776
kehilangan dan terpisah dengan tetangga dan teman-temannya dulu yang terbina dengan baik dan akrab.
Hubungan dan pertemanan antara tetangga pasca relokasi pada kedua komunitas tetap berjalan baik, walaupun mengalami pengkoreksian dan perubahan khususnya pola
dan variasi individunya. Hubungan sosial dalam bentuk pertemanan merupakan inti dari suatu kehidupan sosial, dimana eksistensi suatu sistem sosial ada pada hubungan timbal
balik.
Dua komunitas pasca relokasi pulau Lae-Lae dan Kampung Nelayan kelurahan Untia memiliki dinamika interaksi yang bervariasi, walaupun kedua komunitas tersebut
sebelumnya menyatu dalam satu kesatuan wilayah yaitu pulau Lae-Lae. Relokasilah yang membuat komunitas ini menjadi terpisah dan tercerabut. Kedua komunitas tersebut secara
otomatis mengalami proses adaptasi sosial atau masa sosialisasi. Proses adaptasi dan sosialisasi adalah penataan, pengenalan kembali berbagai aspek kehidupan sosialnya untuk
kelangsungan kehidupan secara efektif, termasuk menata dan membangun hubungan dan interaksi dengan para tetangga dan teman-temannya.
Pola dan intensitas pertemanan antar warga kedua komunitas mengalami perubahan dan ketercerabutan sejak dilaksanakannya relokasi penduduk ke Kampung
Nelayan kelurahan Untia. Secara kuantitas jumlah penduduk dan rumah tangga mengalami penurunan dan perubahan baik komposisi maupun struktur umur. Perubahan jumlah dan
komposisi penduduk dalam dua komunitas tersebut mengakibatkan perubahan pola dan intensitas pertemanan. Pola pertemanan yang selama ini berjalan ketika masih menyatu
dalam suatu wilayah yaitu pulau Lae-Lae akhirnya tercerabut, terbongkar dan mengalami perubahan.
Pasca relokasi warga mengalami penurunan variasi dan intensitasnya terhadap warga dan tetangga yang sama. Bahkan terjadi perubahan pola pertemanan, kalau sebelum
relokasi interaksi antar warga menyatu sebagai suatu keseluruhan, setelah relokasi pertemanan antar warga berubah menjadi dua pola baru yaitu pertemanan antar warga
dalam komunitas Kampung nelayan dan pertemanan antar warga dalam komunitas pulau Lae-Lae. Ibaratnya dalam solidaritas menimbulkan solidaritas sosial ganda yakni
solidaritas yang terbangun pada saat menyatu sebagai warga pulau Lae-Lae dan solidaritas sebagai warga komunitas Kampung nelayan, atau ada hubungan yang bersifat solidaritas
sosial internal dan eksternal.
Hal yang sama dirasakan pula oleh warga komunitas Kampung nelayan, dimana ketika di pulau Lae-Lae pertemanan dengan warga sesama begitu mendalam, akrab dan
berlangsung dengan penuh kekeluargaan. Setelah di Kampung nelayan warga harus menata kembali atau melakukan proses adaptasi terhadap warga lain sebagai penduduk lokal.
Apalagi pada awalnya mereka datang belum terbangun hubungan dan pertemanan yang mengarah pada kerjasama, tetapi hubungan dan interaksi mereka mengarah pada konflik
dan persaingan dengan warga lokal kelurahn Untia. Warga Kampung Nelayan yang tinggal dalam pemukiman tersebut tidak seluruhnya warga pindahan dari pulau Lae-Lae, tetapi
sebagaian warga lokal kelurahan Untia dan ada beberapa dari daerah lain. Kondisi inilah yang juga turut mempengaruhi hubungan dan pertemanan warga Kampung nelayan pada
awalnya, artinya keberadaan warga baru turut berpengaruh terhadap tingkat homogenitasnya.
3. Diskontinyuitas dalam Hubungan Kerja
Diskontinyuitas social dalam bentuk hubungan kerja, dimaksudkan sebagai keterputusan, keterbongkaran, keterpisahan jalinan antara dua kepentingan atau lebih
terhadap kedua atau beberapa pihak dalam pemenuhan kebutuhan bersama. Realitas ini
777
terjadi dan dialami oleh warga kedua komunitas pasca relokasi, sebagaimana dalam beberapa kasus.
“ Kasus HMM. Berprofesi sebagai nelayan pinggawa caddi, perahu sebagai sarana yang dipergunakan dalam menjalankan aktifitas penangkapan di peroleh atas
bantuan kakak iparnya. Dalam melakukan penangkan ikan beliau dibantu oleh para pekerjanya sawi 5 orang ARF, RD, AM, GS dan UM , masing-masing sawi tersebut
telah mengerti perannya dalam proses penangkapan, pada intinya sudah ada pembagian kerja masing-masing. Beliau sangat menjaga dan memelihara hubungan dengan para
pekerjanya, seperti kalau lagi tidak melaut dalam beberapa hari beliau memberii bantuan pinjaman kepada para sawinya, kalau ada yang sakit pasti mereka memberii bantuan
biaya pengobatan, termasuk kebutuhan keluarganya. Beliau juga menjaga kepercayaan dengan pemilik modal pinggawa lompo P.SYM yang biasanya dilakukan seperti
mengimformasikan hasil tangkapan secara jujur, termasuk kalau ada masalah yang dihadapi ditengah laut sehingga hasil tangkapannya mengalami penurunan, semuanya
disampaikan secara jujur dan terbuka. Dalam pembagian hasil pun selama ini bersama pinggawa lompo maupun para sawinya tidak pernah ada masalah atau protes. Karena
dalam pembagian hasil mereka sudah tahu berapa haknya, bahkan kalau hasil lagi banyak biasanya diberi tambahan. Pada intinya hubungan kerja mereka berjalan baik dan tidak
hanya berlangsung pada saat dilaut tetapi juga hubungan sosial ketika didarat. Beliau juga pernah bekerjasama dengan pinggawa lompo HDRN, sebagai pemilik rumah makan
di kawasan jalan Lamadukkeleng Makassar. Namun tidak lama karena pinggawa lompo tersebut sudah tidak bersedia lagi dan mau fokus dalam mengurus rumah makannya
tersebut. Pasca relokasi dua anggota sawinya yang ikut pindah ke Kampung nelayan ARF dan UM, memang tidak langsung berhenti, tapi selang beberapa bulan kedua sawi
tersebut sudah susah lagi diajak kelaut, karena alasan jarak dan mereka sudah beralih pekerjaan sebagai buruh bangunan di Kampung nelayan khususnya ARF, namun UM tidak
ada alasan yang jelas, yang pasti kedua sawinya tersebut mulai ada kesulitan untuk bergabung dalam proses penangkapan ikan dirasakan pasca relokasi. Sejak itu hubungan
kerja bersama kedua sawinya tersebut terpaksa dicarikan pengganti”. “ Kasus NSDA. Beliau warga Kampung nelayan awalnya sebagai buruh bangunan
seiring juga tetap melakoni pekerjaan sebagai nelayan sawi yang ikut bersama pinggawa caddi HMM yang merupakan warga Lae-Lae. NSDA ini setelah menjadi tukang beliau
jarang lagi turun kelaut untuk menangkap ikan, bahkan memutuskan untuk berhenti sebagai sawi dari pinggawa caddi HMM.Memutuskan berhenti sebagai sawi tidak lama
pasca relokasi, dengan pertimbangan sudah mempunyai pekerjaan sebagai tukang, dan untuk menafkahi keluarganya tidak perlu meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama
serta hasilnya pun cukup. Beliau digaji sebagai tukang antara Rp 75.000 sampai Rp 100.000 sehari, sehingga dalam seminggu dia berpenghasilan antara Rp 450.000,- sampai
Rp 600.000 seminggu atau sebulan bisa sekira Rp 2 .000.000, lebih sedikit ada peningkatan dari profesinya sebagai nelayan dulu. Relokasi membuat beliau memutuskan untuk
berhenti bekerja sebagai nelayan sawi terhadap pinggawanya di Lae-Lae HMM serta relokasi yang membuat beliau beralih profesi sebagai buruh bangunan dan sebagai tukang
batu yang selama ini banyak bekerja pada pembangunan gudang yang ada seputar tempat
tinggalnya di Kampung nelayan”. “ Kasus UDST. Sebagai ketua ORW 1 di kelurahan Lae-Lae, coordinator LKM
citra bahari Lae-Lae, beliau dikenal sebagai tokoh masyarakat sekaligus merupakan salah seorang tokoh yang bertahan dan tidak setuju dengan relokasi. Beliau menyampaikan
bahwa ada salah satu ketua ORW disini yang ikut pindah ke Kampung nelayan namanya p.HR.waktu masih diLae-Lae sebelum relokasi pHR sebagai ketua ORW.2. Pasca relokasi
778
posisi ketua ORW 2 tersebut kosong dan nanti beberapa bulan pasca relokasi warga melakukan rapat pertemuan untuk mengganti dan mengangkat ketua ORW 2 yang baru”.
