772
Kondisi diskontinyuitas aspek sosial kehidupan keluarga pada kedua komunitas paling dirasakan pada tiga bulan pertama, karena dalam rentang waktu tersebut hubungan
dan interaksi kedua komunitas yang tadinya bersatu terputus sama sekali, bahkan tingkat kecurigaan dan prasangka warga sangat tinggi. Kehidupan sosial keluarga dan rumah
tangga kedua komunitas pada proses dan pasca relokasi begitu terasa ada kehilangan, tidak seimbang, tidak utuh dan mengalami goncangan psikologis dan sosiologis. Realitas
tersebut mencerminkan suatu situasi terjadinya masa transisi sekaligus proses adaptasi terhadap suasana kehidupan yang baru.
1. Diskontinyuitas Kekeluargaan dan Kekerabatan
Beberapa kasus yang dapat menggambarkan diskontinyuitas sosial pasca relokasi terkait dengan kekeluargaan dan kekerabatan, yang dirasakan dan dialami oleh warga
kedua komunitas sebagai berikut. “ Kasus 1 TYB. Beliau seorang yang ditokohkan oleh warga kedua komunitas,
namun beliau menjadi salah seorang pelopor sekaligus koordinator relokasi, beliau pernah diamcam mau dibunuh dan agar tidak lagi menginjakkan kakinya di Lae-Lae yang
merupakan tempat tinggal selama puluhan tahun dalam membesarkan keluarga bersama sanak keluarga dan teman-teman serta kerabatnya yang lain. Beliau pun merasakan
betapa relokasi membuatnya bersama keluarga yang masih menetap di Lae-Lae seakan putus hubungan dan komunikasi. Beliau sejak pindah ke Kampung nelayan baru satu kali
ke Lae-Lae itupun selang beberapa tahun, pada hal dia mengakui masih banyak keluarga, kemanakan, sepupu bahkan paman dari anak-anak mereka yang tinggal disana, selama
beberapa tahun tidak pernah lagi bertemu. Beliau memang dianggap sebagai tokoh kunci yang menggerakkan warga untuk pindah ke Kampung nelayan. Beliau pun dipandang oleh
warga Lae-Lae sebagai tokoh yang dekat dan dikenal oleh pemerintah kota yang pada saat itu di jabat oleh Bapak Dr.H.Malik B. Masri. Beliau juga terlibat dalam identifikasi lokasi
Kampung nelayan sebagai tempat dan lokasi pemukiman. Keluarga dekat beliau sebagian besar pindah ke Kampung nelayan seperti semua anaknya baik yang sudah berkeluarga
maupun yang tidak, menantu dan cucunya, namun paman dari anaknya masih tetap di lae- Lae. Pasca relokasi bukan hanya beliau yang tidak bisa ketemu dengan keluarga dan
kerabatnya di Lae-Lae tetapi termasuk anaknya dan beberapa kerabatnya. Seakan pasca relokasi keluarga dan kerabat di Lae-Lae menjadi putus hubungan, seakan tidak pernah
tahu ada memori kehidupan yang dialami di lae-
lae bersama keluarganya”. “ Kasus 2 RSM. Beliau lahir dan besar di Lae-Lae 40 tahun yang bekerja sebagai
nelayan, beliau memutuskan pindah ke Kampung nelayan meskipun harus berpisah dengan saudara dan orang tuanya, alasan beliau pindah adalah untuk bisa mandiri, apalagi di
Kampung nelayan sudah disiapkan rumah buat tempat tinggal mereka bersama anaknya. Beliau juga merasakan betapa tidak enaknya harus berpisah dengan orang tua dan
saudara-saudaranya, bahkan beberapa bulan lamanya tidak bisa berhubungan apalagi bertemu. Beliau setelah di Kampung nelayan aktifitasnya tidak hanya sebagai nelayan tapi
juga bekerja sebagai buruh bangunan, bahkan aktifitas lainnya sebagai penganut agama Islam yang taat. Beliau mengakui bahwa sejak tinggal di Kampung nelayan mobilitas
fisiknya lebih tinggi, bisa kemana-mana kapan dan dimana saja.. Warga disini juga sering melakukan pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh banyak warga, sehingga masalah-
masalah yang dialami oleh warga dapat segera terselesaikan. Selama awal tinggal di sini ada sekitar 3 bulan tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga khususnya orang tua
bapak dan ibu serta saudara 3 orang di Lae-Lae. Saya merasa serba salah, rindu dan takut juga sama warga disini kalau sampai ketahuan berhubungan dengan keluarga yang
ada di Lae-Lae takut diusir. Nanti beberapa bulan sekira 6 bulan baru bisa ada hubungan
773
itupun dilakukan secara diam-diam tidak sampai ketahuan oleh warga disini masih ada perasaan takut dan tidak enak dikira tidak kompa”..
