1050
1. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Permasalahan
Masyarakat ASEAN dengan tiga pilar yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA, Masyarakat Politik Keamanan ASEAN MPKA Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
MSBA telah diluncurkan pada 31 Desember 2015 dan praktiknya mulai dilaksanakan sejak 1 Januari 2016, artinya ASEAN semakin terbuka bukan hanya antar negara-bangsa
anggotanya, namun juga dengan dunia secara global.Dalam perkembangan situasi sedemikian dan realitas kondisiIndonesia yang problematis, misalnya perdebatan antara
siap, tidak siap dan harus siap menghadapinya; seringkali banyak orang -termasuk akademisi- yang tidak mudah untuk memahami tentang bagaimana relasi antara gerakan
sosial yang dilakukan oleh masyarakat sipil dengan realitas dinamika sosial politik dan ekonomi dalam beragam bentuk dan tingkatannya.Apalagi memahami relevansi gerakan
sosial di Indonesia dalam Masyarakat ASEANterutama terkait dengan daya saing yang menjadi konsepsi kunci dalam integrasi dan kompetisi atau kontestasi di kawasan Asia
Tenggara.Ketika relasi dan relevansi tersebut ketika diajukan sebagai sebuah permasalahan dalam diskursus atau pewacanaan dalam kajian akademik, bahkan dianggap sebagai
sesuatu yang mengada-ada, dihubung-hubungkan, dan berlebihan.Hal tersebut adalah pengalaman atau peristiwa empiris yang dialami penulis ketika mencoba mengajukan
gagasan tersebut dalam sebuah proposal penelitian dan pengabdian masyarakat.Padahal keseluruhan realitas dalam dinamika sosial politik tersebut adalah kenyataan yang
seharusnya dapat dipahami oleh siapa saja, tidak hanya para akademisi dan intelektual saja. 1. 2. Urgensi dan Rasionalisasi
Oleh sebab itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah diskusi yang menganalisis permasalahan tersebut dan dihadirkan untuk berkontribusi dalam kajian keilmuan, juga
diharapkan menjadi bagian dari upaya membangun diskursus atau pewacanaan dalam dialektika realitas sosial kekinian. Sebab, konsep-konsep tentang masyarakat sipil, gerakan
sosial, daya saing, Negara-bangsa Indonesia, integrasi dan kompetisi atau kontestasi regional Masyarakat ASEAN dan globalisasi, serta segala hal yang terkait dengan itu,
sangat perlu dan penting untuk diketahui dan dipahami oleh siapapun. Dengan pendekatan Teori Kritis maka pemaparan akan dilakukan dengan berfokus pada deskripsi tentang relasi
sosial dan relevansi gerakan sosial dalam berkontribusi untuk membangkitkan kejayaan Negara-bangsa Indonesia dalam Masyarakat ASEAN melalui pengembangan daya saing.
Melalui pendekatan Teori Kritis akan dikaji secara konseptual teoritik tentang 1 regionalisme dan regionalisasi, 2 daya saing dan tentu saja 3 gerakan sosial. Sekaligus
dilanjutkan pemaparan hasil analisis tentang 1 Masyarakat ASEAN sebagai bentuk integrasi sekaligus arena kompetisi atau kontestasi di kawasan Asia Tenggara dalam
perspektif global, 2 Indonesia di dalam DInamika ASEAN, 3 daya saing Indonesia sebagai negara-bangsa dalam tatanan dunia dan dinamika global kekinian, 4 dinamika
gerakan sosial di Indonesia dari pentas lokal sampai global, dan 5 posisi dan peran gerakan sosial di Indonesia dalam memperkuat daya saing negara-bangsa secara
globaldalam Masyarakat ASEAN. Dengan demikian akan memberikan penjelasan deskriptif tentang relasi sosial dan relevansi gerakan sosial dalam berkontribusi untuk
membangkitkan kejayaan Negara-bangsa Indonesia dalam Masyarakat ASEAN kepada para pembaca.
1. 3. Tujuan Kegiatan dan Rencana Pemecahan Masalah
Dengan pemaparan deskriptif ini diharapkan dapat dipahami tentang relasi sosial dan relevansi gerakan sosial di Indonesia dalam Masyarakat ASEAN untuk kejayaan
negara bangsa kini dan masa depan. Untuk itu akan dibahas terlebih dahulu konsep- konsep dan teori-teori yang digunakan dalam analisis ini dan kemudian digunakan untuk
1051
membahas praktik-praktik yang ada dalam realitas dinamika sosial politik di berbagai tingkat: lokal, nasional, regional bahkan global.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1.Regionalisme dan Regionalisasi: Integrasi dan Kompetisi
Dinamika ekonomi politik global selalu ditandai dengan kompetisi dan kontestasi yang terjadi diantaranegara-bangsa di dunia.Namun tidak setiap negara-bangsa mampu
memenangi setiap kompetisi dan kontestasi meskipun juga tidak mau menerima kekalahan. Dalam kompetisi dan kontestasi pada struktur internasional tersebut, maka setiap negara-
bangsa akan saling beradu kekuatan nasional masing-masing. Untuk tidak mengalami kerugian dan destruksi yang massif, biasanya negara-bangsa sebagai aktor sekaligus agen
internasional akan mengajukan gagasan idea dan bertindak action sesuaidengan kapabilitas materialnya material capability, bahkan menginstitusikan sistem
internasional. Untuk memenangkan kontestasi dan kompetisi, mesti ditempuh dalam beragam cara baik kompromis melalui diplomasi dan lobi bahkan cara radikal melalui
koersi bahkan perang.Dalam konteks itulah secara historis kemudian dapat dipahami mengapa konflik dan kerjasama atau perang dan damai bisa terjadi dan hal-hal yang
material atau nyata tersebut tidak bersifat dialektis. Dengan kata lain, hubungan internasional itu dinamis dan tidak statis.
