PENDAHULUAN Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed

33

1. PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan sebagaimana tertulis dalam UU tersebut sejalan dengan istilah al- Qur’an yang menyebut perkawinan sebagai mitsaqanghalizhan perjanjian kokoh Anshor, 2012 untuk membangun keluarga yang disebut sakinah, mawaddah wa rahmah Sebuah keluarga dikatakan bahagia atau harmonis ketika seluruh anggota keluarga merasa tenang dan tentram, tidak ada kekerasan, kebutuhan, hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga terpenuhi dengan baik Rofiah, 2012. Mempersiapkan kehidupan perkawinan untuk menjadi keluarga yang bahagia tidak hanya menjadi tugas dari calon pasangan. Lebih dari itu, pemerintah maupun lembaga- lembaga agama memiliki kewajiban untuk menyiapkan umatnya memasuki gerbang perkawinan dengan bekal yang cukup. Lembaga lembaga agama di Indonesia memiliki sistem masing-masing untuk membimbing umatnya memasuki gerbang perkawinan. Bagi komunitas Katolik, dikenal Kursus Persiapan Perkawinan Hardana, 2013; Komisi Keluarga KWI, 2015. Sementara di kalangan komunitas muslim, program persiapan perkawinan dilaksanakan melalui Kursus Calon Pengantin. Melalui program-program tersebut, maka diharapkan pasangan akan mencapai kehidupan yang bahagia, sakinah, sukinah, atau keluarga sejahtera Kustini, 2011; Rofiah, 2013 Meski perkawinan dilakukan dengan tujuan yang sangat mulia, dalam kenyataan, banyak pasangan yang harus mengakhiri perkawinan melalui perceraian. Berbeda dengan ajaran Katolik yang tidak memiliki ciri- ciri perkawinan “tak terceraikan” Hardana, 2013, ajaran agama Islam memberi jalan keluar bagi umatnya yang tidak lagi mampu mempertahankan perkawinan melalui perceraian. Satu hal yang perlu dicatat terkait perceraian di komunitas muslim di Indonesia adalah bawa angka cerai gugat hampir selalu lebh tinggi dibanding cerai talak. Kecenderungan tingginya angka cerai gugat terjadi di tingkat nasional dan di tingkat daerah kabupatnkota. Pada tahun 2010-2014, dari sekitar dua juta pasangan menikah, pasangan yang melakukan perceraian di pengadilan agama jumlahnya mencapai sekitar tiga ratus ribu lebih atau sekitar 15 lebih. Gambar 1: Jumlah Perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI, 2014 251,208 276,792 304,395 361,816 382,231 2010 2011 2012 2013 2014 Angka Perceraian 2010 -2014 34 Perceraian tersebut dilakukan oleh suami maupun istri dengan berbagai alasan. Dari data perceraian yang ada di Badan Peradilan Agama Badilag Mahkamah Agung MA RI, alasan tidak lagi ada keharmonisan menjadi angka terbesar. Kemudian alasan tidak ada tanggung jawab, alasan ekonomi, dan gangguan pihak ketiga. Data penyebab perceraian tahun 2013, adalah: a. tidak ada keharmonisan 97.615 kasus, b. tidak ada tanggung jawab 81.266 kasus, c. ekonomi 74.559 kasus, d. gangguan pihak ketiga 25.310 kasus, dan e. cemburu 9.338 kasus Data dari Badilag MA-RI, 2014. Dari data Badilag MA tersebut, yang menarik adalah ternyata angka cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan pihak istri mengalami tren naik dan lebih besar dibanding cerai talak. Gambar 2: Tren dan Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014 Jika dibandingkan data cerai gugat dengan cerai talak di tahun 2014, jumlah cerai gugat lebih tinggi dibanding cerai talak, perbandingannya mencapai 70 : 30. Tingginya angka perceraian dan khususnya cerai gugat di masyarakat tentu perlu disikapi oleh pihak- pihak yang selama ini memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan perkawinan, khususnya Kementerian Agama. Naiknya angka perceraian di satu sisi dan dominasi cerai gugat atas cerai talak yang terus terjadi di sisi lain, perlu menjadi perhatian serius, terutama setelah terjadi perubahan kebijakan yang sangat signifikan terkait dengan lembaga yang menangani perceraian. Semula Kementerian Agama mempunyai wewenang yang menyeluruh terkait perkawinan, mulai dari pengesahan perkawinan masyarakat Muslim melalui Kantor Urusan Agama KUA, pembinaan keluarga sakinah melalui Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan BP4, hingga pengesahan perceraian melalui Pengadilan Agama. Namun sejak tahun 2004, Pengadilan Agama telah dipindahkan ke Mahkamah Agung RI dan sejak tahun 2009 BP4 tidak lagi berada di dalam struktur Kementerian Agama. Dengan demikian wewenang Kementerian Agama terkait perkawinan tinggal pengesahannya saja. Fenomena tingginya angka cerai gugat menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Penting diketahui mengapa tren cerai gugat di masyarakat semakin menunjukkan angka yang meningkat, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya tren tersebut, apa saja alasan-alasan dari istri sehingga mereka memutuskan melakukan cerai gugat, bagaimana peran keluarga dan kerabat dekat dan struktur sosial yang ada, dan bagaimana proses cerai gugat itu berlangsung. Hasil kajian tersebut merupakan informasi yang sangat penting untuk menjadi masukan bagi Kementerian Agama dalam menetapkan kebijakan terkait 81,535 85,779 91,800 111,456 113,850 169,673 191,013 212,595 250,360 268,381 2010 2011 2012 2013 2014 Perbandingan Cerai Talak Cerai Gugat Cerai Talak Cerai Gugat 35 penasehatan pra nikah maupun pembinaan perkawinan secara umum. Mengingat terbatasnya kewenangan Kementerian Agama dalam memediasi perceraian, maka dibutuhkan revitalisasi dan strategi khusus dalam menjalankan perannya sebagai lembaga yang melakukan penasehatan dan pembinaan perkawinan. Dari pemaparan dalam latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalah penelitian yaitu: 1 Apa saja alasan-alasan dari istri sehingga memutuskan melakukan cerai gugat? 2 Apakah dampak-dampak dari cerai gugat yang dialami keluarga pasangan tersebut? 3 Bagaimana struktur sosial merespon terjadinya cerai gugat? Ada tiga tujuan dalam pnelitian ii yaitu: 1. Mengidentifikasi alasan-alasan dari pihak istri sehingga memutuskan melakukan cerai gugat. 2 Mendeskripsikan dampak- dampak dari cerai gugat yang dialami keluarga pasangan tersebut. 3 Mendeskripsikan respon struktur sosial dalam peristiwa cerai gugat. Penelitian terkait fenomena cerai gugat ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian Agama, Pengadilan Agama maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam menetapkan kebijakan terkait penasehatan maupun pembinaan perkawinan. Di samping itu, lembaga lain seperti BP4 atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian terhadap program penasihatan atau bimbingan perkawinan diharapkan dapat mengambil manfaat dari hasil penelitian ini untuk menetapkan program-programnya. 2.TINJAUAN PUSTAKA Perceraian dalam Peraturan Perundangan Dalam UU No 1 Tahun 1974 Pasal 38 disebutkan salah satu penyebab terputusnya perkawinan adalah perceraian. Dengan demikian, perceraian diakui dalam hukum peraturan perundangan. Terkait tata cara perceraian telah diatur dalam UU tersebut yaitu Pasal 39 bahwa: 1 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. 3 Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Terkait teknis pengajuan pengajuan perceraian dijelaskan secara lebih rinci pada Pasal 40 yaitu: 1 Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. 2 Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Dalam hukum Islam, telah dijelaskan bahwa perceraian disebut talak, hak talak pada dasarnya hanya dimiliki suami, sehingga hanya suami yang mengendalikan talak tersebut, seorang istri tidak memiliki hak untuk talak. Namun demikian dalam Islam juga terda pat kasus khulu’, dimana perempuan bisa mengajukan gugat perceraian karena alasan tertentu. Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam suatu perkawinan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka dalam hukum perkawinan di Indonesia, dikenal adanya cerai yang diajukan oleh pisak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan istilah cerai gugat. Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 20 disebutkan bahwa gugat perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Sementara alasan-alasan perceraian disebutkan oleh UU tersebut dalam Pasal 19, yaitu a salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 lima tahun atau 36 hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain. e salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiistri. f antara suami dan istri terus menerus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan demikian, berdasarkan peraturan dan perundangan yang ada, perceraian di samping dapat dilakukan oleh suami cerai talak juga dapat dilakukan oleh istri cerai gugat. Di samping tercantum dalam UU tersebut, gugat cerai juga terdapat dalam KHI Pasal 114, yang selengkapnya b erbunyi “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Selanjutnya dalam Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, “Perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar ta ’lik talak dan tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.” Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan itu apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Perceraian yang diajukan oleh istri ke pengadilan inilah selanjutnya disebut sebagai curia gugat. Kajian Terdahulu Tahun 2001 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI melakukan penelitian di beberapa daerah terkait perceraian. Karim 2002 yang melakukan penelitian di Cilacap mengungkapkan data bahwa selama tahun 1996-2000 jumlah kasus cerai gugat jauh lebih banyak dibanding kasus cerai talak, berkisar antara 60 sampai 82. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa masih banyak tokoh agama yang berpandangan bahwa proses perceraian tidak perlu melalui Pengadilan Agama, tetapi dapat dilakukan dimanapun ketika suami menghendaki. Fenomena perceraian tidak melalui Pengadilan Agama juga ditemukan pada penelitian Kustini di Sukabumi 2000. Rumitnya struktur keluarga, akibat kepergian istri menjadi buruh migran, atau ketidaksiapan suami ditinggal istri, menjadi salah satu penyebab perkawinan maupun perceraian dilakukan secara tidak tercatat. Penelitian lain menyimpulkan bahwa untuk menghindari terjadinya perceraian, suami istri harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup melalui program kursus calon pengantin Kustini, 2011. Faktor penyebab terjadinya peceraian juga ditemukan pada penelitian Nur Rofiah dan Kustini 2013. Pernikahan usia muda karena keluarga ingin terbebas dari beban ekonomi untuk merawat anak perempuan, menjadikan pernikahan rentan berakhir dengan perceraian yang akhirnya justru menambah beban ekonomi keluarga perempuan. Definisi cerai gugat, meskipun sering dikaitkan dengan khulu’, sebetulnya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon suami menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud Ali: 2009. Definisi ini tidak mengandung arti bahwa putusan cerai gugat berada di tangan suami, karena hakim mempunyai wewenang untuk menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet perlawanan terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap Sidang Perceraian, 2015. Definisi cerai gugat yang lebih memadai dikemukakan oleh Ahrum Hoerudin, yaitu suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat pihak istri kepada Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan 37 Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku Hoerudin, 1999. Kedua definisi di atas sama-sama tidak menyebutkan soal tebusan yang dibayarkan oleh istri sebagaimana berkembang dalam definisi khulu’. Istilah cerai gugat sendiri mengalami perubahan. Kompilasi Hukum Islam KHI menggunakan istilah gugatan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 114: putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena t alak atau gugatan perceraianFokusmedia, 2005. Demikian pula Pasal 132 KHI menjelaskan tentang gugatan perceraian sebagai berikut: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami. Adapun istilah cerai gugat muncul didasarkan pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menggunakan istilah cerai talak untuk permohonan talak dan cerai gugat untuk gugatan perceraianHarahap, 2003.

3.METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015 di 8 kabupatenkota yaitu Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon. Dalam laporan Badilag MA 2014 terdapat daerah-daerah yang merupakan daerah yang memiliki angka tertinggi dalam kasus cerai gugat yaitu: Jawa Timur 63.406 kasus, Jawa Tengah 54.786 kasus, Jawa Barat 51.731 kasus, Selawesi Selatan 10.003 kasus, DKI Jakarta 8.426 kasus, Sumatera Utara 7.920 kasus, Riau 7.399 kasus, dan Banten 6.582 kasus. Lokus penelitian ini adalah 8 daerah, yaitu terdiri dari 4 daerah yang merupakan daerah tertinggi angka perceraiannya berdasarkan data yang dikeluarkan Badilag MA di tahun 2014 di atas, yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Di samping 4 daerah itu, ada 3 daerah lain yang ingin dikaji karena memiliki aspek budaya yang khas yaitu: Sumatera Utara patrilineal, Sumatera Barat matrilineal dan Maluku Indonesia Timur. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus digunakan dengan pertimbangan peneliti dapat mengembangkan deskripsi dan analisa mendalam dari beberapa kasus terkait dengan kasus cerai gugat.Peneliti menggunakan strategi studi kasus untuk mempelajari kasus-kasus yang terikat waktu dan tempat Creswell, 2007. Sebagai informan utama, di setiap wilayah dipilih tiga orang perempuan yang mengalami cerai gugat dengan kriteria usia perceraian paling lama adalah tiga tahun terakhir, serta usia perkawinan ketika itu paling lama adalah lima tahun. Pada usia perkawinan itulah pasangan banyak melakukan perceraian Eshleman, 2003 Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tiga narasumber utama, yang dilengkapi wawancara dengan kerabat atau tetangga mereka, dengan tokoh masyarakat sebanyak dua orang yaitu satu laki-laki dan satu perempuan, dengan pimpinan lembaga yang menjadi stake holder perkawinan yaitu pejabat Kementerian Agama di kota maupun kecamatan; pejabat di Pengadilan Agama, dan Ketua BP4.

