Drs. Wahyu Pramono, MSi, . 2.Dra. Dwiyanti Hanandini, MSi

985 PERLAWANAN PEDAGANG KAKI LIMA PKL SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANKAN EKSISTENSINYA DALAM SISTEM EKONOMI KOTA

1. Drs. Wahyu Pramono, MSi, . 2.Dra. Dwiyanti Hanandini, MSi

1.Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, Telp. 0751 71266, E-mail: wahyu.pramonopd2gmail.com . 2, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, Telp. 0751 71266, E-mail: dhandiniyahoo.com . Abstrak Perlakuan pemerintah kota terhadap para pedagang kaki lima PKL seringkali tidak manusiawi. Pemerintah kota melakukan penggusuran-penggusuran tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi PKL dengan dalih menggangu ketertiban umum, lalu lintas dan merusak keindahan kota. Situasi tersebut sering menimbulkan perlawanan dari PKL. Keberanian PKL melakukan perlawanan bukan tidak mempunyai alasan. Kondisi ekonomi PKL yang berada pada batas subsistensi merupakan alasan yang kuat untuk melakukan perlawanan terhadap aparat pemerintah yang melakukan penggusuran. Perlawanan merupakan senjata yang digunakan oleh PKL untuk mempertahankan keberadaanya dalam sistem ekonomi kota. Perlawanan pedagang kaki lima terhadap aparat pemerintah kota bukan merupakan wujud ketidakpatuhanya terhadap peraturan daerah, akan tetapi merupakan usahanya memperoleh ruang kota untuk berdagang. Strategi perlawanan PKL terhadap pemerintah kota dilakukan baik secara terang-terangan, sembunyi-sembunyi, individual maupun bersama-sama, dengan cara keras maupun lunak.Tindakan perlawanan secara intensif oleh PKL memaksa pemerintah kota mengalah dengan memberikan sebagian atau merubah ruang publik badan jalan, trotoar, tempat parkir sebagai tempat berdagang PKL. Keberhasilan PKL dalam memperoleh ruang kota untuk berdagang dalam ruang publik yang sebenarnya tidak diperbolehkan memberikan makna bahwa eksistensi PKL diakui dan diperhitungkan sebagai bagian dari sistem ekonomi kota. Kata kunci: Pedagang Kaki Lima, Perlawanan, Pemerintah Kota, Eksistensi, Ekonomi Kota. 1. PENDAHULUAN Pedagang kaki lima PKL termasuk salah satu dari jenis pedagang di sektor informal yang banyak berkembang di kota-kota besar Indonesia. Para PKL ini kebanyakan berasal dari kalangan rakyat miskin yang termarjinalkan oleh pembangunan ekonomi atau krisis keuangan. Jumlah penduduk miskin Indonesia dari tahun ke tahun mengalami mengalami fluktuasi. Pada Juli 2008 penduduk miskin mencapai 34,96 juta orang turun 2,24 juta dibandingkan jumlah penduduk miskin Maret 2007. Dari jumlah penduduk miskin itu, sebanyak 12,77 juta penduduk tinggal di perkotaan. Angka tersebut meningkat tajam dibanding 2001 silam yang hanya 8 juta jiwa Susilo, 2008. Bila dibandingkan bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan yaitu sebesar 28.59 juta orang BPS, 2015. Sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan selama periode Maret 2015 986 berjumlah 10,65 juta orang lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di pedesaan berjumlah 17,94 juta orang. Penduduk miskin perkotaan kebanyakan adalah para migran yang berasal dari desa dengan ketrampilan yang sangat terbatas. Keterbatasan ketrampilan yang dipunyai menjadikan para migran kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Alternatif yang ada adalah masuk sektor informal yang sangat fleksibel menampung para migran tersebut. Krisis ekonomi dan keuangan dunia telah menyebabkan lesunya perekonomian di sektor formal, pemutusan hubungan kerja PHK yang dilakukan oleh sektor formal telah menambah maraknya perkembangan ekonomi di sektor informal. Sebagaimana dikemukakan oleh Tjandraningsih 1998 bahwa krisis ekonomi berakibat pada meningkatnya jumlah buruh yang di PHK Pemutusan Hubungan Kerja, sehingga tenaga kerja yang menganggur semakin bertambah. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO, mengatakan bahwa sepanjang bulan September 2015 telah terjadi 27.000 PHK. Hal ini terjadi lantaran berbagai hal, diantaranya karena pelemahan rupiah terhadap dollar dan pelambatan ekonomi nasional Kompas.com. Kemungkinan besar ke 27.000 pegawai tersebut di PHK karena perusahaan tempat bekerja telah tidak beroperasi lagi. Banyaknya kelompok pekerjaburuh yang di PHK akibat melemahnya ekonomi nasional maupun global menambah jumlah pengangguran yang ada di Indonesia. Badan Pusat Statistik BPS mencatat pada bulan Pebruari 2014-Pebruari 2015 jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 300 ribu orang sehingga total mencapai 7,45 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka TPT didominasi penduduk berpendidikan Sekolah Menengah Kejuruan SMK sebesar 9,05, Sekolah Menengah Atas SMA 8,17, dan Diploma IIIIII sebesar 7,49. Tingkat pengangguran terbuka terendah pada penduduk yang berpendidikan SD kebawah dengan prosentase 3,61, periode Februari 2015 Sindonews.com. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa pengangguran didominasi oleh penduduk usia produktif. Mengingat tingkat pendidikanya yang rendah para penganggur tersebut kemmungkinan besar hanya bisa masuk ke sektor inforal. Disamping buruh, dampak krisis ekonomi paling besar juga dirasakan oleh kelompok masyarakat klas ekonomi bawah. Daya beli masyarakat klas ekonomi bawah menurun. Nilai tukar rupiah yang melemah menyebabkan harga barang-barang impor akan meningkat, karena barang impor dibeli dengan uang dollar. Sementara banyak industri- industri yang mengandalkan bahan bakunya dari impor. Tempe dan tahu misalnya, yang merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat klas ekonomi bawah menggunakan bahan baku kedelai yang ternyata sebagian besar masih diimpor sehingga harga tempe dan tahu menjadi naik. Tingginya bahan baku impor seperti kedelai merupakan imbas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat bbc.com. Meningkatnya jumlah pengangguran di saat krisis ekonomi memberikan beban kepada pemerintah untuk berusaha keras membuka lapangan kerja. Kewajiban pemerintah menyediakan lapangan kerja merupakan amanah undang-undang yang harus dijalankan, terutama kepada`para pekerja yang terkena PHK maupun masyarakat klas bawah yang terkena imbas pelemahan atau krisis ekonomi. Sektor informal yang selama ini menjadi tumpuan para migran kota dan rakyat kelas bawah belum di sentuh secara mendasar melalui kebijaksanaan pemerintah. Hal ini nampak dari menduanya sikap pemerintah dalam memberikan kesempatan pada sektor ini untuk berkembang. Padahal sektor informal mempunyai kemampuan bertahan yang lebih tinggi dalam menghadapi krisis ekonomi. Dalam kenyataanya, tenaga kerja yang bekerja di sektor informal hampir menyamai tenaga kerja yang bekerja di sektor formal. 987 Badan Pusat Statistik Indonesia secara sederhana membagi kegiatan formal dan informal dari penduduk bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetapburuh dibayardan kategori buruhkaryawanpegawai, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi ini, maka pada bulan Agustus 2015 sebanyak 48,5 juta orang 42,24 persen bekerja pada kegiatan formal dan 66,3 juta orang 57,76 persen bekerja pada kegiatan informal. Komponen pekerja informal terdiri dari penduduk bekerja dengan status berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetapburuh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluargatak dibayar. Dalam setahun terakhir Agustus 2014 –Agustus 2015, pekerja informal berkurang sebanyak 1,8 juta orang, dan persentase pekerja informal berkurang dari 59,38 persen pada Agustus 2014 menjadi 57,76 persen pada Agustus 2015. Pekerja informal yang tidak mengalami penurunan adalah mereka yang bekerja dengan status pekerja bebas baik di pertanian maupun di nonpertanian. Pedagang kaki lima PKL termasuk pada kategori pekerja bebas di bidang non pertanian tidak mengalami penurunan bahkan cenderung naik. Pada tahun 2013, Asosiasi Pedagang Kaki Lima APKL membuat perkiraan kasar jumlah pedagang kaki lima PKL di Indonesia sebanyak 22 juta orang Bisnis.com. Jumlah tersebut nampaknya akan terus bertambah apabila pelemahan ekonomi atau krisis ekonomi. Di wilayah Jawa jumlah pelaku sektor informal berkisar antara 37 sampai 43, sementara di Luar Jawa lebih banyak lagi berkisar antara 43 sampai 55 Mustafa, 2008:30. Di Sumatra Barat jumlah pedagang kaki lima yang telah berhasil diregistrasi oleh pemerintah propinsi sebanyak 1000 PKL. Bahkan menurut Kepala Dinas Koperasi dan PKM Sumbar, Drs. H. Syafrial S sebanyak 6.000 pedagang kaki lima PKL di Sumatra Barat akan diregistrasi sampai 2010. www.kadin-Sumbar.co.id diakses tgl 19-1-2009. Gambaran data tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa memandang sektor informal hanya sekedar komplemen bagi sektor formal oleh karena itu tidak perlu dibina secara lebih serius adalah pemikiran yang tidak realistis dan mengabaikan kenyataan yang ada Pramono, 2000. Disamping itu memperlakukan para pekerja di sektor informal PKL secara sewenang-wenang tanpa memberikan alternatif pemecahannya akan menimbulkan perlawanan yang akan merugikan perkembangan perekonomian kota dan nasional. Perlawanan resistensi para pedagang kecil PKL merupakan gambaran hubungan yang tidak baik antara PKL dengan pemerintah kota. Berbagai kebijakan pemerintah kota seringkali tidak memihak para PKL sehingga menimbulkan konflik antara pemerintah kota dengan PKL. Di Sumatra Barat, meskipun Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali, mengharapkan Pemerintah Provinsi