KESIMPULAN METODE PENELITIAN Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed

893 2 Sistem politik untuk melahirkan peraturan daerah dimulai ketika draft Raperda tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel dijadikan inisiatif DPRD dan diproses dalam mekanisme pembahasan Raperda di DPRD Kabupaten Klaten 3 Mekanisme yang berlaku dalam sistem politik kemudian menghasilkan luaran berupa Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel. Peraturan pelaksanaan atas peraturan daerah tersebut kemudian Bupati mengeluarkan Peraturan Bupati Kabupaten Klaten Nomor 22 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel. Proses kebijakan di DPRD Kabupaten Klaten yang menghasilkan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel dan kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Klaten dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Kabupaten Klaten Nomor 22 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut: Bupati Klaten

5. KESIMPULAN

Berdasar hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa model gerakan pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pembentukan kebijakan di Kabupaten Klaten sesuai dengan yang dikemukakan Easton yaitu adanya masukan dan dukungan terhadap pembuatan kebijakan didapat dari banyak pemangku kepentingan di Kabupaten Klaten, masukan ini mendapat dukungan dari sistem politik untuk melahirkan peraturan daerah dan akhirnya terdapat suatu mekanisme yang berlaku dalam sistem politik yang menghasilkan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Kabupaten Klaten Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel.

