129
dikelola oleh Pemerintah Kota Batu atau yang dikumpulkan secara mandiri. d Focus Group Discussion FGD: FGD adalah proses pengumpulan data dan informasi sistematis
mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. FGD digunakan karena alasan baik filosofis, metodologis maupun praktis.
Teknik analisis
data dalam
penelitian ini
melalui beberapa
tahapan.Pertama,tahapan reduksi data, display data dan verifikasi atau penarikan konklusi. Tahapan reduksi data adalah tahapan penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data “kasar” yang terkumpul dari catatan tertulis di lapangan.Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung bahkan dimulai sebelum
peneliti memutuskan kerangka konseptualwilayah penelitian, permasalahan penelitian dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih dalam penelitian ini. Reduksi data
berlanjut terus sesudah penelitian lapangan di lokasi penelitian yaitu kota Malang.Kedua, tahapan data display atau penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang
memungkinkan adanya penarikan kesimpulan. Penyajian yang paling sering dipakai dalam bentuk teks naratif. Awalnya informasi berwujud teks yang terpencar-pencar,
seperti data hasil wawancara dengan kader atau siswa di Sekolah Perempuan Desa SPD serta di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan PNFP yang dikelola oleh
Pemerintah Kota Batu, sumber data sekunder berupa arsip yang belum tersusun dengan baik, maka peneliti menyederhanakan informasi yang kompleks dalam kesatuan bentuk
gestalt dengan konfigurasi yang mudah dipahami dalam bentuk naratif. Ketiga, tahapan verifikasi atau penarikan kesimpulan adalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi
yang utuh.Kesimpulan yang ada diverifikasi selama penelitian berlangsung sehingga prinsip dari tahapan analisis data ini sifatnya sirkuler.
Sebagaimana dalam penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif juga menggunakan prosedur pengujian keabsahan data yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut 1
memperpanjang masa observasi di lapangan 2 melakukan triangulasi sumber dengan mengecek antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain, baik itu di Sekolah
Perempuan Desa SPD maupun di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan PNFP yang dikelola oleh Pemerintah Kota Batu3 mengadakan member check 4 melakukan
peer debriefing, peneliti mengadakan diskusi dengan beberapa kolega peneliti.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Pendirian Sekolah Perempuan Desa SPD dan Pendidikan Non Formal Perempuan PNFP
Di tengah perubahan sosial yang kian modern, perempuan dituntut untuk mampu beradaptasi menghadapi tantangan.Predikat kaum perempuan di pedesaan sebagai
“konco wingking
” alias hanya bertugas mengurusi kegiatan rumah tangga, seharusnya sudah mulai ditanggalkan.Perempuan pedesaan sudah sepantasnya ambil bagian yang lebih besar dalam
lingkup yang lebih luas seperti ekonomi bahkan politik.Pesan inilah yang ingin disampaikan Sekolah Perempuan Desa SPD yang merupakan lembaga pendidikan
informal hasil gagasan aktivis perempuan dan anak —Salma Safitri Rahayyan 44 tahum,
alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Jawa Timur di berbagai pedesaan di Kota Batu. Ia bersama rekan-rekannya dari Suara Perempuan Desa dan Karya Bunda
Community KBC sejak Agustus 2013 membuka sekolah informal khusus perempuan di Kota Batu. Ide SPD berangkat dari observasi yang dilakukan sepanjang tahun 2009 sampai
2012 di Kota Batu.Dalam penelitian tersebut di temukan fakta bahwa 76 persen masyarakat Kota Batu hanya mengenyam pendidikan setara SMP.Dengan latar belakang pendidikan
yang rendah, pernikahan dini menjadi hal yang biasa.Akibatnya anak-anak gadis berusia 16-18 tahun sudah harus berperan sebagai istri sekaligus ibu. Melalui SPD, pendiri ingin
memberikan ruang pendidikan bagi kaum perempuan. Awalnya SPD masuk ke desa-desa
130
melalui program PKK. Gayung bersambut, ternyata animo kaum ibu untuk belajar di SPD sangat tinggi.