4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan tiga pertanyaan penelitian tersebut, maka bisa dipaparkan secara singkat hasil penelitian sebagai berikut: Alasan Istri Menggugat Cerai Tidak mudah untuk menemukan alasan utama dan komprehensif untuk menjelaskan secara singkat mengapa isteri mengajukan cerai. Data penyebab perceraian di Pengadilan Agama sudah terpilah menjadi 14 faktor dan satu faktor lain-lain. Namun jika diteliti lebih lanjut, ternyata penyebab perceraian tidak bisa hanya dikategorikan menjadi satu faktor. Misalnya tidak ada keharmonisan sebagai salah satu faktor dominan 38 penyebab perceraian yang tercatat di Pengadilan Agamaian . Jika dikaji lebih lanjut, faktor lain penyebab perceraian seperti cemburu, tidak ada tanggung jawab atau gangguan pihak ketiga merupakan bentuk ketidakharmonisan. Karena itu, identifikasi penyebab perceraian tidak semudah sebagaimana kategori yang telah ditetapkan Pengadilan Agama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan istri menggugat cerai suami ternyata tidak sederhana, bahkan sangat kompleks. Alasan itu juga tidak selalu menggunakan istilah hukum, seperti yang digunakan di Pengadilan Agama. Bahkan banyak di antara mereka, terutama dari kalangan tidak terdidik tidak mengerti istilah-istilah tersebut, yang penting bercerai, lepas bebas dari beban kehidupan. Alasan yang penting untuk ditelusuri lebih dalam. Meskipun secara nasional, sebagaimana telah dijelaskan di atas, hampir semua daerah yang diteliti juga memperlihatkan hasil yang sama, yaitu faktor tidak ada harmonis, tidak ada tanggung jawab dan ekonomi menjadi penyebab utama perceraian. Namun penelitian ini berhasil menggambarkan alasan-alasan lain di luar mainstream yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut hasil temuannya. a. Aceh Cerai gugat lebih banyak disebabkan faktor perubahan dan pergeseran budaya, dan perkembangan teknologi, khususnya telepon genggam dan media sosial. Selain itu, intervensi orang tua dapat memperburuk kerentanan masa perkawinan awal karena otonomi pasangan suami istri dalam menjalani mahligai rumah tangganya tidak sepenuhnya ditangan mereka berdua. Relasi laki-laki dengan mertua yang tidak setara karena adanya dukungan ekonomi dan tempat tinggal dari pihak mertua kerapkali memosisikan laki-laki dalam situasi sulit. Kondisi ini membuat laki-laki berada di antara otoritas dirinya dalam mengelola rumah tangganya dengan kepatuhannya sebagai pihak yang mendapat penghidupan dari mertuanya. b. Padang Penyebab utama cerai gugat di Kota Padang adalah penelantaran oleh pihak suami, suami pergi tanpa kabar dan tanpa membeikan nafkah. Dalam hal ini bukan berarti suami tidak mampu secara ekonomi tetapi lebih sebagai simbol bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahan tradisi Minang yang kaya dengan simbolisasi. Keengganan suami untuk meneruskan pernikahan dipicu oleh pertengkaran yang terus menerus terjadi, yang tidak selalu bersumber dari problem pada suami istri tersebut, akan tetapi juga karena adanya campur tangan atau dominasi keluarga istri atas istri yang berlebihan maupun karena campur tangan atau dominasi keluarga suami atas suami yang berlebihan pula. Pada kasus lain, keengganan muncul karena tidak tahan atas sifat istri yang temperamental terutama pada kasus istri dengan usia relatif masih muda dan dengan pendidikan cenderung rendah. Kasus lain menunjukkan bahwa istri menggugat cerai bukan karena peningkatan kemampuan ekonomi c. Cilegon Cerai gugat di Cilegon juga disebabkan oleh nusyus durhaka, baik suami, maupun istri. Penyebab lainnya, pada kasus suami yang diteliti kebanyakan tidak pandai mengambil i’tibar dari latar belakang kehidupan istri sebelumnya, suami berwatak kikir dalam pemberian nafkah, keluarga suami terlalu banyak mencampuri urusan anak yang sudah berumah tangga, ketergantungan suami kepada orangtuanya, adanya salah pengertian, salah sangka di antara suami istri, adanya kemerosotan akhlak, gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya, dan tidak ada yang mau mengalah d. Indramayu 39 Terjadinya cerai gugat di Indramayu lebih disebabkan beratnya permasalahan yang dihadapi istri. Sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Penyebab lainnya adalah adanya pihak ketiga, yaitu keluarga yang mendukung melakukan niat bercerai, adanya asumsi bahwa kesusahan atau penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam perkawinan, dan adanya pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat, sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat. e. Pekalongan Sebab utama cerai gugat di Pekalongan adalah hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah. Pasangan khususnya suami tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan. Isteri yang mengajukan cerai tidak selalu memiliki latar belakang ekonomi maupun pendidikan yang cukup tinggi. Dari beberapa kasus yang ditemui, isteri yang tidak memiliki penghasilan tetap pun berani mengajukan cerai. Hal itu disebabkan isteri merasa bahwa perkawinan tidak lagi membahagiakan dirinya, suami di samping tidak memiliki pekerjaan tetap juga tidak menunjukkan tanggung jawabnya, meninggalkan rumah untuk jangka waktu yang relatif lama, sampai bertahun-tahun tapa kabar Berita. f. Banyuwangi Penyebab cerai gugat untuk kasus perkawinan karena dijodohkan adalah dukungan keluarga yang sangat rendah dan kekurangsiapan suami untuk memberikan nafkah, sehingga faktor ekonomi menjadi sumber konflik, akibatnya kekerasan fisik banyak dialami perempuan. Namun ekonomi yang rendah malah menyebabkan banyak perselingkuhan dan adanya disorientasi seksual. g. Ambon Penyebab utama cerai gugat adalah lemah dan rendahnya pemahaman agama sebagai landasan perkawinan. Penyebab lainnya adalah kekerasan baik fisik maupun mental termasuk kekerasan simbolik, serta habitus kesadaran pasca konflik yang lebih banyak memberikan pendampingan khusus kepada perempuan dan anak. Dari hasil simpulan masing-masing daerah di atas, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebab cerai gugat tidak sesederhana istilah yang dipakai di PA, namun oleh ragam faktor. Terdapat sejumlah alasan lain yang bahkan tersembunyi dan hanya bisa diselami melalui wawancara mendalam dan pengamatan. Misalnya, soal pergeseran budaya yang semakin terbuka, terutama media sosial seperti yang terjadi di Aceh. Sementara di Padang dan Pekalongan ada situasi yang agak sama di mana makna dan nilai perkawinan sudah semakin hilang sehingga terjadi pengabaian dan penelantaran serta nirtanggung jawab dari pihak laki-laki. Sebetulnya hal yang sama juga terjadi di Banyuwangi, terutama perkawinan-perkawinan yang dijodohkan, dan Indramayu yang menemukan bahwa beban berat selalu ditimpakan pada pihak istri. Agak berbeda dengan Cilegon, yang salah satunya disebabkan adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, di Ambon penyebab cerai gugat lebih banyak karena rendahnya pemahaman agama para keluarga dalam memaknai lembaga perkawinan. Sehingga kekerasan baik fisik dan non fisik mendominasi perceraian. 40 Di samping itu, faktor keluarga juga menjadi penyebab lain dari perceraian. Di Aceh dan Padang, peran keluarga istri terasa dominan sehingga mengesankan ada campur tangan dan intervensi yang menyebabkan pihak suami tidak mampu meneruskan tradisi keluarga. Namun sebaliknya, di daerah lain, keluarga tidak mencoba untuk campur tangan terlalu jauh, sehingga diserahkan kepada yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya. Dampak Cerai Gugat Sebuah perceraian tidak pernah menyenangkan. Matriks positif dan negatif dari dampak cerai gugat menghasilkan gambaran yang seimbang. Secara negatif, perceraian menghasilkan banyak luka baik yang diterima perempuan dan anak-anaknya. Namun secara positif, mereka menganggap perceraian sebagai pintu darurat untuk membebaskan diri dari segala masalah yang sudah tidak terpecahkan lagi. Perceraian ibarat dua sisi mata uang yang dapat dimaknai secara berbeda: menyedihkan sekaligus membahagiakan. Sementara dampak kepada keluarga besar sampai saat ini dirasakan tidak terlalu besar. Berikut adalah hasil penelitian ini yang berhasil mengungkap dampak tersembunyi dari sebuah perceraian. a. Aceh Perceraian pada akhirnya berdampak pada cara pandang baru perempuan Aceh terhadap nilai dari institusi perkawinan. Kegagalan perkawinan direfleksikan sebagai sebuah proses pembelajaran diri dan pendewasaan diri. b. Padang Dampak paling kentara adalah semakin lemahnya ketahanan keluarga, terutama pada pasangan muda. Mereka kini semakin mudah “menyerah” atas masalah yang dihadapi, dan dengan cepat menjadikan perceraian sebagai solusi. Selain itu kurangnya pemahanan tentang keluarga diduga menjadi penyebab mengapa lembaga pernikahan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang sakral dan perlu dijaga keberlangsungannya, yang juga dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai banyaknya perceraian terjadi disekitar mereka serta kasus-kasus seperti hamil sebelum nikah. Hal lainnya adalah tidak tersedianya mekanisme penanaman nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif baik ditingkat keluarga, sekolah, maupun dimasayrakat, menyebabkan terjadi perubahan pemaknaan atas pernikahan bahkan perceraian. c. Cilegon Dampak perceraian yang disimpulkan dari tiga kasus cerai gugat adalah kepastian status hukum sehingga mereka tidak terombang ambing dalam badai ketidakharmonisan. Dengan demikian, mereka bisa melanjutkan kehidupan baru dan terbebas dari kekerasan fisik, psikologis, finansial, seksual dan spiritual. Cara untuk menatap kehidupan yang lebih baik menguatkan perempuan untuk bisa bertahan. d. Indramayu Dampak perceraian paling berat adalah dirasakan oleh istri, terutama luka batin dan psikologis. Ada trauma berat yang dirasakan oleh para perempupuan ketika mengingat suami. Meski demikian, secara ekonomi dampaknya malah tidak begitu terasa, sebab saat ini mereka kembali bisa tinggal bersama orang tua dan bekerja. e. Pekalongan Pasca cerai gugat, isteri memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum yang jelas, lebih siap untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi suami, serta terbebas dari perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam 41 ikatan perkawinan. Dengan demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang dirasaan lebih baik ketimbang hidup dalam perkawinan. Dampak negatif dari perceraian lebih berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga yang sehat di mana pilihan itu tidak dimiliki oleh perempuan, sedangkan dampak positif adalah jika dibandingkan dengan kehidupan perkawinan dan keluarga yang tidak sehat. Dampak negatif sudah dialami perempuan ketika menjalani perkawinan tidak sehat sehingga yang tersisa adalah dampak positif. f. Banyuwangi Perempuan merasa senang ketika hakim PA mengetukkan palu, walaupun dihati ada rasa malu. Kini mereka sudah biasa mencari sendiri, sudah siap hidup mandiri atau sebagian dibantu oleh keluarga dengan menanggung anak-anaknya, terlebih kini Pemkab Banyuwangi memprogramkan pemberian anggaran kepada para korban untuk bisa hidup mandiri. g. Ambon Dampak cerai gugat tidak terlalu berat dirasakan para perempuan. Selain alasan common sense di atas, juga adanya mekanisme budaya untuk mengurangi kesedihan akibat penderitaan. Hal ini terjadi karena salah satunya prinsip kolektivitas yang menjadi dasar utama dalam membangun hubungan kekerabatan masyarakat Ambon di mana siklus suka dan duka sebagai sesuatu yang harus dihadapi, bahkan dinikmati. Dampak sebuah perceraian sebagaimana yang ditemukan peneliti selalu mengandung dua sisi yang berbeda. Simpulan dari penelitian ini tidak jatuh hanya pada perdebatan bahwa perceraian itu akan berdampak negatif maupun positif, namun lebih dari sekadar ini adalah bagaimana para aktor mengambil lesson learn dari perceraian yang mereka putuskan. Akhirnya adalah apakah ada kesadaran dan pengetahuan baru atau proyeksi masa depan seperti apa yang mereka harapkan. Refleksi atas peristiwa perceraian mengandung optimisme, sebagaimana perempuan Aceh memaknainya sebagai lompatan untuk menuju hidup yang lebih baik. Mereka memaknai perceraian sebagai fase yang akan membuat mereka menjadi semakin kuat dan kokoh. Mereka juga memaknai perceraian sebagai wahana pendewasan diri. Hal yang sama dapat ditemukan dari pemaknaan para perempuan di Cilegon dan Pekalongan yang karena perceraian itu bersiap diri untuk menata kehidupan yang lebih baik. Kemantapan hati ini disebabkan adanya kepastian hukum sehingga mereka tidak lagi hidup dalam ombang-ambing pengharapan yang tak berkesudahan. Bahkan di Banyuwangi, para perempuan merasa siap untuk hidup mandiri lagi. Hal lain yang dari hasil penelitian ini adalah dampak laten yang dirasakan oleh keluarga yang bercerai di Padang, terutama pasangan-pasangan muda. Mereka menganggap akibat perceraian yang semakin tinggi akan ada pelemahan terhadap ketahanan keluarga sehingga mengakibatkan lembaga perkawinan tidak menjadi sakral lagi. Misalnya, mereka se makin mudah “menyerah” atas masalah yang sebetulnya mungkin sederhana, namun dengan instan menjadikan perceraian sebagai solusi. Namun dampak perceraian yang memilukan justru tidak terlalu dirasakan di Ambon, baik oleh pasangan maupun keluarga besar, meskipun ada 1001 kisah kesedihan jika membicarakan perceraian. Situasi ini dapat terjadi karena prinsip kekerabatan yang dibangun di atas tuas kolektivitas membuat mereka memiliki mekanisme budaya untuk mengurangi beban-beban masalah. Respon Struktur Sosial terhadap Cerai Gugat Penelitian ini berhasil mengungkap respon-respon dari struktur sosial terhadap cerai gugat, bukan saja struktur formal seperti PA, KUA dan lembaga formal lainnya, tetapi 42 juga konteks sosial, karakteristik wilayah penelitian dan lembaga-lembaga adat yang masih hidup di masyarakat. Berikut kesimpulannya. a. Aceh Peran BP4 di tingkat kecamatan dan kabupaten tidak menjadi rujukan utama masyarakat. Hal ini terlihat dari jumlah data mediasi yang dilakukan atau pihak masyarakat yang berkonsultasi di BP4 KUA. Misalnya saja di KUA Bandaraya Kota Banda Aceh dan KUA Kecamatan Baiturrahman yang memiliki peristiwa nikah hingga lebih dari 160 peristiwa nikah dalam setiap tahun, konsultasi masalah rumah tangga hanya berjumlah 7-11 kasustahun dalam 5 tahun terakhir. Sedangkan di BP4 Kota Banda Aceh, data mediasi yang dilayani tidak terdata dengan baik karena sempat vakum selama lebih dari 10 tahun seiring dengan adanya kebijakan Negara terkait perubahan posisi BP4 di tingkat KabupatenKota. Upaya mempertahankan perkawinan melalui mediasi lebih banyak dilakukan di Mahkamah Syar’iyah MS. Namun dari data perkara perceraian yang dapat dimediasi, maka jumlah mediasi yang telah dilakukan dalam 5 tahun terakhir adalah 95 Tahun 2012 sampai 261 Tahun 2014 dengan tingkat keberhasilan sangat kecil, yaitu paling sedikit hanya 1 di tahun 2012 dan 18 di tahun 2014. Sementara secara konteks sosial, meningkatnya gugat cerai di masyarakat dilihat sebagai sebuah fenomena positif, yaitu adanya kemajuan relasi laki-laki dan perempuan yang lebih setara, adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan baginya, dan keterbukaan akses dan informasi. Namun yang agak disayangkan, peran adat juga belum berfungsi maksimal karena di Aceh masih hidup mediator adat yang disebut Tuha Peuet atau Keuchi’. Lembaga adat ini tidak berjalan juga karenaada kekhawatiran mengenai kerahasiaan masalah. b. Padang Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai berkurang. Masyarakat mulai melihat perceraian kasus per-kasus dalam memberi penilaian. Berdasarkan tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal tersebut. Masyarakat kota yang makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi penilaian negatif terhadap tindakan perceraian, akan tetapi mencoba memahami lebih dalam sebelum memberikan penilaian. Hal tersebut berbeda pada masyarakat pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung merespon negatif kasus-kasus perceraian yang terjadi. Kondisi ini harus dicermati terutama terkait peran PA sebagai institusi yang mengeksekusi permohonan perceraian yang seolah lepas dari lembaga lain yang mengurus pernikahan KUA, lembaga penasihatan pernikahan BP4. Drama ini seolah memperlihatkan bahwa kehidupan berkeluarga seperti sekuel yang terpisah: pernikahan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian merupakan hal yang lain. c. Cilegon Kondisi sosial masyarakat Kota Cilegon sangat berpengaruh terhadap pola perceraian yang lebih kental sebagai tindakan manusia modernitas, di mana ekonomi dijadikan satu variabel penting untuk menyelesaikan perceraian. Cilegon termasuk ke dalam kategori masyarakat semi modern yang menjadi pusat pemerintahan maupun pergerakan ekonomi. Konteks sosial inilah yang pada akhirnya banyak membentuk masyarakatnya untuk memiliki orientasi hidup yang pragmatis dan realistis. Artinya sejauh tindakannya dapat membuat ia bertahan dan hidup nikmat di dalam modernitas, ia akan tetap terjaga dan pertahankan begitu pula sebaliknya. Jika suatu perubahan dapat membuat mereka merasa sengsara, mereka akan meninggalkannya termasuk juga dengan problem keluarga. 43 d. Indramayu Secara kelembagaan, setidaknya ada empat lembaga yang memiliki tusi yang sama, yaitu BP4, KUA, Meditor di PA, dan lebe. Saat ini lembaga yang dapat dikatakan berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe, yang notabene terdiri dari tokoh agama untuk membantu masyarakat mengurusi pendaftaran perkawinan maupun perceraian. Dalam kasus perceraian di Indaramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe, sehingga lebe bisa dikatakan efektif dalam memediasi perceraian. Adapun keberadaan BP4 nampaknya belum eksis, dan hanya ‘papan nama’ di sejumlah KUA kecamatan. Bahkan untuk tingkat kabupaten, kepengurusan BP4 belum terbentuk. Sementara KUA, tidak juga berperan karena mediasi perceraian dilakukan oleh PA. Sejak saat itu, peran KUA terkait perkawinan, kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan pra-perkawinan atau kursus calon pengantin. Untuk mediasi oleh hakim di PA, selama ini kasus cerai gugat jarang ada mediasi dan kurang maksimal sebab sudah menjadi modus, jika ingin proses di PA itu segera selesai, maka pihak tergugat jangan sampai hadir, sehingga hakim bisa langsung mengabulkan permohonan cerai gugat tersebut. e. Pekalongan Setelah BP4 berada di luar struktur Kemenag, maka BP4 di Kota Pekalongan secara kelembagaan sedang mengalamai transisi kelembagaan dan vakum. Sementara PA juga telah pindah dari Kemenag ke MA sehingga kordinasi antara Kemenag, BP4, dan PA sebagai stake holders perkawinan dan keluarga di Kota Pekalongan belum menemukan model kordinasi antar lembaga yang tepatsehingga bisa berperan secara maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya. Sedangkan struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga sosial yang terkait dengan perkawinan belum sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana pendidikan untuk membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan. f. Banyuwangi KUA dalam melakukan pembinaan keluarga sakinah tidak menyentuh permasalahan perceraian. Diperlukan terobosan peraturan yang mengatur prosedur perceraian dengan mengfungsikan peran penghulu dalam penasehatan g. Ambon Akibat regulasi, ditingkat bawah, lembaga pemerintah seperti PA dan KUA dalam merespon fenomena cerai gugat memiliki pandangan yang berbeda. PA menganggap tusi sudah sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan, sementara KUA memandangnya sebagai keterambilan tusi, terutama masalah pembinaan agama dan mediasi perceraian. Bahkan dalam setahun KUA Kota Ambon hanya memediasi enam orang, dan tak satupun yang berhasil dimediasi. Sementara lembaga adat seperti tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh, dan adalah saudara kawin tidak terlalu mendapat perhatian, bahkan seolah terabaikan, karena masyarakat inginnya instan dan langsung menuju PA. Tingginya angka cerai gugat ketimbang cerai talak bukanlah hal baru, bukan pula data mengejutkan. Masalahnya kemudian bagaimana struktur, baik formal maupun non formal meresponnya, alih-alih menindaklanjuti masalah penyebab dan akibat perceraian, sebagaimana yang sudah diuraikan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa struktur formal masih belum berfungsi dengan maksimal, terutama mencegah perceraian. Selain karena regulasi yang telah ditetapkan, juga ternyata masalah koordinasi dan komunikasi antarinstansi tidak berjalan, sehingga mengesankan masalah perkawinan dan 44 perceraian sebagai dua hal yang berbeda. Ada parsialisme dalam menangani dua hal ini, seperti sekuel drama. Padahal membicarakan perceraian juga secara intersepsi membincangkan perkawinan. Akibatnya, fungsi KUA, BP4 dan lembaga Suscatin tidak berjalan dengan maksimal, sementara di pihak lain, PA adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk memutuskan perceraian. Berkelindan dengan lemahnya struktur formal, struktur non-formal seperti pranata sosial juga belum berfungsi. Padahal di tiap daerah yang diteliti memiliki kekuatan berupa kearifan-kearfian lokal, seperti di Aceh terdapat mediator adat yang disebut Tuha Peuet atau Keuchi’, di Indramayu ada lebe, serta tiga batu tungku dan saudara kawin di Ambon. Analisis Cerai gugat merupakan peristiwa yang terkait dengan sebuah relasi khususnya antara suami isteri. Fenomena cerai gugat dapat dianalisis melalui tiga teori berikut ini. Pertama, adalah teori pertukaran sosial social exchange theory. Teori ini memandang bahwa hubungan interpersonal dilandasi oleh harapan memperoleh imbalan dari adanya hubungan tersebut. Perkawinan adalah hubungan interpersonal antara suami dan istri yang dibangun di atas harapan masing-masing pihak. Kedua, adalah teori pilihan sosial social choice theory. Teori ini mempunyai ide dasar bahwa orang-orang bertindak secara sengaja ke arah suatu tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan Coleman, 1990. Ketiga, teori ketidakadilan gender gender injusttice. Menurut teori ini, hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan, dan multi beban. Secara umum perceraian dalam hal ini cerai gugat terjadi karena perempuan merasa tidak puas dengan kondisi kehidupan perkawinanya. Namun sesungguhnya alasan perceraian lebih dari sekedar tidak adanya kepuasan. Dengan menggunakan teori trade off Collins Coltrane, 1992, perkawinan dilihat sebagai satu jenis trade off antara berbagai sumber daya seperti pendapatan, cinta, pekerjaan domestic, dan kehidupan seksual. Ketika satu hal berkurangm misalnya ekonomi, perkawinan akan tetap langgeng jika hal lain, misalnya cinta kasih, tetap terjaga dalam perkawinan. Melalui teori pertukaran sosial, relasi perkawinan yang berakhir dengan cerai gugat mengindikasikan bahwa istri tidak lagi merasa memperoleh kebahagiaan reward, dan lebih banyak mengalami kesulitan atau penderitaan social cost. Jika perempuan merasa puas dan nyaman, ia tidak akan meninggalkan kehidupan perkawinannya Scanzoni Scanzoni, 1981. Menurut teori pertukaran social exchange theory setiap pasangan melihat kehidupan perkawinan dalam dua tahapan. Pertama, pasanganmembandingkankeuntunganrelatif dalam perkawinan. Jika salah satu atau keduanya merasa hanya sedikit mendapatkan keuntungan, maka kepuasanperkawinanpasanganakanmenjadi rendah, sehingga memilih hidup tanpa perkawinan menjadi salah satu pilihan. Dalam kondisi seperti ini perceraian dianggap sebagai alternatif. Pada tingkatan kedua, pasanganmembandingkan kebahagiaan dan kesulitanketika berelasi dalam perkawinan. Dalam tahapan tertentu ia merasa lebih menguntungkan jika hidup selain dalam pernikahan, misalnyamenjadi lajangkembali melalui perceraian Klein and White, 1996. Cerai Gugat mengindikasikan seorang istri tidak mendapatkan manfaat dari perkawinannya. Dalam perspektif teologis dan yuridis, hilangnya makna perkawinan dapat dijelaskan bahwa sakinah ketenteraman dalam istilah al- Qur’an dan kebahagiaan lahir batin dalam istilah Undang-Undang Perkawinan sebagai tujuan perkawinan gagal dicapai. Tidak adanya tanggungjawab qiwamah seorang menjadi sangat krusial karena masyarakat Muslim meyakini bahwa dalam keluarga, suami mempunyai peran sebagai penanggungjawab keluarga Qawwam. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Qa’im adalah 45 istilah untuk orang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya, sedangkan Qawwam disematkan pada orang yang melaksanakan tugas tersebut sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang Shihab, 2009. Laki-laki disebut Qawwam oleh an-Nisa4:34 berarti bahwa mereka adalah orang yang semestinya melaksanakan tugas sebagai penanggungjawab keluarga sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang. Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa hilangnya makna perkawinan sebagai salah satu faktor perceraian, sejalan dengan temuan penelitian Ranga and Sekhar 2002 di India yang berjudul Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cutural Study. Penelitian ini menunjukkan para istri yang mengajukan cerai tidak terbatas pada mereka yang memiliki pendidikan atau pekerjaan yang mapan. Meskipun secara sosial perempuan India berada pada posisi tidak terdidik atau buta huruf dan sulit memperoleh lapangan kerja, mereka tetap memilih bercerai karena problem yang dihadapi dalam perkawinan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sementara itu, Eshleman 2003 melihat perceraian dilihat dari tingkatan social ekonomi, terjadi pada semua level. Namun demikian, menurut Eshleman jika faktor pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan digunakan untuk mengukur indeks sosial ekonomi, maka perceraian terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkal social ekonomi rendah. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian di Pekalongan maupun di Aceh. Seorang istri di samping tidak memperoleh harapan yang ditumpukan pada suami melalui perkawinannya, mereka juga mengalami beberapa bentuk ketidakadilan gender, meliputi marginalisasi proses pemiskinan bagi kaum perempuan, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender Fakih, 1997. Misalnya suami yang tidak menafkahi istri, bahkan dinafkahi istri, tetapi kemudian ia selingkuh atau bahkan kawin lagi. Istri dalam hal ini mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak dilibatkan atas keputusan suami untuk menikah lagi, subordinasi dalam bentuk perasaan sakit hatinya dianggap tidak penting, pelabelan negatif dalam bentuk dipandang tidak becus sebagai istri sehingga suami mencari istri lagi, kekerasan dalam bentuk kekerasan psikologis, dan beban ganda karena ia menjalani fungsi sebagai ibu sekaligus ayah. Cerai gugat sebagaimana cerai talak menyebabkan banyak perempuan akhirnya berperan sebagai orangtua tunggal, padahal sejak kecil tidak disiapkan menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Ketika diharuskan menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah tunggal, perempuan menjadi rentan untuk mendapatkan pekerjaan dengan risiko tinggi, bahkan menjadi korban perdagangan perempuan. Di samping itu, cerai gugat juga menyebabkan anak tumbuh tanpa figur ayah sebagai teladan yang mengakibatkan anak mengalami kebingungan ketika tumbuh menjadi remaja. Sayangnya, meskipun tidak adanya tanggungjawab menjadi faktor dominan penyebab cerai gugat, namun struktur sosial formal perkawinan seperti KUA, BP4, dan Pengadilan Agama justru sedang berada dalam masa pencarian sistem koordinasi yang efektif. Sementara itu, tokoh agama dan masyarakat serta lembaga yang bisa menjadi stake holder perkawinan pun masih memerlukan dukungan agar bisa memanfaatkan forum-forum sosial sebagai sarana pendidikan tentang perkawinan dan keluarga yang sakinah bagi seluruh anggota keluarga, yakni suami, istri, dan anak-anak sesuai perkembangan zaman.

5.KESIMPULAN

Memutuskan ikatan perkawinan melalui cerai gugat bukanlah pilihan yang menyenangkan, baik bagi istri, suami, maupun anak-anak. Pengalaman hidup yang penuh dengan pergulatan batin yang cukup lama, serta mempertimbangkan banyak hal reward dan cost , akhirnya perempuan “berani” untuk menggugat cerai. Sebab utama cerai gugat 46 antara lain ketidaksiapan pasangan memasuki kehidupan berkeluarga sehingga nilai sacral perkawinan tidak lagi ditemukan. Hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah. Pasangan khususnya suami tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan. Sebab lainnya cukup beragam seperti faktor budaya yaitu intervensi keluarga besar maupun faktor eksternal ikut memperkuat perempuan mengambil inisiatif untuk bercerai misalnya perkembangan teknologi. Perceraian, dalam hal ini cerai gugat memberi dampak positif maupun negatif bagi perempuan. Stigma sebaga i “janda” dengan segala risikonya harus dialami perempuan. Ia juga harus berperan sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Namun pasca cerai gugat istri memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum yang jelas, lebih siap untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi suami, serta terbebas dari persei gugat, perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam ikatan perkawinan. Dengan demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang dirasaan lebih baik ketimbang hidup dalam perkawinan. Struktur sosial formal perkawinan dalam hal ini KUA, BP4, dan Pengadilan Agama sedang dalam pencarian model kordinasi terkait pelestarian lembaga perkawinan. Sedangkan BP4 dalam kondisi vakum, dan secara kelembagaan Pengadilan Agama juga tengah berada dalam masa penyesuaian setelah berada di bawah Mahkamah Agung. Kondisi ini menyebabkan lembaga stake holders perkawinan tidak bisa berperan secara maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya. Sedangkan struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga sosial terkait belum sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana pendidikan untuk membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan.. Rekomendasi Beberapa upaya untuk mempertahankan makna perkawinan yang selaras dengan perkembangan zaman perlu dilakukan, baik pada masa pra perkawinan, selama perkawinan, maupun ketika perkawinan diujung tanduk. Relasi suami istri dengan pola partnership lebih memungkinkan bertahan daripada pola atasan dan bawahan. Dalam relasi partnership memungkinkan suami-istri dan orangtua-anak untuk bertukar peran secara fleksibel. Pola relasi atasan dan bawahan menjadi sangat riskan ketika suami yang didudukkan sebagai atasan tidak mampu memenuhi kewajibannya namun tetap mempertahankan otoritasnya. Pola partnership atau equal partner Scanzoni Scanzoni, 1981 dalam perkawinan dan keluarga bisa ditanamkan secara terus menerus oleh para tokoh agama dalam beragam pengajian dan secara terstruktur dapat disampaikan dalam Kursus Calon Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai strategis karena diberikan tepat ketika pasangan akan atau baru memasuki gerbang rumah tangga sehingga perlu dirancang model, modul, dan modalnya. Lembaga BP4 menjadi penting untuk dikuatkan karena menjadi lembaga yang paling relevan untuk mengemban misi pelestarian perkawinan. Kekosongan fungsi BP4 karena sedang dalam proses reposisi, memperlebar problem perkawinan karena minimnya lembagi konsultasi dan mediasi perkawinan. Suscatin yang hanya dilakukan sebelum pernikahan, dan cenderung formalitas, tidak mampu menyelesaikan problem keluarga yang semakin kompleks. Pemerintah daerah sudah semestinya memandang naiknya angka perceraian dan dominasi cerai gugat sebagai masalah serius dan bersedia memperkuat BP4 misalnya dari segi pendanaan. Dengan dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa bergerak dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di daerah tersebut dalam upaya pelestarian perkawinan. 47 Pasangan suami-istri yang sudah sampai ke PA pada umumnya adalah mereka yang sudah tidak mampu mengatasi masalah perkawinannya. Dalam kondisi seperti ini, maka proses mediasi menjadi sangat penting untuk dilakukan secara lebih intensif dengan pendekatan kekeluargaan yang lebih mungkin dilakukan oleh mediator non hakim. BP4 dapat membantu Pengadilan Agama untuk memperbanyak mediator non hakim bersertifikat yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan mengingat terbatasnya jumlah hakim dan meluasnya wewenang Pengadilan Agama setelah pindah ke Mahkamah Agung. Pemerintah Daerah dapat memainkan peran secara maksimal dengan memberikan layanan terpadu perkawinan dan keluarga yang melibatkan seluruh stake holder yang ada di wilayah tersebut. Layanan perkawinan dan keluarga satu pintu ini dapat memberikan layanan informasi dan pendidikan pra perkawinan, layanan administrasi hingga resepsi perkawinan, layanan penasehatan dan mediasi selama masa perkawinan, sehingga pasangan suami istri yang menginjakkan kaki ke Pengadilan Agama telah dipastikan sebagai pasangan yang memang sudah tidak bisa dipertahankan perkawinannya. 6.DAFTAR PUSTAKA Anshor, Maria Ulfah.2012. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:. Dalam Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”, April 2012, h. 19-30. Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Creswell. John W. 2007. Qualitative Inquiry Research Design: Choosing among Five Approaches, London: Sage Publications. Collins, Randall Coltrane, Scott. 1992. Sociology of marriage and the family: Gender,love and property. 3 rd ed.. Chicago. Nelson-Hall Inc. Eshleman, J. Ross. 2003. The family. 10 th Edition. New York: Pearson Education Inc. Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustakan Pelajar. Fokusmedia. 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung. Gelles, Richard J. 1995. Contemporary Families A Sociological View. California. Sage Publications. Harahap, Yahya. 2003. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ke-2. Ketut Hardana, Timotius I Ketut Adi. 2013. Kursus Persiaan Perkawinan. Jakarta. Yayasan Obor. Herien, Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor. PT IPB Press. Hoerudin, Ahrum. 1999. Pengadilan Agama Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Bandung: PT. Aditya Bakti. Kesindo Utama, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Surabaya: Kesindo Utama, 2012, h. 235 Khairunnida, Daan Dini. 2013. Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Hasil Penelitian di 6 Wilayah.Jakarta. Kerjasama Rahima, BP4, UNFPA, dan KPPPA. Klein, David M. White, James M. 1996. Family Theories An Introduction, California: SAGE Publications. 48 Komisi Keluarga KWI. 2015. Panduan pelaksanaan kursus persiapan perkawinan Katolik. Jakarta. Obor. Kustini. 2002. Perceraian di Kalangan Buruh Migran Perempuan: Studi Kasus di Desa Kadupura, Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Kustini. 2011. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama. Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat. Rofiah, Nur. dkk. 2013. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu, Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di Cianjur, Dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 - 158. Rangan, Rao ABSV. Sekhar K. 2002. Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cultural Study, Journal of Comparative Family Studies, Autum 2002: 33, 4, ProQuest, h. 557. Scanzoni, Letha Dawson.dan Scanzoni John. 1981. Men, Women, and Change: A Sociology of Marriage and Family. New York. Mc.Graw Hill. 49 RESISTENSI DAN PRAKTIK KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN PETANI PADI SAWAH LEBAK DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA Yunindyawati Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya Jln Palembang-Prabumulih Km 32 Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Email: yunin.unsrigmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji resistensi perempuan atas marjinalisasi pada proses pertanian padi dan praktik kuasa pengetahuan dan praktik kuasa penetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Data diperoleh melalui teknik wawancara mendalam, observasi dan Focus Group Discussion FGD. Hasil penelitian menunjukkan resistensi perempuan berupa resistensi langsung di dalam proses pertanian padi, dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan di luar sektor pertanian padi. Dengan demikian maka perempuan tetap bisa mempraktikkan kuasa pengetahuan yang dimiliki sehingga bisa berkontribusi dalam pemenuhan pangan keluarga. Kata Kunci: Resistensi, Marjinalisasi, Perempuan, Pangan, Keluarga Petani Abstract This research was to analize resistance of women over marjinalization of agriculture process and the parctice of power of woman’s knowledge in the fullfilment family food. The qualitative methode and critical paradigm were used in this research. The data carried out by in depth interview technique, observation and Focus Group Discussion FGD. The result showed that the woman’s resistance pattern were direct resistance and indirect resitance by doing work in the off farm sector. So woman practiced the power of knowledge and then they could contribute in fullfilment food family Keywords: Resistance, Marjinalization, Woman, Food, Family, Farmer