6. DAFTAR PUSTAKA

Literatur Barnes, Collin dan Mike Oliver. 1993. Disability: A Sociological Phenomenon Ignored by Sociologists. University of Leeds. Bogdan. R. Taylor, S. 1993. Kualitatif Dasar-dasar Penelitian terjemahan, Surabaya: Usaha Nasional Fakih, M. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial; Pergerakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fakih, M, et.all. 2001. Pendidikan Popular; Membangun Kesadaran Kritis, INPUT: KARINA KAS, akademisi,Organisasi penyandang disabilitas, anggt DPRD, SKPD Klaten A POLITICAL SYSTEM: Rapat pembahasan dan pengesahan di DPRD Klaten OUT PUT: Perda No. 2 th 2011 Perbup No. 22 th 2012 894 Yogyakarta: Read Book Marcoes, L, et.all. 2004. Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih; Refleksi Kawan Seperjuangan Eds., Yogyakarta: Sigab dan OXFAM Great Britain Nugroho, Riant. 2009. Public Policy: Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses KebijakanPerumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management Dalam Kebijakan Publik, Kebijakan Sebagai The Fifth Estate-Metode Penelitian Kebijakan, Jakarta; PT. Elex Media Komputindo, Moelong, Lexi, J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosda Karya, Pagel, M. 1988. On Our Own Behalf Manchester: Greater Manchester Coalition of Disabled People. Soekanto, Soerdjono. 1998. Sosiologi Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia,. Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta Peraturan perundangan Konvensi International Hak- Hak Penyandang Cacat dan Protokol Opsional Terhadap Konvensi Resolusi PBB No 611061 tanggal 13 Desember 2006 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 104MenkesPer111999 tentang Rehabilitasi Medik Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 tahun 2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel Peraturan Bupati Kabupaten Klaten Nomor 22 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel Hasil Penelitian Dewi, E. Imma Indra dan Victoria Sundari Handoko. 2012. Model Pemberdayaan Penyandang Cacat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Makalah Daulay, Zainul, 2013, Makna Konvensi Hak Penyandang Disabilitas CRPD dan Implementasinya dalam Kebijakan Pembangunan Daerah yang Inklusif serta Urgensi Perda Perlindungan Disabilitas. Makalah disampaikan dalam Seminar sehari: Convention on The Rights of Persons With Disability Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan Implementasinya dalam bentuk Kebijakan Pembangunan Daerah yang Inklusif di Sumatera Barat. Departemen Sosial Republik Indonesia, 2006, Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta: Depsos RI Konsorsium Nasional Untuk Hak Difabel, 2012, Membangun Kebijakan Publik Propenyandang disabilitas : Permasalahan di Indone sia dan Rekomendasi Kebijakan Paska Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Publikasi oleh Konsorsium Nasional Untuk Hak Difabel Saru Arifn, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan Studi Kasus di Kota Yogyakarta dalam Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 895 LGBT IDENTITY OF IMPLIMENTATION ISLAMIC SHARI’A IN ACEH Cici Darmayanti , SE , M. Si Economic Development, Fak . Economics , University of Teuku Umar Email : cici.pnagmail.com Abstrack The community of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender LGBT became a hot issue especially in Aceh. Even though, this issue isn’t a new topic, which is there has had phenomenal issue also as like banciwariabencong and tomboy still discussed until now about their existence as a minority. This situation more had an impact when the Undang- Undang Pemerintah Aceh No. 11 2006 UUPA had been signed and Islamic Sharia implimented. This study aims to know how is the public perception about existence of banci or waria in Aceh, and how is their adaptation strategies used during Islamic law in Aceh implimented? This study used qualitative method with data collection techniques are observation and interview. The results of research found that the people of Aceh are still considered about waria as a highly phennomenal and should be shunned because their life’s had been judged as something negative style. While the waria communities itself assumed that their presence is not detrimental to the public for their own opinion human beings have equal rights. But in socializing process they have to change their behavior by adjusting the norms prevailing in the community even though sometimes it is very difficult. Keywords : LGBT , Transgender , Islamic Sharia, Identity, Social Adaptation 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusiayang terikat dengan berbagai kebutuhan, sehingga manusia berlomba untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannyabaik jasmani maupun rohani. Namun dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan tersebut sering terjadi perselisihan diantara manusia dikarenakan faktor kebutuhan manusia yang beragam pula. Dalam hal penyeimbangan kebutuhan antara satu individu dengan individu lainnya, Allah menurunkan aturan-Nya untuk menjadikan solusi pada setiap persolan manusia. Aturan dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah tersebut tidak lain adalah untuk kemashalatan umat manusia, baik pria maupun wanita, Allah memerintahkan masing-masing kita untuk bersama-sama dapat bersikap saling asah dan saling asuh antara sesama. Allah melarang kita bersikap iriterhadap karuniakan yang dilebihkan kepada sebahagian yang lain sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman Allah, “Janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Allah karuniakan kepada kalian atas yang lain. Bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.an-Nisaa:32. Fenomena komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender LGBT belakangan menjadi isu hangat yang dibicarakan di tanah air khususnya di Aceh. Walau sebenarnya isu ini bukanlah sesuatu yang baru untuk dibicarakan, dimana sebelumnya sudah pernah maraknya isu BanciWariaBencong dan tomboy yang hingga sekarangpun masih sering dibicarakan mengingat keberadaan mereka sebagai minoritas yang merasa haknya terampas dan terabaikan. Kondisi ini semakin mereka rasakan manakala gaung penerapan syariat islam pun digaungkan pasca ditandatanganinya Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 tahun 2006 lalu. 896 Bahkan belakangan gaung Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender LGBTmengemuka termasuk di Indonesia dalam upaya menemukan keseimbangan dan perubahan disegala bidang, termasuk dalam bidang relasi transgender atau sering di sebut dengan sebutan wariabancibencongwadamkhunsa dan lain-lain. Komunitas LGBT khususnya transgender sudah secara transparan tampil di tengah-tengah publik, mereka yang secara terang-terangan berani eksis ditengah masyarakat untuk dapat diterima dan dilibatkan dalam segala bidang termasuk pembangunan dan juga pelibatan dalam hak suara pada pemilu, pilkada, legislatif misalnya.Sudah sejak lama kaum waria hadir ditengah masyarakat dan bukan menjadi suatu tontonan yang mengherankan lagi akan tetapi komunitas tersebut makin semakin berani dan sudah membentuk komunitas untuk melegalkan status mereka dengan alasan Hak Asasi Manusia HAM. Fenomena ini justru munculnya keresahan masyarakat yang belum bisa menerima keberadaan mereka dengan alasan ketakutan dan kekuatiran pada kehidupan anak-anak kecil nantinya dapat mempengaruhi nilai budaya, pergaulan dan gaya hidup terhadap anak-anak mereka. Waria berusaha mewujudkan kesetaraan secara sama-sama berperan baik didalam maupun diluar rumah. Sehingga persoalan yang menyangkut hak, status, dan kedudukan waria disektor publik merupakan masalah pelik yang terus menjadi bahan perdebatan. Keberadaan komunitas LGBT dengan asumsi perilaku menyimpang atau praktik homoseksual baik antara laki dengan laki maupun perempuan dengan perempuan. Doktrin di tengah publik oleh para pemimpin dan ahli agama, baik itu Islam atau Kristen, memberi larangan untuk menjalin hubungan cinta sesama jenis karena dianggap sebagai dosa. Sehingga para kaum gay dan lesbi, yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan dan beragama, dicap sebagai orang yang berdosa oleh masyarakat beragama. Media massa juga jarang sekali mengangkat isu penting atau isu positif mengenai kaum LGBT. Persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi lebih kuat bahwa kaum LGBT adalah kaum yang berdosa dan melanggar norma dan aturan yang ada di dalam masyarakat Oetomo, 2006:5-6. Kasus yang berkaitan dengan LGBT ini pernah mengemuka pada zaman awal kemerdekaan dimana banyak kerusuhan yang berdampak keras terhadap kaum homoseksual dan transgender. Sebagai contoh, pada tahun 1965 ada pemberitaan mengenai pembasmian perempuan yang termasuk dalam organisasi Gerwani karena adanya tuduhan para anggota organisasi tersebut melakukan hubungan seks antar satu sama lain. Kasus lainnya terjadi pada tahun 1981, seorang penyanyi pop bernama Aty diadili karena ditangkap berhubungan cinta dengan seorang perempuan bernama Nona dan dicatat di Tempo sebagai kasus pertama perempuan lesbi yang diadili karena berhubungan cinta sesama jenis Boellstorff, 2005:83. Bermacam usaha dan upaya yang dilakukan kaum LGBT khususnya di Indonesia agar mendapatkan persamaan hak seperti dengan negara lainnya. Sehingga sejumlah organisasi yang melindungi kaum LGBT jadi meningkat lebih dari sepuluh, itu dikarenakan ketika diadakannya Kongres Lesbian dan Gay Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta tahun 1993. Adapun organisasi LGBT terbesar di Indonesia yaitu Gaya Nusantara GN yang berfokus pada pengedukasian isu