Hasil observasi yang melatarbelakangi pendirian SPD tersebut, ternyata memang sesuai dengan data bidang Pendidikan Non Formal PNF Dinas Pendidikan Dindik kota
Batu yang menunjukkan sedikitnya terdapat 1200 warga yang belum bisa membaca, tulis, dan berhitung Calistung. Sejumlah warga buta aksara tersebut tersebar hampir merata di
semua kecamatan dengan usia diatas 44 tahun dan 99 persen dari 1200 warga buta aksara dialami kaum perempuan. Penyebab buta aksara umumnya disebabkan dua faktor, yakni
putus sekolah saat di bangku kelas II dan III serta tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali.
SPD tidak hanya berisi kegiatan arisan atau mengajarkan ketrampilan keputrian seperti perkumpulan ibu-ibu pada umumnya.Namun, SPD juga memperkaya wawasan
kaum ibu lewat pengetahuan strategis dan pengetahuan praktis.Pengetahuan strategis bertujuan mengajak perempuan pedesaan berfikir lebih kritis, misalnya pendidikan
mengenai Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU KDRT atau hak-hak perempuan dalam berpolitik.Sedangkan pengetahuan praktis mengajak para peserta
mengenal tips-tips seputar kehidupan sehari-hari seperti kandungan gizi makanan atau sanitasi.Hingga saat ini, sekolah yang digelar sekali dalam sepekan ini diikuti oleh lebih
dari 170 ibu-ibu di empat desa.Empat desa yang menjadi lokasi SPD meliputi Desa Gunungsari, Desa Giripurno, Dea Bulukerto dan Desa Sidomulyo.Sekolah Perempuan di
launching pada 23 Agustus 2013, pelaksanaan program tahap pertama diselenggarakan pada Agustus
– Desember 2013. pendidikan tahap kedua dilaunching pada 23 Desember 2013, proses belajar pada Januari
– Juni 2014. Periode ketiga Desember 2014 – Mei 2015. Pemerintah Kota Batu melalui Dinas Pendidikan Kota Batu membekali ratusan
perempuan desa melalui pendidikan non formal agar memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk mencari tambahan penghasilan. Menurut Kepala Dinas Pendidikan
Kota Batu, pendidikan non formal merupakan sebuah pendidikan yang dikhususkan bagi para perempuan desa di Kota Batu. Pada 2015 pendidikan tersebut mewadahi sedikitnya
300 perempuan dari sepuluh dusun di sepuluh desa di Kota Batu. Tujuan Pendirian Sekolah Perempuan
Sekolah Perempuan Desa SPD ini merupakan wadah perempuan desa dalam bertukar pengetahuan dan pengalamanknowledge and experiences, mengenali kebutuhan
dan kepentingan perempuan serta untuk meningkatkan kualitas hidup. Sekolah Perempuan juga memiliki tujuan untuk membangun dan memperkuat kepemimpinan perempuan di
pedesaan.
Tujuan Pendidikan Non Formal Perempuan PNFP untuk memberi pengetahuan tambahan agar perempuan desa memiliki wawasan yang luas dan memiliki keterampilan
yang bisa mereka manfaatkan untuk mencari tambahan penghasilan keluarga.Selain itu juga untuk membantu mewujudkan desa wisata yang memiliki ciri khas. Melalui
pendidikan non formal diharapkan nantinya akan lahir generasi penerus bangsa yang cerdas dan sehat yang lahir dan dirawat oleh para perempuan desa yang berpendidikan dan
berdaya usaha.Dengan mengikuti program pendidikan tersebut nantinya para perempuan desa mampu melihat peluang usaha di sekitarnya. Terutama usaha yang bisa mendukung
sektor pariwisata seperti menciptakan produk khas desa masing-masing. Program tersebut juga akan memberi banyak manfaat bagi para perempuan desa karena ada banyak
pembelajaran penting yang akan mereka terima, seperti masalah kesehatan, keagamaan, gizi anak dan lainnya.