Dalam analisis hubungan internasional, perilaku negara-bangsa dalam kompetisi dan kontestasi global tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial social
forces –bukan hanya nasional- yang diciptakan dari situasi dan kondisi relasi sosial dalam
produksi social relation of production.Tidak mungkin sebuah negara terbentuk dan berinteraksi secara internasional dalam tatanan dunia pada struktur global tanpa didukung
dan didorong kekuatan sosial dari internal atau wilayah domestik bangsanya.Kekuatan sosial yang memimpin atau mampu memenangkan kontestasi dan kompetisi di tingkat
internal kemudian memimpin danberupaya memenangkan hegemoni di tingkat internasional.Demikianlah pendekatan kritis menilai sejarah hubungan internasional
moderntentang relasi kekuasan global hegemonik era Pax Britannica, Pax Americana, kemudian struktur global pasca Perang Dingin yang bertransformasi dari dua kutub dan
sumbu kekuatan yang membelah dunia dalam dua blok besar saat itu.Salah satu perkembangan dalam dinamika internasional pada tatanan dunia kontemporer adalah
regionalitas yang di dalamnya regionalism berkembang dan regionalisasi dilakukan.
Regionalitas adalah segala sesuatu yang terjadi di dalam dan berkaitan dengan dinamika di kawasan.Regionalisme dimaknai sebagai konsepsi tentang pemahaman
bersama common sense negara-bangsa yang ada di kawasan tertentu. Sedangkan regionalisasi dimaknai sebagai sebuah proyek atau proses integrasi ekonomi dan politik
dalam relasi sosial yang berdimensi regional.Regionalisme dan regionalisasi dalam konteks regionalitas, secara struktural dalam relasi sosial berada diantara yang nasional dan yang
global.Tantangan yang harus dijawab dalam regionalisme dalam ekonomi adalah semua isu-isu ekonomi termasuk relasi dalam struktur dan sistem ekonomi internasional dengan
adanya fakta tentang yang pusat dan pinggiran.Tantangan yang harus dijawab dalam regionalisme dalam politik adalah nasionalisme dan populisme dalam unionisme di tingkat
kawasan, juga politik global dalam struktur dan sistem politik internasional.
Memahami regionalitas, regionalisme dan regionalisasi, membutuhkan sebuah paradigma cara pandang terhadap dunia dan perspektif kerangka konseptual teoritik
untuk melakukan penilaian terhadap dinamika sosial yang terjadi.Misalnya Erhard Eppler, mantan Menteri KerjasamaPembangunan Internasional BMZ dan salah satutokoh sentral
Partai Sosial Demokrat SPDdi Jerman, dalam buku Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, ada tiga temabesar yang diuraikannya: 1 kebangkitan dan ekspansi negara,
1052
terutama pada masaperang, dalam memobilisasi aparat keamanan untuk menjaminkeamanan
nasional; 2
kebangkitan liberalismeneo-liberalismeyang
mengurangi secara signifikan fungsi dan peran negara; dan3 kekuatan globalisasi yang mendorong tumbuhnya regionalismesehingga mengharuskan negara untuk melakukan
transformasisifat, fungsi dan peran. Globalisasi dan kecenderungan regionalisme hanyaakan mendorong negara untuk melakukan transnasionalisasiperan tradisionalnya dari
sekadar penjaga integritas teritorial dankedaulatannya saja menuju kepada apa yang oleh Ulrich Beckdan Edgar Grande 2007 [2004] disebut
“transnational state”,yakni negara yang mempertahankan dan mengembangkankekuasaannya melalui kerjasama
regionalinternasional, keterlibatandalam
proses negosiasi
berbagai aturan
internasional,dan keterlibatan dalam proses pembentukan global governancemisalnya WTO, G-20, Climate Change, dan lain-lain
298
. Paradigma dan perspektif tersebut sejalan dengan pendekatan Teori Kritis yang akan dijelaskan kemudian.