kesehatan seksual untuk kaum gay dan masyarakat awam dan Arus Pelangi berfokus pada pembelaan hak-hak kaum LGBT dalam menyadarkan dan memberdayakan kaun LGBT tersebut, yang nantinya dapat aktif dalam perubahan kebijakan yang dapat melindungi LGBT dan proses penyadaran masyarakat dalam menerima kaum LGBT.http:www.aruspelangi.or.idvisi-misi Akan tetapi berbeda halnya dengan keberadaan mereka di daerah Aceh yang memilki hukum yang khusus dengan menyadarkan dengan ketentuan syariat islam, diterapkannya syariat islam membuat kaum LGBT tidak dapat leluasa untuk mengaspirasikan keberadaan mereka di semua tempat, aceh memilki qanun jinayahhttp:www.mediaaceh.net, 897 memberlakukan hukum cambuk bagi para pelaku seksual dengan sesama jenis. Sehingga peraturan daerah tersebut dapat mengatasi perkembangan kaum LGBT yang dapat dicegah dengan menjalakan qanun jinayah yang diterapkan di aceh. Tujuannya untuk preventif, mencegah masyarakat untuk menjauhkan perbuatan tersebut. Perilaku LGBT tegas dilarang dalam Islam, termasuk agama lainnya di Indonesia. Dengan adanya Qanun Jinayah sangat efektif bisa dicegah jikalau pemerintah serius dengan political will-nya dan masyarakat bisa menaati aturan tersebut, selama ini beberapa perbuatan dilarang dalam qanun syariat Islam seperti perjudian dan minuman keras sudah berkurang di Aceh, dibanding sebelum qanun diberlakukan. “Itulah salah satu tujuan syariat Islam, untuk meminimalisir pelanggaran seperti hal tersebut. Maksiat tak bisa dihilangkan, namun angkanya bisa ditekan dengan aturan syariat Islam. Persiteruan dalam memperlihat eksistensi masing-masing individu dengan dalih Haq dan bathil yang tidak pernah berhenti untuk selalu berusaha memenangkannya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Waria juga memiliki tendensi atau gerakan untuk memerangi pemikiran yang berkembang terhadapkeberadaan mereka di tengah masyarakat, sehingga tatanan Islampun mendapat sorotan cukup tajam dan ada kecendrungan untuk memunculkan keraguan terhadap Islam dengan dalih kesetaraan hak yang di kemas dalam bentuk HAM. Dengan demikian semakin jelas pula bahwa gerakan LGBT bukanlah hasil dari pemikiran Islam yang sudah memiliki batas dengan jelas antara ketaatan dan kekufuran. Mengutip Peraturan Mentri PermenNo. 82012, Komnas HAM beranggapan bahwa LGBT adalah komunitas yang diakui oleh negara. Kemungkin, Komnas HAM lupa bahwa konteks Permen No. 82012 bukan dalam preferensi pembelaan tapi perlindungan. Permen No. 82012 samasekali tidak memuat norma yang membenarkan perilaku LGBT. Poin paling penting ialah bahwa Permen No. 82012 diperuntukkan bagi operasional pendataan dan pengelolaan data penyandang masalah sosial. Bahkan, terhadap poin 14 lampiran Permen No. 82012 yang dikutip, Komnas HAM alpa untuk menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat muatan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan keberfungsian sosial yang memiliki kriteria: a. gangguan keberfungsian sosial, b. Diskriminasi, c.Marginalisasi, dan d.Berperilaku seks menyimpang. Sementara itu, Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah rumusan pandangan sumber doktrinal yang samasekali tidak diadopsi dalam hukum nasional. Tidak sepantasnya Komnas HAM sebagai lembaga negara menegakkan pendapat-pendapat yang belum diterima secara positif oleh pejabat pembuat perundang-undangan yang berwenang. Terlebih lagi apabila pendapat tersebut bertentangan dengan substansi konstitusi dan falsafah kebangsaan Indonesia.lih.Mira Fajri,www.republika.co.id Perihal kemaslahatan bersama dan tatanan hidup yang lebih bermartabat sebagaimana yang diagung-angungkan di Aceh dewasa ini setidaknya ada beberapa tatanan yang patut di pertimbangkan dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan yang meliputi: 1. UU No.44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengamanahkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dari perkara ibadah hablumminallah, muamalah hablumminannas, syiar, pendidikan, jinayah sampai kepada perkara dusturiah. 2. Qanun No.10 Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, 3. Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. 4. Qanun No.12 Tahun 2003 tentang Khamar Minuman Keras, 5. Qanun No.13 Tahun 2003 tentang Maisir Judi, 898 6. Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum. Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai gerakan dan keberadaan komunitas LGBT khususnya waria yang ada di Aceh Barat dalam kaitannya dengan kemampuan adaptasi dan keberadaan mereka di tengah masyarakat yang di balut dengan bingkai Syariat Islam dengan dua pertanyaan turunan yaitu “Bagaimanakah keberadaan waria di Aceh Barat pasca penerapan syari’at islam Dan bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh waria di Aceh Barat dalam konteks pelaksanaan syariat islam”?

