Sejarah Pasar Loak Bukittinggi dan Bielefeld

487 1. PENDAHULUAN Tempat pasar market-place dipandang sebagai cermin dari kompleksitas sosial. Pasar, oleh sebab itu kata Mai dan Buchholt 1987: 2, mengandung berbagai informasi tentang barang yang diperdagangkan, tipe pedagang, perusahaan dan pembeli, juga organisasi sosial ekonomi perdagangan, harga pasar, kredit, strategi jual beli, serta aspek sosial dan komunikatif dari hari pasar. Demikian pula pasar loak dapat dilihat sebagai cermin kompleksitas sosial, karena pasar loak mengandung beragam informasi tentang pengelola pasar loak, pengunjung, penjual, tipe tawar menawar, makna sosial uang, dan sebagainya Damsar, 1998a. Pasar loak, oleh sebab itu, melekat pada semua aspek kehidupan seperti aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Melalui perspektif pasar cermin kompleksitas sosial, tulisan ini ingin menjawab pertanyaan apakahpasar loak dapat dipandang sebagai gerakan sosial? Gerakan sosial seperti apa yang diemban oleh pasar loak? Serta bagaimana pula pasar loak dapat dilihat sebagai gerakan lingkungan hidup global?Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu ditelusuri sejarah perkembangan pasar loak. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penelitiandilakukan dengan pendekatan kualitatif pada dua kota di dua negara yaitu Bukittingi di Indonesia dan Bielefeld di Jerman. Penelitian pasar loak Bukittinggi dilakukan semenjak tahun 1998 sampai 2016 melalui observasi dan wawancara mendalam dengan berbagai aktor pasar loak seperti pedagang, pengunjung dan pengelola pasar loak. Sedangkan pasar loak Bielefeld diteliti melalui observasi dan wawancara mendalam serta studi literatur pada saat menulis tesis doktor di Universitas Bielefeld, yaitu sekitar tahun 1996 sampai 1998.

2. Sejarah Pasar Loak Bukittinggi dan Bielefeld

Bukittinggi adalah kota kedua terbesar di Sumatra Barat setelah Padang, sebagai ibukota provinsi. Berlawanan dengan Padang yang letaknya di pantai barat Sumatra, Bukittinggi berada pada daerah dataran tinggi yang memiliki kontur berlembah-lembah dan berbukit-bukit. Keadaan fisik seperti ini membuat Bukittinggi indah dan enak dipandang. Sehingga pemerintah dan masyarakat menjadikan Bukittinggi sebagai daerah tujuan wisata. Selain sebagai kota wisata, Bukittinggi juga dikenal sebagai kota perdagangan. Wilayah sekitar Bukittinggi merupakan daerah-daerah sentra produksi industri kerajinan dan pertanian, seperti Ampek Angkek Candung, Baso, Tilatang- Kamang, dan Banuhampu-Sungai Puar. Daerah-daerah tersebut menjadi pemasok hasil kerajinan, pertanian dan jasa bagi Bukittinggi. Kombinasi aktifitas pariwisata dan perdagangan memberi pengaruh terhadap tumbuh kembangnya pasar loak Bukittinggi Damsar : 2002. Akar sejarah keberadaan pasar loak Bukittinggi, menurut Damsar 2002 : 241, bersumber pada dua persoalan; satu, kebutuhan segera terhadap uang sehingga orang menjual barang yang dimiliki kepada orang lain. Dua, kebutuhan terhadap barang-barang murah karena tidak semua orang memiliki dana cukup untuk membeli barang-barang baru. Meskipun keberadaan pasar loak telah lama dikenal dalam masyarakat Bukittinggi, yaitu semenjak era pemerintahan kolonial Belanda, namun sampai pada tahun 1980-an, pasar loak tidak berkembang dalam arti kuantitas pedagang, yaitu