“ Kasus 3 NSDR. Beliau lahir di Lae-Lae 28 tahun yang lalu, berprofesi sebagai nelayan sebagai pinggawa caddi yang disandangnya baru sekira 2 tahun pada saat
wawancara dengan peneliti. Beliau selama di Lae-Lae hidup rukun bersama satu atap dengan anak, isteri, orang tua kakak dan beberapa kemanakan. Kondisi tempat tinggal
beliau sederhana semi permanen yang dihuni oleh banyak keluarga, namun terasa damai dan bahagia hidup bersama keluarga dekatnya. Pasca relokasi kehidupan keluarganya
mengalami perubahan karena sebagian anggota keluarganya berpindah ke Kampung nelayan yakni kakaknya bersama beberapa kemanakannya terpisah, kehidupan menjadi
mulai sepi, kumpul bersama di sore hari diatas balai-balai tidak lagi seramai dan seindah dulu, terasa ada sesuatu yang hilang atau tidak lengkap. Pasca relokasi komunikasi
dengan kakak dan kemanakannya di Kampung nelayan jarang bahkan paling hanya sekali seminggu itu pun di lakukan secara sembunyi-sembunyi, takut dianggap penghianat oleh
warga Lae-
Lae”. Pasca relokasi terdapat sekira 150 kepala keluarga yang sebelumnya tinggal dan
hidup lama di Lae-Lae, akhirnya pindah dan menetap di Kampung Nelayan kelurahan Untia. Perpindahan warga tersebut melewati batas geografis dan wilayah administrative
dengan jarak tempuh menggunakan sarana transportasi darat kurang lebih 20 kilometer atau sekira 30 menit dengan menggunakan sarana angkutan laut perahu. Data dan
informasi menujukkan bahwa para kepala keluarga sudah berpisah dan meninggalkan, keluarga dan kerabat mereka di Lae-Lae, karena sebagian besar diantara mereka yang
pindah ke Kampung Nelayan dalam beberapa bulan pasca relokasi tidak pernah lagi bertemu dan berkomunikasi secara langsung oleh keluarga dan sanak saudaranya di Lae-
Lae. Perpindahan sejumlah keluarga mengakibatkan warga dan keluarga yang ada pada kedua komunitas mengalami keterbongkaran dan ketidak utuhan baik dari sisi jumlah
secara kuantitatif maupun dari sisi kebersamaan secara kualitatif.
Dalam kasus yang disebutkan diatas, memberikan gambaran dan pemahaman bahwa pasca relokasi kedua warga komunitas mengalami diskontinyuitas dari keterpisahan
anggota keluarga, yang diiringi dengan keterputusan hubungan dalam beberapa bulan. Hal ini terjadi oleh karena proses awal relokasi sudah terjadi dua kelompok yang berbeda
pendapat yakni pendapat yang setuju untuk relokasi dan kelompok yang tidak setuju. Kedua kelompok yang berbeda pendapat tersebut saling mengecam, mengintimidasi dan
mengancam satu sama lain, sehingga warga Lae-lae cenderung menutup diri dengan warga Kampung Nelayan dan terjadi sebaliknya. Bahkan warga kedua komunitas merasa takut
dianggap sebagai penghianat di komunitasnya masing-masing, hal ini turut memperpanjang serta meperumit pemulihan kondisi diskontinyuitas yang mereka alami.
Hal lain yang merupakan aspek diskontinyuitas sosial adalah disintegrasi dan disharmoni dalam kehidupan keluarga. Disintegrasi dan disharmoni dalam kehidupan
keluarga dalam kasus yang dikemukakan diatas merupakan suatu realitas dimana anggota keluarga mengalami perubahan dari segi jumlah, peran dan fungsi keluarga menjadi
terganggu, suasana dan keutuhan kehidupan keluarga pun mengalami goncangan.