1.PENDAHULUAN

Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008.Di bidang pertanian dan pedesaan perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga berperan penting dalam distribusi pemasaran.Kontribusi perempuan semakin terlihat ketika mereka memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi pertanian. Peranan perempuan dalam produksi pertanian adalah penting dalam menentukan status nutrisi rumah tangga dan juga sumbangan mereka dalam pendapatan rumah tangga. Studi yang dilakukan Sukiyono dan Sriyati 1997 menemukan bahwa konstribusi perempuan transmigran berdagang sayuran sebesar 45 dari total pendapatan rumah tangga mereka. Hal ini menunjukkan selain dalam produksi pertanian, perempuan juga menyumbang ekonomi keluarga melalui sektor perdagangan. 50 Selain itu, secara sosial perempuan dikonstruksikan bertanggung jawab atas kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi anggota keluarga.Mereka memegang peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih, mengatur pola makan, jenis makanan dan hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi keluarga. Tanpa terpenuhi kebutuhan pangan keluarga, para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawahlahan mereka. Hal ini menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan pangan keluarga. Selain itu, kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di tingkat keluarga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan, dan pada akhirnya menurunkan ketahanan pangan. Secara universal, peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif domestik, peran produktif publik dan peran sosial masyarakat. Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran produktif menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan.Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik Hubeis 2010. Dalam sebuah keluarga, terdapat suami, istri dan anak.Masing-masing individu memiliki status dan peran yang dilekatkan dan dijalankan.Untuk mengatur hubungan antara mereka masuklah kelembagaan-kelembagaan dalam keluarga. Kelembagaan inilah yang akan mengatur interaksi dan hubungan antara anggota keluarga. Sebagai contoh kelembagaan perkawinan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Kelembagaan pangan dalam sebuah keluarga biasanya memuat nilai-nilai dan aturan main yang dijalankan untuk menjaga kecukupan, stabilitas, aksesibilitas dan kualitas pangan. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO 1996 dan UU RI No 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi FAO, terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan LIPI 2005 yaitu: 1. Kecukupan ketersediaan pangan 2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun 3. Aksesibilitasketerjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitaskeamanan pangan Dari keempat aspek tersebut secara gender, perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk memainkan peran menuju ketahanan pangan keluarga. Persoalannya adalah konstruksi sosial masyarakat melihat bahwa persoalan pangan keluarga adalah tanggung jawab perempuan. Umumnya perempuan diperankan sebagai aktor yang bertanggungjawab atas pangan keluarga. Mulai dari penyediaan makanan sehat dan bergizi, pola pengasuhan gizi keluarga bahkan termasuk pada proses produksi pangan keluarga sehingga tetap tersedia, terjangkau dan stabil keberadaannya dalam keluarga. Dilihat dari hal tersebut secara sekilas terdapat dugaan bahwa peran perempuan relatif tinggi. Peran perempuan yang relatif tinggi dalam pemenuhan pangan keluarga ini tidak diimbangi dan didukung oleh kebijakan yang berpihak pada perempuan. Pada kasus perempuan petani padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir, kebijakan pertanian terutama peningkatan produktivitas padi dengan penerapan revolusi hijau dan program pertanian yang menyertainya justru memarjinalkan peran perempuan. Kuasa pengetahuan perempuan dalam bercocok tanam padi tergusur oleh teknologi dan inovasi pertanian, meskipun demikian perempuan mencari bentuk lain sebagai praktik atas 51 kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, diantaranya melakukan diversifikasi pekerjaan. Praktik-praktik kuasa pengetahuan perempuan pada aspek di luar sektor pertanian padi sawah lebak sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan atas tertutupnya peluang praktik kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak. Bentuk-bentuk perlawanan kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak menjadi menarik dikaji lebih lanjut. Tujuan penelitian ini menganalisis resistensi perempuan atas marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak dan praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir. 2 .METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada 11 informan dan 9 keluarga sebagai subyek kasus penelitian.Subyek kasus dalam penelitian ini adalah keluarga petani padi sawah lebak, yakni suami, istri dan anak. Informan penelitian ini adalah kepala desa, ketua PKK, ketua KUBE, ketua kelompok tani, petugas kesehtan, tokoh adat dan tokoh agama.Observasi dan diskusi kelompokdilakukan untuk memperdalam data yang diperoleh serta validasi data dari para informan dan subyek kasus. Analisis data dilakukan secara kualitatif, data dikategorikan dalam satuan uraian, kemudian dihubungkan dengan teori yang relevan.Lokasi penelitian di desa Ulak Aurstanding di kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. 3.TEMUAN DAN PEMBAHASAN Proses transformasi pertanian, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern yang diintrodusir pemerintah terutama setelah penerapan revolusi hijau membawa dampak marjinalisasi peran perempuan. Peran perempuan padapertanian tradisional sangat tampak terutama pada kegiatan ritual dalam proses pertanian sebelum, panen, saat panen dan setelah panen padi sawah lebak. Marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak melahirkan resistensi terhadap proses pertanian yang diintrodusir oleh pemerintah. Resistensi merupakan sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan dan menentang. Bentuk resistensi terhadap proses pertanian yang dilakukan perempuan meliputi resistensi atas benih unggul, resistensi atas penggunaan herbisida dan resistensi atas teknologi pendukung pertanian. Resistensi atas penggunaan bibit unggul yang menggantikan bibit lokal tradisional pegagan dilakukan dengan cara; perempuan tetap menggunakan bibit pegagan untuk menanam padi meskipun hanya segelintir orang yang melakukannya. Secara umum, bibit yang ditanam petani padi sawah lebak saat ini telah berganti ke bibit unggul yang diintrodusir pemerintah melauli kebijakan revolusi hijau. Pada titik ini, pada persoalan bibit telah terjadi perampasan kuasa pengetahuan perempuan untuk memilih dan memilah bibit yang layak ditanam, namun masih ada perempuan yang tetap menggunakan bibit lokal pegagan. Pada saat penelitian berlangsung tahun 2012 dimana terjadi gagal panen di Kabupaten Ogan Ilir, justru benih padi lokal padi tinggi yang bisa bertahan sehingga tidak gagal panen. Namun jumlah petani yang menanam padi lokal sangat sedikit, hanya sebagai pemenuhan ketersediaan pangan keluarga dan bukan untuk dijual. Resistensi atas penggunaan herbisida dilakukan perempuan dengan tetap membersihkan rumput rencam secara manual. Kegiatan rencam masih banyak dilakukan di kalangan petani perempuan sebagai upaya perlawanan atas penggunaan herbisida. Penggunaan herbisida dirasakan merugikan secara ekonomi karena harus mengeluarkan uang untuk membeli racun rumput sebutan herbisida oleh komunitas petani padi. Dengan 52 membersihkan secara manual maka petani lebih bisa berhemat serta memberi peluang bagi keterlibatan peran perempuan. Pada titik ini, intervensi pengetahuan pemerintah dalam membersihkan rumput menggunakan herbisida tidak sampai merampas kuasa pengetahuan perempuan tetapi hanya menggusurnya dari proses pertanian padi sawah lebak. Resistensi atas penggunaan teknologi pertanian seperti mesin grentek, perontok padi, sabit dan pembajak sawah traktor yang didominasi laki-laki dilakukan dengan cara perempuan berusaha untuk bisa menggunakan alat-alat pertanian tersebut meskipun tidak mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Perempuan melawan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan laki-laki sebagai obyek dari program pertanian. Perlawanan ini membuahkan hasil dimana terdapat perempuan yang bisa mengoperasikan alat-alat pertanian modern meskipun jumlahnya sedikit. Bentuk-bentuk resistensi yang dikemukakan diatas adalah resistensi langsung atas marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan dalam proses produksi padi sawah lebak. Selain resistensi langsung atas marjinalisasi di sektor pertanian padi sawah lebak, resisten perempuan juga dilakukan dalam bentuk tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan diluar sektor pertanian padi, yakni pekerjaan tani non padi dan usaha non pertanian. Diversifikasi pekerjaan menjadi bentuk resistensi simbolik atas tergusurnya peran perempuan dari sektor pertanian padi. Perempuan menunjukkan bahwa meskipun mereka termarjinalkan dalam proses pertanian padi sawah lebak untuk pemenuhan pangan keluarga, mereka tetap bisa berkontribusi dengan melakukan pekerjaan tani non padi seperti menanan sayur mayur dan kacang-kacangan di sekitar rumahnya dan pekerjaan non tani dengan mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan untuk mendapatkan uang seperti menenun songket, menyiang ikan, membuat atap daun dan berjualan makanan. Diversifikasi pekerjaan perempuan menjadi simbol perlawanan tidak langsung, artinya tidak berhubungan dengan proses produksi padi sawah lebak. Perlawanan simbolik untuk menunjukkan bahwa perempuan dan pangan memang tidak bisa dipisahkan, selalu berhubungan dalam pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan perempuan semakin terlihat setelah tergusurnya peran perempuan karena intervensi revolusi hijau. Pada saat perempuan terlibat pada seluruh proses pertanian padi lebak sebelum penerapan revolusi hijau belum banyak variasi jenis pekerjaan perempuan, karena waktu mereka banyak dihabiskan untuk produksi padi sawah lebak. Pekerjaan mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa telah dilakukan sejak dahulu namun seiring marjinalisasi peran perempuan, pekerjaan mengumpulkan bahan pangan dari rawa semakin banyak dilakukan. Begitu juga dengan kerajinan tenun songket, dimana komunitas petani padi sawah lebak baru mencoba kerajinan tenun songket pada tahun 1992, seiring masuknya revolusi hijau di komunitas petani padi sawah lebak. Hal ini menunjukkan perempuan tetap kreatif untuk memberikan kontribusinya bagi pemenuhan pangan keluarga. Kreatifitas perempuan dalam pemenuhan pangan sesungguhnya bukan hanya karena sebagai bentuk perlawanan atas marjinalisasi pada proses pertanian padi lebak tetapi juga disebabkan oleh tekanan ekonomi keluarga yang menuntut terpenuhinya kebutuhan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi: resistensi atas marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak dan ujung tombak bagi pemenuhan pangan keluarga. Perempuan petani padi sawah lebak di desa Ulak Aurstanding melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Pekerjaan tani non padi tersebut antara lain; mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa lebak. Hilangnya kontribusi kuasa pengetahuan perempuan di bidang pertanian padi sawah lebak, tidak menyurutkan perempuan untuk tetap berperan bagi pemenuhan pangan keluarga. Hal ini dilakukan bukan hanya karena persoalan kebutuhan pangan keluarga 53 namun merupakan bentuk resistensi mereka untuk tetap memiliki kuasa pengetahuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Para petani dan perempuan petani padi sawah lebak menyadari bahwa sejak masuknya revolusi hijau terjadi peningkatan produktifitas padi, namun juga memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sarana produksi pertanian. Ketika terjadi gagal panen maka kerugian yang dialami juga besar, yang berakibat pada hutang petani membengkak. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi sangat penting dilakukan oleh keluarga petani jika menginginkan mereka tetap bisa makan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Pertanian padi sawah lebak sangat rentan dipengaruhi musim memaksa petani melakukan strategi nafkah demi terpenuhinya pangan keluarga. Kondisi inilah yang menjadi pemicu bagi para petani khususnya perempuan petani padi sawah lebak yang telah tergusur perannya, melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi sebagai penopang bagi terpenuhinya pangan keluarga. Oleh karenanya diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi suatu keharusan untuk melawan marginalisasi perempuan petani pada proses pertanian padi sawah lebak dan juga sebagai ujung tombak bagi pemenuhan pangan keluarga. Kuasa pengetahuan perempuan dalam memenuhi ketersediaan pangan keluarga petani padi sawah dipraktikkan dengan mencari dan mendapatkan bahan pangan dari lingkungan sekitar. Usaha-usaha perempuan memperoleh pangan dari ekologi rawa sesungguhnya membuktikan betapa perempuan dan alam memiliki hubungan erat. Perempuan mampu memilih bahan pangan rawa yang aman dikonsumsi keluarga, namun tidak mengeskploitasi untuk kepentingan ekonomis. Perempuan mengambil bahan pangan dari ekologi rawa secukupnya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Oleh karena tidak ada unsur eksploitasi terhadap alam, sehingga ekologi rawa tetap terjaga keberlanjutannya sustainability. Maria Mies dalam Shiva 1997, menyatakan kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis yang di dalamnya perempuan dan alam bekerjasama sebagai mitra telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian padi sawah lebak masih dijumpai hingga saat ini, meskipun sangat jauh berbeda kontribusi perempuan pada saat sebelum penerapan revolusi hijau dan setelahpenerapan revolusi hijau. Revolusi hijau telah mereduksi, menggusur dan memarginalisasi peran perempuan petani padi sawah lebak. Shiva 1997, bahkan menyebutkan revolusi hijau merupakan proses dominasi dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan Selatan negara berkembang. Pada masa sebelum revolusi hijau perempuan memiliki peran dihampir seluruh proses pertanian padi sawah lebak. Mulai dari penyiapan lahan, pemilihan bibit, hingga ke proses pemanenan. Keterlibatan perempuan dalam pemilihan bibit diungkapkan Jasiyah 50 th sebagai berikut: “Bibitnye sendiri, kalu guleh taun ini dibuat bibit lagi, ibu yang buatnye, yang nyemai kan….akuni bapaknye lak meninggal. Anakku yang bujang due bantu kesawah. Bibit yang disemai bibit sendiri yang dipilih dari hasil padi yang didapat. Ibu yang membuatnya, menyemaikan, karena bapak sudah meningggal. Selain itu dibantu juga oleh dua orang anak laki-laki Para perempuan menyisakan padi untuk dijadikan bibit, segera setelah panen usai. Perempuan memilih dan memilah padi yang diperkirakan bagus untuk ditanam kembali. 54 Biasanya mereka memilih padi yang bagus dengan cara menampi, menggunakan alat tampir dari bambu,dengan digoyang-goyangkan akan terpisah antara padi yang bernas dan padi yang tidak berisi. Kemungkinan tumbuh yang ditampi padi bernas cukup tinggi jika dibandingkan dengan padi yang tidak ditampi.Padi ini kemudian disemai dengan cara ditugal, ditanam dengan menggunakan alu dari batang kayu.Setelah tumbuh agak tinggi dan air rawa surut,kemudianbibit padi dipindahkan ke lahan pertanian. Kuasa pengetahuan perempuan dalam memilih bibit lokal ini kemudian digantikan dengan bibit unggul yang diintrodusir oleh pemerintah. Pemerintah mengganti bibit padi lokal Pegagan dengan IR 42, Ciherang dan INPARA 1-13. Bibit dari pemerintah disebut sebagai bibit unggul dan ajaib karena waktu tanam hingga panen lebih cepat dan produktivitas lebih tinggi, sementara bibit tradisional komunitas yakni pegagan dianggap sebagai bibit primitif. Kuasa pengetahuan perempuan memilih dan memilah padi untuk menghasilkan bibit unggul mau tak mau tergusur dan kehilangan kesempatan untuk dipraktikkan. Pada titik ini, revolusi hijau telah merampas hak perempuan memproduksi bibit lokal. Perempuan juga terlibat dalam persiapan lahan dan menyemaikan padi, bahkan sebagian besar pekerjaan pertanian dilakukan oleh perempuan, kecuali pekerjaan yang berat. Berikut penuturan Maimuna 50 th: “Kalu nugal atau buat anak padi biasenye ibu-ibu, ngambil mindahkan ibu- ibu, yang mikul-mikul untuk mindahke kesawah bapak. Merumput gotong royong bapak ibu, kalu banyak rumput ibu, kalu dikit rumput bapak” Pada saat air yang menggenangi lahan rawa agak surut, maka ditemui banyak rumput sisa tumbuhan dan rumput yang tumbuh selama air pasang tumbuhan rawa. Oleh karena itu perlu dibersihkan terlebih dahulu sebelum ditanami.Mayoritas perempuan terlibat dalam kegiatan ini. Secara manual mereka membersihkan rumput tersebut menggunakan tangan dan sabit, namun setelah revolusi hijau dan dikenalkan dengan racun rumput, mereka menggunakan obat tersebut jika memiliki kecukupan uang untuk membeli dan jika tidak maka dilakukan secara manual. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan herbisida mengurangi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Herbisida merupakan racun membunuh rumput, yang diperkenalkan oleh pemerintah untuk memudahkan membasmi rumput, namun di sisi lain mengurangi keterlibatan perempuan petani padi sawah lebak. Setelah lahan bersih dari rumput maka para perempuan mengambil padi yang sudah ditugal dibibit sebelumnya, dipindahkan ke tempat yang agak tinggi sebelum ditanam ke sawah rawa lebak.Begitu air rawa surut hingga tinggal 0,5-5 cm maka para perempuan banyak terlihat bertebaran di lahan menanam padi. Umumnya para perempuan bertugas menanam padi, sementara petani laki-laki hanya memikul bibit dari tempat pembibitan ke tempat perempuan menanam padi. Penggunaan mesin perontok padi bagi proses panen padi dilakukan oleh laki-laki. Hal ini karena mesin tersebut didesain untuk laki-laki, dan disosialisasikan kepada laki-laki melalui kelompok tani. Perempuan tidak diperhitungkan dalam penggunaan teknologi panen padi sehingga lagi-lagi peran perempuan terkurangi.Pengoperasi mesin grentek umumnya laki-laki meskipun ada juga perempuan yang bisa menggunakan alat ini. Ketergusuran kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak pada aspek ketersediaan padi mengakibatkan perempuan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi. Perempuan bekerja sebagai pengumpul bahan pangan dari ekologi rawa. Kuasa pengetahuan perempuan tentang pangan yang bersumber dari ekologi rawa dipraktikkan untuk memilih jenis-jenis pangan yang bisa diolah menjadi makanan keluarga. Pada posisi demikian perempuan tetap bisa berperan dalam pemenuhan pangan keluarga. 55 Ekosistem rawa lebak memiliki keanekaragaman tumbuhan flora dan hewan fauna yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Tumbuhan yang hidup di lahan rawa lebak sangat beragam dari jenis pohon, perdu, semak, dan rumput.Macam, jenis dan keragamannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan fisik iklim, hidrologi, tanah, vegetasi, tipologi serta pemanfaatannya.Jenis fauna yang hidup di rawa lebak sangat beragam dari golongan reptil, unggas, dan berbagai jenis ikan.Pengembangan perikananpada ekosistem rawa lebak ditopang oleh adanya vegetasi rawa. Pada umumnya didapati empat jenis vegetasi, yang dipakai sebagai pakan ikan yaitu 1 Vegetasi dibawah permukaan emerged, 2 Tipe berdaun terapung floating leaved 3 Terapung bebas free floating 4 Tipe jenis rumput. Jenis ikan yang hidup pada ekosistem rawa tidak kurang dari 100 jenis, diantaranya ikan hitam; gabus, papuyu,sepat, biawan, patin, toman dan ikan putih, ikan yang umum berada di perairan sungai dan bisa ditemukan di rawa sebagai ikan pendatang. Selain ikan, hewan piaraan yang bisa terdapat di rawa adalah itik Alabio dan kerbau rawa Noor, 2007. Perempuan memanfaatkan ekosistem rawa tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak. Berbagai pengetahuan tersebut dimanfaatkan untuk menghadapi masalah pangan berdasarkan musim, yakni musim pasang hujan dan musim surut kemarau. Pada musim pasang, para perempuan mencari ikan dengan cara memancing, menggunakan tangkul, dan jala.Hasil yang diperoleh dimanfaatkan untuk lauk makan keluarga petani padi sawah lebak.Jika mendapatkan tangkapan dalam jumlah banyak maka dijual kepada para tengkulak yang datang ke desa. Biasanya pada musim pasang, jumlahtangkapan ikan banyak berkonsekuensi pada murahnya harga ikan. Para perempuan tetap mencari ikan meskipun harga ikan mengalami penurunan untuk menambah tambahan pendapatan keluarga. Berikut penuturan para subyek kasus; “Kalu dapat ikan ninggali untuk makan, makan dulu baru dahnye dijual. Iwak itulah pendaping nasik tu. Neman makan ikan tulah, jarang ame makan buah- buahan tu. Ikan tu sepanang tau ade tulah, air pasang die ade, air surut ade disungai ni”. Nursyam, Fatimah, Jasiyah Biasanya hasil tangkapan ikan untuk masak, kalau ada lebih baru dijual. Ikan menjadi menu tiap hari. Masyarakat disini lebih sering makan ikan daripada makan buah-buahan. Karena ikan disini ada sepanjang tahun, baik musim surut maupun pasang Jenis-jenis ikan yang bisa mereka dapatkan adalah ikan seluang, betok, gabus, dan ikan putih lainnya yang berasal dari luapan sungai kedukan kijang yang mengitari desa Ulak Aurstanding. Bahkan beberapa perempuan sengaja menjadi pencari ikan sebagai pekerjaan utama saat musim pasang.Biasanya mereka membentuk kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang mencari ikan bersama.Setelah terkumpul mereka menjual menggunakan perahu sampan dari rumah ke rumah.Pada musim pasang perahu sampan menjadi alat transportasi di desa ini.Ada juga perempuan yang menjual ikan tangkapannya dengan berjalan kaki di sepanjang ruas jalan utama yang tidak tergenang air. Biasanya ikan dijual ketengandimasukkan dalam plastik kecil setiap plastik seharga Rp. 2.000,- dengan jumlah berat sekitar ¼ kilogram. Melimpahnya jumlah ikan saat musim pasang membuat hasil tangkapan melimpah sehingga muncul pekerjaan baru yakni buruh menyiang ikan.Para tengkulak ikan ada yang membeli ikan dalam bentuk ikan hidup, ada juga yang membeli ikan dalam bentuk sudah bersih disiangidiperut.Biasanya ikan yang sudah disiangi ini digunakan untuk membuat tekwan, model, empek-empek serta untuk krupuk kemplang. Upah menyerutmenyiang ikan ini sebesar Rp. 500,- perkillogram ikan bersih. Memang membutuhkan waktu lama, tetapi 56 para perempuan mengambil pekerjaan ini daripada menganggur di rumahnya.Ikan diantara ke salah satu rumah penduduk kemudian tetangga sekitar datang untuk menyerut ikan bersama-sama. Perempuan memanfaatkan keong rawa, masyarakat menyebutnya gondang, untuk dimasak sebagai lauk makan dan juga digunakan sebagai pakan itik peliharaan mereka. Gondang ini banyak ditemukan saat musim pasang.Perempuan membuka cangkang, menukil isidagingnya dan mengolahnya menjadi lauk atau sebagai pakan itik. Jika untuk lauk maka keong direbus terlebih dahulu sebelum diolah dengan bumbu sesuai selera, sedangkan untuk pakan itik, keong tersebut dicampur dengan dedak atau sisa makanan dan buah telepuk. Buah telepuk ini banyak hidup mengambang di permukaan air saat musim pasang. Selain untuk campuran makan itik, buah telepuk juga dmanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat desa Ulak Aurstanding. Para perempuan menggunakan sampan untuk mendapatkan buah telepuk dan keong rawa, sampai ke tengah rawa. Berikut gambar jenis bahan pangan keluarga petani padi sawah lebak yang diambil dari ekosistem rawa lebak: Gambar 8: Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa; telur itik, keonggondang dan buah telepuk Itik yang dipelihara masyarakat adalah itik jenis Alabio.Pengembangan itik ini dilakukan secara ekstensif dan intensif. Secara ektensif dilakukan dengan menggembalakannya ke luar kandang, ke lahan-lahan di sekitarnya. Pakan itik sangat tergantung pada keberadaan tanah rawa lebak yang secara alami menyediakan makanan seperti ikan-ikan kecil, cacing serta berbagai gulma air seperti eceng gondok, kangkung, kayu apu dan tumbuhan air lainnya. Sementara secara intensif dipelihara di dalam kandang. Setiap keluarga biasanya memiliki peliharaan bebek dan ayam dengan jumlah yang berbeda.Hewan peliharaan ini sangat bermanfaat untuk menambah pendapatan keluarga karena mereka menjual telur ayam dan bebek jika memerlukan uang. Telur bebek dijual seharga Rp. 1.500,- perbutir. Mereka menjual ayam dan hewan piaraan tersebut di pasar kalangan.Pasar kalangan adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk menjual dan membeli barang keperluan hidup sehari-hari. Pasar kalangan diadakan pada hari tertentu, satu kali dalam seminggu. Banyak pedagang dari luar desa, sengaja datang untuk menjual barang-barang yang tidak diproduksi masyarakat setempat. Para tengkulak juga datang untuk membeli barang seperti telur bebek, ayam kampung dan ikan. Pada musim air mulai surut, perempuan terlibat dalam proses pertanian padi sawah lebak. Dimulai dari pembuatan brondong rumput panjang dianyam untuk media penyemaian bibit padi, menyingkirkan rumput yang tumbuh pada saat air pasang, menyemaikan bibit, memindahkan bibit, menanam padi dan memanen padi. Setelah panen padi perempuan menjemur padi sebelum padi simpan, atau digiling menjadi beras. Perempuan memanfaatkan lahan yang sudah surut lebih awal lebak dangkal untuk menanam berbagai jenis sayuran seperti kacang panjang, kangkung, cabai, tomat dan 57 labu. Tanaman biji-bijian yang sering ditanam yaitu jagung dan kacang tanah.Setiap jengkal tanah yang memungkinkan ditanami dimanfaatkan untuk tanaman tersebut. Pengetahuan perempuan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut di atas, membuat perempuan mempunyai kuasa atas pangan keluarga. Sejalan dengan ini, Foucault mengungkapkan adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait.Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan Foucault 1980.