Pulau Lae-Lae merupakan komunitas yang dicirikan nelayan sebagai sumber mata pencaharian utama, atau nelayan adalah kegiatan ekonomi utama dalam menopang
kehidupan keluarga. Kenelayanan bagi komunitas Lae-Lae merupakan segala bentuk aktifitas yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kegiatan nelayan bukan
hanya sebatas menangkap ikan tetapi semua bentuk kegiatan yang memanfaatkan laut sebagai media dan sumber mata pencaharian. Beberapa kegiatan kenelayanan komunitas
Lae-Lae yang menjadi sumber mata pencaharian antara lain menangkap ikan dengan menggunakan alat berupa pancing, pukat, jala dan bagang, peyelaman dengan
menggunakan peralatan selam teknikkerampilan yang diperoleh secara turun temurun dan jasa penyeberangan antar pulau khususnya dari dermaga penyeberangan Kayu Bangkoa ke
pulau Lae-Lae. Pada intinya ada tiga bentuk kegiatan kenelayanan dengan hasil atau sasaran yang berbeda yang menjadi aktifitas utama mata pencaharian oleh komunitas Lae-
Lae yaitu pertama; menangkap atau mencari ikan dengan peralatan tersendiri, kedua menyelam teripang dan ikan langkah yang banyak ditemukan pada laut dengan kedalaman
dan jenis peralatan tertentu, ketiga adalah jasa penyeberangan antar pulau, atau sebagai sarana tranportasi bagi komunitas pulau.
Selanjutnya ada pula kegiatan lainnya sebagai aktifitas ekonomi sampingan khususnya bagi ibu-ibu diantaranya, jual-jualan sembako, jasa menjahit, jasa
kecantikansalon, jasa layanan memasak atau menerima pesanan bagi warga dari luar yang berkunjung ke Lae-Lae untuk mempersiapkan makanan dan buka warung. Kegiatan
ekonomi sampingan tersebut mengalami diskontinyuitas dari aspek jaringan kerjasama pasca relokasi dan pemindahan penduduk ke Kampung Nelayan kelurahan Untia.
Ketiga bentuk kenelayanan sebagai sumber mata pencaharian warga Lae-Lae, disamping kegiatan ekonomi sampingan yang banyak digeluti oleh para ibu-ibu tersebut
juga mengalami ketercerabutan dan keterbongkaran dari aspek jaringan dan kerjasama pasca relokasi penduduk tahun 1998. Hal yang sama diskontinyuitas dirasakan pula oleh
warga komunitas Kampung nelayan. Dimana komunitas Kampung Nelayan menghadapi proses adaptasi terhadap kondisi fisik dan sosial yang baru, dimana jaringan dan kerjasama
yang sudah terpola ketika masih di Lae-Lae harus segera ditata dan diperbaharui.
Secara sosial juga menghadapi tantangan baru dimana jaringan kerja dan pola hubungan mengalami perubahan dan keterbongkaran serta keterpisahan. Kalau dulu di
Lae-Lae pola hubungan kerja sebagai nelayan sudah terpolakan dan terpetakan, nelayan memiliki kelompok-kelompok kecil sebagai jaringan kerjasama baik pra-penangkapan
maupun pasca penangkapan seperti pappalele termasuk pengolahan ikan hasil tangkapan yang tidak terjual, setelah warga direlokasi ke Kampung nelayan pola itu menjadi
terbongkar dan memerlukan penataan dan pembenahan kembali.
Fenomena diskontinyuitas yang terjadi beberapa bulan pasca relokasi adalah keterputusan hubungan kerja antara pinggawa caddi dengan sawinya HMM dan NSDA,
keterhentian hubungan antara pemberi jasa dan penerima jasa pelanggan yang berakibat pada penurunan kegiatan produktif dan berimbas pada berkurangnnya penghasilan ADP,
keterputusan dan kekosongan kepengurusan organisasi sosial keagamaan majelis taklim nurul bahri kelurahan Lae-Lae, termasuk kekosongan dan keterhentian kepengurusan salah
satu organisasi rukun warga ORW 2 di Lae-Lae.Relokasi berakibat pada penciptaan suasana diskontinyuitas pada kedua komunitas, baik terhadap hubungan kerja dalam mata
pencaharian warga maupun hubungan kerja dalam organisasi kewargaan dan organisasi sosial keagamaan.
Kasus HSR seorang ibu rumah tangga yang aktif sebagai kader masyarakat beliau mengatakan dalam suatu wawancara bahwa
779
“….. waktu penduduk belum dipindahkan, kita merasa ramai banyak warga yang bisa diajak untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan kita bersemangat, sejak
penduduk dipindahkan ke Kampung nelayan kita merasa kurang orang dan kegiatan tidak semeriah dulu…..”
Informan tersebut memberi gambaran bahwa perpindahan penduduk atau relokasi dari sebagian warga pulau Lae-Lae menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan sosial
di masyarakat, bahkan kesan mendalam, dari warga, merasakan adanya sesuatu yang hilang dari kebiasaan komunitas. Seperti kebiasaan kumpul bersama, peta komunikasi dan
kerja sama yang intinya menciptakan suasana yang jauh berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan diskontinyuitas, tetapi sudah
mengarah pada perubahan sosial pada kedua komunitas.
b. Diskontinyuitas Aspek Ekonomi
Gambaran tentang realitas diskontinyuitas aspek ekonomi yang dialami dan dirasakan oleh warga kedua komunitas nampak dalam beberapa kasus berikut.
