475
Pemberitaan media massa lokal terhadap polemik pembangunan Hotel Rayja dalam penelitian ini ditelaah menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan
yang diimplementasikan untuk mensistematiskan uraian ialah analisis framing model William Gamson dan Andrea Mondigliani 1989. Prosedur ini dijelaskan keduanya dalam
media packages yang didalamnya memuat aspek cultural resonances, sponsor activities, dan media practicesW. A. Gamson Modigliani, 1989, p. 5. Lebih lanjut, dalamanalisis
framing model iniframe dipandang sebagai cara bercerita story line atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang
berkaitan dengan suatu wacana Eriyanto, 2002, p. 223. Cara bercerita untuk mengkonstruksi makna dalam hal ini dilakukan oleh dua media massa lokal yaitu Harian
Surya dan Malang Post berkaitan dengan wacana penolakan pembangunan Hotel Rayja.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Friksi Pembangunan Hotel Rayja
Polemik pembangunan Hotel Rayja di Desa Bulukerto tidak terlepas dari lokasi yang direncanakan untuk gedung tersebut. Hotel Rayja dirancang berdiri di tempat yang
berdekatan dengan sumber mata air Gemulo, yaitu dalam radius 150 meter Surya, Lestari, Bane, Mifta, 2014, p. 30. Sumber air Gemulo memiliki debit air sekitar 60 literdetik,
digunakan sebagai salah satu sumber air baku Perusahan Daerah Air Minum PDAM Kota Batu untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, perikanan darat dan usaha sarana wisata
kuliner, serta sisanya untuk irigasi Kustamar et al., 2010, p. 145. Sebagian warga sekitar sumber air Gemulo khawatir pembangunan rumah singgah Rayja akan mengancam
keberlangsungan penyuplai air mereka. Hal inilah yang menjadi pintu masuk bagi friksi yang melibatkan masyarakat sipil, pengusaha, dan pemerintah Kota Batu.
Letak bangunan Hotel Rayja yang berdekatan dengan sumber air bukan menjadi satu-satunya pemicu konflik. Perbedaan cara pandang antara masyarakat dengan
pemerintah berkontribusi pula bagi perselisihan tersebut. Bertentangan dengan kegelisahan akan pengurangan debit sumber air Gemulo, representasi pemerintah Kota Batu justru
berupaya menunjukkan peluang keuntungan yang bisa diperoleh warga melalui proyek pendirian Hotel Rayja.
Upaya pengkonstruksian gagasan yang direpresentasikan pemerintah Kota Batu terlihat mulai dari tingkat desa hingga instansi pemerintah yang terkait. Perihal penolakan
yang dilakukan warga, Kepala Desa Bulukerto sempat memberikan pernyataan bahwa warga sekitar telah memberikan persetujuan atas pembangunan hotel tersebut.
Permakluman disampaikan pula oleh Camat Bumiaji. Pemimpin Kecamatan Bulukerto itu menilai pembangunan Hotel Rayja di wilayahnya berpeluang memunculkan lapangan
pekerjaan bagi warga sekitar. Selain mendapat pembelaan tersebut, pembangunan Hotel Rayja juga telah mengantongi ijin dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bapeda
dan Kantor Perijinan Pelayanan Terpadu KPPT. Berdasarkan pernyataan kedua instansi di pemerintahan Kota Batu tersebut, pendirian Hotel Rayja di Desa Bulukerto telah
memenuhi semua prosedur perijinan Surya et al., 2014, p. 31.