2.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT

2.1.1. Pengertian Lesbian

Lesbian merupakan kata penisbatan yang dipakai kepada penyebutan terhadap perempuan yang menyukai perempuan lainnya atau sesama jenis. Ketertarikan terhadap sesama jenis baik secara psikologis, emosi maupun seksual. Seorang lesbian tidak memiliki hasrat terhadap gender yang berbedalaki-laki, akan tetapi seorang lesbian hanya tertarik kepada gender yang samaperempuan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Matlin2004 lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Penyebutan istilah “Lesbian” sebenarnya berasal dari sejarah seorang penduduk pulau Lesbos, di Yunani yaitu Sappho. Sappho adalah seorang penyair yang menghasilkan puisi liris. Puisi liris sudah berkembang dari abad VI SM yang sebagian diantaranya masih ada hingga kini. Puisi Sappho berisikan tentang cinta lesbian. Pada masa itu, percintaan homoseksual dipahami sebagai hal yang lebih tinggi dibandingkan percintaan heteroseksual Spencer, 2004.

2.1.2. Pengertian Gay

Sebutan istilah Gay digunakan secara umum untuk menggambarkan seorang pria yang tertarik secara seksual dengan pria lain yang memiliki orientasi seksual yang sama. Caroll 2005 mengatakan bahwa orientasi seksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu secara emosional, fisik, seksual dan cinta. Menurut Bell dan Weinberg dalam Masters 1992 mengelompokkan homoseksual ke dalam 5 kelompok, yaitu: a. Close-couple Homoseksual yang hidup dengan pasangannya, dan melakukan aktifitas yang hampir sama dengan pernikahan yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Homoseksual jenis ini memiliki masalah yang lebih sedikit, pasangan seksual yang lebih sedikit, dan frekuensi yang lebih rendah dalam mencari pasangan seks dibandingkan jenis homoseksual yang lain. b. Open-couple Homoseksual jenis ini memiliki pasangan dan tinggal bersama, tetapi memiliki pasangan seksual yang banyak, dan menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk mencari pasangan seks. Homoseksual ini memiliki permasalahan seksual yang lebih banyak dibandingkan close-couple homoseksual. c. Functional 899 Homoseksual jenis ini tidak memiliki pasangan, dan memiliki pasangan seks yang banyak, tetapi dengan sedikit masalah seksualitas. Individu homoseksual ini kebanyakan individu muda, yang belum menerima orientasi seksualnya, dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap seksualitas. d. Dysfunctional Tidak memiliki pasangan menetap, memiliki jumlah pasangan seksual yang banyak, dan jumlah permasalahan seksual yang banyak. e. Asexual Ketertarikan terhadap aktifitas seksual rendah pada kelompok ini, dan cenderung untuk menutup-nutupi orientasi seksualnya. Beauvoir dalam Meyer dan Salmon 1984; 298 menuliskan bahwa homoseksual adalah gangguan orientasi seksual, berarti seorang homo-seksual tertarik dan terangsang bukan terhadap lawan jenisnya, melainkan terhadap sesama jenis. Gangguan ini tidak hanya dapat terjadi para pria, melainkan juga pada wanita.

2.1.3. Pengertian Biseksual

Secara umum, biseksual diterjemahkan sebagai orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Menurut Masters 1992, biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan Robin Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004. Sementara Krafft- Ebingmenyebutkan biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh Bowie dalam Storr, 1999. Selanjutnya Ellis dalam Storr 1999 mencoba meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu. Sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Freud 1905, biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut Stekel 1920 dan Klein 1978, biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas dalam Storr, 1999. Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas mereka Weinberg dkk, 1994: a. Initial Confusion Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual,periode ini dilewati dengan perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan. b. Finding And Applying The Label Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak 900 menjalani titik balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan seseorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari teman-teman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual. c. Settling into the identity Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam self-labeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu memperhatikan sikap negatif dari orang lain

2.1.4. Pengertian Transgender

Transgender adalah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya. Transgender adalah orang yang dalam berbagai level “melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya pria dan wanita itu. Seorang wanita, misalnya, secara kultural dituntut untuk lemah lembut. Kalau pria yang berkarakter demikian, itu namanya transgender. Orang-orang yang lahir dengan alat kelamin luar yang merupakan kombinasi pria-wanita juga termasuk transgender. Transgender ada pula yang mengenakan pakaian lawan jenisnya, baik sesekali maupun rutin. Perilaku transgenderlah, yang mungkin membuat beberapa orang mengganti jenis kelaminnya, seperti pria berganti jenis kelamin menjadi wanita, begitu pula sebaliknya. www.e- psikologi.blogspot.com,2006. Situasi lainnya yang hampir serupa juga ada istilah yang di sebut dengan transeksual dimana orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir dengan anatomi seks pria,tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita. Transeksual-lah yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo. Bisa saja seorang pria transeksual tertarik pada pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita dan wanita mestinya tertarik pada pria www.e-psikologi.blogspot.com,2006. Sebagai suatu fenomena sosial, transeksual dan transgender dapat di kategorikan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki pranata sosial secara kolektif. Sedangkan keberadaan mereka sendiri merupakan fakta sosial yang bersifat material. Hal ini di buktikan dengan interaksi yang terjadi antara mereka dan sistem masyarakat yang ada. Di samping itu sikap solidaritas serta saling memiliki yang terjalin dalam komunitas waria merupakan fakta sosial non-material. Namun hal itu masih sayangnya masih bersifat internal, padahal sebuah fakta sosial harus bersifat external and coercieve Marcel, 1901. 2.2.Konsep LGBT dalam Syari’at Islam LGBT dikenal dengan dua istilah didalam Islam, 1. Liwathgay adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar penisnya kedalam dubur laki-laki lain.Liwath adalah suatu kata penamaan yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam, karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini Hukmu al-liwath wa al-Sihaaq, hal. 1. Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji fahisy dan melampui batas musrifun. Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran yang artinya: “Dan Kami juga telah mengutus Luth kepada kaumnya. Ingatlah tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu kepada mereka, bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah 901 kaum yang melampaui batas.” TQS. Al ‘Araf: 80 – 81. 2. Sihaaq lesbian adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh farji’nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut Sayyid Sabiq, Fiqhu as- Sunnah,Juz 4hal. 51. Secara fitrah manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan gharizatu al na’u yang diantara manifestasinya adalah rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis pria dan wanita. Pandangan pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara pasangan suami istri. Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini akan terwujud dengan hubungan sesama jenis. Dan sangat jelas sekali bahwa homoseks dan lesbian bertentangan dengan fitrah manusia.Oleh karena itu, sudah dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Sekularisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan fash al ddin ‘an al hayah. Masyarakat sekular memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terlihat dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari kepuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik secara fisik, psikis, maupun akalnya.