“ Kasus ADP. Beliau sebgai tokoh perempuan di Lae-Lae, lahir 47 tahun yang lalu, beliau sebagai ketua majelis taklim miftahul bahri, aktif mengikuti kegiatan pelatihan,
terampil dalam menjahit dan tata rias kecantikan, tidak heran dirumah beliau menyediakan jasa menjahit dan salon kecantikan, Beliau juga sering dipanggil oleh warga
Lae-Lae sebagai bas, semacam penanggungjawab masakan dan makanan yang dikonsumsi untuk suatu hajatan atau pesta perkawinan. Beliau sebagai salah satu orang yang menolak
pelaksanaan relokasi, hidup dan tinggal di Lae-Lae dianggapnya hak, orang tua bahkan nenek saya sudah tinggal lama secara turun temurun. Pasca relokasi Beliau juga
merasakan tidak nyaman, sepi, dan yang paling dirasakan oleh beliau adalah hubungan mereka bersama warga dan para tetangga berjalan dengan begitu baik, akrab dan saling
membantu satu sama lain. Beliau juga merasakan berkurang penghasilan lantaran banyak warga yang sudah pindah, yang sebelumnya sering menggunakan jasanya sebagai bas
dalam hajatan, tukang jahit dan jasa tata rias kecantikan atau salon. Pasca relokasi warga yang pindah selama beberapa bulan tidak pernah ada hubungan apalagi bertemu dengan
mereka, meskipun merasa kangen dengan kehidupan dulu sebelum relokasi yang penuh
keakraban, persaudaraan”. “ Kasus DAP, beliau sebagai ketua ORW di Kampung Nelayan dan berkerja
sebagai wiraswasta yaitu pedagang dan pengumpul oli bekas pekerjaan saya waktu masih tinggal di pulau Lae-Lae adalah sebagai nelayan, setelah tinggal di sini Kampung
nelayan pekerjaan sebagai nelayan tidak lagi saya kerjakan, karena sarana penunjangnya kurang memadai lagi, sementara ada potensi lain yang lebih baik yaitu mengumpul dan
berdagang oli bekas pendapatan dari pekerjaan tersebut lebih baik saya bisa dapat keuntungan bersih rata-rata setiap hari Rp 300.000 sampai Rp 400.000. usaha ini
memudahkan saya lakukan karena sarana transportasi lebih mudah dan lancar yang memungkinkan bagi saya untuk bisa berkeliling tanpa harus terikat oleh waktu dan jam
penyebe
rangan”. “ Kasus NSDA yang menyatakan pengalaman hidupnya selama di kampug
Nelayan.Saya merasa hidup diKampung nelayan ini ada peningkatan ekonomi, karena variasi pekerjaan juga lebih beragam. Seperti buruh bangunan, tukang ojek, security,
walaupun saya waktu di Lae-Lae pekerjaan satu-satunya adalah nelayan. Banyak warga disini yang terlibat bekerja sebagai buruh industry rumahan seperti pengupasan kulit
mente, dan tidak pernah dilakukan pada waktu masih di pulau lae-Lae. Termasuk ada
780
anggota keluarga saya yang juga mengambil pekerjaan rumahan dalam mengupas kulit biji mente”.
“ Kasus MRT. lainnya yang menjelaskan pengalamannya selama pindah dari Lae- Lae sebagai berikut. Ekonomi rumah tangga pun saya merasa juga ada peningkatan
setelah disini karena ada bisnis kecil-kecilan disamping jual kue, juga ada semacam koperasi simpan pinjam. Pada intinya disini banyak kesibukan yang dapat menambah
penghasilan keluarga. Anak-anak mudah sekarang tidak terlalu tertarik lagi bekerja sebagai nelayan, walaupun orang tua dan keluarga besar nelayan, mereka lebih senang
bekerja disektor lain seperti jadi buruh industry atau karyawan perusahaan di KIMA, termasuk anak saya setelah tamat sekolah SMU bersama teman-temannya melamar
bekerja disana dan sekarang sudah bekerja”. “ Kasus BSDRM menceritakan fakta kehidupannya selama di Kampung Nelayan
sebagai berikut. saya lahir dan besar bahkan istri pertama di Lae-Lae, dan mencari makan dilaut sebagai nelayan dan saya pernah ikut dikapal penangkap ikan orang Korea
dan Jepang, sekarang setelah pindah di Kampung nelayan ini, saya tidak lagi bekerja sebagai nelayan, karena dari sarana penangkapan yang ada tidak memadai bahkan sulit,
makanya saya awalnya bekerja sebagai buruh bangunan dan sekarang menjadi bujang atau penjaga sekolah SMK 9, yang jauh sekali dari kehidupan nelayan yang saya geluti
selama di Lae-
Lae”. Aktifitas ekonomi dimaknai sebagai sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang sebagai sumber dalam menafkahi kelangsungan hidup seseorang atau keluarga. Seseorang bisa saja memiliki sumber mata pencaharian lebih dari
satu dalam menopang kelangsungan hidup ekonomi keluarga seperti sebagai nelayan tetapi juga sebagai tukang.
Realitas ketercerabutan banyak dialami dan dirasakan oleh komunitas Kampung Nelayan pasca relokasi. Komunitas pulau Lae-Lae yang berpindah tersebut sebagian besar
atau seluruhnya adalah keluarga nelayan. Namun setelah pindah, sebaliknya sebagian besar tidak lagi berprofesi sebagai nelayan, atau aktifitas mata pencahariannya berubah ke sektor
lain yang hampir tidak mempunyai kaitan dengan perikanan dan kelautan. Artinya pasca relokasi mata pencaharian warga mengalami ketercerabutan atau keterbongkaran dari mata
pencaharian yang dulunya sebagai nelayan ke non nelayan seperti buruh bangunan tukang kayu, tukang ojek dan sebagai bujang sekolah.
Beberapa kasus di atas, memberi gambaran bahwa relokasi penduduk pulau lae- Lae yang tadinya berprofesi sebagai nelayan, atau nelayan sebagai sumber mata
pencaharian utama mengalami diskontinyuitas setelah pindah ke Kampung Nelayan. Diskontinyutas aspek mata pencaharian tersebut terjadi, oleh karena perbedaan situasi dan
kondisi antara daerah asal dan daerah tujuan. Ketertecerabutan dan keterbongkaran mata pencaharian merupakan proses awal terjadinya perubahan social serta wujud adaptasi
sosial dan lingkungan bagi warga komunitas Kampung Nelayan.
Potensi lain yang mendorong perubahan mata pencaharian warga adalah wiraswasta seperti jualan untuk kebutuhan sembilan bahan pokok sembako, jasa
perbengkelan dan perbaikan alat-alat rumah tangga serta pengumpul barang bekas seperti oli bekas. Peluang usaha untuk jualan sembako dimanfaatkan oleh warga untuk membuka
kios atau warung, hal ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan warga komunitas tetapi bagi penduduk yang datang berkunjung pada hari libur khususnya pada hari minggu.
Kesempatan ini ditangkap sebagai peluang besar oleh seorang tokoh masyarakat H. Ahmad DG. Lallo dalam membuka kios jualan. Beliau mengatakan omset penjualannya jauh lebih
besar jika dibandingkan waktu masih di Lae-Lae, dia bercerita mengenai kemudahannya dalam berusaha di Kampung Nelayan ini bahwa saya tidak perlu meninggalkan tempat
untuk menambah modal dan jualan saya karena banyak mobil kampas yang datang
781
mengatar barang sesuai yang kita perlukan, tidak mengeluarkan biaya transport untuk mengangkut barang-barang dagangannya, cukup hanya menelepon pada pengusaha
besardistributor barangnya langsung diantar. Kemudahan ini ditunjang oleh sarana transportasi yang lancar dan terjangkau, kalau dulu waktu di Lae-Lae harus tinggalkan
tempat dan beliau harus menyeberang ke sebelah kota Makassar.