Perihal perijinan yang diberikan oleh pemerintah Kota Batu untuk pembangunan Hotel Rayja juga menuai kontroversi. Ombudsman Republik Indonesia ORI menilai
Pemerintah Kota Batu melakukan mal administrasi atas penerbitan proses perizinan pembangunan hotel tersebut. Sehingga ORI merekomendasikan pembangunan The Rayja
dihentikan Widianto, 2014b.Rekomendasi ORI tersebut didukung oleh Kementrian Lingkungan Hidup KLH. KLH menyarankan penghentian pembangunan Hotel Rayja
dengan pertimbangan investor belum memenuhi dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL. KLH menilai pembangunan hotel itu menjadi ancaman bagi
keberlangsungan sumber air Gemulo Walhi Jawa Timur, 2014. Tidak hanya dua instansi itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM turut merekomendasikan Wali
476
Kota Batu mencabut izin mendirikan bangunan IMB Hotel Rayja sekaligus memberikan sanksi bagi Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Syamsul Bakri yang
mengeluarkan izin Widianto, 2014a. Gerakan Penolakan Pendirian Penginapan di Sekitar Sumber Air Gemulo
Rekomendasi-rekomendasi penghentian pembangunan Hotel Rayja dari Kementrian LH, Komnas HAM,Ombudsman RI, Komisi Pelayanan Publik tidak serta-merta mampu
memberhentikan kegiatan pekerja Walhi Jawa Timur, 2014. Investor dan pemerintah Kota Batu berketetapan bahwa tidak ada peraturan hukum yang dilanggar sehingga
pembangunan layak untuk dilanjutkan. Di lain pihak, masyarakat terus diliputi oleh kekhawatiran kerusakan ekologis sumber mata air akibat pembangunan hotel. Pada kondisi
inilah, masyarakat Dusun Cangar Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji mulai membangun gerakan-gerakan penolakan. Upaya penolakan pun sebenarnya sudah dilakukan pasca
kegiatan sosialisasi pembangunan Hotel Rayja di Kantor kecamatan Bumiaji. Peserta sosialisasi yang sebagian besar merupakan masyarakat Dusun Cangar Desa Bulukerto
mulai mengindikasikan ketidak-beresan dalam proses penyampaian informasi tentang rencana pembangunan hotel. Kejanggalan yang ada, menurut informasi dari tokoh Forum
Masyarakat Peduli Mata Air FMPMA, antara lain manipulasi absensi tanda tangan kehadiran menjadi tanda tangan persetujuan pembangunan hotel, forum sosialisasi yang
cenderung tidak dialogis, bersifat memaksa disertai iming-iming perekrutan tenga kerja dari masyarakat sekitar, dan praktek suap yang dibungkus dengan uang transport
khususnya kepada perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Bulukerto. Informasi lain menyebutkan, pihak yang diundang dalam kegiatan sosialisasi tidak merepresentasikan
seluruh warga yang memanfaatkan sumber Mata Air Gemulo. Salah satu Tokoh masyarakat Dusun Cangar H Rudi, mengatakan bahwa dalam kegiatan sosialisasi yang
diundang hanya Warga Dusun Cangar, sementara itu masih ada desa-desa lain seperti Sidomulyo, Bumiaji dan Pandanrejo yang notebene merupakan pemanfaat sumber gemulo
tidak dilibatkan. Beberapa tokoh pun protes dan melakukan tindakan walk out.
Gerakan penolakan masyarakat pun kian membesar, karena pembangunan hotel yang hanya beradius 150 m dari sumber mata air gemulo mulai menimbulkan kegelisahan
akan potensi krisis ai bersih bagi pemanfaat sumber gemulo lainnya. Setelah warga Dusun Cangar, pengurus HIPPAM Desa Bumiaji juga mempertegas sikap penolakan. Dalam
pertemuan di Kantor Desa Bumiaji, disepakati bahwa pembangunan hotel pada kawasan sumber mata air harus ditolak, alasannya supllay air minum warga desa setempat menjadi
terancam.
Pada perjalanannya, gelombang gerakan sosial semakin meluas setelah bergabungnya organisasi-organisasi pemerhati lingkungan, seperti Yayasan Pusaka, MCW
dan WALHI. Tidak ketinggalan pula, pengurus HIPPAM desa-desa sekitar seperti Desa Giripurno, Desa Pandanrejo dan Desa Sidomulyo juga turut serta melakukan penolakan.
Bersatunya elemen-elemen pemerhati lingkungan inilah menjadi embrio lahirnya Forum Masyarakat Peduli Mata Air FMPMA sebuah organ taktis untuk membangun gerakan
penyelematan sumber mata air gemulo.
Model gerakan sosial FMPMA cukup atraktif dan beragam, mulai menginisiasi koin peduli sumber umbulan, diskusi publik, loby dan kontak dengan DPRD Kota Batu, audensi
dengan stakeholders terkait, demontrasi dan penyelesaian litigasi tuntutan hukum. Bahkan, penyelenggaraan Festival Mata Air menjadi event yang rutin diselenggarakan oleh
kelompok FMPMA sampai saat ini. Pada masa-masa awal gerakan FMPMA, difokuskan pada upaya-upaya yang bersifat non-litigatif dengan mengedepankan upaya dialogis
dengan pengambil kebijakan, terutama DPRD Kota Batu. FMPMA menuntut DPRD Kota Batu agar menekan Walikota mengkaji ulang izin pendirian Hotel Rayja dikaji ulang.
477
Pada perkembangannya, upaya dialogis yang digagas FMPMA tidak membuahkan hasil, FMPMA akhirnya memilih aksi demonstrasi sebagai alternatif metode gerakan untuk
merealisasikan tuntuan. Diharapkan, kejelasan sikap Walikota akan diperoleh setelah masyarakat turun jalan . Aksi demonstrasi pertama kali dilakukan di Kantor Walikota Batu.
Kedua, aksi demontrasi dilakukan secara long march dari di Kantor Kecamatan Bumiaji ke Kantor Walikota Batu. Pada aksi kedua tersebut, Camat Bumiaji bersedia mencabut ijin
pendirian hotel, sementara itu walikota belum menentukan sikap.