2.3. Tinjauan BanciWaria dalam Padangan Syari’ah Islam

Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005; 99 menyebutkan bahwa banci adalah 1 tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan, 2 laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian perempuan. Meskipun demikian, penyebutan lainnya antara laki-laki dan perempuan dibedakanpadakelompok Maskulin,Feminin,Androgindan Homoseksual. Maskulin dan feminine bersifat abstrak dapat digambarkan dari kemampuan atau sifat manusia. Sehingga feminine digambarkan kepadasifat- sifat perempuan, misalkankepekaan perasaan, kesabaran, kelembutan, irrasional, kesetiaan, sifat mengalah, dan lemah. Sedangkan maskulin digambarkan dengan sifat keberanian,agresifitas,sifat dominant,rasionalitas,ketidaksetiaan dan kekuataan.Tetapihal ini tergantung pada budaya disuatu daerah tertentu. Menurut Asy Syaukani diantara pertimbangan dikeluarkannya banci dari rumah dan diisolir atau direlokalisasi karena beberapa hal sebagai berikut : a. Orang banci diduga orang yang tidak punya butuh dan syahwat, tapi ternyata tidak demikian keadaannya atau semuanya; b. Mereka selalu bertingkah polah dihadapan lelaki dengan memamerkan aurat dan keindahannya, pada hal itu dilarang kecuali terhadap atau bagi suami istri; c. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau bahaya yang lebih besardengan menjalankannya sifat fasiq ; Fenomena keberadaan banciwaria dan gay dalam masyarakat yang sebagian orang menilai dan menganggap mereka adalah sama. Namun pada dasarnya dua hal tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dimana banci atau waria menyukai laki-laki dengan mengubah atau berperilaku seperti perempuan, bahkan ada sebagian komunitas waria ini memang secara fisik sudah sangat feminim dan terlihat persis perempuan.. Dengan demikian, dalam sudut pandang Islam telah diabadikan praktik homoseksual ini yang harus di tebus oleh kaum Nabi Luth dengan kemurkaan Allah dimana 902 kota Sodom dibalikkan karena tidak menerima ajakan Nabi Luth tersebut: Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang mendawakan dirinya bersih. QS. 27; 56 dalam ayat lainnya sebagai akibat dari kesesatan kamu Nabi Luth telah diceritakan”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah Kami balikkan, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, QS. 11; 82

2.4. Teori Identitas Sosial

Penggunaan kata identitas secara epistimologi berasal dari kata identity, yangberarti 1 kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatukeadaan yang mirip satu sama lain; 2 kondisi atau fakta tentang sesuatuyang sama diantara dua orang atau dua benda; 3 kondisi atau fakta yangmenggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang individualitasatau dua kelompok atau benda; 4 Pada tataran teknis, pengertianepistimologi diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaanuntuk memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakanbahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain. Alo Liliweri, 2007; 69 Dengan demikian, pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakanmanusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaandan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu milikisecara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yangmembedakanmu dengan orang lain. Cris Barker, …….; 221 Lebih jauh lagi, teori identitas sosial social identity dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel 1982, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial dengan sendirinya membentuk interaksi untuk saling bergantungan satu sama lain biarpun dalam praktik prilaku ini lebih mengarah kepada situasi individual untuk mengeksploitasi diri sebagaimana yang dikemukakan oleh Sherman 1994 dalam Baron dan Byrne 2003: 162-163, setiap orang berusaha membangun sebuah identitas social social identity, sebuah representasi diri yang membantu kita mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengetahui siapa diri kita, kita akan dapat mengetahui siapa diri Self dan siapa yang lain Others. Lebih lanjut, identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu. Hogg dan Abram 1990 menjelaskan social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat. Menurut William James dalam Walgito2002, social identity lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak –istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman –temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain. Sementara Fiske dan Taylor 1991 menekankan nilai positif atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu. Praktik identitas sosial tidak akan bisa terlepas dari keterikatan antar individu dimana ketika kita membicarakan identitas di situ juga kitamembicarakan kelompok. Kelompok sosial yang di maksud sebagaimana yang dikemukakan oleh Jabal Tarik 2003: 64 adalah suatu sistem sosialyang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain danterlibat dalam satu kegiatan bersama atau sejumlah orang yangmengadakan 903 hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyaitujuan dan sikap bersama; hubungan-hubungan yang diatur olehnorma-norma; tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengankedudukan status dan peranan role masing-masing dan antaraorang- orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama lain. Asumsi umum mengenai konsep identitas sosial menurut Tajfel, dalam buku karya Hogg Abrams 2000 adalah sebagai berikut. 1 Setiap individu selalu berusaha untuk merawat atau meninggikan self- esteemnya: mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif. 2 Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantung evaluasi yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu. 3 Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mendeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik. Secara lebih spesifik untuk menjelaskan identitas sosial, ada beberapa konsep penting yang saling keterkaitan sebagaimana dijelaskan oleh Turner dalam Tajfel 1982 dan Ellemers dkk., 2002 mengemukakan bahwa kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial Hogg dan Abrams, 1990. Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993. Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah outgroup.