Relokasi penduduk tidak hanya melahirkan kondisi diskontinyuitas tetapi juga mendorong percepatan perubahan sosial bagi kedua komunitas. Komunitas nelayan
mengalami perubahan struktur mata pencaharian dari nelayan berubah ke non-nelayan seperti buruh bangunan, tukang ojek dan sebagai buruh industri. Perubahan tersebut terjadi
bukan semata-mata karena warga mengalami perpindahan, tetapi karena potensi dan kapasitas warga dalam mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan yang baru.
Fakta yang menunjukkan perbedaan antara pulau Lae-Lae dan Kampung Nelayan adalah Pertama; kesiapan sarana dan prasarana berupa dermaga dan tempat parkirsandar
perahu tidak memadai dan kurang aman karena jauh dari tempat tinggal, sebaliknya di pulau Lae-Lae sarana dan prasarana lebih menunjang dan lebih aman untuk memarkir
perahu karena bisa di depan rumah masing-masing nelayan, Kedua di Kampung nelayan semakin terbukanya isolasi melalui sarana dan prasarana transportasi darat yang
memudahkan mobilitas warga untuk keluar masuk, sementara di Lae-Lae hanya mengandalkan transportasi darat yang waktu operasinya pun terbatas hanya sampai pukul
22.00 malam hari. Ketiga; semakin terbukanya potensi dan peluang kerja sektor lain yakni banyaknya aktifitas pembangunan sarana fisik disekitarnya seperti pembangunan gudang,
pembangunan kampus PIP Politeknik Ilmu Pelayaran yang merupakan salah satu kampus terbesar, pembangunan jalan dan perumahan dan Keempat, secara geografis dekat dengan
Kawasan Industri Makassar PT.KIMA yang banyak menawarkan lapangan pekerjaan sebagai buruh dan karyawan, Kelima; mata pencaharian sektor non nelayan penghasilan
lebih baik dan resiko lebih kecil serta tidak perlu meninggalkan keluarga terlalu lama.
Realitas diskontinyuitas aspek ekonomi yang dialami oleh warga Kampung Nelayan dari beberapa kasus menimbulkan beberapa implikasi antara lain; terbukanya
peluang untuk diversifikasi usaha produktif berupa lapangan dan kesempatan kerja, ibu- ibu dan remaja putri ada kesibukan yang memungkinkan untuk adanya peluang tambahan
pendapatan keluarga tanpa harus meninggalkan rumah mereka. Pada intinya diskontinyuitas ini memberi peluang dan kesempatan kerja yang lebih luas serta menunjang
peningkatan pendapatan dalam keluarga.
c. Diskontinyuitas Aspek Fisik Lingkungan
Relokasi penduduk Lae-Lae ke Kampung Nelayan kelurahan Untia, bukan hanya berimplikasi pada wilayah administrasif semata, tetapi juga berimplikasi terhadap kondisi
fisik lingkungan bagi warga. Beberapa fakta yang menunjukkan perbedaan Lingkungan fisik Lae-Lae dan Kampung Nelayan antara lain kondisi fisik lingkungan pemukiman yang
lebih tertata, jalan dan drainase lebih rapih, perumahan lebih seragam dari model, ukuran dan kapasitasnya yang mecerminkan suasana kebersamaan dan stratifikasi sosial yang
relative sama equalitas, sarana dan prasarana transportasi laut dan darat, kondisi bangunan yang ada seputar pemukiman yang bernuansa industri, seperti banyaknya
bangunan gudang beberapa perusahaan, suasana dan aktifitas pembangunan fisik nampak dimana-mana yang menggambarkan akselerasi dan pembenahan lingkungan fisik sebagai
kawasan pengembangan, disebelah utara kawasan pemukiman semakin mendekat salah satu pengembang perumahan Villa Mutiara, disebelah jalan pemukiman nelayan nampak
gedung SMK 9 dan gedung panti rehabilitasi remaja serta kegiatan penimbunan pembangunan kawasan kampus pelayaran PIP dan disebelah barat nampak pembenahan
dermaga dan pelabuhan pelelangan ikan terbesar.
782
Sementara kondisi fisik lingkungan Lae-Lae cenderung stagnan dan monoton, seluruhnya dikelilingi oleh laut, meskipun nampak dari kejauhan beberapa pusat kawasan
bisnis Trans Studio, kawasan perumahan Metro Tanjung Bunga, hotel berbintang Aryaduta, hotel pantai gapura, kawasan pelabuhan peti kemas dan penunpang. Sarana dan
prasrana transportasi laut berupa perahu kecil dan dermaga tempat tambatan perahu terkesan seadanya. Kondisi pemukiman dan perumahan warga kelihatan sederhana serta
tidak tertata, sarana peneranganlistrik hanya bisa aktif selama 6 jam sehari semalam, sarana dan tempat pertemuan warga termasuk kantor lurah juga sederhana.
Secara fisik ekologis pulau Lae-Lae ditandai dengan suasana yang kental dengan wilayah pesisir yang tertutup untuk akses hubungan dan komunikasi yang hanya
mengandalkan sarana dan prasarana transportasi laut. Seiring dengan kondisi pemukiman yang secara fisik terkesan kurang terawat termasuk sarana ekonomi produktif yang dapat
menunjang untuk pengembangan wisata bahari. Kondisi fisik lingkungan pulau Lae-Lae terkesan hanya mengandalkan pengembangan secara alamiah, beberapa sarana yang
dibutuhkan oleh warga maupun sebagai penunjang aktifitas ekonomi warga tidak maksimal seperti sarana listrik yang hanya aktif 6 jam jam 17.30 sampai dengan 22.30 sehari
semalam, fasilitas dermaga sebagai penunjang mobilitas juga sangat sederhana dan terkesan seadanya, termasuk penataan pemukiman terkesan kurang tertata dengan baik.
Kondisi fisik ekologi yang dimiliki oleh warga pulau Lae-Lae tersebut berpengaruh terhadap sikap dan prilaku, baik sosial maupun ekonomi terhadap warganya. Sikap secara
sosial terhadap kondisi ekologis tercermin melalui kegairahan dalam suasana kehidupan yang terkesan sepi ibarat suatu perkampungan yang terisolasi dari kehidupan kota
metropolitan, pada hal Lae-Lae hanya berjarak 2 km dari ibukota provinsi Sulawesi Selatan kota Makassar. Selanjutnya kondisi ekologis juga berpengaruh terhadap kehidupan
ekonomi warga, yang tercermin dari aktivitas ekonomi yang cenderung monoton peluang untuk diversifikasi usaha ekonomi sangat terbatas bahkan cenderung mengalami
penurunan, hal ini seiring dengan penggambaran yang dikemukaan oleh kasus UDST bahwa dulu pulau Lae-lae ini menjadi salah satu lokasi kunjungan wisata bahari warga
Makassar dan sekitarnya, disini sering dilaksanakan beberapa aktivitas dari luar, dipadati pengunjung khususnya pada hari libur, sehingga kadang kita sulitki jalan karena ramai
sekali didatangi orang dari luar, dan warga pun memanfaatkan potensi ini dalam menyiapkan layanan seperti menyiapkan paket menu ikan bakar, menyewakan tempat
istirahat berupa balai-balai dan berjualan. Secara ekonomi pendapatan warga mengalami penambahan, termasuk jasa layanan penyeberangan juga meningkat. Namun kondisi
sekarang kehidupan ekonomi warga mengalami penurunan dan sangat terasa sejak mulai dilakukan relokasi penduduk, dan sejak itu pula perhatian pemerintah kota dalam
membenahi sarana dan prasarana yang dibutuhkan juga berkurang.