Di lain pihak, khususnya menanggapi gerakan FMPMA, Pemerintah Kota Batu justru membangun kontra opini dengan mengumpulkan kepala desa dan Camat untuk
diajak ke lokasi pembangunan hotel guna melihat langsung dan membuktikan bahwa pembangunan hotel tidak berpotensi merusak sumber air. Walalupun demikian, tindakan
yang dilakukan walikota ini tetap tidak membuat FMPMA gentar.
FMPMA masih menganggap bahwa pemerintah tidak memberikan jawaban tegas mengenai tuntutan masyarakat agar daerah di sekitar sumber gemulo dijadikan sebagai
lahan konservasi. Bahkan, dalam pernyataan di media terkesan pemerintah “pasang badan” membela hotel bergeming tidak akan mencabut hotel. Kepala BAPPEDA bersikukuh
bahwa ijin yang diberikan bukan pembangunan hotel, tetapi cottage. Ia akan menolak jika yang diajukan hotel. Menurut Pemerintah, cottage tidak merusak lingkungan. Melihat sikap
pemerintah yang demikian maka masyarakat membuat pengaduan ke KOMNAS HAM. Konflik tidak semakin keras, sebab Ketua KOMNAS HAM mampu memperingatkan
walikota agar tidak represif dalam memperlakukan FMPMA dalam konflik ini.
Menanggapi aksi demonstrasi, Walikota mulai mempertimbangkan tuntutan FMPMA. Walikota mulai membuka ruang negosiasi baik dengan Camat maupun dengan
para kepala desa di sekitar sumber air. Walaupun demikian, Walikota tidak serta-merta memenuhi tuntutan FMPMA secara langsung. Walikota terlebih dahulu harus memastikan
bahwa tuntutan FMPMA benar-benar murni sebagai bentuk perjuangan penyelematan sumber air dan tidak ada kepent
ingan “segelintir” politisi Kota Batu. Setelah memastikan bahwa tuntutan masyarakat bersih dari kepentingan politik praktis, Walikota bersedia
menandatangani surat pernyataan penghentian pembangunan Hotel Rayja dalam pertemuan FMPMA di Kantor Desa Bumiaji.
Euforia kegembiraan atas munculnya surat pernyataan walikota faktanya tidak berlangsung lama. Berdasarkan telaah mendalam akademisi dan elemen-elemen gerakan
yang mendampingi FMPMA, diperoleh argumen bahwa surat pernyataan pencabutan izin pendirian hotel yang ditanda-tangani walikota tidak memiliki kekuatan hukum. Apalagi,
surat pernyataan tersebut tanpa tindak lanjut secara kelembagaan dari Pemerintah Kota Batu. Bahkan, pihak hotel menegaskan bahwa pembangunan akan jalan terus. Investor
Hotel Rayja dibawah bendera PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri mengancam akan menuntut balik Pemerintah Kota Batu jika izin pendirian hotel benar-benar dicabut. Untuk
memperkuat legitimasi, investor mendatangkan alat-alat berat masuk ke lokasi pembangunan hotel. Melihat hal ini, FMPMA tidak tinggal diam, tetapi justru melakukan
perlawanan dengan memindahkan batu dan pasir. Sekalipun, tindakan FMPMA dilaporkan ke Kepolisian Kota Batu yang berujung terhadap kriminalisasi, 4 orang pengurus FMPMA
dan gugutan perdata atas perusakan ke pengadilan tetapi secara politik cukup efektif untuk bersikukuh dalam tuntutan yang tidak berubah, yakni tolak pembangunan hotel.
Keteguhan sikap hotel dan pemerintah untuk mempertahankan dibangunnya hotel tidak hanya dalam kata-kata. Untuk memperkuat alasan ini, keduanya menggandeng Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya PPLH UB untuk memberi legitimasi bahwa pembangunan hotel tidak merusak sumber air. Pernyataan yang mengutip penelitian
dari PPLH UB disampaikan dalam semua kesempatan, seakan-akan dalam membangun hotel sudah tidak ada persoalan lingkungan lagi.
478
Melihat keadaan seperti ini bukannya FMPMA menyerah, tetapi mengklarifikasi hasil penelitian PPLH UB. Konflik kembali memanas. Sekitar 15 orang anggota FMPMA
dengan mendatangi PPLH UB guna memberikan surat pernyataan kepada rektor yang berisi keprihatinan atas keterlibatan kampus tersebut dalam konflik sumber air di gemulo.
Selain itu, mereka melakukan demonstrasi mengkritik keberpihakan kampus kepada investor.