4.KESIMPULAN

Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari proses pertanian padi sawah lebak. 5.DAFTAR PUSTAKA Agger B. 2009. Teori Sosial Kritis. Terjemahan: Critical Social Theories: An Introduction. Yogyakarta ID:Kreasi Wacana. Babatunde, O. Raphael., Qoim, Martin, 2010. Impact of off-farm income on food security and nutrition in Nigeria. Food Policy 35 2010 303-311. Elsevier Ltd Brennan. MA Israel, G.D. 2008. The Power of Community. Journal of Community Development Society, Vol 39. No. 1. 2008. Carr R.Edward, 2006. Postmodern conceptualizations, modernist applications: Rethinking the role of society in food security. Food Policy 31 2006 14-29. Elsevier. www.sciendirect.com Chung K, Haddad J, Rama K, Riely F. 1997. Identifying The Food Insecure, The Application on Mixed Method Approacher in India, International Food Policy Research Institute, Washington DC. Denzin NK,Lincoln YS. 2009. Handbook of Qualitative Research. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta ID:Pustaka Pelajar. Febriansyah A. 2014. Analisis kesejahteraan petani padi sawah lebak di kecamatan Pemulutan kabupaten Ogan Ilir Palembang: Jurnal Ilmiah AgrIBA No 2 Edisi September tahun 2014. Foucault M. 1980. Powerknowledge, edited by Colin Gordon. New York USA: Pantheon Books, Harvester Press. Gladwin H, Cristina, Thomson M, Anne. Peterso S, Jennifer Anderson SA. 2001. Adressing food security in Africa via multiple livelihood strategies of women farmers. Food Policy 26 2001 177-207. Elsevier Ltd 58 Haddad L, Kasbur 1990. Intrahousehold Resource Allocation: Methods, Models, and Policy. John Hopkins University Mabsout R, Staveren V. 2010. Distentangling Bargaining Power from Individual and household Level to Institutions: Evidence on Wome n’s Position in Ethiopia. World Development, vol 38, No. 5, pp. 783-796. Elsevier Ltd McCullum C, Pelletier D. Barr D. Wilkins J. 2003.Agenda Setting within a Community- Based Food Security Planning Process: The Influence of Power. Research Brief. Society for Nutrition Education. McMichael, P. 2009.A food regime geneology. The Journal of Peasant Studies. Vol.36 No. 1, January 2009, 139-169. Maxwell S. Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: concepts, indicators, measurement, A technical Review. Rome: International Fund for agriculture Development. United Nations Children’s Fund. Moussa C. 2011. Impact Assesment of Women Farmer Activity on Poverty Reduction and Food security: A case of Kindia RegionGuinea. Journal of Agriculture Science.Canadian Centre of Science and Education. Nanama S. Frongillo A E. 2012. Women’s rank modifies the relationship between huosehold and women’s food insecurity in complex households in northern Burkina Faso. Food Policy 37 2012 217-225. Elsevier Ltd Rocheleau D. Edmunds D. 1997.Women, Men and Trees:Gender, Power and Poverty inForest and Agrarian Landscapes.World Development, Vol 25, No 8, pp.1351- 1371. Pergamon. Elsevier Science Ltd Scanlan J. Stephen. 2004. Women, Food Security, and Development inLess-Industrialized Societies: Contributions and Challenges for fhe New century. World Development Vol. 32, No 11, pp. 1807-1829. Elsevier Ltd Schiavoni C. 2009. The global struggle for food security: from nyeleni to New York. The Journal of Peasant Studies.Vol. 36 No. 3 July 2009, 682-689. Sen A. 1982. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivatio. Oxford GB: Clarendon Press Sukiyono. 2008. Status Wanita dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan dan Petani Padi Di Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi Volume 26 no 2 Oktober 2008. Valdivia C, Gilles J. 2001. Gender and Resource management: household and groups, trategies and transitions. Agriculture and human Value vol 18, 5-9 Walingo M, Khakoni. 2009. Role of Livestock Projects in Empowering Women Smallholder Farmers for Sustainable Food Security in Rural Kenya. AJFAND Vol 9 No 7 Tahun 2009. 59 KEMISKINAN DAN AKSI KOLEKTIF PEREMPUAN Ida Ruwaida Staf Pengajar Departemen Sosiologi Universitas Indonesia e-mail: idar.noorgmail.com Abstrak Tulisan ini menfokuskan perhatian pada pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program penanggulangan kemiskinan dalam kaitannya dengan aksi kolektif perempuan. Berdasar kajian terefleksi bahwa kebijakan maupun program penanggulangan kemiskinan masih belum menstimuli kapasitas dan kesadaran kritis perempuan baik secara individual maupun kolektif. Artinya, perempuan masih diposisikan dengan peran instrumentalnya, bukan peran substantiftransformatifnya. Menariknya, ada kecenderungan program- program yang ada justru menfragmentasi perempuan. Hal ini dimungkinkan ketika kebutuhan dan kesadaran perempuan untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan kepentingan bersama masih lemah. Pada sejumlah kasus, aksi kolektif perempuan sangat diwarnai oleh ada tidaknya figur sebagai “tokoh” yang memiliki kapasitas individual sebagai agen perubahan, yang mampu melakukannya apa yang disebut oleh Naila Kabier sebagai transformasi institusional, meski berhadapan dengan tantangan struktural dan kultural. Secara sosiologis, menarik mengungkap strategi agen perubahan dalam menyikapi tantangan-tantangan institusional yang ada. Abstarct This paper focuses attention on womens economic empowerment through poverty alleviation programs in relation to the collective action of women. Based on the study reflected that the policies and programs of poverty reduction is still not stimulate the capacity and critical awareness of women both individually and collectively. That is, women are still positioned with its instrumental role, not a substantive role transformative. Interestingly, there is a tendency of existing programs instead menfragmentasi women. This is possible when the need and awareness of women to organize themselves and promote common interests, is still weak. In some cases, the collective action of women strongly colored by the presence or absence of the figure as a leader who has the individual capacity as an agent of change, is capable of doing what is called by Naila Kabier as institutional transformation, although faced with structural and cultural challenges. Sociologically, reveal interesting strategy change agents in addressing the institutional challenges that exist. Pendahuluan Pemerintah Indonesia, sejalan dengan tujuan pembangunan milenium MDGs, yang kini dikembangkan menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs, menempatkan kemiskinan sebagai salah satu masalah utama yang harus ditanggulangi. Data BPS, per September 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,51 juta jiwa 11,13 persen. Persentase penduduk miskin di desa jauh lebih besar 14,09 persen dibandingkan kota 8.2. Adapun gini ratio mencapai 0.41, yang mana kota lebih besar 0,43 dibanding 60 desa 0,33. Jika dilihat berbasis gender, maka data menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan secara ekonomi, lebih miskin. Berbagai faktor yang melatari tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai yang diberlakukan di masyarakat pada perempuan, yang kemudian mengkondisikan kelompok ini berpendidikan lebih rendah, nikah lebih muda, bergantung secara ekonomi pada laki-lakikeluarga, dll. Selama dua dekade terakhir, berbagai kebijakan dan program telah diluncurkan oleh pemerintah, yang pada dasarnya bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan antara 9 hingga 10 persen dan juga menurunkan angka gini ratio atau ketimpangan pendapatan target 0,39. Strategi yang dikembangkan bersifat terpadu baik menyasar pada rumahtangga maupun komunitas, bahkan pada perempuannya sendiri. 3 Berkenaan dengan kondisi nyata bahwa kemiskinan lebih berwajah perempuan, berbagai program telah diluncurkan baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Salah satu yang terkini adalah program terpadu dan terintegrasi yang diinisiasi Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia adalah progra m “MAMPU” maju perempuan Indonesia untuk penaggulangan kemiskinan, yang melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan organisasi penggiat perempuangender. Menariknya, sebagian besar program, termasuk MAMPU 2012-2020, berpijak dari asumsi dasar bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat meningkatkan pendapatan dan mengatasi kemiskinan. Hasil kajian International Poverty Centre memang menunjukkan bahwa apabila perempuan tidak mengalami hambatan apapun dalam memasuki pasar tenaga kerja, maka kemiskinan akan berkurang setidaknya 25 persen di Argentina dan Brazil, sementara di Chili mencapai 40 persen. Sementara studi lain menegaskan bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat meningkatkan pemberdayaan SDM bagi anak perempuan, serta ditundanya usia pernikahan dan melahirkan bagi perempuan www.mampu.co.id. Berbasis dari berbagai kajian tersebut, pertanyaannya adalah apakah asumsi-asumsi diatas tercermin di Indonesia? Dengan kata lain, apakah program-program penanggulangan kemiskinan yang menyasar pada perempuan secara langsung maupun tidak langsung misalnya: kelompok usaha bersamaKUBE, Simpan Pinjam PerempuanSPP-PNPM, juga yang terkini MAMPU, serta program lainnya baik di level lokalnasionalregional akan memampukan atau memberdayakan perempuan baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik. 4 Artinya, seberapa besar kontribusi program seperti: pada peningkatan keberdayaan perempuan tidak hanya pada level individual, namun juga kolektif? Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi perempuan bukan hanya pada komunitasmasyarakat, bahkan pada tataran rumahtangga. 3 Setidaknya 3 program penanggulan kemiskinan, yakni: program bantuan khusus pada rumahtangga sangat miskin RTSM maupun miskinRTM; pemberdayaan komunitas PNPM, SPP, dll; dan penguatan ekonomi KUBE, dll. Pada level rumahtangga, sejumlah program bantuan khusus antara lain: Bantuan Langsung Tunai BLT atau BLSM; Kartu Keluarga Sejahtera KKSKPS sebagai syarat mendapat BLSM, PKH, dll; Kartu Indonesia Pintar pemberian beasiswa semacam BSM, Bidik Misi, dll, Kartu 61 Indonesia Sehat sebelumnya Jamkesmas, dan berbagai program sektoral. 4 Mayoux 2006 mengembangkan kerangka analisis yang menunjukkan bagimana program semacam micro-finance mempunyai dampak signifikan pada pemberdayaan perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan lebih jauh dikatakannya bahwa akses terhadap tabungan dan pinjaman secara perlahan akan dapat mendorong atau memperkuat keterkaitan ketiga aspek pemberdayaan. Penanggulangan kemiskinan dan transformasi struktural Upaya mengatasi kemiskinan perempuan dan mewujudkan kesetaraan gender perlu diarahkan pada akar persoalannya yakni struktur, kondisi social, dan kultur masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Chafetz, perlu dilakukan penghapusan sistem normatif dan ideologis yang mendasari stratifikasi gender jenis kelamin. Untuk itu perempuan selayaknya tidak berjarak dengan isu-isu kekuasaan dan politik sebagai arena strategis. Tujuannya untuk melakukan transformasi struktural penguasaan sumberdaya dari struktur ber-ketidakadilan ke struktur berkeadilan Chafetz, 1988: 70-72; Lengermann dan Niebrugge, 2003: 410-411. Transformasi struktural, pada dasarnya, hanya dimungkinkan jika ada keberpihakan dan komitmen atas realitas yang dianggap tidak adil pada perempuan. Keberpihakan dan komitmen ini, menurut Seidman 1998:62, memungkinkan feminis bekerja sebagai pejuang perempuan yang melakukan aksi politik karena dilandasi pemahaman dan kesadaran bahwa perempuan mengalami ketimpangan karena adanya blok secara ideologis maupun sosial. Strategi pembebasan dari ketimpangan kekuasaan inilah yang kemudian dikenal sebagai pendekatan pemberdayaan. Menurut Kabeer 2005, pemberdayaan merupakan sebuah arena ‘kekuasaan’, yang membutuhkan kemampuan the power within dalam melakukan aksi nyata power struggle untuk mengakses, memanfaatkan, mengkontrol, dan bertanggungjawab atas sumberdaya demi perubahan yang diharapkan. Oleh sebab itu, melakukan upaya pemberdayaan tidaklah mudah karena berpilar pada pola relasi yang setara. Terlebih, idealnya pemberdayaan dilakukan pada empat level, yakni: individu, kelompok, organisasi dan komunitas. Dunst dkk 1990 juga menegaskan bahwa kinerja pemberdayaan juga dilihat dari kemampuan membangun jaringan sebagai sumber daya Cannan and Warren, 1997:109-110. Dengan demikian, pemberdayaan sebagai aksi nyata bisa bergerak dari level individu ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah informal ke ranah formal. Sebab itu, proses dan parameter pemberdayaan menjadi isu signifikan bagi sebagian kalangan. Secara konseptual, jika Chafetz mengemukakan pemberdayaan merupakan transformasi struktural, maka Kabeer 2005 menawarkan transformasi institusional, yakni proses transformasi yang mensyaratkan adanya gerakan atau perjuangan di berbagai arena ‘kekuasaan’, yakni: dari individu ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah informal ke ranah formal. Berkenaan dengan strategi pemberdayaan dan dinamika power struggle di masyarakat, Mohanty 2005 menekankan perlunya keberadaan institusi yang fungsional dan krusial dalam proses demokrasi. Pertanyaannya: bagaimanakah merancang prosedur institusional yang berkontribusi positif pada substansi kekuasaan yang eksesif? Gagasan Kabeer 2005: 13-14 bisa diajukan sebagai alternatif jawaban, yakni pemberdayaan sebagai upaya transformasi insitusional perlu memperhatikan tiga aspekdimensi yang saling terkait, yakni: agency, resources dan achievement. 62 Jika pemberdayaan sebagaimana dijelaskan oleh Mohanty 1995 merupakan upaya pemampuan masyarakat sipil, termasuk keberadaan organisasi masyarakat sipil yang representatif sebagai wadah partipasi, maka yang dipertanyakan adalah bagaimana membangun komitmen wargaanggota komunitas untuk melakukan tindakan kolektif secara terorganisir?. Artinya, dalam konteks melawan kemiskinan, bagaimana perempuan mengorganisir diri dan membangun aksi kolektif?. Agensi perempuan dan aksi kolektif Merujuk pada gagasan Kabeer tentang transformasi insitusional, maka persoalan pertama dan utama adalah menyangkut agensi. Pada dasarnya agensi merupakan konsep sentral pemberdayaan, yang merepresentasikan melalui mana power atau kemampuan melakukan pilihan dan mempertimbangkan konsekuensinya. Sedangkan sumberdaya adalah medium melalui mana agensi bekerja, adapun capaian adalah keluaran agensi. Konteks pemberdayaan sangat terkait dengan kerja agensi dalam kaitannya dengan struktur dan relasi kekuasaan. Ada dua alternatif yang dimungkinkan bagi agensi yakni ‘power to’ bermakna positif, memilih berbeda atau ‘power over’ bermakna negatif, menguasaicenderung koersif. Diakui Kabeer bahwa agensi berhadapan dengan norma ideologis dan kultural yang memungkinkan adanya bias. Implikasinya pilihan tindakan agensi bisa dalam bentuk: 1 agensi yang pasif aksi dengan pilihan terbatas; 2 agensi yang aktif bertujuan jelas; 3 agensi efektif bertindak merujuk pada peran dan tanggungjawabnya; dan 4 agensi transformatif mampu menantang batasan peran dan tanggungjawab. Merujuk pada konsepsi Dunst 1994, kemampuan perempuan sebagai agensi merupakan indikator kinerja performance, sekaligus indikator proses pemberdayaan. Menurut Whitmore 1998, pemberdayaan sebagai proses merupakan aktivitas reflektif dari kelompok yang diberdayakan, untuk mampu menentukan nasibkondisinya sendiri self determination. Sementara, Young 1993:158 menegaskan bahwa perempuan menjadi terberdayakan melalui proses refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif. Paramaternya adalah membangun citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, dan melakukan aksi nyata. Dalam proses pemberdayaan, pihak-pihak yang berelasi perlu mengedepankan rasa saling menghargai, dan senantiasa melakukan refleksi kritis atas proses dan relasi yang terjalin. Cohran dan Henderson, 1990 dalam Warren, 1997. Aksi kolektif merupakan bagian yang melekat dalam proses pemberdayaan. Secara konkrit, aksi kolektif perlu melalui tahapan: 1 membangun rasa ingin tahuketanggapan, 2 melakukan identifikasi atas berbagai kondisi perempuan, 3 berkembangnya kesadaran, bahkan rasa “marah” pada situasi dan kondisi yang dialami perempuan, 4 melakukan konsolidasi internal maupun ke pihak-pihak lain, 5 terbangun identitas kolektif, yang sekaligus mencerminkan kekuatan atau keberdayaan perempuan baik sebagai individu maupun kelompok kepentingan. Tahapan ini setidaknya merefleksikan bahwa kesadaran kolektif tidak bisa dipisahkan dengan berkembangnya kesadaran personal. Peran agensi tidak bisa dilepaskan dengan struktur sosial dan politik, termasuk interaksi antar aktor lokal. Untuk itu, Schneider dan Libercier 1995:12 menekankan pentingnya 63 upaya membangun rasa percaya diri diantara aktor yang beragam latar belakang, melalui: dialog dan sikap tanggap, juga membangun kesiapankemampuan untuk membagi kekuasaan dan mengkombinasikan sumberdayapotensi lokal dengan prosedur dan sumberdaya administratif. Mengingat pemberdayaan merupakan reflextive activity dari kelompok yang powerless sehingga mampu memperjuangkan kepentingannya, maka kelompokaktor lainnya diharapkan mampu berkolaborasi dalam menciptakan iklim climate, relasi relations, sumberdaya resources, dan prosedur procedure yang bisa mengkondisikan terbangun rasa percaya diri kelompok yang marginal, rentan. Lebih dari itu, mereka juga mampu membagi kekuasaannya. Inilah yang oleh Himmelman 1994 disebut sebagai strategi pemberdayaan kolaboratif, yang bisa berbentuk: 1 mengorganisir masyarakat berdasar tujuankepentingan yang ditetapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, 2 menfasilitasi proses yang ‘menyatukan’ pihak -pihak luar dalam mendukung tujuan masyarakat yang difasilitasi Sardjono, 2004: 172-173. Strategi kolaboratif menghantarkan pada pemahaman pentingnya sinergi atau koproduksi antar aktor dalam melakukan pemberdayaan sebagai upaya transformasi sosial. Sinergi ini -- meminjam gagasan pemikiran Durkheim -- hanya bisa dilakukan jika ada pembagian kerja yang bukan semata bertumpu pada fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan moral. Adanya moral solidaritas ini sekaligus memperkukuh asumsi bahwa demokratisasi ekonomi terlekat dengan persoalan keadilan sosial, keadilan gender, bahkan keadilan diantara perempuan sendiri. Karenanya, bagi Durkheim upaya perubahan atau reformasi bersumber dari kekuatan masyarakat. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat legislasi, tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ yang paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah, ‘asosiasi perempuan’ signifikan dipersoalkan, termasuk keterikatan sosial didalamnya. Modal sosial perempuan dan aksi kolektif Dalam konteks keberdayaan perempuan secara kolektif inilah modal sosial perempuan menjadi elemen penting. Modal sosial yang dimaksudkan Putnam 1992 adalah seperangkat hubungan horisontal antar individu atau networks of civic engangement, yang diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau komunitas. Jaringan ini terbangun dari interaksi antar perempuan, bahkan antar kelompok perempuan, dan mungkin antar kelompok perempuan dengan kelompok lainnya di komunitas, bahkan dengan kelompok ‘penindas perempuan’, sebagaimana yang distrategikan oleh feminis Sosialis. Dalam kaitan berelasi dengan ‘kelompok penindas’, Durkheim memang berbeda posisi dengan Karl Marx, karena Marx masih tetap melihat adanya perbedaan kepentingan mendasar antar kelompok dan sulit dicari titik temunya. Bagi Durkheim, meskipun ada perbedaan kepentingan, namun masih dimungkinkan dipertemukan melalui apa yang disebutnya sebagai ‘common morality’. Moralitas ini akan menjadi pendorong reformasi sosial Durkheim,19381977 dalam Ritzer dan Goodman, 2004; Ritzer, 1996. Sementara Seidman 1998: 62 juga masih melihat peluang membangun ikatan sosial, bahkan mensyaratkan adanya spesialisasi dan interdependensi peran-peran sosial. Ikatan sosial inilah yang menjadi landasan terbangunnya kerjasama untuk pencapaian tujuan atau kepentingan bersama Purdue, 1986:73-76. 64 Berkenaan dengan modal sosial perempuan, gagasan Durkheim juga menjadi bagian signifikan, khususnya tentang solidaritas sosial yang menjadi basis semangat kolektif collective conscience bahkan berkembangnya ‘collective representation’. Representasi kolektif mengkondisikan perempuan beragam latar belakang melebur menjadi “kelompok tunggal’ single group Ritzer,1966. Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda utama feminis. Meski diakui feminis gelombang ketiga menyadari adanya perbedaan di kalangan perempuan berdasar etnis, agama, status ekonomi, dan lainnya. Perempuan bukanlah kelompok yang homogen, karenanya membangun kesadaran kolektif, apalagi representasi kolektif bukanlah hal mudah. Oleh sebab itu, menurut Cornwal 2000, pembangunan yang partisipatif selayaknya mempertimbangkan diversitas perempuan dan implikasinya pada partisipasi maupun representasinya. Karenanya, Cornwal menegaskan pentingnya memberikan kerangka kembali kepada pembangunan partisipatif, khususnya terfokus pada 2 dua hal, yakni: kewarganegaraan citizenship dan hak berpartisipasi. Menurutnya, esensi partisipasi yakni memberikan suara dan pilihan, serta mengembangkan kapasitas manusia berikut organisasi dan manajemennya dalam memecahkan masalah guna memperbaiki kondisi atau situasi secara berkelanjutan. Konsekuensinya, partisipasi tidak dijabarkan berdasar derajat atau tingkatannya, melainkan pada bentuktipe partisipasi: nominal, instrumental, representatif dan transformatif. Realitas empiris program kemiskinan dan refleksi kritis Berlandaskan pemahaman bahwa pemberdayaan merupakan proses sekaligus kinerja, tentu menarik diungkap bagaimana wujudnya dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pada dasarnya pemberdayaan bertujuan membantu kelompok sasaran atau dampingan untuk mampu atau memiliki kekuatan dalam menentukan tindakan dan mengambil keputusan berkaitan dengan kehidupan mereka, dengan: 1 mengurangi dampak dari hambatan sosial atau pribadi dalam menerapkan kekuasaan, 2 meningkatkan kapasitas dan percaya diri untuk menggunakan kekuatan, dan 3 memindahkan kekuatan dari lingkungan kepada kelompok itu sendiri Malcolm Payne, 1997: 266. Temuan menunjukkan bahwa tindakan kolektif perempuan umumnya masih lemah, yang ditandai dengan masih bertumpunya anggota pada figur penggerak. Selain itu, cenderung elitiseksklusif. Kondisi ini menunjukkan belum terbangunnya kohesi sosial diantara mereka, apalagi membangun kesadaran kritis untuk memperjuangkan hak ekonomi secara kolektif. Padahal merujuk Young 1993:158, perempuan terberdayakan jika melalui refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif. Paramaternya adalah: membangun citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan, serta melakukan aksi nyata. Dalam konteks ini, bisa dikatakan belum terbangun modal sosial perempuan, yakni seperangkat hubungan horisontal antar individu atau jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau komunitas. Berbagai kajian menunjukkan bahwa ditengah diversitas perempuan, sudah terjadi kontak fisik diantara mereka,bahkan terbangun perhatian dan kesadaran bersama. Namun, ikatan emosional bisa dikatakan masih lemah, khususnya antar anggota kelompok. Hal ini dilatari bukan semata adanya perbedaan latar belakang, namun lebih karena 65 subyektifitas anggota sudah terbatasi oleh persoalan ekonomi, sehingga relasi sosial yang terbangunpun lebih bersifat transaksional. Inilah yang mendasari tidak terbangunnya representasi simbolik. Meski kelompok bersifat sukarela, namun partisipasi perempuan didalamnya lebih bersifat nominal dan instrumental, bahkan fungsional. Apalagi seringkali ketua dianggap sebagai representasi simbolik organisasi, padahal ketua kelompok bisa jadi belum merepresentasikan kepentingan anggota. Menurut Putnam, hanya melalui interaksi-lah terbangun asosiasi horisontal kelompok keanggotaan, yang merupakan sumber trust dan ikatan sosial sekaligus emosional. Asosiasi ini ditandai dengan pembiasan para anggota dan pengurus dalam bekerjasama, sehingga mampu mengembangkan solidaritas dan semangat publik Robert Putnam, Robert Leonardi, Rafaella Nanetti, 1996, 36. Dalam kondisi demikian, upaya pengembanganpemberdayaan ekonomi perempuan, tampaknya lebih berbasis perspektif komunitarian. Perspektif ini menfokuskan perhatian pada bentuk organisasi sosial yang potensial bagi perempuan dalam membangun komitmen antar perempuan. Padahal menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero 2008: 425-429, hal terpokok dalam upaya pemberdayaan ekonomi lokal adalah pengembangan ekonomi alternatif berbasis masyarakat atau institusi ekonomi lokal, misalnya Lembaga Keuangan MikroLKM, Koperasi, Credit Union, dan lain -lain. Namun demikian, pengembangan dan penguatan institusi ekonomi lokal bukanlah hal yang mudah, salah satu tantangannya adalah pengorganisasian sosial di tingkat lokal, termasuk pelembagaannya institusionalisasi- nya. Keberhasilan pengorganisasian sosial, tampaknya lebih berpilar pada isu yang nyata dan dasar di masyarakat yakni: ekonomi. Artinya, program yang ada menawarkan upaya pemenuhan kebutuhan praktis kepada masyarakat, termasuk perempuan. Kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan dasar yang menentukan eksistensi dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya, isu ekonomi juga pendidikan, kesehatan merupakan pintu masuk untuk menumbuhkan kepedulian perempuan dan masyarakat. Kedekatan isu pemberdayaan dengan kebutuhan masyarakat, akan menumbuhkan minat dan keinginan individu untuk kemudian berkelompok atas dasar kepentingan yang sama. Meski temuan menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih ‘mengelola usaha sendiri meski modal kecil’, namun isu ekonomi menjadi daya ikat. Daya ikat inilah yang mengarahkan perempuan berminat masuk kelompok dengan harapan mendapat bantuan ‘modal usaha’. Menurut Durkheim perlu ada pembagian kerja yang bukan semata fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan moral. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat legislasiaturan, tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ yang paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah, melalui ‘asosiasi’ diharapkan terbangun keterikatan sosial Ritzer, 1996. Keterikatan sosial yang terbangun, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan karakteristik individu-individu di dalamnya. Kecenderungannya pembentukan kelompok lebih berbasis pada kekerabatan dan pertemanan, tanpa melakukan identifikasi yang cukup memadai tentang berbagai situasi dan kondisi yang dialami perempuan. Pada beberapa kasus, pembentukan kelompok berhasil dilalui dengan baik, dan sudah berjalan. Konsekuensinya, daya ikat atau keterikatan sosial antar anggota sudah terbangun, demikian pula aturan main dalam kelompok. Meskipun demikian, perbedaan latar belakang bahkan ‘kelas sosial’ menjadi tantangan tersendiri. Artinya, diversitas sosial pengelola dan 66 penerima program, bahkan kondisi keluarga dan masyarakat mewarnai dinamika komunitas sekaligus organisasiasosiasi. Dalam konteks ini, adanya kontak bersama dan fokuskepentingan bersama, sebagaimana disebutkan Collins, belum cukup menjamin terbangunnya asosiasi horisontal. Menurutnya, perlu ada kesamaan kondisi emosi diantara pihak-pihak yang ada, serta representasi simbolik bersama. Dua hal terakhir tidak mudah diwujudkan dalam komunitas dengan ciri: 1 ada ketimpangan sumberdaya diantar pelaku interaksi, 2 densitas sosial relatif tinggi, 3 derajat diversitas sosial cukup tinggi. Dalam upaya mengatasi ini, Barus berupaya menjembataninya dengan membangun kegiatan ‘pengajian rutin’ dua bulan sekali. Hal ini cukup berhasil, karena organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh agama merupakan hal sentral dalam masyarakat Sasak. Keaktifan masyarakat ini menunjukkan semangat kolektif collective concience, dan sebaliknya semangat kolektif mencerminkan besaran ruang partisipasi masyarakat. Pada dasarnya, tahap ‘pembentukan kelompok’ merupakan pondasi dalam membangun asosiasi horisontal kelompok keanggotaan, mengingat asosiasi merupakan sumber trust dan ikatan sosial, melalui mana anggota membiasakan diri bekerjasama, mengembangkan solidaritas dan semangat publik Putnam, Leonardi dan Nanetti, 1996:36. Dalam konteks aksi kolektif, tampaknya figur ketua juga menjadi inisiator sekaligus motor penggerak. Latarbelakang ketua ikut berpengaruh. Pertanyaannya, apakah figur ketua merepresentasikan kelompokasosiasinya? Atau sebaliknya kelompokasosiasi direpresentasikan melalui figur ketuanya? Berkenaan dengan ini, gagasan Durkheim menjadi bagian signifikan, apakah semangat kolektif collective conscience menjadi basis berkembangnya ‘collective representation’, yang mengkondisikan perempuan beragam latar belakang melebur menjadi “kelompok tunggal’ single group Ritzer,1996. Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda utama gerakan feminisperempuan. Menurut Bambang Iswanto 2000, pada dasarnya kelangsungan dan kemandirian kelompok swadaya masyarakat KSM, dapat dibangun melalui lima tahap, yakni: 1 penggalian motivasi dan proses penyadaran, 2 pembentukan organisasi, 3 tahap konsolidasi dan stabilisasi organisasi, 4 pengembangan usaha produksi dan pemasaran, serta 5 tahap kemandirian. Berkenaan dengan tahapan tersebut, jika merefleksikan pada sejumlah program keuangan mikro KUBE, PEKKA, SPP-PNPM, dll tampaknya keterbatasan proses rekrutmen anggota, ditemukan sejak tahap ke-1, karena motivasi anggota kelompok hanya pada bantuan modal usaha. Dalam kelompok pun tidak dilakukan upaya yang sistimatis dan berkelanjutan untuk membangun kesadaran dan tanggungjawab, sekaligus kedisiplinan, serta kemandirian. Konsekuensinya derajat konsolidasi dan stabilisasi organisasi relatif rentan, kecuali ditopang oleh figur yang kuat. Merujuk pada tahapan yang dikemukakan Iswanto 2000, lemahnya tiga tahapan 67 di awal tentunya berkontribusi besar pada tahapan selanjutnya. Meski pada prinsipnya tidak berjalan linier, namun tahapan tersebut merupakan satu kesatuan. Contoh SPP Simpan Pinjam Perempuan, terkesan kelompok tidak diorganisasikan secara kuat dan bahkan pembentukan kelompok lebih diorientasikan pada kemudahan mendapatkan dan atau memperbesar bantuan modal usaha. Karenanya, ketika logika program dimaknai bahwa besar kredit yang disalurkan merupakan indikator capaian proyek kinerja pemberdayaan, sementara besaran kucuran kredit dipengaruhi oleh besaran kelompok, maka program lebih difokuskan pada upaya banyaknya kelompok yang dibentuk. Idealnya, proses awal pembentukan kelompok justru menjadi basis keberhasilan pengorganisasian sosial. Artinya, pengorganisasian sosial melalui kelompok, lebih terfokus dan termotivasi pada aspek ekonomi, khususnya pemberian dan pengembalian kredit. Dalam konteks ini pemampuan secara sosial kurang terefleksi, padahal pilar pembentukan kelompok merupakan dasar pemberdayaan secara sosial. Lemahnya pengorganisasian ini berbeda dengan praktek Grameen Bank, yang pembentukan kelompok dilakukan dengan kriteria ketat, yakni: beranggotakan 6 enam orang yang bukan kerabat dan seluruh anggota aktif dalam kegiatan. Keaktifan ini menjadi dasar penilaian atas kelayakan anggota mendapatkan bantuan. Melalui kelompok terbangun solidaritas dan aksi kolektif, yang juga menjadi prasyarat penerimaan bantuan kredit usaha. Dengan demikian ada aturan normatif yang menjadi acuan tindakan anggota, termasuk relasi antar anggota, dan diberlakukan relatif ketat. Berbeda dengan Indonesia, persyaratan dan mekanisme kurang memberdayakan perempuan sebagai individu maupun bagian dari kolektiva. Disinilah tanggungjawab sosial sekaligus moral selayaknya ditumbuhkan, meski relasi sosial dalam kelompok lebih bersifat fungsional ekonomi. Refleksi dari Ikasari yang melakukan studi pada program PPSW di Jakarta memperlihatkan bahwa dalam kelompok, anggota melakukan pertemuan rutin, saling belajar, bahkan saling mengembangkan solidaritas 2003:70. Selain itu anggota dapat melakukan simpan pinjam, pengembangan usaha kelompok, juga memberikan bantuan dan memobilisasi sumber daya seperti dana sehat, beasiswa, jimpitan dan arisan. Dari pengalaman berorganisasi, anggota belajar bekerja sama-sama, menjadi pemimpin, dan mengambil keputusan dalam berbagai kegiatan sosial dan produktif yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Namun demikian, pada banyak kasus pengorganisasian sosial lebih bersifat terbatas dan partisipasi anggotanya masih cenderung nominal. Hal ini terkait dengan lemahnya solidaritas yang terbangun dalam kelompok, bahkan dengan pihak-pihak luar. Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan latar historis pembentukan kelompok, termasuk tradisi berkelompok sense of organized. Penutup Upaya peningkatan partisipasi perempuan dan pemberdayaannya di bidang ekonomi, khususnya melalui pengembangan program usaha mikro dan atau bantuan kredit usaha mikro, sejak tahun ’90-an tampaknya menjadi model yang mengglobal, khususnya dalam upaya mengentaskan kemiskinan perempuan. Pada konteks Indonesia, upaya pengentasan atau penanggulangan kemiskinan pada dasarya sudah dilaksanakan beberapa dekade, melalui program pengembangan 68 usaha dan bantuan usahakredit mikro. Namun, realitas empirik di tingkat pemampuan perempuan secara ekonomi masih belum mencerminkan gagasan aksi Beijing yang telah digulirkan hampir 20 dua puluh tahun lalu. Keberdayaan secara sosial juga masih lemah, hal ini ditandai dengan bentuk partisipasi yang masih nominal, sedangkan agensi perempuan lebih berposisi sebagai agensi efektif belum sebagai agensi transformatif. Peran agensi lebih bersifat aktif, artinya meski mereka memiliki tujuan jelas namun belum mampu bekerja secara efektif Kabeer 2005. Di sisi lain, negara pemerintah lokal masih belum cukup berkomitmen pada pemberdayaan ekonomi perempuan baik secara substansial, institusional, bahkan kulturalnormatif. Salah satu indikatornya adalah lemahnya refleksi atas berbagai program pemberdayaan yang sudahtengah berjalan, sehingga terkesan sekedar melakukan replikasi reproduksi kebijakanprogram, dengan menempatkan perempuan dan usaha mikro-kecil sebagai komoditas pembangunan. Imbasnya pembelajaran perempuan atas program pemberdayaan masih terbatas, meski program P4K sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Faktor lain yang membatasi perempuan adalah nilai-nilai gender, yang di kedua kasus relatif masih diberlakukan dengan ketat. Kondisi inilah yang melatari pilihan perempuan sebagai agensi pasif di sebagian wilayah, meski ada juga yang menempatkan diri sebagai agensi aktif, bahkan efektif, namun belum ditemukan yang tergolong transformatif. Kalaupun ada asosiasi perempuan di tingkat desa, tampaknya belum berperan sebagai ‘sekolah pemberdayaan’, karena proses ber’sekolah’ cenderung berjalan secara alamiah. Fasilitasi program tidak optimal dan tidak diorientasikan pada penguatan kelompok secara sosial, karena hanya menekankan pada dimensi ekonominya, bukan sosial dan politiknya. Terbatas atau miskinnya fasilitasi berimplikasi pada lemahnya kapasitas individual maupun kelompok yang diberdayakan. Sementara di sisi lain, determinasi pada figur penggerak menunjukkan lemahnya kinerja pemberdayaan, karena jejaring yang terbangunpun bertumpu pada figurtokoh tersebut. Pada konteks fasilitasi inilah organisasi masyarakat sipil maupun organisasi basis selayaknya lebih berperan aktif, dan negara idealnya menfasilitasi dari aspek sumberdaya, termasuk kebijakan yang terpadu dan berkesinambungan. Berbagai temuan yang ada menunjukkan pentingnya kejelasan upaya pemberdayaan baik sebagai proses maupun kinerja, termasuk indikatornya. Setiowati yang melakukan studi terhadap program pemberdayaan masyarakat pesisir di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan belum optimalnya capaian tujuan program yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan partisipasi msyarakat terhadap lingkungan 2006: 185- 187. Ketidakoptimalan tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan tidak dirancang secara partisipatif, bahkan sinergis. Hal ini mencerminkan lemahnya modal sosial antar wargaanggota, khususnya jika menyangkut akses dan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang terbatas. Dengan demikian, temuan ini mengindikasikan replikasi program tidak diiringi upaya pembelajaran yang reflektif dari program-program sebelumnya. Pada dasarnya aksi reflektif merupakan salah satu prinsip pemberdayaan sebagai 69 proses sekaligus kinerja. Merujuk pada Dunst dkk, pemberdayaan sebagai kinerja tercermin dari kemampuan mengambil pesan pembelajaran melalui proses reflektif. Lemahnya modal sosial antar perempuan, juga menunjukkan keterbatasan pemberdayaan sebagai proses, yang didalamnya adalah aktivitaskegiatan yang dilakukan misalnya membangun relasi, mentoring, aksi reflektif, dukungan kolektif, dan lain- lain. Sebagai proses, pemberdayaan merefleksikan pengalaman, sejarah, dan dinamika upaya pemampuan kelompok dampingan. Karena itu, pemberdayaan perlu waktu panjang Cannan and Warren, 1997:109-110. Meski Konferensi Perempuan di Beijing, tahun 1995 sudah menegaskan perlunya: 1 merumuskan kebijakan ekonomi dan strategi pembangunan yang berpihak pada kelompok miskin, khususnya perempuan, 2 revisi hukum dan kebijakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dan meningkatnya akses perempuan atas sumberdaya ekonomi, 3 meningkatkan akses perempuan atas perbankan, tabunganinvestasi, mekanisme dan kelembagaan kredit, 4 mengembangkan riset dan monitoring atas sebab, dampak dan upaya mengatasi feminisasi kemiskinan dapat dikaitkan dengan tindak lanjut atas ratifikasi konvensi hak ekonomi, sosial, budaya. Namun, kondisi nyata berbagai persoalan berkait dengan pemberdayaan perempuan, baik dari aspek kinerja maupun proses, masih berkutat dengan isu-isu tersebut. Keberadaan program MAMPU yang saat ini tengah masif dikelola di berbagai wilayah, keberhasilannya dalam memampukan perempuan secara ekonomi, sosial dan politik, masih dalam rumusan ‘hipotetis’. ---------------------------------- Daftar Acuan Chafetz, Janet Saltzman. 1988. Feminist sociology: An Overview of Comtemporary Theories. Itasca-Illinois, F.E.Paecock Publishers.Inc. ----------------------------. 1989. Gender equality: Toward a theory of change. In Ruth Wallace Ed. Feminism and Sociological Theory. p.135-160. California: SAGE Publications, Inc. Hancock, Peter. 2001. Gender empowerment issues from West Java, in Susan Blackburn Ed, Love, sex, and power: Women in southeast asia h.75-88. Australia: Monash Asia Institute-Monash University Press Heyzer, Noeleen. 1994, Introduction: market, state and gender equity. In Heyzer, Noeleen and Gita Sen ed. Gender, economic growth, and poverty: market growth and state planning in Asia and the Pacific. p.3-27 The Netherlands: International Books in collaboration with Asian and Pacific Development Centre, Malaysia. Ife, Jim and Frank Tesoriero. 2006, Community development: Alternatif pengembangan masyarakat di era globalisasi, Satatrawan Manulang, Nurul Yakin, M.Nursyahid, penerjemah. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 70 Kabeer, Naila. 1994. Reversed realitis : gender hierarchies in development thought. London-New York: Verso. Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge. 1996. Contemporary feminist theory. In George Ritzer, Sociological theory. p.436-486. The McGraw-Hill Companies.Inc. Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge-Brantley. 2009. Teori feminis kontemporer. Dalam George Ritzer, Teori sosiologi. hal.487-536. Nurhadi, Penerjemah. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Parpart, Jane. 2002. Lessons from the field: rethinking empowerment, gender and development from a post-post-? development perspectives, in Feminist post-development thought: rethinking modernity, post-colonialism and representation. p.41-56. Edited by Kriemild Saunders, London: Zed Books Ltd. Putnam, Robert, and Robert Leonardi, Rafaella Nanetti. 1992. “Making democracy work : Tradition in modern Italy”, Princenton, NJ: Princenton University Press. Pristiwati, Yuni dan Sri Harjanti Widyastuti. 2003. Merajut perubahan: Sebuah catatan harian perempuan dalam pengelolaan program pemberdayaan perempuan. Klaten: Persepsi. Pickering, W.S.F, 1998. Representation as understood by Durkheim: an introductory sketch, in WSF Pickering ed. Durkheim and Representations: Routledge Studies in Social and Political Thought. p.19-31. London and New York: Routledge. Seidman, Steven. 1998. Contested knowledge: social theory in the postmodern era, 2nd edtion, USA: Blackewell Publisher Inc. Warren, Chris et all. 1997. Social action with children and families: A community development approach to child and family welfare, London: Routledge. Young, Kate. 1993. Planning development with women: Making a world of difference, London and Basingstoke: The Maxmilllan Press Ltd. Cornwall, Andrea. 2000. Making a difference : Gender and participatory development ”, IDS Discussion Paper 378. Institut of Development Studies, Isserles, Robin G. 2003, Microcredit: The rhetoric of empowerment, the reality of development as usual, Womens Studies Quarterly, The Feminist Press at the City University of New York . Kabeer, Naila. 2005. Gender equality and women’s empowerment: A critical analysis of the third millenium development goals. Gender and Development Vol.13. No.3. Maret. 71 Mohanty, Manoranjan. 1995. On the concept of empowerment, Economic and Political Weekly, June 17. Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the great divide: Coproduction, synergy, and development, World Development, Vol. 24. No.6. Woolcock, Michael. 1998. Social capital and economic development: toward a theoretical synthesis and policy framework. Theory and Society 27 2, page 151-208. SitusWeb Alejandro Portes and Patricia Landolt, “The Downside of Social Capital”, http:epn.orgprospect 2626-cnt2.html . Miller C. and Razavi S 1998 Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website http:www.undp.orggender http:www.worldbank.orgparticipation participation.htm http:www.undp.orggenderdocsmdgs-genderlens.pdf . 72 GERAKAN SOSIAL DUKUNG IBU MENYUSUI DI SUMATERA BARAT Novita Saseria Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas Email: novisaseriagmail.com Abstrak Penelitian ini mengenai gerakan sosial dukung ibu menyusui yang dikampanyekan oleh Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia AIMI Cabang Sumatera Barat. Hal ini menjadi perhatian dengan adanya temuan UNICEF terkait menurunnya tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia Pekan ASI Dunia, Agustus 2013. Di Provinsi Sumatera Barat masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi yang belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya dukungan untuk ibu menyusui dari lingkungan sekitar. Terhadap realitas tersebut penelitian ini mencoba menggunakan perspektif komunikasi untuk mengetahui bagaimana AIMI SUMBAR mengkampanyekan dukungan terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat dengan melibatkan media massa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan tekhnik pengumpulan data pengumpulan dokumen, wawancara dan observasi terlibat. Hasil penelitian menunjukkan AIMI SUMBAR memanfaatkan media massa dalam mengkampanyekan pemberian ASI di Sumatera Barat dan bertambahnya pengetahuan masyarakat terkait pemberian ASI. Teori norma budaya menjelaskan bahwa kampanye yang dilakukan AIMI SUMBAR dengan melibatkan media massa yang ada mampu mengubah perilaku khalayaknya. Sehingga misi menjadikan menyusui dimanapun dan kapanpun menjadi norma di masyarakat Sumatera Barat. Kata Kunci: Gerakan Sosial, ASI, AIMI, Media Massa Abstract The research is about social movements on supporting breastfeeding mothers who campaigned by the Indonesia Breastfeeding Mothers Association IBMA Branch of West Sumatra. It is become important as the findings of UNICEF, who stated rates of exclusive breastfeeding in Indonesia decreased World Breastfeeding Week, August 2013. In the West Sumatra Province, there are still 10,457 babies out of the total 33,623 babies who have not had the opportunity to breastfeed exclusively to their mother. One of the reasons is the lack of support for breastfeeding mothers from the surrounding environment. About the reality, the research tried to use communications perspective to discover how IBMA West Sumatra campaign of support for breastfeeding mothers in West Sumatra involving the mass media. This study uses qualitative method, with the techniques of data collection, interview and participant observation. The research showed that IBMA West Sumatra utilize the mass media in campaigning for breastfeeding and increasing public knowledge about breastfeeding. Cultural norms theory explains that the campaign conducted by IBMA West Sumatra involving the mass media is able to change the behavior of the audience. So that the aim to make breastfeeding wherever and whenever becoming the norm in the West Sumatra society can be reached. Keywords: Social Movements, Breastfeeding, IBMA, the Mass Media 73