2.5 Teori Adaptasi Sosial

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi Gerungan,1991:55. Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti.Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk, sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk.Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan Karta Sapoetra,1987:50. Menurut Suparlan Suparlan,1993:20 adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1. Syarat dasar alamiah-biologi manusia harus makan dan minum untuk menjagakesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya. 2. Syarat dasar kejiwaan manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah. 904 3. Syarat dasar sosial manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Menurut Soerjono Soekanto 2000: 10-11 memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: 1 Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2 Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3 Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4 Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. 5 Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem. 6 Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu Aminuddin, 2000: 38, di antaranya: a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. b. Menyalurkan ketegangan sosial. c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. d. Bertahan hidup. Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono 1985, pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur-unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada. Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisio- organik.Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya.Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal.Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi.Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.Alimandan, 1995:56. Strategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali pasca bencana alam.Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan 905 meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana alam. 1. Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam. 2. Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakankerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam. 3. Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana alam. Adaptasi merupakan suatu proses perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis dan fsikologis yang akan menghasilkan perilaku adiptif A.Aziz Alimul Hidayat 2007. Diantara mekanisme pertahanan diri yang digunakan untuk melakukan proses adaptasi psikologis antara lain: 1. Rasionalisasi; Merupakan suatu usaha untuk menghindari dari masalah psikologis dengan selalu memberikan alasan secara rasional, sehingga masalah yang dihadapi dapat teratasi. 2. Displacement; Merupakan upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukanpemindahan tingkah laku kepada objek lain, sebagai contoh apabila seseorangterganggu akibat situasi yang ramai, maka temanya yang disalahkan. 3. Kompensasi; Upaya untuk mengatasi masalah dengan cara mencari kepuasaan pada situasiyang lain seperti seseorang memiliki masalah karena menurunya daya ingat makaakan menonjolkan kemampuan yang dimilikinya. 4. Proyeksi; Merupakan mekanisme pertahanan diri dengan menempatkan sifat batin oranglain, seperti dirinya membenci pada orang lain kemudian mengatakan pada orangbahwa orang lain yang membencinya. 5. Represi; Upaya untuk mengatasi masalah dengan cara menghilangkan pikiran masa laluyang buruk dengan melupakanya atau menahan kepada alam tidak sadar dengansengaja dilupakan. 6. Supresi; Upaya untuk mengatasi masalah dengan menekan masalah yang tidak diterimadengan sadar dan individu tidak mau memikirkan hal-hal yang kurangmenyenangkan.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor sebagaimana yang di kutip Moleong 2002: 4 bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lebih jauh Moleong 2002: 6 berkesimpulan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling Noor, 2009: 155 dimana sampel ditentukan dengan sengaja atas dasar pertimbangan tertentu dari peneliti, 906 dimana sampel penelitian di ambil berdasarkan kebutuhan dan terencana. Sementara teknik pengumpulan data bagaimana peneliti dapat memperoleh data dan menyusunnya dengan alat bantu instrumen secara sistematis dan tepat Arikunto, 2006 : 222 dengan metode observasi pengamatan; panduan wawancara dan dokumen.Selanjutnya data yang terkumpul di analisis melalui langkah-langkah atau alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data , reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau alur verifikasi data Miles, 1992: 15-19. 4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Informan dan Lokasi Penelitian