Tuntutan-tuntutan FMPMA untuk menemui walikota ternyata berhasil. Bahkan, setelah diawali pertemuan tiga kali antara warga dan semua SKPD yang terkait, akhirnya
walikota memutuskan untuk menjadikan tanah yang berada di sekitar sumber air Umbulan Gemulo menjadi lahan konservasi. Lahan yang dimaksud sebagai jari-jari yang ditarik 200
m. Prinsip yang digunakan seperti disampaikan Walikota, yakni sterilisasi semua bangunan yang berada di sekitar sumber air. Janji walikota akan dipenuhi dengan mengalokasikan
Rp. 100 miliar untuk pembebasanganti rugi bagi pihak yang harus di relokasi untuk keperluan ini.
Di sinilah konflik sementara ini mereda, sebab target lahan konservasi sudah disetujui walikota. FMPMA menunggu agar realisasi seperti yang dituntut dan dijanjikan
benar-benar terwujud, mengingat dalam pengalaman advokasi mereka keputusan walikota bisa berubah-ubah sewaktu-waktu. Pengalaman demonstrasi menunjukkan ke arah itu, jika
masyarakat tidak bergerak, maka walikota mencari celah bagaimana agar tidak merealisasikan apa yang sudah dijanjikan tersebut.
Babak baru konflik sumber gemulo kembali muncul. Pada Medio Juni 2015 Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan Willy Suhartanto selaku Direktur
Panggon Sarkarya Sukses Mandiri. Keputusan ini menggagalkan putusan PN Malang dan PT Jawa Timur yang telah memenangkan tergugat H Rudi, koordinator FMPMA atas
tuduhan menggalang aksi demonstrasi dan melakukan pengrusakan dan pembongkaran barang-barang milik Hotel Rayja. FMPMA selanjutnya mengambil sikap dengan
menempuh jalur hukum melalui Peninjauan Kembali ke Presiden. Terakhir, sebanyak 3 bus anggota FMPMA ngelurug
ke ibukota dengan tajuk ‘Wong Gunung Sobo Embong’. Di Ibukota selain menemui Teten Masduki, Kepala staf kepresidenan juga melakukan audiensi
ke Komisi III DPR RI Narasi-Narasi dalam Harian Surya
Kabar mengenai polemik pembangunan Hotel Rayja di Desa Bulukerto pertama kali dimuat pada Harian Surya di tahun 2012, tepatnya 27 November 2012. Pada waktu itu judul
berita yang ditampilkan ialah ‘Protes The Rayja Menghangat Lagi’. Judul tersebut mengerangkai informasi tentang upaya menagih janji terhadap Walikota Batu yang
dilakukan FPMA. Penagihan janji itu dilakukan dengan jalan menggalang aksi demonstrasi yang dilakukan di depan Hotel Purnama. Lokasi itu dipilih dengan pertimbangan bahwa di
hotel yang dimaksud pada saat yang bersamaan sedang diselenggarakan rapat koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup. Demonstran berharap aspirasi mereka lebih cepat
diakomodir dengan menggelar aksi di sekitar lokasi pertemuaan itu.
Semenjak dan pemberitaan demonstrasi tersebut, Harian Surya secara intensif memuat perkembangan informasi kasus Gemulo. Hingga tulisan ini dibuat, berita
mengenai konflik yang melibatkan warga dengan investor penginapan ituterakhir kali diberitakan pada hari Se
nin 29Februari 2016. Pada berita terakhir itu, tertulis judul ‘MCW Ogah Ikuti Dengar Pendapat DPRD Kota Batu, Ini Alasannya
’. Sehingga mulai dari perselisihan pertama kali menyeruak bulan Juli 2012 sampai bulan Februari, Harian Surya
telah memuat sebanyak 77 artikel yang terkait dengan konflik sumber air Gemulo. Artikel-artikel berita di dalam Harian Surya dapat digunakan untuk menelaah posisi
para pihak yang berseteru dalam kasus ini. Berita yang dianggapmenarik untuk dicermati dalam menunjukkan posisi pem
erintah Kota Batu terlihat pada artikel berjudul ‘Pemkot
479
Batu Soroti Pengelolaan Hippam ’. Artikel ini menginformasikan pada pembaca bahwa
Pemerintah Kota Batu menyoroti pengelolaan Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum HIPPAM. Pemerintah Kota Batu yang dalam tulisan tersebut direpresentasikan oleh
Wakil Walikota Wawali mempertanyakan pengelolaan dan transparansi keuangan HIPPAM di wilayahnya. Pada artikel tersebut, tidak secara spesifik mendiskusikan
pengelulaan HIPPAM di Dusun Gemulo. Namun dalam tulisan itu terdapat beberapa pernyataan yang perlu diurai lebih cermat.