1.PENDAHULUAN

“It takes a village to raise a child, but to support breasfeeding we need the whole country” ~anonymous~ Air Susu Ibu ASI penting diberikan kepada bayi semenjak hari pertama kehidupannya hingga berusia 2 tahun atau lebih. Pentingnya pemberian ASI karena banyaknya manfaat ASI bagi bayi dan ibu, bagi bayi manfaat ASI sebagai perlindungan optimal terhadap berbagai penyakit infeksi. Manfaat ASI terlihat hingga puluhan tahun. Penelitian menunjukkan orang dewasa muda yang saat bayi disusui memiliki resiko lebih rendah terhadap berbagai penyakit kronis. ASI dapat meningkatkan kecerdasan anak. ASI juga dapat meningkatkan perkembangan emosi, kepribadian dan percaya diri. Sedangkan bagi ibu, manfaat menyusui dapat mencegah pendarahan setalah persalinan dan resiko anemia, menunda kesuburan KB alami, mengecilkan rahim, mengurangi kemungkinan osteoporosis, rematik, diabetes mellitus, dan resiko kanker. Selain itu bagi keluarga ASI bermanfaat membantu perekonomian karena mengurangi biaya pembelian susu dan menghemat biaya pengobatan karena anak jarang sakit. Anak-anak yang mendapat ASI eksklusif 14 kali lebih mungkin untuk bertahan hidup dalam enam bulan pertama kehidupan dibandingkan anak yang tidak disusui. Mulai menyusui pada hari pertama setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian baru lahir hingga 45 persen. 2 Menurut Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta “Tidak ada intervensi kesehatan tunggal lainnya yang memiliki dampak setinggi ini untuk bayi dan ibu menyusui, dan dengan biaya yang sangat kecil bagi pemerintah, ASI adalah imunisasi pertama bayi dan penyelamat hidup yang paling efektif dan murah.” Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Millenium atau lebih dikenal dengan Millenium Development Goals MDGs sebagai tekad untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan, dijelaskan dalam Tujuan ke-4 yaitu menurunkan angka kematian anak. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Tingginya angka kematian bayi dan masalah gizi pada bayi dapat ditangani sejak awal dengan cara pemberian ASI. Menurut penelitian yang dilakukan oleh United Nation Children Fund UNICEF, risiko kematian bayi bisa berkurang sebanyak 22 dengan pemberian ASI Ekslusif dan menyusui sampai 2 tahun. Khusus untuk kematian neonatus dapat ditekan hingga 55 - 87 jika setiap bayi lahir dilakukan Inisiasi Menyusu Dini IMD dan diberikan ASI Eksklusif. Selain itu kasus kurang gizi pada anak di bawah usia dua tahun juga dapat diatasi melalui pemberian ASI Eksklusif. Semua bayi perlu mendapat ASI untuk mengatasi masalah gizi dan mencegah penyakit infeksi. 3 Selanjutnya, hasil penelitian John D. Benson, Ph.D., dan Mark L. Masor, Ph.D., dalam jurnal medik Endocrine Regulations terbitan Maret 1994 menyebutkan bahwa ASI mengandung sel-sel hidup, DNA ibu, hormon, enzim-enzim aktif, berbagai macam immunoglobulin, faktor-faktor pertumbuhan serta zat-zat lainnya yang memiliki komponen struktur yang unik. Zat-zat inilah yang sangat dibutuhkan bayi di hari-hari pertama kelahirannya. Komponen struktur yang unik tersebut mustahil untuk dapat ditiru oleh formula. Pernyataan dua peneliti ini cukup menarik perhatian karena John dan Mark adalah peneliti pada perusahaan produsen susu formula Abbot Labs. Douglas College Breastfeeding Course for Health Care Providers sebagai salah satu program penelitian ilmiah yang fokus terhadap ilmu laktasi telah menghasilkan 2 http:www.unicef.orgindonesiaidmedia_21270.html 3 Yulien Adam dkk, determinan pemberian asi ekslusif di wilayah puskesmas Telaga biru dan puskesmas mongolato Kabupaten gorontalo provinsi gorontalo Tahun 2012, Jurnal Unhas. http:pasca.unhas.ac.idjurnalfilesd0816d1d5f891249ac679ff93b0741ba.pdf 74 berbagai penelitian seperti teori laktasi, informasi konseling laktasi dan observasi kegiatan menyusui. Salah satu hasil penelitian breastfeeding course ini yaitu perbandingan kandungan nutrisi ASI dengan kandungan nutrisi susu formula. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat dalam tabel. Sumber : http:themilkmeg.comingredients-in-breastmilk-versus-artificial-breastmilk- formula Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan ASI yang dapat memenuhi kebutuhan bayi mulai dari air, protein, non protein, lemak, vitamin, mineral, zat-zat untuk pertumbuhan, enzim baik dan anti bakteri empat sampai lima kali lipat lebih banyak dari kandungan yang terdapat dalam susu formula. Bahkan, penelitian lain menyebutkan kandungan di dalam ASI masih mungkin bertambah dari data diatas. Hanya saja, informasi kandungan ASI ini belum dapat menyentuh masyarakat seperti informasi kandungan susu formula yang lebih mudah diakses di berbagai media dan tempat. Jika saja, peraturan pemasaran susu formula dapat diatur oleh pemerintah sehingga akses informasi ini berimbang, kampanye pemberian ASI dapat lebih mudah dilakukan. Dengan banyaknya manfaat ASI, dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak, UNICEF dan World Health Organization WHO merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui ASI selama paling sedikit 6 bulan. Makanan padat seharusnya diberikan sesudah anak berumur 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun 4 . Melalui pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dapat 4 Pusat Data informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. 2014 75 menjamin kecukupan gizi bayi serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh pemerintah republik Indonesia yakni pada tahun 2003, pemerintah Indonesia mengubah rekomendasi lamanya pemberian ASI eksklusif dari 4 bulan menjadi 6 bulan dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 450menkesSKIV2004 Tentang Pemberian Air Susu Ibu ASI Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. Pusat media UNICEF Indonesia menyatakan tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia menurun Pekan ASI dunia, Agustus 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2013 dari 2.483.485 bayi usia 0-6 bulan, sebanyak 1.348.532 bayi atau sekitar 54,3 dari total bayi. Maka, sebanyak 1.134. 953 bayi tidak mendapatkan kesempatan mendapatkan asi eksklusif. Kenyataan rendahnya pemberian ASI Eksklusif oleh ibu menyusui di Indonesia disebabkan oleh dua faktor yaitu, pertama, faktor internal meliputi rendahnya pengetahuan serta sikap ibu tentang kesehatan secara umum dan ASI eksklusif secara khusus. Kedua, faktor eksternal, yang meliputi kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, petugas kesehatan maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan terhadap pemberian ASI eksklusif, gencarnya promosi susu formula, adanya faktor sosial budaya serta kurangnya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan ibu dan anak. Menyadari bahwa pencapaian tujuan dan target MDGs bukanlah semata-mata tugas pemerintah, tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa, sekumpulan ibu-ibu yang paham akan hal ini membentuk sebuah komunitas yang diberi nama Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia AIMI. AIMI merupakan wujud gerakan sosial dukung ibu menyusui di Indonesia. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu Turner Killian, 1972. Sedangkan menurut Giddens 1993, gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Dari dua pengertian menurut para ahli diatas maka AIMI yang memiliki 15 cabang yang tersebar di Indonesia bergerak secara kolektif untuk mendorong tercapainya target Tujuan Pembangunan Millenium sebagai salah satu komponen bangsa diluar pemerintah. Dalam gerakannya, AIMI fokus dalam memberikan informasi dan sosialisasi mengenai pentingnya ASI. AIMI sebagai organisasi nirlaba non-pemerintah yang tidak memiliki dana dan anggaran tetap dalam mencapai tujuannya memiliki tantangan yang cukup sulit. Selain dana yang terbatas dan bersifat swadaya, gerakan ini bersaing dengan sebaran informasi dari fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak pro-ASI, gencarnya promosi susu formula dan minimnya perlindungan hukum terhadap hak ibu dan bayi mendapatkan ASI. Dari tahun ke tahun, gerakan ini semakin mendapatkan ruangnya, mulai dari berbagai kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi dan publikasi, membentuk cabang di berbagai daerah di Indonesia sampai dengan bergabung bersama LSM dan NGO nasional dan internasional membentuk Koalisi Advokasi ASI Indonesia yang menerbitkan regulasi di bidang menyusui. Cabang-cabang AIMI se-Indonesia telah menginspirasi sekumpulan wanita di Sumatera Barat untuk membentuk cabang AIMI Sumatera Barat, karena tidak jauh berbeda dengan permasalahan di berbagai daerah, cakupan pemberian ASI di provinsi Sumatera Barat belum mencapai target. Masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi menurut data riskesdas yang belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya di Provinsi Sumatera Barat. Pada 14 Juni 2015, AIMI Cabang Sumatera Barat AIMI SUMBAR diresmikan di Padang. Dalam gerakannya AIMI SUMBAR juga memiliki kendala yang kurang lebih 76 sama yaitu dana swadaya dan menghadapi sebaran misinformasi terkait ASI. Mitos yang berkembang dan dukungan yang minim di masyarakat menjadi tantangan. Terhadap realitas tersebut penelitian ini mencoba menggunakan perspektif komunikasi untuk mengetahui bagaimana AIMI SUMBAR mengkampanyekan dukungan terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat? Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana gerakan AIMI SUMBAR dalam mengkampanyekan dukungan terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana organisasi nirlaba bergerak mendorong perubahan dalam masyarakat dan dapat mendorong organisasi nirlaba lainnya melakukan hal serupa. 2.TINJAUAN PUSTAKA Gerakan Sosial dan AIMI Gerakan sosial adalah tindakan kolektif untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu Turner Killian, 1972. Sedangkan menurut Giddens 1993, gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Gerakan wanita sebagai salah satu bentuk gerakan sosial hendaknya mampu mendorong perubahan dalam masyarakat. Gerakan wanita di Indonesia tercatat menjelang akhir abad ke-19. Tokoh wanita pada jaman itu adalah Kartini. Kartini pernah menulis: “Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral dalam masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak atau boleh diatakan terbanyak untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya. Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannya lah seorang anak pertama-tama belajar, merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh kehidupan anak” “Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kabaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu” Perkumpulan wanita ketika itu sangat erat hubungannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia di berbagai bidang dengan tujuan khusus yaitu memajukan kerjasama untuk kemajuan wanita. Perkumpulan tersebut bergerak terutama di bidang pendidikan, disamping keterampilan lainnya seperti memasak dan menjahit. Selain itu ada juga perkumpulan yang bersifat keagamaan. Menjelang tahun 1928 perkumpulan wanita berkembang semakin pesat. Ruang lingkup dan cara perjuangan perkumpulan- perkumpulan tersebut beraneka ragam. Ada yang menganut paham nasionalisme, ada yang berhaluan politik dan ada yang tidak mencampuri urusan politik sama sekali 5 . Bentuknya pun beraneka ragam mulai dari perkumpulan keluarga saja, yang sekarang dikenal dengan perkumpulan arisan, sampai dengan yang memiliki tujuan yang konkret, inilah yang sekarang dikenal dengan organisasi wanita. Perkumpulan wanita pada awal abad ke-20 ini mulai tersebar di Pulau Jawa, Jakarta, Semarang, Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya, Rembang, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Ciamis, Cicurug, Kuningan, Sukabumi, Magelang, Pemalang, Tegal, Jogjakarta, Garut. Kemudian semakin berkembang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. 5 GA Ohorella dkk, Peranan wanita Indonesia dalam masa pergerakan nasional, 1992, Direktorat Jenderal Kebudayaan 77 Di Sumatera Barat, pada tahu n 1914, berdiri perkumpulan “Kerajinan Amai Setia” di Koto Gadang. Dengan tujuan meningkatkan derajat kaum wanita dengan mengajarkan baca-tulis huruf Arab dan Latin, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan tangan, bahkan mengatur pemasarannya. Kerajinan Amai Setia mendirikan sekolah yang merupakan sekolah pertama untuk anak perempuan di Sumatera. Sekolah yang diprakarsai Kerajinan Amai Setia ini mempengaruhi gerakan wanita di Sumatera Barat. Pada tahun 1922 Dinniyah Putri School didirikan. Sampai dengan saat ini, Dinniyah Putri School masih menjadi salah satu tempat pendidikan yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berprestasi di berbagai bidang. Saat ini perkumpulan atau organisasi wanita sudah tidak dapat dihitung lagi jumlahnya. Perkumpulan wanita semakin berani, tegas dan terbuka. Mengikuti perkembangan teknologi dan bergerak semakin luas. Perkumpulan ini memiliki misi masing-masing dan bergerak secara kolektif. Gerakan ini sudah makin terorganisir dan bahkan telah banyak yang berbentuk organisasi yang berbadan hukum. Gerakan sosial dimana orang-orang yang berkumpul didalamnya saling terkait lebih mungkin terorganisir daripada persatuan yang dibentuk. Organisasi gerakan sosial adalah sebuah organisasi yang kompleks atau formal yang mengidentifikasi tujuannya beserta pilihannya dalam sebuah gerakan sosial atau berlawanan dengan sebuah gerakan dan mencoba untuk mengimplementasikan tujuan-tujuannya Mc Carthy, 2015. AIMI merupakan sebuah organisasi dalam sebuah gerakan sosial dukung ibu menyusui di Indonesia. AIMI terbentuk pada tanggal 21 April 2007 di Jakarta. Berawal dari kepedulian beberapa ibu mengenai pentingnya pemberian Air Susu Ibu ASI untuk bayi. Komunitas ini dilatarbelakangi karena melihat dukungan untuk ibu yang memberikan ASI kepada bayinya dirasakan kurang, baik perhatian dan dukungan dari pemerintah, masyarakat umum dan instansi swasta. Selain itu upaya sosialisasi mengenai pentingnya ASI bagi kesehatan dan imunitas bayi serta penyebaran informasi mengenai ASI dinilai masih sangat kurang. Kondisi ini diperparah pula dengan belum adanya dukungan kepada keluarga Indonesia, terutama ibu-ibu untuk mendapatkan akses informasi selengkap mungkin mengenai ASI baik dari rumah sakit tempat melahirkan dan tenaga kesehatan. AIMI memiliki visi, pertama, menaikkan persentase angka ibu-ibu menyusui di Indonesia. Kedua, menaikkan prosentase bayi yang diberikan ASI eksklusif di Indonesia. Ketiga, agar setiap ibu di Indonesia memiliki bekal pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai pentingnya pemberian ASI kepada bayi mereka. Keempat, agar setiap ibu di Indonesia mendapatkan dukungan penuh untuk menyusui bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan meneruskannya sampai 2 tahun atau lebih. Kelima, agar Pemerintah, perusahaan-perusahaan dan pihak ketiga lainnya sadar akan pentingnya ASI dengan mendukung penuh pemberian ASI kepada bayi-bayi di Indonesia. Keenam, agar masyarakat luas mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang ASI, dan memberikan dukungan dalam rangka mensukseskan pemberian ASI bagi bayi-bayi Indonesia. Sedangkan visi AIMI, pertama, memberikan informasi, pengetahuan dan dukungan bagi para ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan meneruskannya sampai 2 tahun atau lebih. Kedua, memberikan masukan untuk pemerintahan, perusahaan dan instansi swasta agar mereka mengetahui pentingnya pemberian ASI, dengan tujuan agar pihak-pihak tersebut dapat memberikan dukungan bagi suksesnya pemberian ASI. Ketiga, memberikan pendidikan kepada lingkungan masyarakat akan pentingnya ASI dengan terus-menerus memberikan pengetahuan dan informasi 78 terkini mengenai ASI. Keempat, mensosialisasikan risiko pemberian susu formula kepada bayi yang berusia kurang dari 2 tahun. 6 Berawal dari dua ruang maya, www.asyforbaby.blogspot.com dan milis asyforbaby sekarang aimi-asiyahoogroups.com. Pada tahun 2006, milis merupakan salah satu media komunikasi yang cukup punya pengaruh penting. Media ini dipilih karena para penggunanya merasakan kenyamanan bersosialisasi untuk berbagi hal yang sama. Berbagi informasi dan dukungan positif dari lingkungan sekitar agar seorang bayi bisa mendapatkan haknya yaitu ASI dan sang ibu bisamendapatkan kesempatan menyusui dimanapun dan kapanpun. 7 Blog menjadi sebuah forum komunikasi bagi siapapun yang membutuhkan dan anggota milis terus bertambah. Pertumbuhan tersebut mendorong anggota milis untuk saling bertatap muka. Pertemuan ini melahirkan banyak ide dan wacana. Akhirnya pada tanggal 21 April 2007, bertempat di Jakarta Selatan, sebuah pertemuan menghasilkan deklarasi berdirinya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia. AIMI semakin memiliki eksistensi dengan hadir di beberapa kegiatan baik nasional maupun internasional dari tahun 2007 sampai dengan 2016 antara lain kegiatan di istana negara bersama Duta ASI ibu Ani Yuhoyono, training dan seminar bersama NGO internasional IBFAN, UNICEF dll, mengikuti One Asia Breastfeeding Partners Forum, advokasi dengan pemerintah dan terlibat dalam penyusunan peraturan terkait ASI, turun ke daerah bencana, dan kegiatan lainnya. Sampai dengan tahun 2016, AIMI telah memiliki 15 cabang di seluruh Indonesia dan menerbitkan beberapa buku yang ditulis oleh pengurusnya. Air Susu Ibu ASI ASI menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada Pasal 1 ayat 1 adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu. Menurut Wikipedia ASI adalah susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat. ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolaktin dan oksitosin setelah kelahiran bayi. ASI pertama yang keluar disebut kolostrum yang baik untuk pertahanan tubuh bayi melawan penyakit. Berbagai kajian dalam dua dekade terakhir makin mmperlihatkan bahwa ASI adalah nutrisi terlengkap dan terbaik.Nilai nutrisi ASI lebih besar dibandingkan susu formula, karena mengandung lemak, karbohidrat, protein dan air dalam jumlah yang tepat untuk pencernaan, perkembangan otak dan pertumbuhan bayi. Kandungan nutrisinya yang unik menyebabkan ASI memiliki keunggulan yang tidak dapat ditiru oleh susu formula manapun. Susu sapi mengandung jenis protein yang berbeda yang mungkin baik untuk anak sapi, tetapi bayi manusia sulit mencernanya. Bayi yang mendapat susu formula mungkin saja lebih gemuk dibanding bayi yang mendapat ASI, tetapi belum tentu lebih sehat 8 . 24 jam setelah ibu melahirkan adalah saat yang penting untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Bayi dianjurkan disusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI, idealnya selama 2 tahun pertama kehidupan. Kolostrum yang keluar beberapa jam pertama kehidupan berfungsi melapisi saluran cerna agar kuman tidak dapat masuk ke dalam aliran 6 http:aimi-asi.orgabout 7 Adenita, Breastfriends Inspirasi 22, 2013, Buah Hati. Tangerang, hal 25 8 Ikatan Dokter Anak Indonesia, Indonesia Menyusui, Badan Penerbit IDAI, 2010, hal 1 79 darah dan akan melindungi bayi sampai sistem imunnya sistem kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Banyak penelitian yang menilai pengaruh jangka pendek dan panjang dari menyusui terhadap kesehatan bayi dan anak. Menyusu eksklusif selama 6 bulan terbukti memberikan risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi. Menyusu dapat berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak. Anak yang disusui mempunyai intelegensia dan emosi yang lebih matang yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya di masyarakat. Menyusui juga memberi keuntungan untuk ibu karena praktis dan meningkatkan kadar antibodi dalam darah sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi setelah melahirkan, mengurangi pendarahan post partum, mengurangi resiko kanker payudara, kanker ovarium dan osteoporosis. Tidak hanya bagi ibu dan bayi, menyusui juga memberikan keuntungan bagi keluarga, sistem pelayanan kesehatan, pemberi kerja dan negara secara keseluruhan. Keluarga dapat karena tidak perlu membeli susu formula. Bayi jarang sakit, sehingga lebih jarang berobat ke dokter dan rawat inap sehingga dapat menurunkan anggaran negara. Menyusui memiliki cukup banyak tantangan, misalnya dukungan dari lingkungan sekitar dan tempat bekerja. Ibu menyusui yang bekerja membutuhkan lingkungan yang bersih, suasana yang nyaman, jadwal kerja yang fleksibel. Idealnya, fasilitas perawatan bayi disediakan di tempat kerja. Apabila tempat bekerja tidak memiliki program menyusui, ibu harus meminta kepada atasannya untuk merancang kebutuhan tersebut. Hal ini telah diatur oleh Perauran Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Asi Eksklusif pasal 30 ayat 3 yaitu pengurus tempat kerja dan penyelenggaran tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui danatau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan. Selanjutnya dalam Pasal 34 pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan asi eksklusif kepada bayi atau memerah asi selama waktu kerja di tempat kerja. Secara keseluruhan proses menyusui melibatkan 4 faktor yaitu, bayi, payudara, ASI dan otak ibu. Kita seringkali meremehkan peran otak ibu dalam proses menyusui Badriul Hegar, 2010. Perasaan depresi, marah dan nyeri harus dihindarkan saat menyusui karena dapat menghambat produksi ASI. Karena itu dukungan dari lingkungan sekitar sangat mempengaruhi keberhasilan menyusui. Menyusui sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Para ahli sejarah menemukan bukti-buki tentang menyusui. Di Peru, ditemukan sebuah artefak keramik tanah liat berbentuk ibu menyusui yang berasal dari kebudayaan Monche 1-800SM. Di India karya Brahmana menuliskan para wanita india menyusui sejak abad ke-2 menyusui anak- anaknya. Di agama Hindu, Dewi Parvati, digambarkan sedang menyusui putranya dewa pengetahuan dan kecerdasan, Ganesha. Adenita, inspirasi 22 Media Massa dan Teori Norma dan Budaya Media massa adalah alat yang digunakan untuk mengirim pesan ke khalayak besar. Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya MC.Quail.2005:3. Media massa membantu memperbanyak, menduplikasi atau memperkuat pesan untuk disebarkan ke khalayak yang lebih besar 9 . Fungsi dari media massa adalah Mc.Quail. 1994:70: 10 1. Informasi, menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia Menunjukkan, hubungan kekuasaan, Memudahkan inovasi adaptasi dan kemajuan. 9 Brent D Ruben, dkk, Komunikasi dan Perilaku Manusia, PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hal 209 10 http:www.landasanteori.com201510pengertian-media-massa-definisi-fungsi.html 80 2. Korelasi, menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi, menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan, melakukan sosialisasi, mengkoordinasikan ngbeberapa kegiatan, membentuk kesepakatan dan menentukan urutan prioritas. 3. Kesinambungan, mengekspresikan budaya dominant dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus subculture serta perkembangan budaya baru, meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan, menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi, meredakan ketegangan sosial. 5. Mobilisasi, mengkampenyakan tujuan masyarakat dalam bidang politik, pembangunan, ekonomi, pekerjaan dan agama. Media massa dapat dibagi menjadi 3 kelompok : 1. Media Massa Cetak Media massa yang dicetak dalam lembaran kertas. 2. Media Massa Elektronik Media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan suara dengan menggunakan teknologi elektro. 3. Media Online Online Media, Cybermedia, yakni media massa yang dapat kita temukan di internet situs web. Media cetak adalah suatu media statis yang mengutamakan fungsinya sebagai media penyampaian informasi. Maka media cetak terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau dalam tata warna dan halaman putih, dengan fungsi utama untuk memberikan informasi atau menghibur. Media cetak juga adalah suatu dokumen atas segala hal yang dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-kata, gambar, foto, dan sebagainya Ardianto Lukiati , 2004: 99. Media cetak seperti koran, tabloid, majalah, buku dan bulletin. Media elektronik merupakan media komunikasi atau media massa yang menggunakan alat-alat elektronik mekanis, media elektronik kini terdiri dari Muda, 2005: 4 radio, film dan televisi. Media online muncul dikenal juga sebagai media baru. Media baru muncul di hampir semua aspek kegiatan sosial dan professional kontemporer. Fenomena tersebut terbukti saat ini pengguna internet bertambah dari tahun ke tahun. Membentuk teori-teori baru dalam komunikasi massa dan media. Penelitian-penelitian satu dekade terakhir dikembangkan dalam memahami sistem media baru. Pengguna internet di Indonesia pun mengalami kenaikan yang cukup pesat. Dampak media baru telah dan akan berhasil membentuk gerakan sosial yang baru. Gerakan sosial pada umumnya memiliki empat elemen yaitu jaringan organisasi, identitas kolektif bersama, memobilisasi masyarakat untuk bergabung dengan cara yang tidak konvesional dan dalam rangka mencapai suatu tujuan sosial Peter:2005. Elemen-elemen telah dimiliki AIMI sebagai oragnisasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan berafiliasi dengan organisasi internasional mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendukung ibu menyusui agar tercapai target MDGs. Teori Norma Budaya atau The Cultural Norms Theory dari Melvin L DeFleur menjelaskan bahwa media massa secara selektif menyajikan dan menekankan ide-ide, nilai-nilai atau norma-norma dengan memperkuat atau mengubahnya 11 . Teori ini memiliki hakikat bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema tertentu, menciptakan kesan pada khalayak di mana norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara tertentu. 11 https:ethicsinpr.wikispaces.comCultural+norms 81 Norma adalah suatu patokan dalam berperilaku yang memungkinkan seseorang menentukan apakah tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain yang juga merupakan ciri bagi orang lain untuk menolak atau mendukung dari perilakunya Robert M. Z. Lawang 12 . Norma dapat berupa aturan yang mengatur perilaku dalam situasi tertentu di masyarakat. Menurut teori norma budaya media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru mengenai hal -hal di mana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman sebelumnya. 3.METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif. Menurut Afrizal 2014, kualitatif didefinisikan sebagai metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata lisan maupun tulisan dan perbuatan-perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah diperoleh dan demikian tidak menganalisis angka-angka. Teknik pengumpulan data dengan pengumpulan dokumen, wawancara dan observasi terlibat. Observasi partisipan yaitu peneliti ikut berpartisipasi sebagai anggota kelompok yang diteliti. 13 . Peneliti menjadi bagian dan diterima menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang diteliti. Peneliti melakukan hal-hal yang mereka lakukan dengan cara mereka. Analisis data mulai dilakukan dari tahap pengumpulan data sampai tahap penulisan laporan, yaitu analisis berkelanjutan ongoing analysyis. 14