Kondisi fisik lingkungan yang sangat signifikan perbedaan antara Lae-Lae dan Kampung Nelayan memberi pengaruh terhadap aktifitas, sikap dan prilaku warga kedua
komunitas. Warga Lae-Lae yang direlokasi ke Kampung Nelayan dengan kondisi fisik lingkungan yang signifikan perbedaannya dengan lingkungan asalnya direspons dengan
berbagai penataan sebagai upaya adaptasi. Kondisi fisik lingkungan Kampung nelayan menginspirasi warganya dalam penataan kehidupan sosial, ekonomi dan kebiasaan guna
kelangsungan hidupnya. Kehidupan sosial warga Kampung nelayan nampak solid, akrab, bersahaja dan penuh dengan semangat dalam suasana kekeluargaan, terlihat dalam
partisipasi dan kegotongroyongan dalam setiap kegiatan sosial yang mereka lakukan.
Pendekatan sosiologi khususnya mazhab geografi dan lingkungan oleh E. Buckle 1821-1862 dari Inggris dan Le Play Prancis bahwaadanya hubungan keadaan alam
dengan tingkah laku manusia. Artinya bahwa setiap individu dalam suatu komunitas sangat ditentukan oleh kondisi dan potensi lingkungan yang ada disekitarnya. Lingkungan
783
merupakan variable penting untuk terjadinya suatu perubahan. Termasuk perubahan bagi setiap individu, dimana kecenderungan untuk adanya proses penyesuain terhadap
lingkungan yang ada. Lingkungan yang dimaksudkan bukan hanya pada lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial, dimana diperlukan suatu proses adaptasi yang dimaksudkan
untuk mengakhiri masa transisi dan ketidak seimbangan dalam kehidupan sosial. Terjadinya perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial bagi seseorang dengan
sendirinya akan terjadi perubahan orientasi dalam suatu masyarakat.
Beberapa aspek yang merupakan suatu realitas terjadinya diskontinyuitas lingkugan fisik dialami oleh warga Kampung Nelayan antara lain Pertama; sarana dan
prasarana transportasi berupa tempat tambatan perahu parkir, kondisi fisik di Lae-Lae lebih lengkap, tidak berlumpur dan dekat dengan kawasan pemukiman warga, kalau di
Kampung Nelayan justeru sebaliknya berlumpur, dermaganya jauh dari pemukiman sehingga menyulitkan untuk memarkir perahu, Kedua; warga komunitas nelayan sebagian
besar atau seluruhnya menggunakan sarana dan prasarana transportasi darat, sebaliknya waktu di Lae-Lae menggunakan transportasi air atau laut, Ketiga; kondisi fisik perumahan
di Lae-Lae dulu rumah semi permanen dan sebagaian kecil rumah batu dan setelah di Kampung Nelayan sebagian besar perumahan permanen walaupun bentuknya rumah
panggung.
Sebaliknya komunitas pulau Lae-Lae mengalami hal yang sama yakni struktur fisik perumahan dan pemukiman banyak yang kosong, terbongkar tidak beraturan.
Berdasarkan informasi dari kasus UDST. bahwa rumah-rumah yang kosong tersebut diisi oleh para keluarga pemilik rumah. Seiring dengan hasil observasi menunjukkan bahwa
masih menyaksikan beberapa rumah warga ditinggal begitu saja, bahkan ada beberapa tanah yang kosong bekas perumahan yang ditinggal pemiliknya. Kondisi lingkungan fisik
pemukiman warga mengalami ketidak teraturan dan keterbongkaran terjadi pasca relokasi. Hal ini menguatkan kita bahwa telah terjadi diskontinyuitas lingkungan fisik.
Keterbongkaran lingkungan fisik khususnya pemukiman yang dialami oleh kamunitas Lae- Lae tersebut mempengaruhi suasana kehidupan sosial dan ekonomi warga, seperti perasaan
sepi, marginalitas, terisolasi dan aktivitas ekonomi terbatas. Seiring dengan keadaan lingkungan fisik berpengaruh terhadap aspek psikologis motivasi, sosiologis pola
hubunganinteraksi, ekonomis peluang ekonomi bagi warganya. Artinya perubahan lingkungan fisik turut berpengaruh terhadap aspek lain dalam kehidupan manusia.
5.KESIMPULAN
Relokasi penduduk berakibat pada terjadinya diskontinyuitas yang dialami oleh kedua komunitas. Diskontinyuitas adalah suatu kondisi dimana terjadi pemisahan,
ketercerabutan dan keterhentian sementara karena adanya perbedaan yang dialami dalam kehidupan sosial komunitas dari sebelumnnya. Untuk kelangsungan kehidupan kedua
komunitas, akan terjadi proses adaptasi terhadap berbagai kondisi dan situasi yang dihadapi pasca relokasi.
Aspek dikontinyuitas yang dialami oleh warga kedua komunitas yaitu aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkunganfisik. Ketiga aspek diskontinyuitas yang dialami
tersebut menjadi faktor pendorong dalam perubahan sosial kedua komunitas. Kebijakan relokasi penduduk akan berimplikasi terhadap beberapa fenomena dan
tindakan sosial yakni diskontinyuitas yang mendorong proses adaptasi sosial yang dengan sendirinya menyebabkan perubahan sosial selanjutnya terjadi mobilitas sosial dan
kesejahteraan sosial.
6.DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kota Makassar, 2009, Profil Kota Makassar Tahun 2009
784
Bungin, B, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007
Craib, I, 1986 Teori-Teori sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas. Rajawali Pers Creswell, J, 2009. Research design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods
Approaches, Sage, Thousand Oaks. Grootaert, C. 1998. SocialL Capital: The Missing Link? Social Capital Initiative.Working
Paper.No.3.World Bank. Kinloch, G. C, 2005, Perkembangan danParadigma Utama : Teori Sosiologi: Pustaka
Setia Bandung. Kusnadi, 2003, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS Yogyakarta
Limbong, 2009, Relokasi Penduduk Disertasi Mukhlis, 1988, Dimensi sosial Kawasan Pantai, P3MP The Toyota Foundation
Mulyadi, 2007. Ekonomi Kelautan. PT Raja Graffindo Persada. Jakarta Nasikun, 1984, Sistem sosial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Outhwaite, W, 2008, Pemikiran sosial Modern Ensiklopedi, Kecana Prenada Media
Groupc, Polanyi, Karl, 2003The Great Transformation : The Political and sosial Origins of Our
Time, Boston Press Poloma, M. M, 2007, Sosiologi Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Riyadi, D. S. 2002. Pembangunan Wilayah dan Otonomi Daerah. Konsep Pengembangan. Pusat Pengakajian Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah.BPPT. Jakarta. Salman, D, 2006, .Jagat Maritim : Dialektika Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme pada
Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan , Ininnawa Makassar Suharto E, 2005, Membangun Masyarakat Memberidayakan Rakyat : Kajian Strategis
Pembangunan Suparman, A, 2014 Modal Sosial dalam Diskontinyuitas Komunitas Disertasi
Yin, R. K, Prof. Dr. 1995, Studi Kasus desain dan Metode, Radjawali press Jakarta.