Pada paragraf ketiga dari artikel berita yang dieditori Parmin tersebut dituliskan kutipan wawancara dengan Wawali Batu, Punjul Santoso. Secara rinci, bagian tersebut
dapat diamati dari kalimat berikut: “Tidak seenaknya sendiri pengelola mengambil air berikutnya
didistribusikan ke masyarakat, tapi kalau ada masalah, Pemkot yang disalahkan,” ujar Punjul seolah menyindir seringnya protes warga Bumiaji
terkait sumber Gemulo. Pada kalimat yang disampaikan Wawali di atas, tidak disampaikan secara eksplisit bahwa
pernyataan itu ditujukan kepada pengelola HIPPAM di Dusun Gemulo. Akan tetapi, interpretasi yang dilakukan wartawan saat menulis ulang peryataan Punjul itulah yang
mengarahkan pada konteks sumber air Gemulo.
Penulis berita, Iksan Fauzi melekatkan kalimat: ‘seolah menyindir seringnya protes warga Bumiaji terkait sumber Gemulo’. Pernyataan yang diimbuhkan pada kalimat
Wawali tersebut bukan semata-mata hasil pemikiran Iksan Fauzi sebagai wartawan. Kalimat tersebut merupakan sebuah refleksi atas pemikiran yang lebih luas. Dalam konteks
ini dapat dipahami bahwa masyarakat Kota Batu menyadari pernyataan Wawali tersebut sedang menyindir pengelolaan sumber air yang berada di sumber air Gemulo. Pemikiran
Iksan Fauzi sebagai penulis berita itu sebatas gaung dari gagasan masyarakat Kota Batu atas pernyataan Wawali. Sehingga hal ini berarti cara berkisah yang dilakukan Harian
Surya mengambil cara pandang masyarakat dalam menyimpulkan pernyataan Punjul Santoso.
Kalimat yang ditambahkan Iksan Fausi itumemperlihatkan keberadaan cultural resonancesdalam framing yang dirancang Harian Surya.Pembingkaian kalimat Wawali
Kota Batu tersebut memberikan keuntungan bagi penulis berita sebab mampu menghubungkan antara teks yang ditulis dengan para pembaca yang memiliki kesamaan
cara berpikir. Cultural resonances link different parts of the cultural system-i.e., to connect symbols on a specific issue with more enduring cultural themesW. A.
Gamson Modigliani, 1989, p. 5
.Kalimat ‘seolah menyindir seringnya protes warga Bumiaji terkait sumber Gemulo’ pada artikel berita tersebut digunakan oleh penulis berita
untuk memperlihatkan posisinya yang membela gagasan masyarakat sekitar sumber air Gemulo.
Artikel berita yang lainmerepresentasikan posisi pemerintah Kota Batu dalam konflik pembangunan Hotel Rayja dengan lebih rinci. Terdapat sejumlah artikel berita di
Harian Surya yang menempatkan Pemerintah Kota Batu sebagai pihak yang lalai dalam kasus ini. Artikel berita berjudul ‘Rekomendasi Kementerian LH, IMB The Rayja Harus
Dicabut’, ‘Walhi Akan Laporkan Pemkot Batu ke Polda Jatim’, dan ‘Diluruk Warga, Kepala KPPT Melarikan Diri’ merupakan sebagian dari artikel berita yang menunjukkan
kelemahan Pemerintah Kota Batu. Artikel berita dengan judul ‘Rekomendasi Kementerian LH, IMB The Rayja Harus
Dicabut’ dimuat Selasa, 3 September 2013. Berita ini memuat surat rekomentasi dari KLH yang ditujukan kepada Walikota Batu. Artikel tersebut menjelaskan surat rekomendasi
dengan nomor bernomor B-9430Dep.VLHHK082013 perihal rekomendasi tindak
480
lanjut pembangunan Hotel The Rayja Batu. Surat yang dikeluarkan tanggal 28 Agustus 2013 itu berisi tentang rekomendasi penghentian pembangunan Hotel Rayja.