4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Menurunnya tingkat pemberian ASI Eksklusif di Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi harus disadari sebagai tanggung jawab bersama seluruh lini dan lapisan masyarakat. Menyadari setiap orang dapat mendukung dan dukungan setiap orang penting maka sekumpulan wanita melakukan sebuah gerakan. “Jangan pernah meremehkan kekuatan dari kumpul-kumpul. Karena disinilah tersimpan energi besar dan limpahan ide untuk melakukan hal besar secara bersama-sama. Ketika waktu begitu sempit untuk bertemu, bukan berarti kumpul-kumpul tidak bisa dilakukan melalui media yang berbeda, mailing list”. 15 Beginilah awal perkumpulan wanita yang bergerak bersama ini terbentuk. Mailing list milis tersebut merupakan wadah diskusi terkait permasalahan sekitar ASI dan mencari solusi yang relevan bersama-sama. Dukungan secara moril disampaikan, berbagi pengalaman membuat mereka merasa berada di tempat yang nyaman. Tanpa sadar, ruang maya membuat ikatan yang emosional diantara mereka. Milis ini semakin berkembang dan memberi ide untuk bertemu tatap muka sesama anggotanya. Pertemuan tersebut melahirkan banyak ide dan wacana. Semangat dari dan untuk ibu menyusui ini melahirkan sebuah gerakan. Gerakan yang kemudian melahirkan organisasi, AIMI. Organisasi nirlaba diluar pemerintah sebagai bentuk tindakan kolektif untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat terkait pentingnya ASI dan ancaman gagal menyusui. Sampai dengan tahu 2016 eksistensi AIMI semakin diakui, aktivitas dalam melindungi, mempromosikan dan mendukung kegiatan menyusui terlihat dari berbagai daerah sampai dunian internasional. Bahkan membentuk Koalisi Advokasi ASI yang beranggotakan AIMI, WHO, MERCY CORPS, SELASI, PERINASIA, HKI, KAKAK, Klasi-YOP, IBCLC Indonesia, dan YLKI. Koalisi ini terbentuk karena belum banyak pihak yang memahami tentang keunggulan menyusui dan pemberian ASI pada 12 http:www.seputarpengetahuan.com20151115-pengertian-norma-menurut-para-ahli-terlengkap.html 13 Rachmat Kriyantono, 2006, Teknik Praktik Riset komunikasi, Kencana, Jakarta 14 Afrizal, 2014, Metode Penelitian Kualitatif, PT Rajagrafindo Persada, Depok. 15 Adenita, Breastfriends Inspirasi 22, 2013, Buah Hati, hal 25 82 bayi. Belum bayak pula yang mengetahui resiko dari pemakaian susu formula dan bahwa terdapatnya peraturan yang mengatur pemasaran dari produk-produk pengganti ASI. AIMI merupakan wujud dukungan masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dalam BAB VI tentang Dukungan Masyarakat Pasal 37 ayat 1 Masyarakat harus mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif baik secara perorangan, kelompok, maupun organisasi. Ayat 2 Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan melalui: a. pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan penentuan kebijakan danatau pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif; b. penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas terkait dengan pemberian ASI Eksklusif; c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif; danatau d. penyediaan waktu dan tempat bagi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang tersedia. Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan dengan berpedoman pada 10 sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui untuk masyarakat, yaitu: a. meminta hak untuk mendapatkan pelayanan inisiasi menyusu dini ketika persalinan; b. meminta hak untuk tidak memberikan asupan apapun selain ASI kepada Bayi baru lahir; c. meminta hak untuk Bayi tidak ditempatkan terpisah dari ibunya; d. melaporkan pelanggaran-pelanggaran kode etik pemasaran pengganti ASI; e. mendukung ibu menyusui dengan membuat Tempat Kerja yang memiliki fasilitas ruang menyusui; f. menciptakan kesempatan agar ibu dapat memerah ASI danatau menyusui Bayinya di Tempat Kerja; g. mendukung ibu untuk memberikan ASI kapanpun dan dimanapun; h. menghormati ibu menyusui di tempat umum; i. memantau pemberian ASI di lingkungan sekitarnya; dan j. memilih Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan 10 sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui. Laporan Worlds Breastfeeding Trends Initiative WBTi 2012, angka menyusui Indonesia rangking 49 dari 51 negara. 83 Sumber : http:www.worldbreastfeedingtrends.org Di Provinsi Sumatera Barat masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi yang belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya atau sebesar 68,8. Walaupun angka ini relatif lebih baik dari daerah lain di Indonesia tetapi sebanyak 10.457 bayi masih perlu diperjuangkan haknya. Data lain menyebutkan durasi menyusui semakin bertambah usia bayi semakin pendek. Sementara rekomendasi WHO menyusui dilanjutkan sampai dengan bayi berusia 2 tahun. Tentu saja kekhawatiran para aktivis ASI banyak bayi atau anak berusia diatas 1 tahun yang belum genap berusia 2 tahun belum mendapatkan asupan yang sesuai dengan standar WHO. AIMI SUMBAR menjadi cabang ke 14 di Indonesia, dimulai dengan dibentuknya kelompok pendukung ASI tahun 2013, AIMI SUMBAR diresmikan tahun 2015. Peresmian ini dihadiri oleh Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan Ibu Walikota Padang. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri telah menerbitkan Peraturan Daerah No 14 Tahun 2015 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Pemerintah Kota Padang sedang menyusun Rancangan Perda. Setelah hampir setahun diresmikan, AIMI SUMBAR melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan rutin berupa Kelas Edukasi Menyusui sebagai upaya sosialisasi dan perayaan peringatan ASI baik di tingkat nasional maupun internasional. Kendala yang dihadapi dalam setiap kegiatan hampir sama dengan cabang-cabang lain di daerah yang tersebar di Indonesia. Donatur tetap serta negatif list sponsor untuk kegiatan membuat organisasi ini memiliki keterbatasan dalam mengkampanyekan ASI di Sumatera Barat. Sehingga para penggiat AIMI SUMBAR harus menemukan cara untuk mengkampanyekan visi dan misinya. Media massa adalah sarana yang dipilih untuk mengkampanyekan visi dan misi tersebut. “It has already been noted that social movements depend on the media to get their message across ”. Media massa memainkan peran sebagai arena utama untuk mengekspresikan opini publik dan pembentukan opini publik. AIMI SUMBAR memanfaatkan semua jenis media online yang ada yaitu media cetak, media elektronik dan media online. Selama shampir satu tahun kampanye ASI di Sumatera Barat, AIMI SUMBAR telah muncul di beberapa media antara lain: 1. Media Cetak 84 85 86 2. Media Elektronik a. Radio 87 88 b. Televisi 89 Metro TV 90 3. Media online 91 Selain pemberitaa tersebut diatas AIMI SUMBAR berkerjasama dengan RRI Padang sebagai radio yang menjangkau berbagai kalangan. Program dua migguan “Beranda Perempuan” diisi oleh narasumber dari AIMI SUMBAR. Hasil wawancara dengan RRI Padang, kerjasama dengan AIMI SUMBAR tidak dikenakan biaya karena dalam rangka mendukung program pemerintah dalam menyukseskan program ASI Eksklusif. Sejauh ini, hasil kerjasama dengan AIMI SUMBAR memberikan tanggapan yang beragam dari masyarakat dan pihak RRI antusias dan mendukung gerakan wanita ini. Salah satu materi sebagai hasil kerjasama ini adalah: 92 Untuk menyampaikan isu pesan yang berlawanan di masyarakat, teknologi memfasilitasi hal ini dengan pemanfaatan internet Porta:2006. Karena keterbatasan dana, AIMI SUMBAR memulai gerakannya menggunakan media internet sebagai media yang paling mudah dan murah saat ini. Sumber : Profil Pengguna Internet Indonesia 2014 Pengguna internet di Indonesia menurut Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia PUSKAKOM UI bekerjasama dengan Asosiasi Penyeleggara Jasa Internet Indonesia APJII dalam Profil Pengguna Internet Indonesia 2014 mengungkapkan pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta dari 250jutaan jumlah penduduk Indonesia. 16 Yang dilakukan kebanyakan orang saat terkoneksi ke internet adalah menggunakan jejaring sosial sebanyak 87,4. Dan mayoritas pengguna internet adalah kaum wanita yaitu sebanyak 51. Usia pengguna internet terbanyak 26-45 tahun sebanyak 16 Puskakom UI, Profil Pengguna Internet Indonesia 2014, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 93 48.4. 84 pengguna internet menggunakan internet sekali sehari atau lebih. www.puskakomui.or.id . Sebanyak 87.8 pengguna internet di Sumatera menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Di Sumatera Barat, sebanyak 1,8 juta menggunakan internet atau sebesar 35. pengguna internet 43 berjenis kelamin wanita. 94 Sumber : Profil Pengguna Internet Indonesia 2014 Facebook sebagai media yang menyentuh segala lapisan pada saat ini menjadi sasaran. Seiring perjalanannya akun media lain juga dibuat seperti twitter, instagram dan telegram. Hal ini sesuai dengan temuan Puskakom UI sebanyak 87.8 pengguna internet di Sumatera menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Di Sumatera Barat, sebanyak 1,8 juta menggunakan internet atau sebesar 35. Pengguna internet 43 berjenis kelamin wanita Akun facebook menjadi andalan sebagai wadah menyampaikan informasi. Sampai dengan bulan April 2016 akun facebook AIMI SUMBAR memiliki 1.423 teman. Grup facebook sebagai wadah konsultasi memiliki 617 orang anggota. Grup sebelumnya berjumlah lebih dari 2.000 anggota, hanya saja karena ketentuan untuk membuat akun media yang baru yang sesuai dengan rules AIMI, maka grup ini mulai dibentuk kembali setelah resmi menjadi cabang. Selain itu terdapat 110 penyuka fanpage AIMI SUMBAR Shop sebagai wadah jual beli seputar perlengkapan ASI dan kebutuhan lainnya. Fanpage ini juga bertujuan sebagai lahan mencari dana untuk keperluan organisasi. Selain facebook, twitter dengan 117 follower, Instagram dengan 290 follower dan yang baru dibuat sejak bulan Maret Maret 2016 telegram dengan 32 member. Semua akun 95 media sosial dibuat dengan tujuan mendapatkan perhatian masyarakat di berbagai ruang media yang ada di era web saat ini. Pada bulan April 2016, AIMI SUMBAR membuka kesempatan bagi warga provinsi Sumatera Barat untuk ikut menjadi bagian dari pengurus AIMI. Penerimaan calon pengurus ini dengan cara mendaftar secara online. Ditemukan peminatnya berjumlah 55 orang yang tersebar di berbagai kabupatenkota di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Jumlah ini yang lebih banyak dari penerimaan calon pengurus AIMI Sumatera Utara yang dilakukan beberapa bulan sebelumnya. Dari data calon pengurus diketahui calon pengurus yang mengetahui informasi seputar AIMI SUMBAR dari facebook sebanyak 40 orang, dari instagram 1 orang, dari televisi 2 orang dan sisanya dari sumber lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu klien AIMI SUMBAR informasi terkait AIMI SUMBAR didapatkan dari postingan akun AIMI SUMBAR yang diposting ulang oleh rekannya. Klien tersebut menghubungi konselor AIMI SUMBAR karena terkendala saat pemberian ASI kepada bayinya yang berusia 11 hari dan dirawat di NICU, Klien lain menyebutkan, informasi terkait AIMI SUMBAR didapatkan dari siaran radio. Ketua AIMI SUMBAR menyampaikan masyarakat hendaknya mendukung ibu menyusui dimana saja dan kapan saja. Kampanye ASI diharapkan mengembalikan menyusui sebagai hal alami. Dan berbagai pihak dapat memperhatikan hak-hak ibu dan bayi agar ibu yakin menyusui walau masih terkendala berbagai hal misalnya ruang menyusui yang belum tersedia di ruang publik. Masyarakat sebagai support system dapat mendukung kampanye ini dengan menganggap menyusui adalah hal yang normal. Menyusui adalah proses pemberian makan dari ibu ke bayi. Realitas diatas sesuai dengan teori Norma Budaya atau The Cultural Norms Theory dari Melvin L DeFleur bahwa media massa secara selektif menyajikan dan menekankan ide-ide, nilai-nilai atau norma-norma dengan memperkuat atau mengubahnya. Maka AIMI SUMBAR menggunakan peran media dalam menyampaikan informasi dan mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam berbagai bidang. Penyajiannya dan penekanannya pada tema tertentu yaitu tema pemberian ASI kepada bayi dapat menciptakan kesan pada khalayak dengan memberikan bobot seperti manfaat ASI bagi berbagai pihak. Sehingga norma atau standar perilaku dalam masyarakat dapat menerima dan mendukung pemberian ASI dan berpartisipasi mendukung gerakan ini. Pemanfaatan media sosial dalam mengkampanyekan ASI menjadi sasaran karena dapat dirasakan langsung manfaatnya. Serta para aktivis AIMI SUMBAR dapat terhubung langsung dengan khalayaknya seperti konsultasi di grup facebook AIMI SUMBAR. Beberapa hasil konsultasi tersebut: 96 97 Sumber: grup facebook AIMI SUMBAR https:www.facebook.comgroupsaimisumbar?ref=tsfref=ts Kondisi ini menggambarkan bertambahnya pengetahuan masyarakat terkait pemberian ASI. Bahkan anggota grup yang bukan pengurus AIMI SUMBAR dapat ikut serta memberikan saran terhadap permasalahan ibu dengan merujuk kepada dokumen yang ada di grup. Edukasi dan sosialisasi AIMI dengan memanfaatkan media sosial dapat terus dilakukan. Teori norma budaya menjelaskan bahwa kampanye yang dilakukan AIMI SUMBAR dengan melibatkan media yang ada diharapkan mampu mengubah perilaku khalayaknya agar menjadikan menyusui sebagai gaya hidup yang sesuai dengan kearifan lokal sehingga persentase angka ibu meyusui di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia umumnya dapat mencapai target MDGs yaitu 80. 5.KESIMPULAN Gerakan sosial dukung ibu menyusui yang dikampanyekan oleh AIMI Cabang Sumatera Barat bertujuan untuk meningkatkan persentase ibu menyusui di Sumatera Barat. 98 Pentingnya pemberian ASI sesuai rekomendasi WHO membutuhkan dukungan masyarakat, tidak cukup peran pemerintah saja, tapi dukungan setiap orang. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan finansial, emosional, praktikal, pengawasan dan sosial. Rendahnya pemberian ASI menurut peneitian sebelumnya karena kurangnya dukungan sosial ekonomi. Masih banyak bayi di Sumatera Barat belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya. AIMI SUMBAR sebagai jaringan organisasi yang merupakan bagian dari sebuah gerakan sosial mengkampanyekan dukungan terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat dengan melibatkan media massa. Dari ketiga media yang digunakan AIMI, media sosial. Selain itu, media baru pun menjadi pilihan utama karena lebih praktis dan low cost. Diharapkan metode ini mampu mengubah perilaku masyarakat dan memberikan manfaat berkelanjutan bagi bayi dan ibu. Teori Norma Budaya menjelaskan dan memperkuat upaya AIMI SUMBAR mengkampanyekan ASI dengan pemanfaatan media massa. Diharapkan peran media mampu menjadikan menyusui dimanapun dan kapanpun menjadi norma di masyarakat Sumatera Barat. Tentu saja dukungan menyusui yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan orang sekitar baik saat hamil maupun setelah melahirkan sangat membantu ibu untuk menyusui anaknya sesegera dan selama mungkin, tetapi dukungan dari masyarakat sekitar cukup dapat membuat ibu yakin dan percaya diri dalam memberikan ASI kepada bayinya. Inilah bentuk support system untuk generasi yang lebih baik. “Succes in breastfeeding is not the sole responsibility of a woman, the promotion of breastfeeding is a collective societal responsibility” ~The Lancet~ 6.DAFTAR PUSTAKA Adenita. 2013. Breastfriends Inspirasi 22. Tangerang : Buah Hati. Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Depok: PT Rajagrafindo Persada. Anton Baskoro. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Banyu Media. Yogyakarta. Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Brent D Ruben, dkk. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada. DeFleur, M. L. Ball-Rokeach, S. 1989. Theories of mass communication 5th ed.. White Plains. NY. GA Ohorella dkk.1992. Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Jack Newman. 2008. The Ultimate Breastfeeding Book of Answers. Harper Collins Publisher Ltd. Canada. Mc Carthy John etc. 2015. The Social Movement Reader cases and Concepts. Wiley Blackwell. UK Muda, Deddy Iskandar. 2005. Jurnalistik Televisi, Menjadi Reporter Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peter Van Aelststefaan Walgrave. 2005. Cyberprotest new Media, Citizens and Social Movement. Routledge. London Porta D.D etc.2006. Social Movements an Introduction. Blackwell Publishing. Australia Rachmat Kriyantono. 2006. Teknik Praktik Riset komunikasi. Jakarta: Kencana. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan RD. Bandung: Alfabeta. AIMI.2014. Materi Kelas Edukasi Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia. Kemenkes RI. 2014. Pusat Data informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. 99 Peter Stalker. 2008. Millenium Development Goals. Puskakom UI. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia Logan, Chad.etc. 2015. Changing Societal and Lifestyle Factors and Breastfeeding Patterns Over Time. PEDIATRICS Volume 137 , number 5 , May 2016 :e 20154473 Made Arini Hanindharputri. 2014. Tokoh Men Brayut Sebagai Ilustrasi Ikon Media Kampanye Asi Eksklusif Bagi Ibu Bekerja. Institut Seni Indonesia Denpasar. Yulien Adam dkk. 2012. Determinan Pemberian Asi Ekslusif Di Wilayah Puskesmas Telaga Biru dan Puskesmas Mongolato Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo Tahun 2012, Jurnal Unhas.http:pasca.unhas.ac.idjurnalfilesd0816d1d5f891249ac679ff93b0741ba. pdf diakses pada 11 April 2016 http:themilkmeg.comingredients-in-breastmilk-versus-artificial-breastmilk-formula diakses pada tanggal 17 April 2016 http:www.unicef.orgindonesiaidmedia_21270.html diakses pada tangal 17 April 2016 http:www.unicef.orgindonesiaidmedia_21270.html diakses pada tanggal 20 April 2016 http:www.landasanteori.com201510pengertian-media-massa-definisi-fungsi.html diakses pada tanggal 25 April 2016 https:ethicsinpr.wikispaces.comCultural+norms diakses pada tanggal 25 April 2015 http:www.seputarpengetahuan.com20151115-pengertian-norma-menurut-para-ahli- terlengkap.html diakses pada tanggal 25 April 2016 http:m.metrotvnews.comvideogood-news-todayeN4vnZ5k-manfaat-asi-bagi-bayi-dan- ibu http:m.metrotvnews.complay20160421516962 diakses pada tanggal 25 April 2016 http:sumbar.antaranews.comberita175380aimi-sumbar-gelar-kegiatan-menyusui- serentak.html diakses pada tanggal 25 April 2016 https:www.youtube.comwatch?v=IQC3ZVD9pok diakses pada tanggal 25 April 2016 http:www.antarasumbar.comberita150140aimi-sumbar-resmi-dikukuhkan-di- padang.html diakses pada tanggal 25 April 2016 http:www.antaranews.comberita536137aimi-sumbar-gelar-selebrasi-hari-ibu diakses pada tanggal 25 April 2016 http:aimi-asi.orgabout https:www.facebook.comgroupsaimisumbar?ref=tsfref=ts www.puskakomui.or.id 100 MENOLAK UNTUK MENYERAH: UPAYA PEREMPUAN PERAJIN BATIK TULIS UNTUK TETAP MENJAGA TRADISI BATIK TULIS DI KABUPATEN BANJARNEGARA 1 Dra. Tri Rini Widyastuti, M.Si, 2 Dr. Riris Ardhanariswari, SH, MH. 1 Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed, Email: rini_sukrisnoyahoo.co.id 2 Fakultas Hukum Unsoed Email: ririsardhanagmail.com Abstrak Nasib para perajin batik tulis tidak seindah kain yang dihasilkannya. Hubungan kerja antara perajin dan juragan yang bercorak putting-out system cenderung merugikan perajin yang umumnya perempuan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang mereka lakukan untuk tetap bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup dari tradisi tersebut. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik penentuan informan menggunakan purposive sampling, dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi para perajin membatik bukan sekadar bekerja mencari penghidupan. Lebih dari itu, membatik adalah menjaga tradisi turun temurun. Mereka menghadapi banyak persoalan terkait hubungan kerja dengan juragan yang timpang. Selain menerima upah yang rendah, mereka juga harus menanggung hampir semua risiko kerja. Di sisi lain, ketergantungan mereka kepada juragan sangat tinggi, terutama terkait pengadaan bahan baku dan pemasaran. Selain itu, serbuan batik cap dan tawaran upah yang lebih tinggi dari industri bulu mata turut menjadi ancaman. Bertolak dari kondisi tersebut, para perajin sepakat membentuk kelompok sebagai rintisan koperasi. Melalui kelompok ini, mereka berharap tetap dapat menghidupi tradisi dan hidup dari tradisi. Kata Kunci: Tradisi, Batik, Perajin, Juragan, Perempuan Abstrac The fate of the batik tulis crafters is not as beautiful as their works. The working relationship between the artisans and the skipper is patterned putting-out system which generally tends to disadvantage women artisans. The purpose of this study is to identify the problems faced by thebatik tulis artisans in Banjarnegara District and their efforts to revive batik tulis tradition, and getting prosperous life from this tradition. The study used a qualitative approach. Informants selected using purposive sampling technique and data collected by interviews, documentary studies, and observations. The results showed that for the batik artisans,making batik is not only to make a living. Moreover, making batik is about keeping the tradition. They face a lot of problems related to disadvantage working relationships with skipper. Besides, receiving low wages, they also have to bear almost all occupational risks. On the other hand, their dependence on the skipper is very high, especially related to raw material procurement and marketing. In addition, the invasion of batik cap and offer higher wages from the fake lashes industry also become a threat. Starting from these conditions, the artisans have agreed to start up groups to establish a cooperative. Through this group, they hope they can still keep the traditions and make a living from it. Keywords: Tradition, Batik, Artisans, Skipper, Female 1.PENDAHULUAN 101 Sebagai warisan budaya Indonesia yang sangat berharga, batik kembali menjadi sorotan setelah pada tanggal 2 Oktober 2009 UNESCOmenetapkan batik sebagai “warisan budaya tak benda” milik Indonesia.Tanggal tersebut kemudian ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Hari Batik Nasional.Momentum tersebut menjadi menjadi salah satu pemicu geliat industri batik di Tanah Air. Industri batik berkembang di berbagai kota di Pulau Jawa, terutama di Solo, Jogjakarta, dan Pekalongan, dengan beragam motif dan corak sesuai karakteristik daerah masing-masing. Misalnya, batik banyumasan menggambarkan kehidupan agraris dan karakter masyarakat Banyumas yang suka cablaka, juga berisi nasihat-nasihat Rochmawati, 2010. Di luar ketiga daerah tersebut, batik juga menyebar di berbagai daerah dan kota, seperti Sumatera, Madura, Cirebon, Lasem, dan Banyumas. Industri batik juga berkembang di Kabupaten Banjarnegara. Industri batik di Kabupaten Banjarnegara, yang merupakan varian batik banyumasan, terpusat di Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon yang secara administratif termasuk Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Kedua desa tersebut letaknya berdampingan,karena pada zaman dulu desa tersebut merupakan wilayah Kademangan Gumelem di bawah Kerajaan Mataram pada era 1573 M. Kerajinan batik yang dimiliki oleh masyarakat Gumelem ditularkan oleh keluarga kademangan. Saat ini Desa Gumelem Wetan memiliki 170 perajin batik dan 2 juragan batik, sedangkan Desa Gumelem Kulon memiliki 50 perajin batik dan 3 juragan batik Ardhanariswari, 2014. Sebagai industri yang berbasis pada tradisi yang mengakar, industri batik selayaknya menjadi social-economic capital yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namunterbatasnya pemasaran dan adanya ancaman batik printing membuat perkembangan industri batik gumelem kurang optimal. Selain kedua masalah tersebut, industri batik gumelem juga belum diikuti oleh kesejahteraan para perajinnya. Hubungan kerja yang bercorak putting-out system membuat posisi perajin batik sangat terpinggirkan. Tulisan ini akan fokus mengidentifikasi persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang mereka lakukan untuk tetap bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup dari tradisi tersebut 2.TINJAUAN PUSTAKA Perempuan Perajin Batik Tulis dalam Putting-out System Hubungan buruh dan majikan dalam industri batik telah lama diwarnai hubungan kerja yang bercorakputting-out systemChotim, 1994.Putting-out system merupakan cara kerja produksi barang dengan pelaksanaan produksi di rumahpekerjanya, sementara bahan kerja dan alat produksi dicukupi oleh pemilik usaha. Pemilik usaha melakukan kontrol kualitas, membayar upah produksi, tetapi tidak menanggung risiko pekerjaan, termasuk kesehatan dan jaminan sosial lainnya bagi pekerjanya Syaifudian dan Chotim, 1994. Sementara Suratiyah 1997 mendefinisikan putting-out system sebagai sistem untuk mengatur, mengendalikan, dan memobilisasi proses produksi dan hubungan produksi dari bahan mentah menjadi barang jadi yang dilakukan di luar perusahaan. Pekerjaan dari perusahaan dibawa dan dikerjakan oleh pekerja ditempat yang dipilih sendiri, biasanya di rumah atau disekitar rumah pekerja. Pekerja dalam hal ini dikategorikan dalam pekerja rumahan, yaitu tenaga kerja yang menerima pekerjaan dari pengusaha tanpa ikatan kerja formal, membawa dan menerima kerja, menanggung sendiri risiko produksi serta menerima upah kerja berdasarkan satuan output borongan menurut ukuran sang pengusaha. Menurut Mas’oed 2006, sistem kerja putting-out system lebih banyak memberi keuntungan bagi majikan karena majikan tidak perlu menyediakan tempat kerja. Para majikan lepas dari keharusan menjamin keselamatan kerja dan berbagai perlindungan lain 102 yang seharusnya diterima oleh buruh. Selain itu, mereka bisa memperoleh hasil dari pekerjaan buruh ekstra, yang sebenarnya tidak terlibat kontrak, misalnya anggota keluarga di rumah.Sebaliknya, bagi tenaga kerja sistem putting-out system lebih banyak merugikan dikarenakanmeniadakan perlindungan bagi buruh, misalnya keselamatan kerja maupun jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja. Selain itu, dapat terjadi pelanggaran hak asasi anak karena pengerjaan dirumah memungkinkan keterlibatan buruh anak. Dalam putting-out system, pekerjaan dari majikan dikerjakan oleh pekerja di rumah sendiri sehingga dapat dikategorikan sebagai pekerjaan rumahan.Ciri pekerjaan rumahanhome based productionantara lain: 1tidak memerlukan skill yang tinggi; 2 bisa dikerjakan di rumah tanpa harus meninggalkan tugas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga;3bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat harian-mingguan; 4.modal tidak besar dan; 5 umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Sistem kerja dengan membawa pekerjaan kerumah dengan model putting-out system biasanya berlaku di daerah-daerah yang mempunyai potensi tenaga kerja terutama perempuan kurang mampu dan tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Kondisi tekanan ekonomi mengharuskan mereka melakukan kerja sambilan, yaitu melakukan pekerjaan reproduktif sekaligus produktif. Pekerja rumah masuk dalam sektor informal, yaitu pekerja yang bekerja dengan cara tidak tetap; sistem pengupahan borongan; merupakan pekerjaan- pekerjaan pinggiran, sehingga kebanyakan dilakukan oleh perempuan Hart, 1989. Hubungan kerja pada industri batik di Kabupaten Banjarnegara juga bercorak putting-out system Ardhanariswari, 2014 di mana posisi pemilik usaha juragan sangat dominan. Juraganmenentukan harga bahan baku dan upah produksi. Mereka juga menetapkan standar kualitas sehingga dapat menolak hasil produksi perajin yang tidak sesuai standar baku mutu. Juragan dapat memutus hubungan kerja secara sepihak apabila volume pekerjaan turun tanpa harus memberikan kompensasi kepada perajinnya. Sebaliknya, posisi perajin sangat lemah. Selain upah ditetapkan secara sepihak oleh juragan, para perajin harus menanggung risiko jika produk yang dihasilkan tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan juragan. Perajin tidak memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan kerja. Mereka harus menerima risiko kesehatan, seperti terkena ISPA atau tertuang malam panas, selain risiko tidak adanya jaminan kepastian kerja. Putting-out system sekilas tampak menguntungkan pekerja -terutama bagi ibu rumah tangga yang harus mengurus keluarga - karena relatif fleksibel. Jam kerja ditentukan oleh pekerja sendiri, pekerja tidak harus kehilangan waktu dan ongkos untuk berangkat ke dan pulang dari tempat kerja, sementara sambil bekerja mereka tetap dapat melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun jika dicermati, sistem ini justru sangat menguntungkan pemilik modal karena selain hampir tidak menanggung risiko, mereka juga tidak perlu menyediakan tempat dan fasilitas pendukung seperti listrik dan alat produksi lainnya. Meskipun putting out system tidak menguntungkan bagi perempuan perajin batik tetapi kemiskinan dan kultur patriarkhi menyebabkan mereka menerima pekerjaan membatik dengan upah yang rendah. Memberdayakan Perempuan Perajin Batik Tulis Menurut Abdullah 1997, peran perempuan yang dalam struktur ekonomi menunjuk pada kecenderung an “pejajahan” laki-laki atas perempuan. Kecenderungan ini mengarah pada dua implikasi. Pertama, pergeseran struktur ekonomi makro secara langsung menggeser kaum perempuan. Ketikakesempatan kerja kaum laki-laki berkurang, mereka mengambil alih dan melakukan ekspansi ke sektor yang semula dikuasai perempuan. Disini perempuan dikalahkan danatau bahkan mengalah. Kedua, perubahan struktur ekonomi secara langsung membatasi keterlibatan perempuan dalam berbagai kegiatan ekonomi karena segmentasi pasar yang semakin rumit. Jika ada peluang maka 103 laki-laki adalah prioritas, jika peluang terbatas mereka mendesak dan melakukan marginalisasi terhadap perempuan. Kalau pun perempuan dipekerjakan, biasanya lebih didasari kebutuhan “tangan perempuan” dengan alasan memaksimalkan keuntungan, karena mempekerjakan perempuan sama dengan mendapatkan tenaga berupah murah. Fakih 1997 menegaskan, proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki. Kondisi yang dialami oleh perempuan perajin batik di Kabupaten Banjarnegara secara tidak langsung dipengaruhi kultur patriarkhi. Mereka meyakini bahwa pekerjaan membatik yang selama berpuluh tahun mereka lakukan hanyalah pekerjaan sampingan. Mereka menganggap pekerjaan utama perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga. Pemahaman ini tentu saja berpengaruh terhadap penghargaan perempuan perajin batik terhadap pekerjaannya. Menganggap membatik sebagai pekerjaan sampingan membuat mereka merasa “layak” diupah murah. Pemberdayaan perlu dilakukan agar para perempuan, khususnya perajin batik, mau dan mampu memberikan penghargaan terhadap karya yang mereka hasilkan. Penelitian ini memaknai pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan penekan di sektor-sektor kehidupan. Pemberdayaan juga merupakan proses memfasilitasi warga masyarakat pada sebuah kepentingan untuk mengidentifikasi persoalan bersama, mengumpulkan sumberdaya, dan membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas. Masyarakat bawah dalam hal ini perempuan perajin batik. Untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang berdaya dapat dimodifikasi dari strategi pemberdayaan lapisan masyarakat bawah dari Tjokrowinoto 1987 sebagai berikut : a. Masyarakat bawah telah mampu menekan perasaan ketidakberdayaan bila berhadapan dengan struktur sosial-politis. b. Setelah kesadaran kritis muncul, masyarakat dapat melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya. c. Masyarakat telah memiliki rasa kesetaraan dan meyakini bahwa kemiskian sebagai penjelmaan konstruksi sosial, bukan takdir. d. Masyarakat telah memiliki keberanian untuk melibatkan dirinya dalam proses perumusan kebijakan pembangunan. e. Masyarakat dapat menyerap perubahan nilai positif seperti perencanaan hidup, optimisme, pola hidup, produktivitas dan kualitas kerja.