785
PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL DALAM MASYARAKAT PETANI PLASMA KELAPA SAWIT
Desi Yunita
1
, Wahju Gunawan
2 1
Sosiologi Fisip Unpad desi.yunitaunpad.ac.id
2
Sosiologi Fisip Unpad wahyu.gunawanunpad.ac.id
Abstrak
Perubahan sistem pertanian telah mendorong perubahan sosial masyarakat. Pada masyarakat Suku Pekal Desa Talang Arah perubahan terjadi setelah perkebunan kelapa
sawit masuk dan diikutkannya masyarakat sebagai plasma. Penelitian dilakukan untuk mengetahui perubahan infrastruktur, struktur sosial serta suprastruktur sebagai dampak
ikutan dari perubahan pola tanam. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan dianalisa
menggunakan analisis materialisme budaya Marvin Harris. Hasil penelitian menunjukkan, diperkenalkannya perkebunan kelapa sawit model intiplasma telah mendorong perubahan
pola pertanian dan cara produksi. Pada perubahan infrastruktur, terjadi perubahan mode produksi berupa perubahan pola tanam, pola produksi dan teknologi, aktivitas kerja dan
fungsi lahan, sedangkan perubahan pada mode reproduksi, terjadi penambahan jumlah penduduk dan transmigrasi. Perubahan infrastruktur mendorong perubahan pada struktur
sosial masyarakat Suku Pekal diantaranya: perubahan ekonomi domestik, pendapatan dan pengeluaraan, kehidupan sosial keluarga; serta perubahan ekonomi politik yang terlihat
pada perubahan peran pemerintah desa, lembaga ekonomi, lembaga sosial, stratifikasi serta pola perilaku dan interaksi. Implikasi perubahan struktur sosial pada perubahan
suprastruktur adalah berubahnya nilai dan cara pandang terhadap lingkungan.
Kata Kunci
: Infrastruktur, Struktur Sosial dan Suprastruktur
Abstract
Changes in farming systems has driven social change. At the Pekal community Talang Arah village changes occurred after the palm oil plantations entry and inclusion
the community as a plasma. The study was conducted to determine changes in infrastructure, social structure and superstructure as spillovers from changes in cropping
patterns. Research approach using qualitative methods, techniques collecting data through interviews, observation, documentation study, and was analyzed using cultural materialism
of Marvin Harris. Results showed thatthe introduction ofpalm oil plantationshas promptedchanges inagriculturalpatternsandmodes of production. On the infrastructure
changes, changes inmode of productioninclude:changes incropping patterns, patterns ofproductionandtechnology,
work activitiesandland
use, whereaschanges
inreproductionmode, an increasing number ofresidentsandtransmigration. Infrastructure changes have prompted a change in the social structure of Pekal community such as:
changes inthe domesticeconomy, revenuesand expenses, familys sociallife; and political economic changes that shown at thechanging role ofthe village government, economic
institutions, social institutions, stratificationand patternsof behaviorandinteraction. Implications ofchanges inthe social structureinthe superstructurechangeis the changeof
values andperspectiveson the environment. Keywords
: Infrastructure, social structure, superstructure
786
1.PENDAHULUAN Keberadaan perkebunan dan industri kelapa sawit secara positif telah memberikan
harapan padamasyarakat petani untuk dapat hidup lebih baik, sehingga dapat mengurangi pengangguran, keterbelakangan, kemiskinan serta meningkatkan pendapatan masyarakat.
Effendy, 1996; Manurung, 2001; Darmosarkoro, 2007; Wigena, et.al, 2008; serta Susila, Drajad, 2009; mengungkapkan bahwa keberadaan perkebunan kelapa sawit monokultur
memang menguntungkan secara ekonomi karena mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
Beberapa hal dalam masyarakat desa juga mengalami perubahan dengan masuk dan berkembangnya perkebunan monokultur sawit dalam masyarakat. Syahaza, 2005;
Rusmawardi, 2007;Rosariyanto, et.al, 2008;Herman et.al, 2009; danElfitra, 2010; menyebutkan bahwa perkebunan monokultur sawit telah mendorong perubahan tingkat
kehidupan masyarakat yaitu dengan terjadinya perubahan sistem penguasaan dan kepemilikan tanah, yang pada akhirnya mempengaruhi bentuk dan fungsi sejumlah pranata
sosial penting dalam masyarakat, seperti pranata ekonomi, keluarga, pendidikan, dan pranata sosial dalam masyarakat desa perkebunan.
Bahkan Syahaza 2005 secara khusus mengungkapkan bahwa pengembangan perkebunan di pedesaan telah mendorong terjadinya perubahan sistem mata pencaharian
penduduk, yaitu dengan semakin terbukanya peluang kerja bagi masyarakat yang mampu untuk menerima peluang tersebut dan mempengaruhi pranata sosial seperti pranata
ekonomi, keluarga, pendidikan dan pranata sosial. Sehingga, dengan adanya perusahaan perkebunan, maka mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor
primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak usahanya pada sektor tersier Syahaza, 2005:11. Saat ini yang dirasakan masyarakat,
adanya bisnis perkebunan kelapa sawit baik yang dikelola pemerintah maupun swasta telah membuka peluang kerja yang lebih menjanjikan dari pada kehidupan sebelumnya.
Perubahan pola tanam dari polikultur menjadi monokultur dengan jenis tanaman kelapa sawit menyebabkan masyarakat petani Suku Pekal mengalami ketergantungan pada
satu komoditas yakni kelapa sawit. Marti 2008:70 menjelaskan bahwa resiko besar dari model perkebunan dengan penyeragaman tanaman monokultur bisa menurunkan
kemampuan masyarakat untuk mengembangkan mata pencaharian yang berkelanjutan melalui cara diversifikasi. Ketergantungan petani pada satu komoditas sesungguhnya
memiliki resiko besar pada masa depan petani. Apalagi saat ini produktivitas kelapa sawit semakin menurun seiring usia kelapa sawit, Sunarko 2009:56 menyebutkanbahwa siklus
produksi tanaman kelapa sawit dapat mencapai 25 tahun dengan manajemen tanaman.
Masyarakat Suku Pekal, sebagai perpaduan antara Suku Rejang di Bengkulu dan Suku Minang di Sumatera Barat Yondri et.al 2004:1 adalah salah satu suku besar yang
ada di Provinsi Bengkulu,
164
mendiami wilayah Bengkulu bagian Utara yaitu, dari wilayah Ketahun memanjang terus sampai wilayah Muko-muko. Menjadi salah satu suku yang
paling merasakan efek dari pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dengan pola pertanian monokultur. Karena, sebagai masyarakat yang awalnya sangat tergantung pada hutan dan
juga mengembangkan pertanian polikultur, masuknya perkebunan kelapasawit yang membuatmasyarakattergiur untuk masuk menjadi bagian dari plasma perkebunan sawit
tersebut telah merubah cara bertani, relasi ekonomi, relasi sosial, yang telah ada dan berkembang dalam masyarakat selama ini.
Perubahan sistem pertanian tersebut juga berpengaruh terhadap lingkungan desa dimana masyarakat petani Suku Pekal tinggal,salah satunya yaitu di desa Talang Arah.
164
Yondri, et.al. 2004.IdentifikasiBudayaSukuBangsaPekalKabupaten BengkuluUtara. Padang :BalaiKajianSejarahdanNilaiTradisional Padang.
787
Dampak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan ini diantaranya adalah semakin luasnya lahan kritis yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir
165
. Marti 2008:9 menyebutkanbahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu
penyebab utama penggundulan hutan yang telah menghancurkan habitat spesies langka yang pada akhirnya turut berperan dalam proses terjadinya kepunahan satwa-satwa liar.
