjadi kebijakan nasional menjadi arena untuk memahami politik kekuasaan penghulu adat tersebut. Hal ini dapat dirujuk pada pelaksanaan otonomi daerah, pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah yang membutuhkan partisipasi masyarakat. Misalnya, pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan urusan oleh pemerintah kepada daerah. Urusan yang diserahkan tersebut disertai dengan pembiayaan agar pelaksanaannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk keberhasilan pelaksanaan urusan ini, maka dibutuhkan adanya dukungan publik lokal. Begitu juga dengan pemekaran daerah menjadi wilayah adminsitrasi pemerintahan baru. Tentu bukan hal yang mudah bagi pemerintah daerah memekarkan wilayah adminsitrasi pemerintahan menjadi daerah baru. Urusannya bukan saja masalah kesiapan sumber daya alam, manusia dan infrastrukturnya. Akan tetapi yang paling disorot adalah ikatan sosial dan budaya dalam masyarakat yang akan tercerabut dari akar sejarahnya. Belum lagi masalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang memang membutuhkan dukungan riil masyarakat dalam pemiluhan tersebut yang dilaksanakan oleh lembaga independen.
Praktik demokrasi lokal ini tentu tidak berdiri sendiri karena memahami demokrasi itu jelas berkaitan dengan partisipasi publik dalam melaksanakannya. Di beberapa daerah, memang masalah demokrasi ini tergantung pada seberapa tinggi keterlibatan masyarakatnya. Apalagi dalam masyarakat yang masih menonjolkan pola hubungan patron klien, maka bentuk keterlibatan masyarakat sangat bergantung pada peran dari patron mereka. Di Sumatera Barat yang mayoritasnya adalah etnis Minangkabau, kedudukan penghulu yang menjadi pemimpin bagi kaum dan sukunya mendapat perhatian
(5)
dari banyak pihak. Bahkan keberhasilan pelaksanaan demokrasi ini juga dikaitkan dengan berperan atau tidakknya penghulu tersebut. Memang dalam beberapa hal terjadi pergeseran kewibawaan penghulu di mata anak kemanakan. Apalagi kalau penghulu tersebut hanya berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri. Misalnya, dalam pemilihan kepala daerah beberapa waktu yang lalu, tidak sedikit calon kepala daerah mencari dukungan kepada penghulu adat ini karena dianggap memiliki otoritas yang dapat mengarahkan dukungan anak kemenakan yang ada di nagarinya. Walaupun tidak sepenuhnya ini dapat dilakukan karena semakin rasionalnya anak kemenakan dalam menentukan calon pemimpinnya, juga disebabkan masih kuatnya sistem nilai, kepercayaan dan pengetahuan masyarakat untuk mebatasi pembicaraan politik praktis yang mengatasnamakan kaum dan suku. Akibatnya politik kekuasaan penghulu ini tidak sepenuhnya dapat mempengaruhi pilihan anak kemenakannya.
Memang pada beberapa kesempatan—apalagi dalam suasana informal penghulu ini juga memainkan politik kekuasaannya dalam konteks dukungan yang diberikan kepada calon kepala daerah. Konteks dukungan ini lebih kepada proses sosialisasi calon secara informal dalam lingkup pengaruh yang dimiliki oleh penghulu. Selain itu, juga melakukan identifikasi permasalahan kaum dan suku untuk dijembatani kepada calon kepala daerah dalam rangka mencari simpati anak kemenakan agar memberikan dukungan sesuai dengan apa yang diinginkan penghulu. Dalam beberapa kesempatan, penghulu juga berusaha mengarahkan pilihan anak kemenakannya untuk mendukung calon tertentu. Walaupun dalam realitanya, tidak semua anak kemenakan yang mendengarkan arahan penghulu tersebut karena semakin mandirinya mereka dalam membuat keputusan. Semakin membaiknya latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka sehingga mempengaruhi sikap kritisnya terhadap ucapan dan tindakan penghulu tersebut.[]
6.DAFTAR PUSTAKA
Asrinaldi, 2014. Kekuatan-kekuatan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Asrinaldi. 2012. Hubungan Sistem Pemerintahan Modern Dengan Sistem Sosiobudaya
Masyarakat Nagari di Sumatera Barat. VisiPublik, 8(2): 405-413.
Asrinaldi. 2011. Politik Kekuasaan Pusat Dan Impaknya Ke Atas Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat. Disertasi Doktor. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Benda-Beckmann, Franz von & Benda-Beckmann, Keebet von. 2013. Political and Legal
Transformations of an Indonesian Polity:The Nagari From Colonialisation to Decentralization. Cambridge: Cambridge University Press.
Graves, Elizabeth E. 2007. Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda abad XIX/XX. Terjemahan: Novi Andri dkk. Ed. Pertama. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gutmann, Amy & Tompson, Dennis, 2004. Why Deliberative Democracy. Princeton: Princeton University Press.
Hadler, Jeffrey. 2010. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Terjemahan: Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom Institute.
Hughes, Daniel T. 2000. Pengaruh Timbal Balik Peran Kepemimpinan Tradisional dan demokratis di Ponape. Dlm. Frank McLynn dan Arthur Tuden (Eds.). Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik, hlm. 382-403. Jakarta: UI Press.
Idrus Hakimy. 2001. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Cetakan ke-8. Bandung: Rosdakarya.
(6)
Kato, Tsuyoshi. 2007. Adat Minangkabau dan Merantau: Dalam Perspektif Sejarah. Terjemahan. Jakarta; Balai Pustaka.
Musyair Zainuddin. 2010. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Navis. A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
Nurus Shalihin. 2014. Demokrasi di Nagarinya Para Tuan. Padang: Imam Bonjol Press. Pye, Lucyan W. 1985. Asian Power and Politics: The Cultural Dimension of Authority.
Massachusetts: Harvard University Press.
Rita Gani. 2005. “TungkuTigo Sajarangan”: Analisis Pola Komunikasi Kelompok Dalam Interaksi Pemimpin Pemerintahan di Sumatera Barat. Jurnal MediaTor, 7(2):243-258.
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan. Sidel T. John. 2005. Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia:
Towards an Alternatives Framework for the Study of ‘Local Strongmen’. Dalam John Harriss, Kristian Stokke and Olle Tornquist (Eds.). Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. Hlm. 51-74. New York: Palgrave MacMillan.
Syarif Hidayat. 2007. Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten. Dlm. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (Eds.). Politik Lokal di Indonesia, hlm. 267-303. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV.
Taufik Abdullah. 2010. Pengantar. Dlm. Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Terjemahan: Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom Institute.