Meskipun judul artikel tersebut menyuratkan rekomendasi dari KLH, substansi berita di dalamnya bukan sekedar anjuran kepada Pemerintah Kota Batu. Informasi yang
dimuat pada tajuk itu memuat pula keberhasilan dari penolakan yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Mata Air FMPMA. Lebih lanjut, tulisan tersebut juga menunjukkan
kealpaan Pemerintah Kota Batu. Pemerintah Kota Batu dalam berita itu ditampilkan sebagai pihak yang bebal, sebab tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi lain yang
telah diberikan sebelumnya. Rekomendasi dari
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pelayanan Publik Jatim, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batu, Dewan
Sumber Air Jatim, dan Ombudsmandianggap angin lalu. Tulisan ini ditutup dengan pernyataan: ‘... rekomendasi semua lembaga itu untuk menghentikan pembangunan dan
mencabut IMB The Rayja tidak digubris Pemkot Batu’. Berita dengan judul
‘Walhi Akan Laporkan Pemkot Batu ke Polda Jatim’ mampu menunjukkan pula posisi Harian Surya terhadap pemerintah dalam konflik ini. Informasi
yang disajikan dalam berita ini menampilkan fenomena yang menarik. Seperti yang tersurat dalam tajuk berita, isi tulisan itu mengisahkan rencana pelaporan aktivis Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia Walhi atas tindakan Pemerintah Kota Batu kepada Polda Jawa Timur. Pemerintah Kota Batu dilaporkan sebab dinilai telah melanggar beberapa
aturan penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelangaran yang telah dilakukan Pemerintah Kota Batu dalam artikel berita tertanggal 21 Agustus 2013 di atas ditunjukkan dalam tiga poin penting. Pertama,
pelanggaran administratif atas pengesahan surat Ijin Mendirikan Bangunan IMB. Dalam surat IMB tersebut, terdapat perbedaan nama antara pemohon dengan pemilik surat. Nama
pemohon yang tercatat ialah Willy Boenardi Koesnadinata, akan tetapi surat yang disahkan atas objek tersebut menyatakan bangunan itu diijinkan atas nama Willy Suhartanto. Kedua,
Pemerintah Kota Batu dinilai juga telah melakukan pelanggaran atas Perda No 7 Tahun 2011 tentang Tata Ruang Kota. Pelanggaran atas dasar rencana pembangunan Hotel Rayja
berada di kawasan sumber mata air dan hutan lindung. Ketiga, Pemerintah Kota Batu juga diduga melakukan pemalsuan dokumen IMB yang terkait dengan pembangunan Hotel
Rayja.
Upaya untuk menunjukkan kealpaan Pemeritah Kota Batu itu diperkuat Samsul Hadi sebagai penulis dengan tiga gagasan yang berbeda. Tiga gagasan untuk memperkokoh ide
itu didukung oleh akademisi dan aktivis FMPMA. Gagasan pertama disampaikan oleh Dani Sutopo, Sosiolog dari Universitas Brawijaya. Dani Sutopo menggarisbawahi krisis air yang
berpeluang terjadi selepas pembangunan hotel tersebut. Kendati pendirian hotel membuka lapangan pekerjaan, risiko pengurangan debit air lebih merugikan bagi masyarakat sekitar.
Kedua, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang, Rachmat KDS, menitikberatkan pembangunan hotel itu tidak berpihak pada kearifan lokal masyarakat Desa Bulukerto.
Sehingga pembangunan Hoter Rayja dinilai sebatas menuruti pembangunan pariwisata berbasis kapital. Ketiga, pernyataan Haji Rudi sebagai aktivis FMPMA mempertegas
ancaman krisis air yang menghantui warga. Sumber air Gemulo menurutnya menjadi penopang utama pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih. Bila pembangunan
Hotel Rayja tetap diteruskan, maka masyarakat akan mengalami kesulitan untuk memperoleh air layak konsumsi.
Argumen-argumen yang ditampilkan dalam artikel berjudul ‘Walhi Akan Laporkan
Pemkot Batu ke Polda Jatim’ tampak tidak berimbang. Informasi yang dimunculkan dari
gagasan-gagasan tersebut memberikan porsi besar untuk mendukung gagasan tentang kesalahan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Batu. Keterangan pembanding yang
481
selayaknya diklarifikasi oleh pihak Pemerintah Kota Batu tidak mendapatkan tempat dalam artikel tersebut.
Artikel berita ketiga yang diulas pada bagian ini berjudul ‘Diluruk Warga, Kepala
KPPT Melarikan Diri’. Berita ini memuat keterangan mengenai kedatangan sejumlah warga sekitar sumber mata air yang tergabung dalam FMPMA Gemulo ke Kantor
Pelayanan Perijinan Terpadu KPPT. Harian Surya pada tanggal 30 Januari 2013 itu mengabarkan perwakilan FMPMA bermaksud menemui Samsul Bakrie, Kepala KPPT
Kota Batu. Namun saat sampai di KPPT, Samsul Bakrie sedang tidak berada di tempat.
Hari itu sejatinya Samsul sudah berada di kantornya sejak pagi. Namun sebelum perwakilan FMPMA datang, tetiba Kepala KPPT itu meninggalkan tempat. Alhasil, 50
orang tamu dari FMPMA tersebut meradang. Mereka tidak puas saat ditemui oleh perwakilan Kepala KPPT dan menilai KPPT lalai untuk menghentikan pembangunan Hotel
Rayja. Aksi ngluruk mendatangi KPPT itu terjadi sebagai lanjutan dari somasi yang dilancarkan FMPMA lima hari sebelumnya.