Peserta Sekolah Perempuan di SPD adalah Perempuan Usia 18 tahun keatas, perempuan dari desa atau kelurahan di Kota Batu Provinsi Jawa Timur.Sekolah Perempuan
131
menggunakan prinsip-prinsip feminis dan pendidikan bagi orang dewasa, menggunakan metode partisipatif, serta pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi sumber proses
belajar. Sekolah dilakukan setiap minggu 1 kali dan dalam 1 bulan libur 1 kali. Proses pembelajaran PNFP dikelompokan dari setiap dusun dan masing-masing
dusun terdiri dari 30 warga belajar dan total ada 10 dusun sehingga total ada 300 warga belajar.Kesepuluh Dusun tersebut adalah sebagai berikut: Dusun Gangsiran Tlekung,
Dusun Ngukir Torongrejo, Dusun Mojorejo Mojorejo, Dusun Dressel Oro Oro Ombo, Dusun Toyomerto Pesanggrahan, Dusun Brau Gunungsari, Dusun Gandon Sumbergondo,
Dusun Payan Punten, Dusun Kekep Punten, Dusun Lemah Putih Sumberbrantas.Para peserta didik setelah lulus akan mendapat bantuan alat usaha, termasuk hibah dari Dinas
Pendidikan berupa 5 mesin jahit, 5 dandang alat menanak nasi, 5 alat pembuat kue dan beberapa alat ketrampilan lainya.
Sumber Dana
Sumber dana Sekolah Perempuan Desa adalah dana swadaya Suara Perempuan Desa
Rural Women’s Voices dan Karya Bunda Community KBC serta bekerjasama dengan individu, institusi pemerintah atau swasta, lembaga dana dari dalam negeri dan luar
negeri. Pertama kali didirikan, sekolah perempuan ini belum memiliki anggaran yang resmi dan pasti, namun berbekal tekad yang kuat dan keterampilan yang dimiliki
—akhirnya ada usulan pendanaan dimulai dari menjual kue dan makanan pada setiap kegiatan Sekolah
perempuan.Karena, umumnya pada setiap kegiatan mendapat fasilitas makanan atau kue secara gratis, tapi berikutnya para peserta sekolah perempuan diharuskan membayar kue
atau makanan yang mereka makan dengan hargaRp.2000 kue.Dengan keuntungan sekitar Rp. 500kue, hasilnya dikumpulkan sebagai modal beragam kegiatan bahkan saat ini di
sekolah perempuan para peserta dapat meminjam uang sesuai kebutuhan. Berbeda dengan Pendidikan Non-Formal Perempuan PNFP semua dana berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD yang dialokasikan di Dinas Pendidikan. Sehingga, peserta tidak dipungut biaya apapun.Pada tahun 2015 lalu, besaran pembiayaan pendidikan
non formal ini mencapai angka Rp 640 juta.Biaya ini diperuntukkan untuk transportasi pengajar, administrasi, peralatan sekolah, bahan ajar seperti Alat Tulis Kantor ATK. Para
peserta yang lulus akan mendapatkan sertifikat kelulusan.
Pemberdayaan Perempuan di Sekolah Perempuan Desa SPD dan PNFP
Beberapa aktivis hak asasi perempuan berbondong-bondong berjuang mendirikan komunitas.Salah satu dari kelompok itu bernama Sekolah Perempuan Desa SPD, peserta
dari sekolah ini adalah para ibu rumah tangga yang ingin mengenyam pendidikan politik secara gratis.Melalui tempat ini, benih atau embrio para politikus berpotensi muncul dari
kaum perempuan desa yang awalnya sering menjadi komoditas politik sesaat.Mereka dibina, kemudian dipercaya oleh masyarakat memimpin negara atau menjalankan fungsi
sebagai aparatur penyelenggara negara.Para aktivis ini menamakan dengan sebutan sekolah agar para ibu rumah tangga di desa merasakan mendapat pendidikan secara serius
walaupun sebenarnya hanya berbagi ilmu melalui perkumpulan. Dengan adanya sekolah informal khusus perempuan ini, diharapkan perempuan desa tidak hanya menjadi obyek
perubahan bahkan komoditas politik, tetapi menjadi pemilih perempuan yang kritis terutama dalam hal seperti Pilkada Kota Batu yang akan berlangsung 2017 tahun depan.
Sehingga uang bukan lagi menjadi motif utama dalam berpartisipasi secara politik.