hanya terdapat sekitar 5 pedagang barang bekas di sana. Pada tahun 1982, misalnya, ditemukan hanya 4 pedagang barang bekas pada Pasar Lereng. Selain itu, ada seorang pedagang pakaian bekas berjualan di daerah sekitar Rajawali, tepatnya di depan Hotel Lima’s dan satu lagi di sekitar Pasar 488 Bawah. Sedangkan pada awal tahun 1990-an, pedagang barang bekas mempunyai lokasi baru, yaitu di Pasar Aur Tajungkang. Pada lokasi baru ini jumlah pedagang mencapai belasan orang. Konsentrasi pedagang barang bekas Bukittinggi di pasar Aur Tajungkang berlangsung sampai tahun 1995. Pada masa tersebut jumlah pedagang lebih banyak dibandingkan masa sebelumnya. Salah satu penyebab dari keadaan ini adalah banyaknya barang-barang bekas, terutama pakaian dari luar negeri Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, dan Hongkong membanjiri pasar-pasar di Sumatra. Keadaan ini mengingatkan kita pada teorema”supply creates demand “. Ketika Indonesia memasuki krisis ekonomi, tahun 1997, banyak masyarakat mencari alternatif bagaimana bisa “survive” dalam menghadapi krisis. Salah satu alternatif tersebut adalah mengkonsumsi barang-barang layak pakai yang dijual di pasar loak. Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah permintaan terhadap barang-barang murah-meriah tetapi layak pakai dan bagus dipandang meningkat. Seiring dengan itu, karena permintaan meningkat maka banyak orang melihat bahwa menjual barang bekas merupakan aktifitas ekonomi yang prospektif. Pertambahan jumlah pedagang pakaian bekas yang sangat signifikan menyebabkan kawasan sekitar Pasar Bawah menjadi padat, sumpek, dan tumpah ke jalan-jalan. Akibatnya kawasan sekitar ini sering macet. Melihat situasi pasar seperti ini, pemerintahan kota melalui institusi terkait melakukan kaji ulang penggunaan ruang pasar bagi pedagang pakaian atau barang bekas. Pemerintah kota melihat kawasan di sekitar Pasar Atas, yaitu mulai dari kawasan Jenjang Empat Puluh sampai daerah sekitar Pasar Lereng seperti Pasar Ikan, Pasar Maco, Belakang Pasar dan Pasar Putih menjadi lokasi pasar bagi pedagang barang-barang bekas. Sebelum pedagang pakaianbarang bekas direlokasi ke Pasar Atas, pertokoan di Blok F, dikenal dengan sebutan Pasar Putih, tidak ada yang buka. Semua toko telah ada pemiliknya, namun tidak satupun dari toko tersebut difungsikan sebagamana mestinya sebuah toko. Kalaupun ada yang memfungsikannya, hanya sekedar sebagai tempat penyimpangan barang atau sebagai gudang. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat buang air seni atau hajat. Perpindahan sebagian besar pedagang pakaianbarang bekas dari kawasan sekitar Pasar Bawah ke kawasan sekitar Pasar Atas telah memberikan solusi penggunaan ruang pasar dan pendapatan negara. Pasar putih yang sebelumnya tidak berpenghuni, sekarang telah banyak pedagangnya. Selain itu, pemerintah kota dapat memungut retribusi atas kegiatan ekonomi yang dilakukan. Fenomena lain yang menarik dari perpindahan ini adalah pemasukan uang bagi pemilik toko Pasar Putih. Para pedagang pakaianbarang bekas yang berasal dari pasar bawah menyewa kepada pemilik toko atau los. Biaya sewa satu petak toko pada awalnya adalah Rp 500.000 per tahun. Dalam perkembangannya, setiap berganti tahun terjadi pertambahan nilai sewa. Saat ini sewa toko sekitar Rp 4.000.000 sampai