Contoh ideal praktik regionalisme dalam hubungan internasionaladalah Uni Eropa sebagai organisasi negara-negara di kawasan Eropa Barat.ASEAN mencoba mengimitasi
model regionalisme yang diterapkan di kawasan tersebut dengan berbagai adaptasi model integrasi
299
.Arie Setiawan 2013 menyatakan bahwa Masyarakat
ASEAN adalah bagian dari konstruksi dalam memperkuat regionalisme di Asia Tenggara.Dalam regionalisasi ASEAN,
dibutuhkan negara hegemon sebagai pengatur negara-negara lain di kawasan.Negara hegemon harus m
emunyai kekuatan paling besar, sehingga mampu menghegemoni negara-negara anggota lainnya agar aturan dalam kesepakan dapat diselenggarakan.Untuk menjadi negara
hegemon, harus memunyai kapabilitas dan komitmen terhadap kawasan.Mampu mendistribusikan sumber daya yang ada sehingga tiap-tiap negara merasa
diuntungkan
300
.Ada beberapa pertanyaan kritis yang perlu diajukan dalam hal ini, pertama, secara khusus, apakah Indonesia kemudian harus menjadi hegemon di ASEAN?Secara
umum, siapakah atau negara manakah yang paling pantas menjadi hegemon di ASEAN?Kedua,
bagaimana batasan
kapabilitas bisa
didefinisikan atau
ditentukan?Bagaimana menjamin negara hegemon bisa berkomitmen terhadap kawasan?Ketiga, bagaimana batasan mampu mendistribusikan sumber daya bisa
didefinisikan dan ditentukan?Lebih dari itu, apakah ada negara hegemon yang mau menditribusikan sumber daya sehingga setiap negara merasa diuntungkan? Apakah ada
negara-negara non-hegemon akan merasa cukup dan membatasi dirinya jika mendapatkan keuntungan?Untuk itu, cara pandang dan perspektif Setiawan tersebut perlu lebih kritis
direspon dengan Teori Kritis.
Dalam studi yang lain, Ratih Indraswari 2013 menyatakan bahwa Masyarakat ASEAN menunjukkan sebuah integrasi yang komprehensif di antara negara anggota
ASEAN.ASEAN mengadopsi pendekatan people-centeredness atau berpusat pada rakyat untuk memastikan partisipasimasyarakat dalam proyek regional ini.Penelitian Indraswari
adalah mengenai persepsimasyarakat terhadap integrasi ASEAN dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana persepsiumum opini publik ASEAN mempengaruhi proses
integrasi regional ASEAN. Menggunakanpendekatan Lauren McLaren pada pengukuran dampak opini publik untuk keberhasilan menciptakan integrasi regional, bahwa
pengetahuan tentang ASEAN kognitif mobilisasimemberikan kontribusi untuk
298
Bob Sugeng Hadiwinata, Refleksi Historis Kembalinya Peran “Negara”: Pengantar dalam Erhard Eppler, Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, Penerjemah versi Indonesia: Makmur Keliat 2009, Jakarta:
Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia.
299
ASEANCapai Kemajuan Menuju Masyarakat Gaya Uni Eropa http:m.voaindonesia.coma1648729.html
diakses pada 24 Agustus 2013 pukul 22.45 CET
300
G riffiths dan O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. London: Routledge, 2002,
hal. 135-137 Arie c, Pembangunan Kesadaran Baru dan Keseimbangan Kawasan, Buletin Komunitas
ASEAN, Edisi 3 November 2013
1053
pembuatan persepsi positif ASEAN - sebuah perspektif yang mendukung proyekintegrasi regional
301
.Perlu diajukan pertanyaan, apakah pengetahuan tersebut given atau terberi?Ataukah pengetahuan merupakan hasil dari sebuah konstruksi?Karena tingkat
pengetahuan berkorelasi dengan struktur dan sistem kekuasaan dalam relasi sosial di berbagai tingkatan.Oleh sebab itu, Teori Kritis semakin relevan untuk digunakan dalam
analisis ini.
Untuk menilai tentang Indonesia di ASEAN, Elisabeth 2015 menyatakan bahwa sejak periode kedua pemerintahan Yudhoyono, orientasi Indonesia ke ASEAN sudah
berkurang.ASEAN menjadi bagian dari komunitas global ketimbang menjadi bagian dari kepentingan regional Indonesia.Sejak itu kepemimpinan Indonesia di ASEAN tampak tak
relevan lagi. Menghadapi Masyarakat ASEAN pada Desember 2015, sebagian masyarakat regional kurang mawas dengan eksistensi dan signifikansi ASEAN, terutama karena tidak
atau belum ada dampak langsung pada kehidupan masyarakat umum. Indonesia mestinya mendefinisikan kembali kebijakan regionalnya pada ASEAN berdasar pada meningkatnya
aktor-aktor dan isu-isu regional dan global.Terutama mengoptimalisasikan mekanisme ASEAN sebagai sebuah instrumen transformasi konflik
302
.
2. 2.Daya Saing Negara: Melampaui Konteks Ekonomi