Hal itu diantaranya juga dipengaruhi oleh metode pembukaan lahan land clearingdenganpembakaran, karena selain telah mendorong kepunahan juga mendorong
terjadinya polusi udara dari kabut asap yang menghasilkan jutaan ton carbon dioksida CO2.
Lebih jauh lagi, proses pencemaran juga terjadi diantaranya pada proses penyulingan minyak sawit yang limbahnya tidak dilakukan pengolahan secara baik,
penyemprotan pestisida dan herbisida secara intensif sehingga menyebabkan pencemaran udara dan air tanah, dan lain sebagainya. Marti 2008:16 menyebutkan:
“Polusi sangat sering ditemukan di mana limbah dibuang secara langsung ke sungai yang berdampak pada ekosistem sungai. Pembuangan pestisida dan bahan
kimia pertanian, aliran air permukaan, sedimentasi dan polusi karena pembuangan limbah cair dan kontaminasi hidrokarbon akan mempengaruhi kondisi air”
Dari penelitian terdahulu merujuk pada : Effendy, 1996; Manurung, 2001;Colchester, 2006; Murtilaksono, et.al, 2007; Marti, 2008; Widiono, 2008; Wigena,
et.al, 2008; Yel dan PaNeco, 2008; Sawit Watch, 2009; Susila dan Drajad, 2009; Elfitra, 2010 dan berdasarkan fenomena petani sawit masyarakat petani Suku Pekal
sepertidijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pola pertanian monokultur dengan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan selama ini khususnya
di wilayah kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara dapat menimbulkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan ekonomi, sosial dan budaya petani kelapa sawit Suku
Pekal, serta menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Atas dasar uraian itu, dilihat dari proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat maka penelitian yang melihat perubahan struktur yang ada dalam masyarakat ini menjadi
suatu kajian yang menarik. Karena dengan mengetahui proses dan tahapan perubahan struktur yang terjadi dalam masyarakat tersebut maka diharapkan ada temuan berupa
tahapan perubahan struktur yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dari temuan tersebut diketahui apakah perubahan struktur yang terjadi dalam masyarakat akan mengarahkan
masyarakat pada suatu tingkat kesejahteraan tertentu atau malah sebaliknya. Dari itu dapat pula dirumuskan formula solusi untuk mendorong perbaikan struktur yang berubah sebagai
akibat berkembangnya masyarakat menjadi petani monokultur tersebut.
Pembangunan tidakhanya untuk satu generasi saja, tetapi juga untuk generasi berikutnya,dengan kata lain pembangunan perkebunan kelapa sawit juga harus memikirkan
keberlanjutan generasi yang akan datang. Bagaimana gambaran sosiologis perubahan sosial masyarakat petani sejak adanya pola tanam monokultur kelapa sawit ini, apakah
benar pembangunan yang berlanjut dapat terwujud, karena berangkat dari bahwa program pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar tidak lain adalah sebagai upaya untuk
mengatasi dan mengurangi angka pengangguran, penanggulangan kemiskinan yang meningkat, antisipasi terhadap kelangkaan energi, upaya meminimalisir kerusakan
lingkungan dan mengantisipasi melemahnya sektor riil di Indonesia
Tidak semua perkebunan kelapa sawit melanggar prosedur operasional, namun apakah sumber daya modal sosial; seperti norma, adat-budaya yang ada di setiap daerah
termanfaatkan dan terlestarikan dalam masyarakat perkebunan kelapa sawit atau justru mengalami pergeseran. Pada satu sisi, perkebunan kelapa sawit memberikan lahan
165
Http:info-Bengkulu.blogspot.Com. Tentang BengkuluLahanEmpukInvestasi2010.Html
.
788
pekerjaan dan pendapatan terhadap masyarakat. Namun di sisi lain perkebunan kelapa sawit juga turut memberikan dampak pada berubahnya cara-cara berpikir petani dan
masyarakat pedesaan secara umum menjadi semakin rasional, segala hal lebih mempertimbangkan kepentingan ekonomi dibandingkan pada hal-hal yang lebih bersifat
nilai-nilai moral pada masyarakat petani Suku Pekal. Dalam bidang budaya, perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh pada masyarakat sekitar, antara lain; perubahan pola
interaksi yang akhirnya merubah pola aktivitas keseharian dan pola perilaku masyarakat dalam pertanian; konsumtif;serta cara pandang terhadap lingkungan berubah.
Perubahan pada cara berpikir dan pola perilaku masyarakat sebagai dampak dari berubahnya sistem pertanian dari polikultur ke monokultur, dari subsistensi menjadi
komersil, mendorong perubahan pada struktur dan interaksi pada masyarakat petani Suku Pekal. Perubahan pada struktur sosial meliputi perubahan pada kelompok-kelompok sosial
petani kelapa sawit, perubahan pada lembaga sosial, perubahan pada stratifikasi sosial dan perubahan pola perilaku. Sementara perubahan interaksi meliputi perubahan pada proses
interaksi antar petani, baik itu sesama petani monokultur maupun antara petani monokultur dengan petani polikultur. Interaksi antara petani dengan perusahaan yang tertuang ke dalam
kesepakatan-kesepakatan petani dan perusahaan.
Perubahan yang terjadi bisa berdampak positif ada kehidupan petani, akan tetapi bisa juga berdampak negatif terhadap kehidupan petani Suku Pekal. Dampak negatif
tersebut sebisa mungkin harus dihindari dengan melakukan kajian akademis terhadap dampak penerapan pola pertanian monokultur perkebunan kelapa sawit terhadap
kehidupan masyarakat petani, sehingga hasil penelitian ini dapat dipakai dalam melakukan perencanaan pengembangan pola perkebunan yang tepat sebagai penopang kehidupan
ekonomi masyarakat petani Suku Pekal. Sehingga, kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapatmenguntungkan secara ekonomibagi masyarakat ataupun perusahaan
dengan pengelolaan yang baik oleh masyarakat dan perusahaan serta memperhatikan keberlanjutan usaha perkebunan dan keseimbangan lingkungan.
Penelitian ini difokuskan pada aspek sosiologis dari perkembangan perkebunan kelapa sawit, yakni perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat petani Suku
Pekal sebagai akibat dari diterapkan pola tanam monokultur kelapa sawit yakni perubahan- perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat petani Suku Pekal sebagai akibat dari
diterapkan pola tanam monokultur kelapa sawit. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini akan melihat perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat
petani Suku Pekal dengan menggunakan pendekatan Cultural Materialisme Marvin Harris, dimensi perubahan yang akan dilihat adalah perubahan pada infrastruktur yakni mode
produksi dan mode reproduksi yang akan berdampak pada perubahan struktur sosial dan suprastruktur masyarakat petani Suku Pekal. Penelitian ini dilaksanakan disaat produksi
perkebunan kelapa sawit sudah mulai mengalami penurunan produksi akibat dari usia tanaman yang telah mencapai ± 20 tahun sejak usaha perkebunan dimulai.
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap kaitan perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat perubahan pola tanam masyarakat terhadap perubahan struktur sosial
masyarakat dan mengungkap perubahan cara pandang masyarakat petani Suku Pekal terhadap lingkungan akibat perubahan pola tanam dari polikultur menjadi monokultur
kelapa sawit. Penelitian ini juga akan menjelaskan perubahan-perubahan sosial dan proses terjadinya perubahan pola pertanian dari polikultur ke monokultur perkebunan
sawitpadamasyarakat petani Suku Pekal yang ada di Desa Talang Arah Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.Dengan dilakukannya penelitian ini juga diketahui
perubahan infrastruktur dan suprastruktur melalui proses analisa perubahan struktur sosial masyarakat petani Suku Pekal.