Rp 5.000.000 per tahun. Ketika Pasar Putih dan sekitar Pasar Lereng tidak mampu menampung jumlah pedagang pakaianbarang bekas maka pada tahun 1998 para pedagang memohon kepada pemerintah kota untuk mengizinkan mereka berdagang di kawasan taman dan jalan yang terletak di samping pertokoan Blok E, dikenal dengan Pasar Wisata. Pemerintah kota mengabulkan permohonan pedagang sehingga dijadikanlah lokasi tersebut sebagai pasar loak. Pasar loak Jerman dimaksud di sini adalah pasar loak di kota Bielefeld. Kota Bielefeld merupakan sebuah kotamadya kreisfrei Stadt dari Kabupaten Regierungsbezirk Detmold di Negara Bagian North Rhine Westphalia. Bielefeld dapat dibagi, secara ekonomi, ke dalam tiga area, yaitu perbelanjaan, industri dan pertanian. Seperti kota-kota lain di Eropa, Bielefeld memiliki area perbelanjaan terletak di pusat kota. Daerah ini dikenal dengan nama Jahnplatz. Di sekitar daerah ini dapat ditemukan balai 489 kota, teater, gereja, stasiun kereta api, stasiun bus dan sebagainya. Daerah industri terletak di Milse, Altenhagen, Ubbedissen, Jöllenbeck, and Babenhausen. Sedangkan daerah pertanian ditemukan di Dornberg, Babenhausen, and SenneDamsar, 1998b. Tradisi pasar loak Jerman, menurut Damsar 1998b, dapat ditelusuri akarnya pada “Trempelmarkt” yang diselenggarakan dari 1494 sampai 1914 di Nuernberg. Pasar ini dihadiri oleh “tukang sepatu” yang memperbaiki sepatu rusak, penjual pakaianbarang bekas dan penjual barang lainnya. Pada saat yang sama di beberapa kota terdapat “Kirmesmarkt”, tempat diadakannya pertunjukan kerakyatan dan sekaligus sebagai pasar malam. Pada pasar ini dijumpai pedagang pakaianbarang bekas. Pada masa sekarang, di beberapa kota tempat pasar market-place diselenggarakannya “Kirmesmarkt” pada malam hari, sedangkan pada siangnya, khususnya pada akhir pekan, diadakan pasar loak. Selain fenomena pasar di atas, sebelum Perang Dunia II, di beberapa kota Jerman ditemukan Lumpensamler. Mereka adalah pedagang yang membeli dan menjual barang- barang bekas dari rumah ke rumah. Pekerjaan sebagai Lumpensamler memudar dan menghilang seiring dengan semakin menguatnya perekonomian masyarakat dan industrialisasi. Pasar loak menemukan bentuk yang baru seperti sekarang muncul sekitar tahun 1960 di Jerman Jülich dan Jüngst, 1977. Sekitar tahun 1970-an, lanjut Damsar 1998b, pasar loak telah tersebar meluas di berbagai kota di Jerman Barat. Selama dekade ini, para pedagang pasar loak biasanya bukan sebagai pedagang profesional yang terlibat dalam perdagangan karena untuk memperoleh uang, tetapi hanya sebagai pedagang semu pseudo traders yang hadir di pasar loak untuk memenuhi orientasi rasional nilai. Setelah tahun 1970-an, pasar loak lebih berkembang, baik dari segi kuantitas maupun jenisnya. Komersialisasi pasar loak mulai berkembang pada awal 1980-an. Dengan kata lain, beberapa organisator pasar loak menyelenggarakan pasar loak untuk memperoleh untung dan juga beberapa pedagang menjual barang-barang mereka untuk meraih laba. Sekarang tipe pasar loak jenis ini banyak ditemukan di Jerman, khususnya di wilayah Jerman Barat lama. Menurut Oberbeil terdapat sekitar 15.000 pasar loak pada tahun 1985. Sedangkan Jülich dan Jüngst melihat bahwa pasar loak dapat ditemukan hampir di seluruh Jerman 1977.

3. Pasar Loak Sebagai Gerakan Sosial