Strategi orientasi kegiatan pembelajaran yang ada di Sekolah Perempuan Desa SPD lebih bias pada proses pendidikan politik khususnya bagi kelompok perempuan
desa. Misalnya materi tentang Perempuan dan Hak Asasi Manusia HAM yang disampaikan oleh Suciwati, istri aktivis alm Munir yang bertempat di Omah Munir
132
Museum HAM pertama di Indonesia.Dengan kegiatan tersebut, kelompok perempuan desa diharapkan ‘melek hukum’ dan menyadari akan pentingnya eksistensi mereka dalam
mengawal tegaknya HAM di wilayah lokal. Kegiatan yang berorientasi pada pendidikan politik berikutnya adalah dengan mengadakan diskusi terbuka dengan Calon Anggota
Legislatif Caleg pada Pemilihan Umum Pemilu tahun 2014 lalu. Hal tersebut penting, agar perempuan desa memahami konteks politik praktis sekaligus sebagai sarana
penyampaian aspirasi, khususnya kepada para Caleg perempuan
Masih dalam rangka pendidikan politik, peserta SPD juga dibekali dengan pengetahuan tentang politik anggaran, khususnya yang berkaitan dengan proses
penganggaran APBD sekaligus alokasi anggaran yang ditujukan untuk kegiatan pemberdayaan kelompok perempuan. Sebab, menurut hasil kajian SPD yang dilakukan
secara berkala —pemerintah daerah belum menyadari pentingnya alokasi khusus bagi
kelompok perempuan dan anak dalam proses pembangunan di wilayah lokal. Kegiatan pelatihan tersebut melibatkan berbagai pihak, salah satunya dengan menggandeng Malang
Corruption Watch MCW. Tidak hanya melakukan orientasi ruangan indoor, peserta SPD juga terlibat
secara langsung dalam aktivitas pendidikan politik di luar ruangan outdoor.Misalnya dalam kegiatan aksi di gedung DPRD Kota Batu yang menolak pembangunan hotel di
kawasan sumber air. Kegiatan turun lapang yang lain adalah kegiatan peringatan Hari Kartini tanggal 21 April tahun 2015 yang mengambil lokasi di areal alun-alun Kota Batu.
Kegiatan yang dilakukan dengan aksi pembagian bunga dan orasi tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat akan peran dan fungsi penting tokoh perempuan dalam
proses perjuangan kesetaraan di era penjajahan.
Untuk mempertegas eksistensi SPD dalam memperjuangkan hak-hak kelompok perempuan khususnya di wilayah pedesaan, SPD tidak hanya melakukan kegiatan
peringatan Hari Kartini, tetapi juga melakukan aksi peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret tahun 2015 dan kegiatan Peringatan Hari Ibu tanggal 22
Desember tahun 2015. Hari Perempuan Internasional, Hari Kartini dan Hari Ibu merupakan tiga momentum paling strategis dalam rangka membangun eksistensi dan ideologi gerakan
perempuan, khususnya di Sekolah Perempuan Desa. Sebab, dengan tiga peringatan tersebut diharapkan peserta, pemerintah atau bahkan masyarakat umum memahami dan menyadari
arti penting sebuah perjuangan bagi kelompok perempuan dalam memperoleh hak-hak utama sebagai manusia yang berkedudukan sama dengan laki-laki.
SPD menyadari bahwa latarbelakang peserta yang begitu variatif, baik dari segi pendidikan, status sosial-ekonomi dan pekerjaan tentu berkonsekuensi terhadap motivasi
mereka dalam bergabung dengan Sekolah Perempuan. Pengembangan Ekonomi Lokal
Selain proses internalisasi ideologi gerakan melalui kegiatan bertema pendidikan politik yang secara ekstrem berbicara tentang aksi resistensi dan oposisi terhadap
kekuasaan pemerintah yang tidak berpihak kepada kelompok perempuan tetapi juga dikemas dalam kegiatan yang lebih soft, misalnya dengan kegiatan pelatihan soft skill dan
hard skill bagi peserta sesuai dengan minat dan orientasi mereka. Misalnya dengan melakukan kegiatan yang lebih memahamkan peserta terhadap potensi diri dan pemahaman
akan realitas lingkungan bagi kelompok perempuan.