789
2.TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan sosial adalah perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Selanjutnya beberapa
pemikir menyebutkan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat. Kingsley Davis dalam Setiadi,2011:10 mengartikan perubahan sosial
sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Marx memberikan analisa berbeda tentang perubahan sosial. Menurut Marx terjadinya akumulasi modal capital sebagai dasar asumsi terjadi perubahan sosial. Marx
memberikan kedudukan tertinggi terhadap kenyataan kondisi material di dalam interaksi dialektis dengan kenyataan ide dan hubungan sosial. Proses perkembangan kapitalisme
melahirkan perubahan
sosial dalam
Soelaeman,1998:116.Marx dalam
Suseno,2010:112 menyebutkanpelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu- individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial, karena itu kita hanya dapat memahami
sejarah dan perkembangan yang terjadi apabila kita memperhatikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Menurut Marx, dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang
berkuasa, kelas-kelas yang dikuasai, kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Menurut Marx masyarakat kapitalis terdiri atas tiga kelas yakni, kaum buruh hidup dari upah, kaum
pemilik modal hidup dari laba dan para tuan tanah, pada perkembangan selanjutnya tersisa dua kelas, kaum buruh dan pemilik modal.
Marx dalam Suseno,2010:142 membagikan lingkup kehidupan manusia dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau “basis” dan yang lain adalah
“bangunan atas”. Dasar atau basis itu adalah bidang produksi kehidupan material, sedangkan bangunan atas adalah proses kehidupan sosial, politik dan spritual. Kehidupan
atas ditentukan oleh kehidupan dalam basis. Ini berarti bahwa perubahan sosial akan terjadi bilamana terjadi perubahan pada basis yakni perubahan pada produksi kehidupan material.
Basis ditentukan oleh dua faktor: tenaga produktif kekuatan yang dipakai masyarakat untuk mengerjakan alam dan hubungan-hubungan produktif kerja sama atau pembagian
kerja antara manusia dalam proses produksi. Bangunan atas terdiri atas dua unsur; tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif disebut juga bangunan atas ideologis
Suseno,2010:145.
Jika teori Marx dikaitkan dengan perkebunan, maka pola tanam dan hubungan kerja antara pemilik atau perusahan perkebunan dengan petani adalah basis dalam
kehidupan masyarakat sementara kehidupan sosial yang lainnya adalah bangunan atas. Sehingga asumsi yang terbangun dari teori Marx ini bahwa perubahan-perubahan pola
tanam dan perubahan hubungan kerja antara petani dan perusahaan akan mengubah kehidupan sosial masyarakat.
Teori perubahan Marx, dilengkapi Marvin Harris dalam menganalisis perubahan dalam masyarakat. Saifuddin 2010:236 menyebut bahwa Marvin Harris sangat
dipengaruhi oleh gagasan Marxis tentang basis Base dan Suprastruktur. Marvin Harris menyebut basis sebagai infrastruktur. Marvin Harris memodifikasi skema Marxis dengan
memasukkan unsur reproduksi manusia ke dalam basis infrastruktur bersama-sama dengan mode ekonomi dari produksi. Selain itu, Harris juga mengusulkan suatu kategori
“antara” intermediate category, yakni struktur, di antara basis dan suprastruktur. Suatu kategori yang tidak terdapat dalam skema Marxis.
Dengan menggunakan pendekatan Marvin Harris untuk melihat perubahan sosial, melalui perubahan pada mode produksi dan perubahan pada mode reproduksi akan
mendorong perubahan pada struktur sosial masyarakat dan suprastruktur masyarakat.
790
3.METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif studi kasus. Pemilihan metode kualitatif studi kasus karena metode ini konteksnya secara alamiah
mempelajari dengan berupaya memahami, atau menafsirkan, fenomena dilihat dari sisi makna yang dilekatkan. Salah satu cara untuk mengungkap bagaimana perubahan sosial
yang terjadi akibat pola tanam yang berubahmaka, peneliti memerlukan partisipasi aktifdan kooperatif berbasis pengalaman pada objek penelitian.Tujuannya adalah untuk
mengungkapkan data yang bersifat holistik, pluralis dan egaliter. Pemilihan metode kualitatif studi kasus ini dilakukan karenakeberadaan tempat, kekhususan dan keunikan
kasusmerupakan penyebab diperlukannya penelitian studi kasus dalam penelitian ini.Objek yang diuraikan dalam penelitian adalah perubahan sosial dan proses perubahan
sosialmasyarakat akibat diterapkannya pola perkebunan monokultur kelapa sawit. Objek penelitian dipilah menjadi tiga bagian. Perubahan pada infrastruktur masyarakat Suku
Pekal akibat diterapkannya pola pertanian monokultur kelapa sawit. Perubahan pada struktur sosial masyarakat petani Suku Pekal akibat diterapkannya pola pertanian
monokultur perkebunan sawit. Perubahan pada suprastruktur nilai dan cara pandang masyarakat petani Suku Pekal terhadap lingkungan akibat diterapkannya pola pertanian
monokultur perkebunan kelapa sawit.
Sumber data adalah semua anggota masyarakat yang merupakan subjek peneliti, yakni petani sawit Suku Pekal di desa Talang Arah Kecamatan Putri Hijau Kabupaten
Bengkulu Utara. Sedangkan data yang ingin digali diantaranya kondisi masyarakat petani Suku Pekal sebelum dan sesudah diterapkannya pola pertanian monokultur, perubahan
infrastruktur masyarakat, struktur sosial masyarakat dan suprastruktur masyarakat akibat diterapkannya perkebunan monokultur. Serta juga informasi dari perusahaan yang menjadi
mitra petani. Informan penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik bola salju. Pendekatan penelitian seperti ini dipakai karena berkaitan dengan objek dan subjek
penelitian yang membutuhkan peneliti secara partisipatif-kooperatif dalam menentukan informan yang paham dan sesuai pada kajian yang peneliti lakukan.Sedangkan data yang
dikumpulkan adalah data dari sumber primer juga data sekunder
Proses analisis penelitian dimulai bertahap sesuai data yang sudah diperoleh dan diolah. Data diolah seiring proses penelitian sehingga ketika masih memerlukan tambahan
informasi akan langsung dilakukan wawancara kembali. Proses analisa data dalam penelitian ini meliputi; pengujian, pemilihan, kategorisasi, evaluasi, membandingkan,
melakukan sintesa, dan merenungi kembali data yang peneliti peroleh untuk membangun inferensi-inferensi dan kemudian menarik kesimpulan sehingga tercapainya pemahaman
secara holistik.
Sedangkan untuk mengukur akurasi dan keabsahan data dilakukan dengan cara membandingkan situasi masyarakat petani Suku Pekal yang mengikuti pola tanam
monokultur dan yang masih mengikuti pola tanam polikultur. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara dari informan penelitian, memandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dan apa yang dikatakan informan secara pribadi. Membandingkan keadaan dan perspektif informan dengan masyarakat lain, pemerintah dan
pihak perusahaan.Memandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen-dokumen terkait yang diperoleh baik dari desa maupun perusahaan sawit.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Perubahan InfrastrukturMode Produksi