KERANGKA TEORITIS Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed

313

2. KERANGKA TEORITIS

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai kerangka teori yang digunakan untuk menjawab atas pertanyaan penelitian dalam paper ini. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini. Hubungan Manusia dan Lingkungan Manusia dan lingkungan memang haruslah dapat menyesuaikan diri adaptasi. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat beradaptasi dengan cepat dimanapun mereka berada, di lingkungan apapun. Karena itu merupakan cara mereka untuk bertahan hidup. Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan keduanya saling berhubungan. Manusia dalam hal ini adalah sebagai fenotipe, yang merupakan perwujudan dari apa yang dihasilkan dari interaksi dengan lingkungan. Permasalahan dalam lingkungan hidup adalah adanya hubungan manusia dan lingkungannya. Manusia bukanlah satu-satunya makhluk hidup yang berkuasa di bumi ini. Ia hanya menjadi sosok penentu lingkungan dengan tujuan agar tidak merusak lingkungan di sekitarnya. Adanya anggapan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang paling berkuasa di bumi adalah anggapan yang salah. Apalagi, jika ia menjadi sosok yang malah merusak lingkungan di sekitarnya. Idealnya, antara manusia dan lingkungan merupakan satu makhluk dengan makhluk lainnya yang mempunyai hubungan timbal balik Soemarwoto, 1997. Konsep manusia dan lingkungannya sering memicu terjadinya konflik. Salah satunya adalah aspek kependudukan dan aspek kelangkaan sumber daya lingkungan. Aspek kependudukan berkaitan erat dengan sekumpulan manusia yang sudah tinggal dan hidup berpuluh-puluh tahun lamanya di lingkungannya. Namun seiring dengan berjalannya waktu sekumpulan manusia tersebut dihadapkan dengan konflik yang melibatkan lingkungan yang mereka tinggali. Mereka dibenturkan dengan regulasi yang membatasi mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada di lingkungan sekitarnya. Tanah-tanah mereka dirampas atas dalih pembangunan untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tanah-tanah dialih fungsikan dengan tanpa melibatkan masyarakat yang tinggal di tanahnya. Dan yang terjadi adalah masyarakat setempat pun tidak bisa tinggal diam ketika tanah yang selama ini mereka tinggali dirampas atas kepentingan sepihak, baik itu yang melibatkan pemerintah setempat maupun kepentingan bisnis. Dari sudut pandang lain dapat dilihat bahwa telah terjadi konflik antara masyarakat yang merasa dirugikan atas regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang telah mengambil sumber daya alam dan lingkungannya. Masyarakat mempertahankan lingkungannya yang telah memberikan kehidupan berpuluh-puluh tahun bagi mereka Li, 2012. Dalam kaca mata Sosiologi, konflik dalam hal ini merupakan hal yang wajib, karena konflik merupakan proses sosial untuk menyatukan masyarakat. Aspek kelangkaan sumber daya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat yang tidak semua memahami mengenai regulasi dan kebijakan-kebijakan yang akhirnya merugikan mereka. Selain kehilangan sumber daya alam, mereka pun perlahan-lahan akan kehilangan sumber penghidupannya. Penguasaan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang ingin memperkaya dirinya sendiri. Karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan, pada perkembangannya, sering menimbulkan konflik. Isu yang mengemuka adalah konflik yang berkaitan dengan tanah, air ataupun udara. Misalnya konflik yang berkaitan dengan tanah adalah banyaknya kelompok-kelompok petani yang harus rela meninggalkan kebunnya karena lahannya telah ditetapkan sebagai lahan perkebunan skala besar yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan maupun pemegang konsesi kehutanan baik swasta maupun BUMN. Sejumlah perangkat hukum dirumuskan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Negara, untuk membangun legitimasi proses tersebut. Untuk kasus Indonesia, sejumlah kawasan tersebut akan diubah terlebih dahulu statusnya menjadi Tanah Negara sebelum didistribusikan kepada pemegang hak untuk melakukan kegiatan eksploitasi. Hal 314 ini didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu dalam pengelolaan sebuah kawasan sumberdaya alam kebun maupun hutan yaitu mencapai peningkatan angka pertumbuhan ekonomi secara nasional. PeranKelembagaan Lembaga dalam pengertian yang berhubungan dengan kawasan hutan adalah semua aturan baik formal maupun in-formal yang digunakan oleh masyarakat di satu wilayah yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan ataupun dilarang. Tentunya sangat berkaitan dengan aturan yang berlaku, yang dipakai oleh masyarakat setempat dan aturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah. Sehingga, kedua aturan ini dapat saling melengkapi. Bukan saling membunuh satu sama lain. Apalagi, malah memantik konflik diantara keduanya Suciati, Anggoro, Ristanto, dkk, 2007. Kelembagaan yang ada di Indonesia untuk mengatur hubungan manusia dan lingkungan sudah ada sejak masa kolonial. Baik itu lembaga resmi negara ataupun lembaga-lembaga yang hidup secara alamiah di masyarakat, termasuk organisasi non pemerintah ORNOP dan lainnya, yang semuanya memiliki tujuan tertentu untuk memperbaiki sumber daya yang ada di bumi nusantara. Akan tetapi, ada juga yang terkadang hanya utopia belaka. Adanya kelembagaan berperan untuk mengatur dimensi kehidupan bermasyarakat. Dalam bahasa Foucault dikenal dengan pengaturan yang bersifat rasional, dimana proses yang dilalui merupakan jalan untuk mencapai perbaikan kehidupan manusia. Peran pemerintah dalam mengelola masyarakat salah satunya adalah dengan penetapan lokasi-lokasi pemukiman masyarakat agar efisien dan lebih dekat dengan lokasi administratif. Banyak kelompok masyarakat di Indonesia awalnya tinggal di pegunungan, namun kemudian dipindahkan dengan alasan kemudahan pelayanan administratif tersebut. Namun, terkadang kebijakan pemerintah ini tidak sesuai dengan tata cara kehidupan masyarakat lokal. Alasan lain adalah dengan bertambahnya populasi manusia yang mengharuskan pemindahan pemukiman yang baru Li, 2012. Pemukiman warga yang baru bukannya memberikan rasa aman terhadap masyarakat, namun kemudian yang terjadi adalah masyarakat menjadi rentan terhadap bencana, baik itu bencana alam maupun bencana kelaparan. Dengan demikian, dari sisi peningkatan kualitas hidup masyarakat, kebijakan pemerintah tersebut dinilai gagal, karena tidak melihat kondisi sosial masyarakat dengan lingkungannya. Berkaitan dengan hubungan manusia dan lingkungan, peran kelembagaan negara telah membatasi ruang gerak dan akses masyarakat atas sumber daya alam di lingkungannya. Berbeda halnya dengan peran kelembagaan lokal, dimana di sejumlah pengalaman mampu membuat pengaturan yang dapat dipahami oleh masyarakat setempat. Pengaturan yang dibuat oleh masyarakat setempat yang dilembagakan tersebut dibuat untuk upaya adaptasi kehidupan mereka untuk tujuan kehidupan bersama. Keberadaan kelembagaan lokal pun dapat menciptakan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan pada kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat, karena bersumber pada otoritas kultur tradisional yang sekaligus juga merumuskan mekanisme pemantauan dan memperbaiki setiap aturannya jika dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Selain itu, peran kelembagaan yang berada di desa itu pula dapat menjamin kelangsungan hidup warganya. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dijelaskan bahwa pemerintahan desa dalam hal pengaturan pemerintahan desa harus berlandaskan pada keanekaragaman, otonomi lokal yang berbasis untuk pemberdayaan masyarakat secara partisipatif Safitri, 2000. Dalam UU No. 22 tahun 1999, UU itu dengan tegas memberikan kebebasan kepada kepala desa dalam mengatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, terkait konflik akibat adanya kawasan hutan pinus yang menurut warga Dusun Bonto merugikan bagi sumber mata penghasilan mereka. Kepala desa juga diberikan wewenang untuk menyelesaikan 315 konflik yang terjadi yang kemudian dibantu oleh lembaga adat setempat. Sumber otoritas desa pula didukung oleh hak asal-usul desa Safitri, 2000. Salah satu lembaga lokal yang ada di Dusun Bonto adalah hadirnya salah satu tarekat keagamaan, yaitu Khalwatiyah Samman. Bukan hanya itu, tokoh agama dari tarekat itu pun menjadi salah seorang warga yang sangat dituakan di dusun Bonto. Hampir seluruh warga di desa Kompang pun menghormati tokoh tersebut. Bahkan dalam proses penolakan kehadiran pinus pun tokoh inilah yang menggerakan warga lainnya untuk melakukan penolakan. Hadirnya tokoh masyarakat bahkan tokoh agama di salah satu desa dengan sisi lain mempunyai kharismatik dan dapat menggrekan warga dengan rasa patuh terhadap tokoh tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun kelembagaan masyarakat setempat. Ini bisa dijadikan sebagai basis pengorganisasian dan sebagai upaya untuk memperkuat lembaga lokal Suciati, Anggoro, Ristanto, dkk, 2007.

3. METODE PENELITIAN