Mengingat faktor kemandirian perempuan yang tidak bisa terlepaskan dalam setiap proses perubahan yang diperjuangkan. Kemandirian akan melahirkan pribadi dan gerakan
yang bebas dan merdeka tidak mudah terkooptasi dengan kekuasaan politik dan ekonomi. Perempuan bebas dan merdeka, minimal mampu memenuhi kebutuhan pokok secara
mandiri, tidak tergantung pada siapapun termasuk suami dalam hubungan yang sangat
133
patriarki.Salah satu dari kegiatan tersebut adalah dengan melakukan pelatihan pembuatan kue dan hantaran pernikahan.Selain membekali peserta dengan ketrampilan membuat,
mengemas dan memasarkan kue basah dan kue kering, dalam rangka menumbuhkan sikap kemandirian yang produktif SPD juga melakukan kegiatan pelatihan tata busana dan rias
kecantikan wajah beauty class.
Program Pendidikan Non Formal Perempuan Desa PNFP yang telah dilaksanakan di sejumlah desa diklaim Pemerintah kota Batu berhasil membuat pendidikan
perempuan di desa berkembang pesat. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk menyelenggarakan kembali program tersebut tahun 2016 saat ini dengan diawali
melakukan koordinasi dengan para peserta. Warga yang akan mengikuti pendidikan di tahun ini masih berasal dari dusun yang sama. Bedanya hanya pada pemberian
materi.Dinas Pendidikan telah melakukan pendalaman-pendalaman materi yang diberikan.Materi pembelajaran lebih ke praktek untuk mematangkan ketrampilan yang
sudah diberikan tahun 2015. Ketrampilan yang diberikan ini akan berorientasi pada potensi desa masing-masing dengan harapan akan muncul produk-produk unggulan di masing-
masing dusun misalnya kegiatan membuat handycraft.
Secara umum, terdapat perbedaan cukup nyata antara strategi pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh SPD dan PNFP.Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan
karena SPD merupakan lembaga swasta yang didirikan justru untuk melakukan aksi perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap kelompok perempuan.Sedangkan
PNFP didirikan, dikelola dan dibiayai oleh Pemerintah Kota Batu sehingga, posisi sudah jelas menjadi sub-ordinat kekuasaan pemerintah.Perbedaan latarbelakang tersebut tentu
berkonsekuensi terhadap kurikulum di masing-masing lembaga.Jika SPD menyajikan kurikulum utama tentang pendidikan politik bagi peserta selain materi ketrampilan dan
pengetahuan kesehatan PNFP justru banyak berorientasi pada ketrampilan kecakapan hidup life skill berbentuk pelatihan wirausaha enterpreneurship berbasis potensi
wilayah.
Predikat Kota Batu sebagai Kota Wisata KWB utama di Provinsi Jawa Timur, pemberian ketrampilan kecakapan hidup tersebut diharapkan mampu memberikan
kontribusi nyata dalam perbaikan sektor ekonomi masyarakat agar mereka khususnya perempuan tidak hanya bekerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu, tentu tidak ada peluang
bagi peserta PNFP untuk berada dalam posisi vis a vis dengan pemerintah kota. Padahal, dalam konteks pemberdayaan proses perubahan harus berpusat pada msayarakat dengan
asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan sumber paling strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi
manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka dan mencoba
mempromosikan kekuatan manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat. Proposisi di atas
mengindikasikan pula bahwa inti pembangunan berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan empowerment yang mengarah pada kemandirian masyarakat.
Dari analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa SPD mampu memberikan pendidikan politik dengan materi yang memadai bagi perempuan desa juga
beberapa pelatihan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan perempuan desa demikian pula dengan PNFP. Satu hal yang berbeda dari kedua organisasi
tersebut adalah kemandirian dalam pendanaan organisasi. Organisasi SPD lebih mandiri dari pada PNFP.Model rekruitmen peserta didik pada kedua organisasi ini juga sedikit
berbeda demikian pula dengan model pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal.Model pengelolaan organisasi yang berbeda juga membuahkan relasi yang berbeda
di antara hubungan pendidik dan peserta didik.
134
5. KESIMPULAN