Pemprov Sumatra Barat dapat menjadi contoh pengelolaan pedagang kaki lima PKL di Indonesia, karena daerah itu telah berhasil meregistrasi 1.000 PKL dan memberikan bantuan permodalan sebesar Rp.300 ribuorang akan tetapi bentrok antara PKL dengan pemerintah kota juga masih sering terjadi www.Antara-Sumbar.com . Di Kota Padang, misalnya sekitar 100 pedagang kaki lima yang mengatasnamakan Aliansi Rakyat Tertindas di Kota Padang, Sumatra Barat, menggelar aksi protes di kantor Wali Kota Padang Padang Ekspres:2008. Penggusuran lapak-lapak Pedagang Kaki Lima PKL di kawasan trotoar Jalan Sawahan Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa tanggal 13 Januari 2009 siang oleh Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP mendapat perlawanan dari kalangan pedagang dan sekitar 20-an orang mahasiswa yang tergabung dalam aliansi anti penggusuran PKL. Pada hari Kamis tanggal 8-1-2009 di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Padang, seorang pedagang 988 kaki lima PKL mengamuk saat petugas Satuan Polisi Pamong Praja membongkar warung tendanya. Korban pemukulan oknum Pol PP Kota Padang beserta para PKL Ujung Gurun yang lapaknya digusur mengadu ke Komisi Nasional Hak Asazi Manusia Komnas HAM Sumbar, Selasa, tanggal 13 Januari 2009. Demikian juga di Kota Bukittinggi, Pemerintah Kota Bukittinggi akan menertibkan Pedagang Kaki Lima PKL di sejumlah ruas jalan dan pasar. Di antaranya di sekitar Pasar Banto, depan Toko Srikandi, Jenjang Gantung, dan seputaran pemberhentian Bendi Kapanlagi.com. Gambaran tersebut hanya sebagaian kecil dari contoh kejadian yang menggambarkan bentrokan antara pemerintah kota dengan PKL di kota-kota Sumatra Barat. Pemerintah harus lebih memahami bahwa modernisasi perkotaan harus diartikan sebagai pemberian tempat yang proporsional dan layak bagi sektor informal PKL pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar rakyat kecil di perkotaan. Kebijakan yang paling penting dari semua itu adalah mengubah sikap pemerintah yang selama ini memandang sektor informal PKL sebagai lawan, sumber kekacauan dan ketidaktertiban menjadi sikap yang mendukung pertumbuhan sektor informal. Resistensi PKL akan terus dilakukan terhadap kebijakan pemerintah kota apabila mengancam eksistensi sumber kehidupanya. Berbagai bentuk perlawanan akan diberikan agar keberadaan mereka tidak terganggu. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menghabiskan energi yang tidak perlu dan tidak produktif untuk perkembangan perekonomian dan pengentasan kemiskinan penduduk perkotaan. Permasalahan tersebut harus dicarikan jalan keluar yang dapat memenuhi kepentingan kedua belah pihak dengan memperhatikan kepentingan ekonomi pedagang, ketertiban, dan keindahan kota. Selama ini pemerintah belum melihat potensi PKL sebagai bagian dari sistem ekonomi kota yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kalangan tertentu di perkotaan, PKL hanya dianggap sebagai beban yang harus dihilangkan. Mereka digusur tanpa dikelola dan akhirnya potensi itu hilang begitu saja Suyanto, 2008. Para PKL perlu ditata dan dibina agar dapat berkembang tanpa harus menggangu ketertiban dan keindahan kota. Perlawanan sektor informal PKL dipicu oleh kebijakan penataan yang tidak menganggap PKL sebagai bagian dari ekonomi kota yang perlu mendapata ruang dalam berdagang. Kebijakan tersebut muncul karena pemahaman pemerintah kota terhadap program penanganan sektor informal lebih bersifat normatif dan estetis Alisyahbana, 2005:84. Akibatnya, kebijakan yang muncul hannya bersifat sporadis, hanya mementingkan kebutuhan sesaat Pemerintah Kota. Perlakuan pemerintah kota terhadap PKL seringkali tidak manusiawi, penggusuran-penggusuran tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi PKL menjadi pemandangan yang dapat dilihat ketika Pemerintah Kota melaksanakan penertiban. Dalih menggangu ketertiban umum, lalu lintas dan merusak keindahan kota, merupakan alasan klasik yang dipakai oleh Pemerintah Kota untuk menjadi pembenar tindakanya. Situasi tersebut sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan sehingga memicu perlawanan para PKL. Kondisi tersebut membuat hubungan antara Pemerintah Kota dengan PKL menjadi tidak produktif. Kedua belah pihak pada dasarnya mempunyai kepentingan ekonomi yang sama meskipun dalam pelaksanaanya sering kontradiktif. Karakteristik PKL yang seringkali berdagang di tempat publik menjadikan PKL dianggap sebagai biang kesemrawutan kota. Menjadi suatu kebutuhan dan keharusan untuk mempertemukan kepentingan ekonomi PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota agar konflik antar para PKL dengan pemerintah kota tidak berlarut-larut dan tidak produktif. 989

2. TINJAUAN PUSTAKA