Judul berita ini menunjukkan ambivalensi saat diklarifikasi dengan substansi yang dimuat. Pada tajuk, tulisan ini berupaya meyakinkan pembaca bahwa Ketua KPPT
melarikan diri saat didatangi 50 orang perwakilan FMPMA. Namun saat pembaca mencermati isi berita, akan diketahui bahwa Ketua KPPT tidak berada di kantor bukan
sebab melarikan diri. Pada paragraf keempat, tercantum informasi dari Endro Wahjudi Kepala Sie Pembangunan KPPT bahwa Ketua KPPT sedang berada di Balai Kota. Tidak
ada substansi berita yang menuliskan secara tegas bahwa Ketua KPPT menghindari para tamu dari FMPMA.
Artikel berita berjudul ‘Rekomendasi Kementerian LH, IMB The Rayja Harus Dicabut’, ‘Walhi Akan Laporkan Pemkot Batu ke Polda Jatim’, dan ‘Diluruk Warga,
Kepala KPPT Melarikan Diri’ menunjukkan daya kreasi dari wartawan. Berita dengan judul ‘Rekomendasi Kementerian LH, IMB The Rayja Harus Dicabut’ yang ditulis Iksan
Fauzi memperlihatkan bahwa penulis memiliki daya cipta untuk merancang berita. Di artikel tersebut, Iksan menunjukkan dengan gamblang kealpaan Pemerintah Kota Batu
terkait dengan konflik pembangunan Hotel Rayja. Pada berita ‘Walhi Akan Laporkan
Pemkot Batu ke Polda Jatim’, Samsul Hadi sebagai penulis juga memiliki kekuatan dalam membuat berita. Dalam artikel itu, Samsul berusaha menunjukkan kelalaian Pemerintah
Kota Batu dalam menghentikan pembangunan Hotel Rayja. Untuk memperkuat argumennya, Samsul menggunakan sokongan pendapat dari dua orang akademisi dan
seorang aktivis FMPMA. Kondisi tidak jauh berbeda terlihat dalam berita ‘Diluruk Warga, Kepala KPPT
Melarikan Diri’. Pada berita tersebut, Iksan Fauzi sebagai penulis dapat pula mempergunakan judul yang tidak didukung oleh penjelasan dalam isi berita.
Ketiga artikel berita tersebut menunjukkan bahwa jurnalis memiliki posisi yang aktif dalam membentuk berita. Hal inilah yang disebut sebagai media practices: journalists
working norms and practices add considerable value to the process W. A. Gamson Modigliani, 1989, p. 7 wartawan dapat mengkonstruk peristiwa berdasarkan aturan-
aturan dan praktik yang berlaku dalam institusinya. Namun wartawan juga dapat melakukan negosiasi dengan aktor-aktor di dalam dan di luar industri media untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Penuturan Berita di Malang Post
Perselisihan dalam polemik pembangunan Hotel Rayja semakin ramai melibatkan para pihak. Pemerintah Kota Batu dengan sejumlah instansinya terlibat dalam perseteruan
tersebut.Lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan media massa lokal pun larut dalam konflik itu. Media massa lokal berupaya untuk mengambil posisinya masing-masing dalam
konfrontasi yang kompleks tersebut, begitu pula langkah yang dijalankan oleh harian Malang Post.
482
Penelitian ini berusaha mengumpulkan data terkait dengan konflik pembangunan Hotel Rayja di koran Malang Post. Rentang waktu yang dijadikan batasan untuk
pengumpulan data diupayakan kongruen dengan tahap collecting data dari harian Surya. Pengumpulan bahan mentah tersebut dilakukan sejak akhir tahun 2012 hingga awal tahun
2016.Selama rentang waktu tersebut, tercatat 24 judul artikel yang memuat berita tentang konflik sumber air Gemulo.
Usaha pengumpulan tulisan tentang konflik di sekitar sumber air Gemulo dalam harian Malang Post tidak berbuah manis. Bukan seperti yang terlihat dalam Harian Surya,
pada koran ini pemberitaan konflik tersebut relatif minim. Tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dari pemberitaan Malang Post perihal konflik tersebut. Cukup
mengherankan dalam rentang waktu tersebut, pemberitaan mengenai gejolak yang terjadi di masyarakat tidak secara intens ditampilkan dalam berita di koran ini. Dari sejumlah
artikel berita yang dapat dikumpulkan dari Malang Post, ada dua judul artikel berita yang penting untuk dicermati.
Artikel pertama berjudul ‘Warga Pertahankan Gemulo’ terbit 23 Mei 2013. Artikel tersebut memberitakan mengenai kegiatan peringatan Hari Air yang dilangsungkan di
Dusun Cangar. Acara tersebut diberitakan merupakan hasil kerja sama antara warga RT 01 RW 03, HIPPAM Dusun Cangar, Karang Taruna dan mahasiswa serta dosen Jurusan
Sosiologi UMM. Dalam acara tersebut, dipertontonkan atraksi kesenian dan bela diri untuk menunjukkan komitmen menjaga sumber mata air Gemulo.
