285
kebijakan, agarbisa diambil alih untuk pembangunan kebun sawit. Akibatnya, banyak tanah-tanah dalam penguasaan dan atau pemilikan masyarakat yang diambil alih baik
melalui cara-cara kekerasan maupun dengan tipu daya informasi. Berbagai skema kerja sama pun dirumuskan untuk memudahkan proses pengambi-alihan tanah dari masyarakat,
antara lain skema inti-plasma, koperasi, jual beli, konsolidasi tanah maupun kompensasi.
2. Lemahnya Keadilan dan Penegakan Hukum
Lemahnya keadilan disini terlihat dari adanya penyerangan dan penangkapan terhadap warga masyarakat yang melakukan penolakan terhadap pembangunan
perkebunan kelapa sawit di daerah. Seperti kasus di Kabupaten Sambas, pada bulan November 2001, 50 anggota Brimob Indonesia police special force menyerang warga
Dayak Bakati dan menangkap sejumlah tokoh adat yang menolak masuknya perkebunan kelapa sawit PT. RWK di sana. Meski didemo ratusan warga Dayak, tokoh adat ini
ditangkap, diadili dan dipenjara dua tahun.Selama ini, banyak perusahaan perkebunan sawit meminta pengamanan kepada pihak kepolisian. Padahal, tugas Polisi adalah menjaga
ketertiban dan keamanan di masyarakat Kalbar,. Oleh sebab itu rasa keadilan kurang mendapat perhatian terkait adanya keberfihakan pihak kepolisian pada pihak perusahaan.
Adanya indikasi ketimpangan kebijakan dan kepemihakan keadilan dalam penegakan hukum adalah penyebab utama permasalahan, bila tidak ditangani secara
konsisten maka konflik akan terus-menerus terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim peneliti 2015, terungkap bahwa, seluruh wilayah di Kalimantan Barat dimana
terdapat perkebunan kelapa sawit 11 Kabupaten dan 1 kota mengalami konflik sengketa lahan. Sengketa lahan terjadi antara 1 pihak perusahaan dengan tanah masyarakat
setempat dan tanah adat, 2 Sengketa tapal batas antar desa, antar kecamatan dan antar kabupaten.
Lemahnya Penegakan hukum dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata tidak sedikit perusahaan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum
memenuhi berbagai syarat dan kewajiban hokum sesuai aturan yang berlaku. Meskipun begitu, sebagian besar telah melakukan serangkaian tindakan operasional dalam rangka
pembangunan perkebunan sawit. Misalnya, Hak Guna UsahaHGU baru dimiliki oleh perusahaan perkebunan sawit setelah kebun sawit dioperasikan bertahun-tahun.
Perusahaan-perusahaan tersebut hanya bermodal Izin Lokasi dalam membangun kebunnya.Disampingitu,tidaksedikit perusahaan-perusahaan yang belum melaksanakan
kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan pada saat pemberian Hak Guna Usaha oleh Badan Pertanahan NasionalBPN.
Menurut hokum dengan logika penalarannya yang positif, perusahaan-perusahaan yang demikian terbilang tidak memiliki keabsahan hokum untuk melakukan tindakan-
tindakan hokum seperti mengoperasionalkan perkebunan sawit sebelum dipenuhinya syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Karena,
sebagaimana diketahui dalam setiap SKHGU adalah usul yang menyatakan bahwa apabila kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada pemegang HGU tidak dipenuhi, maka
SKHGU batal dengan sendirinya. Jika SKHGU tersebut secara hokum batal, maka seluruh kegiatan usaha harus dihentikan demihukum, karena sudah tidak ada lagi alashak yang
menjadi dasar hokum pengoperasian perusahaan. Namun pada kenyataannya dilapangan, perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya tetap menjalankan operasi
perkebunan.
3. Perusahaan Mengabaikan Kepentingan Masyarakat
Perusahaan yang hanya mementingkan pengembangan perusahaan semata dengan mengorbankan kepentingan masyarakat adalah penyebab konflik lainnya. Egoisme akan
286
menjadi perkara besar dan berbuntut panjang. Aspirasi yang disampaikan harus menjadiwarning sehingga perlu didengarkan oleh pihak perusahaan perkebunan. Seperti
penolakan masuknya perusahaan sawit yang berpotensi merusak alam dan lingkungan. Jika aspirasi masyarakat diabaikan, memungkinkan terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Mendengarkan aspirasi masyarakat adalah tindakan yang efektif menghindari konflik, selagi hak yang menjadi tuntutan masyarakat masih dalam batas kewajaran. Masyarakat
sekitar perkebunan kurang mendapatkan perhatian dimana program Corporate Social ResponsibilityCSR tidak dilaksanakan sehingga kehadiran perkebunan kelapa sawit tidak
memberikan dampak bagi perkembangan kemajuan daerah. Oleh sebab itu penolakan atas kehadiran perkebunan kelapa sawit semakin meningkat.
4. Arogansi Pihak Perusahaan
Terkadang sikap arogansi ditunjukkan oleh perusahaan yang mengabaikan hak- hak karyawannya. Permintaan karyawan untuk mendapatkan upah layak berbuah
kepahitan. Karyawan yang telah bekerja selama belasan hingga puluhan tahun tak luput dari ancaman Pemutusan Hubungan Kerja PHK. Tuntutan karyawan cukup beralasan
yakni ingin Kebutuhan Hidup Layak KHL. Dalam hal ini, perusahaan harus mengambil sikap bijak jika ingin menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sebab, ini menyangkut
kemajuan perusahaan kedepannya. Permasalahan ini dapat mengundang konflik internal maupun eksternal bagi perusahaan itu sendiri. Selain itu seringkali pihak perusahaan
melakukan melakukan penutupan jalan umum yang sudah termasuk dalam areal perkebunan yang sebelumnya merupakan jalan yang dipergunakan oleh warga sekitar
dengan alasan keamanan kebun. Kondisi ini seringkali menimbulkan reaksi, seperti yang terjadi di kabupaten Ketapang, Sanggau dan Sintang dimana masyarakat berdemo ke
perusahaan yang melakukan penutupan jalan.
2. KESIMPULAN