“ Kasus NSDRK, sebagai warga Lae-Lae yang bekerja sebagai nelayan dengan status pinggawa caddi, ada saudara saya yang dipindahkan ke Kampung nelayan,
sementara orang tua saya tetap tinggal di lae-lae ini, walaupun keadaan rumah saya sederhana dan sempit, tetapi kita juga merasa tidak enak atau tidak lengkap jika ada salah
satu anggota keluarga yang tidak ada, apalagi itu kakak saya dan kemanakan yang kita
hidup bersama dalam satu rumah tangga selama ini”.
774
Keputusan yang diambil oleh saudarakakak kasus NSDRK untuk pindah ke Kampung nelayan kelurahan Untia cukup beralasan, karena dalam satu Rumah Tangga
dihuni oleh 3 keluarga dengan jumlah anggota dalam rumah tangga tersebut sampai 11 orang. Kondisi rumah yang sangat sederhana semi permanen dengan luas setara dengan
ukuran rumah tipe 36. Sementara di tempat pemukiman yang baru Kampung nelayan setiap keluarga yang bersedia pindah diberi satu unit rumah beserta hak tanah yang dilengkapi
dengan sertifikat. Kondisi ini nampak adanya situasi yang dilematis terjadi bagi keluarga yang hanya sebagian anggota keluraganya yang dipindahkan. Suasana kebersamaan dan
kekeluargaan begitu terasa oleh keluarga informan NSDRK karena ada kebiasaan pada sore hari keluarga dan anak-anak mereka berkumpul dan bercengkrama sambil menikmati
makanan ringan seadanya diatas balai-balai semacam tempat duduk yang terbuat dari bambu dengan atap dan dinding seadanya sambil menikmati angin pantai dan deburan
ombak pantai Lae-lae. Suasana ini pun terasa mulai berubah karena tidak lengkapnya beberapa anggota keluarga yang selama ini turut mewarnai keceriaan keluarga mereka.
Kebiasaan ini hampir dirasakan oleh seluruh keluarga dan rumah tangga di pulau Lae-lae, dimana setiap rumah memiliki balai-balai di depan rumahnya sebagai tempat istirahat pada
siang dan sore hari bersama anggota keluarga mereka.
Sebaliknya tipologi tindakan yang diperlihatkan kakak informan NSDR dalam kasus tersebut diatas, mewakili tindakan rasional instrumental, dimana didasarkan pada
pertimbangan fungsional dan efektif untuk dapat menata kehidupan baru dan mandiri sehingga bisa keluar dari kondisi keterbatasan khususnya perumahan. Sementara informan
medasarkan pertimbangan pada rasional nilai dan tradisi, dimana ketika ada anggota keluarga dalam satu rumah tangga yang hilang atau berkurang maka akan mengancam
suasana kebersamaan dan kekeluragaan yang selama ini mewarnai eksistensi keluarga dan rumah tangga mereka.
Pasca relokasi jumlah dan komposisi penduduk pada kedua komunitas mengalami perubahan. Keadaan ini, berpengaruh terhadap dinamika sosial terhadap kedua komunitas
tersebut. Seperti struktur penduduk yang didominasi oleh kelompok umur tertentu akan berpengaruh terhadap produktifitas dan dinamika sosial lainnya. Struktur penduduk kedua
komunitas mempengaruhi pula struktur keluarga khususnya peran, fungsi serta pola hubungan secara menyeluruh.
Pada prinsipnya diskontinyuitas sosial aspek kekeluargaan dan kekerabatan yang terjadi pada kedua komunitas adalah karena faktor relokasi yang tidak ditopang dengan
semangat kebersamaan dan kesepakatan, sehingga kedua komunitas mengalami keterbongkaran dan keterpisahan. Berkenaan dengan relokasi melahirkan yang dua
komunitas dan sistem sosial yang sama-sama mengalami ketidak stabilan dan ketidakseimbangan. Namun relokasi memberi dampak positif dalam memicu dan
mendorong terjadinya perubahan sosial dan mobilitas sosial bagi warga pada kedua komunitas Lae-Lae dan Kampung Nelayan kelurahan Untia.
2. Diskontinyuitas Pertetanggaan dan Pertemanan