Lebih lanjut berita tersebut mengutip wawancara dengan Sumartono, Ketua RT 01 RW 03. Pernyataan Sumortono yang krusial untuk menjelaskan kegiatan tersebut terdapat
di dalam paragraf keempat. Secara rinci, pernyataan tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Kami tidak menolak pembangunan, sebaliknya tetap support karena pembangunan adalah cara untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Hotel Rayja mendapatkan dukungan dari masyarakat. Argumen tekait dengan peningkatan kesejahteraan dijadikan
sebagai dasar atas pernyataan tersebut. Gagasan ini sejalan dengan pernyataan sejumlah perwakilan Pemerintah Kota Batu yang berpikir bahwa pembangunan Hotel Rayja akan
berkontribusi positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar.
Berita di atas tidak menunjukkan secara konkret konflik yang terjadi terkait dengan pembangunan Hotel Rayja. Substansi berita yang ditulis wartawan dengan kode inisial
‘feb’ tersebut sebatas menampilkan perayaan hari air, jenis-jenis kegiatan dalam acara tersebut, dan aktor-aktor yang terlibat. Tidak ada informasi rinci mengenai penolakan
secara individual maupun gerakan kolektif yang dilakukan masyarakat untuk mencegah pembangunan Hotel Rayja.
Sejumlah judul artikel dalam koran Malang Post memiliki koridor yang mirip dengan berita di atas. Hal tersebut dapat diamati dari pilihan kata yang digunakan sebagai
judul dalam surat kabar tersebut. Judul-judul artikel yang dimuatterkait dengan konflik pembangunan Hotel Rayja cenderung ‘mengamankan’ posisi Pemerintah Kota Batu. ‘ER:
Pemkot Konsisten Konservasi Sumber Air ’; ‘Wajibkan Pengembang Lengkapi AMDAL’;
dan ‘Warga Batu Kecam Penelitian Dosen UB’. Artikel-artikel tersebut selain membela posisi Pemerintah Kota Batu, juga menampilkan pihak lain sebagai akar masalah. Pihak
yang berupaya dimunculkan untuk turut bertanggung jawab antara lain investor dan tim peneliti dari Universitas Brawijaya.
Judul-judul lain dalam koran ini memperlihatkan fenomena penting juga saat memberitakan upaya perlawanan warga. Judul-
judul semacam ‘Warga Gemulo ‘Kepung’ Mapolres
’; ‘Massa Gemulo Duduki PN’;’ Ngluruk, Minta Diperiksa Berjamaah’ dan
483
‘Cegah Penahanan, Warga ‘Duduki’ Mapolres’ merupakan judul yang provokatif. Melalui judul berita seperti itu, gerakan penolakan pembangunan Hotel Rayja ditampilkan sebagai
massa yang liar dan tidak menuruti aturan. Kabar Dari Balik Teks Surat Kabar
Dinamika gerakan sosial penolakan Hotel Rayja mewujud pada konstelasi pemberitaan di surat kabar lokal. Produksi Teks berita merepresentasikan latar industri
media. Surat kabar Harian Surya dan Malang Post memiki kontruksi narasi yang berbeda dalam merangkai berita tentang gerakan Sumber Gemulo. Dalam pewartaannya, Harian
Surya lebih mengedepankan ideologi pemberitaan yang konsisten, lugas dan kritis. Konsistensi terlihat dalam jumlah pemberitaan yang intens dan isi berita yang apik dalam
mewartakan kronologis atau alur gerakan. Semangat kritis juga senantiasa dikedepankan dalam pemberitaan, dimana akar masalah gemulo yang secara objektif adalah
maladministrasi perizinan oleh pemerintah Kota Batu diberikan porsi pemberitaan yang dominan. Di lain pihak, Malang Post dalam pewartaannya terhadap sumber gemulo
membangun kontruksi narasi yang lebih softdengan menghindari pemberitaan yang konfliktual.Intensitas pemberitaan atas konflik gemulo cukup rendah walalupun memiliki
halaman khusus untuk Kota Batu.
Kontruksi pemberitaan yang berbeda atas kasus sumber gemulo pada surat kabar lokal dapat terlacak dari kepentingan industri masing-masing media. Harian Surya
merupakan koran lokal yang menjadi anak perusahaan dari Harian Kompas, koran nasional yang memiliki reputasi jurnalisme ideal. Adapun harian malang post lebih cendrung
menghindari pemberitaankonflik gemulo dan mengkaburkan atas kebijakan pemerintahKota Batu yang salah dalam perizinan pendirian hotel. Cukup rasional,
mengingat salah satu Komisaris PT Malang Post adalah Dewanti Ruparin Dyah istri Walikota Batu Eddy Rumpoko. Kondisi ini mempengaruhi objektifitas pemberitaan dan
diferensiasi produk berita yang berkontestasi di masyarakat.
3. KESIMPULAN