3.METODE PENELITIAN

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif sesuai pengalaman penelitian dan sifat permasalahan Strauss dan Corbin, 1990. Pendekatan kualitatif dipilih karena memiliki kelebihan dalam mengkonstruksi realitas sosial dan makna budaya, serta memiliki fokus pada proses interaktif dan peristiwa Newman, 1994. Pemilihan informan menggunakanteknikpurposive samplingdengan kriteria informan sesuai kebutuhan studi iniatau bersifat unik dari sesuatu yang akan ditelitiHarrison, 2007.Sasaran utama penelitian adalah para perempuan perajin batik tulis. Peneliti juga mewawancarai para 104 juragan, pihak pemerintah desa dan pemerintah kabupaten untuk validasi data. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi wawancara mendalam, studi dokumen, dan observasi Punch, 2006. Analisis data menggunakan model analisis interaktif seperti yang dikembangkan Miles dan Huberman 1992. Analisis dilakukan melalui tahap-tahap berikut. Data yang terkumpul direduksi menjadi pokok-pokok temuan penelitian dan disajikan secara naratif untuk kemudian diinterpretasikan secara logis. Reduksi dan penyajian data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan. 4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Sekilas Tentang Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon Desa Gumelem Wetan berada di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Desa Gumelem Wetan seluas 805,278 ha.Sebagian besar wilayahnya berbukit- bukit, beberapa bagian di antaranya rawan erosi, terutama di wilayah dusun IV dan dusun III.Penduduk Desa Gumelem Wetan sebesar 10.733 jiwa, terdiri dari 5.374 penduduk laki- laki 50,07 persen dan 5.359 penduduk perempuan 49,93 persen dengan jumlah kepala keluarga 2.711 KK. Hampir semua penduduk Desa Gumelem Wetan beragama Islam. Fasilitas peribadatan yang ada meliputi enam buah masjid dan 46 mushola. Namun seperti umumnya masyarakat petani yang masih lekat dengan berbagai ritus yang berkaitan dengan siklus tanam, masyarakat desa ini masih kental memegang tradisi jawa, salah satunya tradisi sadran gedhe yang diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadhan. Sebagian besar penduduknya masih bermata pencaharian di sektor pertanian dan peternakan, baik sebagai petani 729 orang atau 27,16 persen, buruh tani 293 orang atau 10,92 persen. Menariknya, banyak penduduk Desa Gumelem Wetan yang bekerja sebagai perajin, seperti perajin perajin pande besi, perajin ciri batu, dan batik tulis, bahkan batik gumelem sudah menjadi salah satu ikon budaya sekaligus ikon wisata Kabupaten Banjarnegara. Selain memiliki kreativitas tinggi dan dinamis, masyarakat Desa Gumelem Wetan juga dianugerahi bentang alam nan permai. Desa ini berada di lereng Gunung Wuluh dan Bukit Girilarangan, dialiri dua buah sungai dengan 16 mata air yang menghidupi warga desa, bahkan terdapat curug air terjun dan mata air panas. Di desa ini juga terdapat cagar budaya dan situs sejarah, yakni sebuah masjid kuno, makam keluarga demang, Makam Ki Ageng Giring, dan Makam Gumelem. Selain tradisi sadran gedhe, masyarakat desa ini memiliki kesenian tradisional ujungan. Desa Gumelem Kulon terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Banyumas, tepatnya di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Luas wilayah Desa Gumelem Kulon sebesar 812,2 ha, sebagian besar merupakan dataran tinggipegunungan dan sisanya merupakan dataran rendah dan areal persawahan. Seperti halnya penduduk Desa Gumelem Wetan, hampir seluruh penduduk Desa Gumelem Kulon beragama Islam, namun demikian nilai-nilai tradisi Jawa masih cukup dominan. Umumnya masyarakat pedesaan, masyarakat Desa Gumelem Kulon banyak yang bekerja di sektor pertanian, sebagai petani atau buruh tani sawah. Desa ini juga dikenal sebagai sentra penghasil gula kelapa. Sayangnya, manisnya gula tidak semanis nasib petaninya. Harga gula yang fluktuatif, pohon kelapa yang sudah tua sehingga produktivitasnya menurun, banyaknya penderes yang terbelit sistem panjar ijon dari para tengkulak, serta banyaknya jalan yang rusak sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi, merupakan kendala yang harus dihadapi petani kelapa.

1.2. Pasang SurutPerkembangan Batik Gumelem

105 Batik gumelem sebagaimana disebutkan dalam buku Profil Batik Gumelem 2008, diyakini sudah ada sejak berdirinya Kademangan Gumelem. Saat itu, miniatur kehidupan istana seperti pranata, trapsila, busana, dan tata praja secara baik dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat di Kademangan Gumelem. Sebagai wilayah perdikan, Kademangan Gumelem mengatur rumah tangganya sendiri. Demang memiliki pembantu para sentana dalem yang mengurus kelancaran pemerintahan. Di samping itu, terdapat satuan-satuan kerja teknis pendukung dan penjaga kewibawaan kademangan, salah satunya adalah para tukang batik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan busana keluarga, kerabat, dan sentana dalem kademangan. Sejarah perkembangan batik gumelem tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kademangan Gumelem. Masa keemasan batik gumelem mengalami penurunan sejalan dengan berubahnya status kademangan yang awalnya merupakan tanah perdikan bebas pajak di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta menjadi desa praja. Wilayah kademangan pun kemudian dibagi dua menjadi Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Status dan wilayah kademangan berubah karena Surakarta dilanda krisis politik dan pemerintahan. Runtuhnya Kademangan Gumelem menjadi pukulan berat bagi perkembangan batik gumelem. Batik sebagai kebudayaan kalangan istana yang selama ini bertahan karena perlindungan kalangan kademangan runtuh perlahan akibat berkurangnya kebutuhan batik karena berkurangnya jumlah sentana dalem, serta acara pemerintahan dan ritual adat yang biasa dilakukan.Surutnya masa keemasan batik gumelem juga disebabkan lunturnya nilai- nilai sakral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Batik semakin kehilangan mitos dan filosofi yang terkandung di dalamnya, tinggal menjadi semacam ragam hias yang mengandalkan unsur keindahan belaka. Di sisi lain, batik mulai dianggap sekadar bagian dari industri sandang. Sejak runtuhnya kademangan, batik gumelem pun mengalami kelesuan panjang. Kain batik hanya digunakan oleh perempuan tua sebagai pakaian tradisional sehari-hari jaritjarik, selendang penggendong bayi, atau kain penutup jenazah. Kain pun hanya diproduksi ulang melalui teknik cetak printing agar harga terjangkau. Para pembatik tulis pun semakin jarang ditemukan dan nyaris punah. Tahun 2003 dapat disebut sebagai tahun kebangkitan batik gumelem, ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Banjarnegara agar setiap hari Sabtu, PNS se- Kabupaten Banjarnegara menggunakan batik gumelem saat melaksanakan tugas. Surat edaran ini ternyata cukup jitu untuk menggairahkan kembali industri batik gumelem yang mati suri. Industri tersebar di empat desa, yaitu Desa Gumelem Wetan, Gumelem Kulon, Panerusan Wetan, dan Susukan. Selain menerbitkan surat edaran, melalui Dekranasda, Pemkab Banjarnegara melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai upaya, seperti pelatihan melalui sistem magang, pemberian bantuan peralatan pembuatan batik tulis dan batik cap, pelatihan pewarnaan, teknik pembuatan batik cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana batik gumelem setiap dua tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian pinjaman modal dengan bunga rendahsubsidi bunga. Perhatian Pemerintah Kabupaten Banjarnegara semakin meningkat setelah adanya pengakuan UNESCO bahwa batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. Sehari setelah pengakuan UNESCO tersebut - yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional - keluarlah surat edaran yang mewajibkan seluruh PNS se-Kabupaten Banjarnegara selama seminggu penuh mulai tanggal 5-10 Oktober 2009 menggunakan batik selama jam kerja.Tak berapa lama kemudian turun Keputusan Bupati Nomor: 025 591 Tahun 2009 tentang Penggunaan Pakaian Dinas PNS di Lingkungan Pemkab Banjarnegara. Salah satu poin pentingnya adalah penggunaan pakaian batik diperpanjang dari semula hanya hari Sabtu, menjadi tiga hari, yaitu hari Kamis, Jumat, dan 106 Sabtu. Sejalan dengan waktu, kini aturan pemakaian batik diperpanjang lagi menjadi empat hari dalam seminggu, mulai hari Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.

1.3. Kendala yang Dihadapi Para Perempuan Perajin Batik Tulis

Hasil penelitian berhasil mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi para perempuan perajin batik gumelem sebagai berikut. a. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.Hubungan antara pekerja dengan juragan adalah kepercayaan karena tidak ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Dalam model hubungan kerja bercorak putting-out system yang terjadi antara juragan dan perajin batik gumelem tidak ditemukan adanya perjajian kerja secara tertulis,bahkan “kesepakatan kerja” sepenuhnya ditentukan juragan.Tidak adanya perjanjian kerja yang tertulis mengakibatkan kedudukan antara pekerja, dalam hal ini perempuan perajin batik, dengan pengusahajuragan tidak seimbang, dimana juragan dalam posisi dominan.Meskipun merupakan pekerja rumahan, perempuan perajin batik seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan UU Ketenagakerjaaan, selain mendapatkan hak-haknya sebagaimana layaknya seorang pekerjaburuh. b. Sistem pengupahan ditentukan secara sepihak oleh juragan.Perempuan perajin batik mempunyai bargaining power yang lemah terutama berkaitan dengan upah yang diperolehnya. Besaran upah ditentukan “kemurahan hati” juragan. Upah dihitung per lembar kain, yakni antara Rp 20.000 – Rp 50.000 per lembar yang dapat diselesaikan 2-3 hari, bahkan lebih, tergantung kerumitan motif. Jika dirata- rata, upah pekerja antara Rp 7.500 – Rp 20.000 per hari, sementara UMK Banjarnegara tahun 2015 sebesar Rp 1.112.500 per bulan. Artinya, upah buruh batik tulis jauh di bawah upah minimumyang ditetapkan pemerintah, padahal UMK Banjarnegara termasuk yang terendah di Provinsi Jawa Tengah.. c. Tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya.Perempuan perajin batik pada umumnya tidak memiliki akses ke jaminan sosial dan tidak juga diberi tunjangan kesehatan oleh pengusahajuragan. Apabila cedera karena kecelakaan kerja misal terkena malam yang panas pada saat membatik atau sakit, hanya ada sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada bantuan. Semua tergantung “kemurahan hati” juragan. d. Keterbatasan akses terhadap bahan baku.Bahan baku utama dalam usaha batik tulis adalah malam lilin dan kain mori.Bahan baku ini belum tersedia di Banjarnegara dan harus dibeli di Banyumas, bahkan di Pekalongan. Hanya juragan yang mampu membeli bahan baku dalam partai besar sehingga harganya lebih murah. Bagi perajin yang ingin mandiri terpaksa membeli dengan harga lebih mahal karena harus mengeluarkan ongkos perjalanan. Akibatnya margin keuntungan yang mereka terima sangat kecil. Oleh karena itu, dalam pengadaan bahan baku banyak perajin yang lebih memilih tergantung pada juragan,sementara perlengkapan lainnya seperti kompor listrik, kompor minyak, kompor gas, atau tungkumereka sediakan sendiri. e. Produktivitas kerja belum stabil. Pekerja menganggap bahwa pekerjaan membatik ini adalah pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama.Rendahnya upah membatik yang mereka terima saat ini memaksa para perajin mencari pekerjaan lain yang lebih dapat mencukupi kebutuhan. Umumnya mereka bekerja di sektor pertanian. Menurut seorang informan, upah perempuan perajin batik sejak tahun 1942 hanya dapat untuk membeli beras dua kilogram yang apabila dikonversikan dengan nilai uang sekarang berkisar Rp 20.000. Jika demikian, saat ini upah perajin batik justru semakin merosot dibanding tahun 1940an. Akibat membatik bukan menjadi 107 pekerjaan utama, maka produktivitas kerja tidak stabil. Dalam wawancara, seorang juragan, Ibu Str, mengeluh tidak dapat memenuhi pesanan dalam jumlah banyak karena produktivitas pekerja fluktuatif, tergantung “waktu luang” yang ada. Mereka bekerja sekadar “daripada menganggur di rumah.” Jika musim tanam misalnya, para perajin memilih bekerja di sawah karena upahnya lebih tinggi. Menurut Ibu Wtr, kalau tandur sehari dapat upah sebesar Rp 45.000 dengan jam kerja mulai jam 05.30-11.30, sedangkan kalau membatik dari jam 09.00-16.00 itu juga belum dapat selembar kain karena satu lembar kain dikerjakan kurang lebih 2-3 hari dan upahnya hanya Rp. 30.000. f. Maraknya batik capprinting. Selain menghadapi persoalan-persoalan di atas, para perajin batik tulis juga harus menghadapi serbuan batik capprinting. Batik printing tidak menggunakan malam dan tidak menggunakan canthing, seluruhnya dikerjakan layaknya sablon seperti kain motif pada umumnya http:www.batikgumelem.com , 2013.Berbeda dari batik tulis yang pengerjaannya sangat lama dan rumit serta membutuhkan kesabaran dan ketrampilan luar biasa, batik cap dapat diproduksi secara cepat dan masif. Pasar batik Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah kegiatan membatik masih dianggap pekerjaan sambilan, membuat batik gumelem sulit memenuhi permintaan pasar baik dari sisi harga maupun ketersediaan barang.Kondisi ini membuat pengusaha berpaling ke batik cap sehingga volume kerja batik tulis menurun. Akibatnya banyak perempuan perajin batik yang terpaksa menganggur. Pekerja batik cap umumnya laki-laki. g. Masuknya industri bulu mata palsu. Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan perajin batik di atas patut menjadi perhatian dari pemerintah setempat. Ketika perajin batik menganggap pekerjaan membatik tidak lagi menguntungkan, mereka dapat meninggalkan pekerjaan tersebut. Kecenderungan seperti ini sudah mulai tampak. Beberapa perempuan perajin batik dari Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon telahberalih pekerjaan menjadi buruh pembuatan rambut palsu dan bulu mata palsu buruh ngidep di perusahaan-perusahaan rambut palsu di Kabupaten Purbalingga, bahkan ada perusahaan yang sudah memiliki plasma di Desa Gumelem. Selain tawaran upah yang jauh lebih tinggi sekitar satu jutaan per bulan, jaminan kerja buruh ngidep juga lebih terjaga. Bagi kaum muda ngidep juga lebih prestisius karena tangan tetap bersih, tidak harus kotor terkena malam dan pewarna kain. Selain itu, ada beberapa pengusaha bulu mata yang berani memberikan pinjaman kepada buruhnya untuk kredit motor. Tentu saja tawaran ini menarik bagi mereka. Hal ini menjadi ancaman bagi upaya pelestarian batik sebagai warisan budaya yang membanggakan masyarakat Banjarnegara. h. Kurangnya regenerasi. Selain persoalan di atas, masa depan industri batik tulis gumelem juga terancam oleh sedikitnya kaum muda yang tertarik menjadi perajin batik tulis.Kegelisahan ini juga ditangkap Kepala Desa Kades Gumelem Kulon yang menyatakan bahwa selain masalah permodalan dan pemasaran, industri batik tulis gumelem juga semakin terancam punah karena pembatiknya sudah tua-tua. Harapannya banyak generasi muda yang tertarik membatik dan mengembangkannya.Pemkab Banjarnegara melalui Dinas Indagkop UMKMpernah melakukan pelatihan kepada generasi muda di Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon untuk belajar membatik maupun memberikan bantuan alat untuk mencelup dan mewarnai batik, namun hasilnya hampir tidak ada. i. Rendahnya akses terhadap bantuan pemerintah.Pemkab Banjarnegara telah melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai upaya, seperti pelatihan melalui sistem magang, pemberian bantuan peralatan 108 pembuatan batik tulis dan batik cap, pelatihan pewarnaan, teknik pembuatan batik cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana batik gumelem setiap dua tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian pinjaman modal dengan bunga rendahsubsidi bunga.Namun bantuan dan pemkab dan pemprov justru menjadi aset elite lokal. Juragan menggunakan posisi mereka untuk memperoleh bantuan dari pemkab dan pemprov, sebaliknya premkab dan pemprov berdalih belum adanya kelompok atau paguyuban perajin mempersulit pemerintah dalam memberikan bantuan kepada perajin. j. Belum ada perkumpulan atau paguyuban perempuan perajin batik gumelem. Padahal dengan adanya paguyuban diharapkan dapat menyatukan para pembatik sehingga dapat meningkatkan bargaining power mereka di hadapan pengusahajuragan.Selain itu, dengan adanya kelompok maka akan mempermudah para perajin dalam memperoleh bantuan pemerintah.

1.4. Melawan untuk Menyerah

Berbagai persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis sebagaimana dipaparkan di atas memunculkan wacana pengadaan batik printing dengan motif khas gumelem. Keunggulan batik printing tentu saja dari sisi efisiensi waktu karena tidak melalui proses penempelan lilin dan pencelupan seperti batik pada umumnya, hanya saja motif yang dibuat adalah motif batik sehingga batik printing bisa diproduksi dalam jumlah besar. Namun wacana ini tidak sepenuhnya mendapat sambutan baik, terutama dari perajin batik tulis. Mereka bersikukuh bahwa batik adalah kain yang ditulis atau dihias motif-motif khas dengan malam panas melalui canthing dan disempurnakan dengan proses pencelupan. Sementara batik printing tidak menggunakan malam dan tidak menggunakan canthing, seluruhnya dikerjakan layaknya sablon seperti kain motif pada umumnya sehingga tidak dapat disebut batik. Salah satu perajin batik yang tetap bertekad melestarikan batik tulis adalah Mbah M., nenek warga Desa Gumelem Kulon berusia lebih dari 80 tahun yang masih aktif membatik. Menurutnya, membatik bukan hanya soal mencari makan, tapi juga melestarikan tradisi. Nenek yang mulai membatik sejak Zaman Ratu Wilhelmina tahun 1942 ini membatik tanpa menggunakan pola karena sudah hafal motif-motif batik gumelem. Hasil kerjanya pernah ditolak pihak pemesan karena dianggap kurang rapidan tidak sesuai pola. Namun Mbah M tetap bergeming karena menurutnya membatik bukan sekadar menorehkan malam cair di atas kain mori yang sudah diberi pola, lebih dari itu, membatik adalah ekspresi jiwa sehingga setiap lembar batik tulis selalu berbeda, meski motifnya sama. Kekerasan hati Mbah M menurun kepada putri ragilnya, Mbak Ng. Di antara sepuluh bersaudara, hanya dia yang tetap setia mewarisi tradisi membatik. Dalam kehidupan serba pas-pasan, Mbak Ng tetap setia membatik. Dia sangat prihatin dengan semakin berkembangnya batik printing – yang ironisnya justru difasilitasi oleh Pemkab. Banjarnegaramelalui pemberian bantuan peralatan dan pelatihan batik printing kepada beberapa juragan, padahal batik tulis gumelem merupakan ikon Kabupaten Banjarnegara. Mbak Ng juga prihatin dengan semakin sedikitnya generasi muda yang terjun membatik. Mereka lebih suka menjadi buruh ngidep yang menawarkan upah jauh lebih tinggi. Keinginannya yang besar untuk mandiri membuatnya bertekad memproduksi batik dan memasarkannya sendiri ke langsung konsumen. Perjumpaannya dengan konsumen dari berbagai kalangan membuat pandangannya maju dan wawasannya terbuka. Di Gumelem Wetan ada Mbak Wr, perempuan berparas ayu yang membatik sejak kecil. Keahliannya dalam membatik membuatnya sering diminta oleh beberapa sekolah untuk mengajari siswa membatik, juga diminta mengajar di tempat-tempat lain. 109 Interaksinya dengan dunia luar membuatnya berpikiran maju. Seperti halnya Mbak Ng, Mabak Wr juga memiliki keinginan yang kuat untuk mandiri, hanya saja dia merasa ewuh dengan juragan yang selama ini sudah memberinya pekerjaan. Mengatasi perasaan sungkan tersebut, Mbak Wr membuat terobosan dengan membuat batik tulis menggunakan pewarnaan alam. Difasilitasi tim peneliti, Mbak Ng dan Mbak Wr bersama beberapa perempuan perajin batik dari kedua desa dipertemukan dengan pendamping dan pengelola Koperasi Nira Kamukten, sebuah paguyuban para penderes kelapa dari wilayah Gumelem dan sekitarnya yang telah berhasil membuat koperasi. Akhirnya para perempuan perajin bersepakat untuk membuat kelompok sebagai langkah awal membentuk koperasi, yakni Kelompok Giri Alam dari Desa Gumelem Wetan yang diketuai Mbak Wr dan Kelompok Pandan Sari dari Desa Gumelem Kulon yang diketuai oleh Mbak Ng. Kelompok Giri alam fokus menggarap batik tulis dengan pewarna alami, sementara Kelompok Pandan Sari fokus menggarap batik tulis dengan motif gumelem. Dengan berkelompok mereka dapat lebih mandiri karena peluang untuk mengakses bahan baku murah dan pasar lebih terbuka. Demikian juga akses terhadap bantuan pemerintah yang selama ini “dibajak” para juragan. Dalam kondisi demikian, mereka berharap tetap dapat menghidupi tradisi dan hidup sejahtera dari tradisi yang mereka kukuhi. Kelompok perajin batik yang telah terbentuk masih membutuhkan penguatan organisasi agar nantinya mereka dapat membentuk koperasi. Tapi setidaknya langkah awal ini membuktikan bahwa mereka menolak untuk menyerah. Menggunakan kriteria keberdayaan masyarakat bawah yang dikemukakan Tjokrowinoto 1987 tersebut di atas, tampaknya para perempuan perajin batik gumelem sudah mulai berdaya. 6.KESIMPULAN Kendala-kendala yang dihadapi para perempuan perajin batik gumelem: 1. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.Hubungan antara pekerja dengan juragan adalah kepercayaan karena tidak ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. “Kesepakatan kerja” sepenuhnya ditentukan juragan.Kedudukan antara pekerja dan juragan tidak seimbang, dimana juragan dalam posisi dominan.. 2. Sistem pengupahan ditentukan secara sepihak oleh juragan. Perempuan perajin batik mempunyai bargaining power yang lemah terutama berkaitan dengan upah yang diperolehnya. 3. Tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Perempuan perajin batik pada umumnya tidak memiliki akses ke jaminan sosial dan tidak juga diberi tunjangan kesehatan oleh pengusahajuragan ,semua tergantung “kemurahan hati” juragan. 4. Keterbatasan akses terhadap bahan bakukarena malam lilin dan kain mori.Bahan baku ini belum tersedia di Banjarnegara dan harus dibeli di Banyumas, bahkan di Pekalongan. 5. Produktivitas kerja belum stabil. Pekerja menganggap bahwa pekerjaan membatik ini adalah pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama. 6. Maraknya batik capprinting. Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah kegiatan membatik masih dianggap pekerjaan sambilan, membuat batik gumelem sulit memenuhi permintaan pasar baik dari sisi harga maupun ketersediaan barang sehingga membuat pengusaha berpaling ke batik cap. 7. Masuknya industri bulu mata palsu.Ketika perajin batik menganggap pekerjaan membatik tidak lagi menguntungkan, mereka beralih pekerjaan menjadi buruh 110 pembuatan rambut palsu dan bulu mata palsu buruh ngidep di perusahaan- perusahaan rambut palsu yang menawarkan upah lebih tinggi. 8. Kurangnya regenerasi.Hanya sedikit kaum muda yang tertarik menjadi perajin batik tulis. 9. Rendahnya akses terhadap bantuan pemerintah.Pemkab Banjarnegara telah melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai upaya,namun bantuan dan pemkab dan pemprov lebih banyak dinikmati para juraga. 10. Belum ada perkumpulan atau paguyuban perempuan perajin batik gumelem. Padahal dengan adanya paguyuban diharapkan dapat menyatukan para pembatik sehingga dapat meningkatkan bargaining power mereka di hadapan pengusahajuragan.Selain itu, dengan adanya kelompok maka akan mempermudah para perajin dalam memperoleh bantuan pemerintah. Upaya yang dilakukan Para perempuan perajin bersepakat untuk membuat kelompok sebagai langkah awal membentuk koperasi, yakni Kelompok Giri Alam dari Desa Gumelem Wetan yang diketuai Mbak Wr dan Kelompok Pandan Sari dari Desa Gumelem Kulon yang diketuai oleh Mbak Ng. Kelompok Giri Alam fokus menggarap batik tulis dengan pewarna alami, sementara Kelompok Pandan Sari fokus menggarap batik tulis dengan motif gumelem. Dengan berkelompok mereka dapat lebih mandiri karena peluang untuk mengakses bahan baku murah dan pasar lebih terbuka. Demikian juga akses terhadap bantuan pemerintah yang selama ini “dibajak” para juragan. 6.DAFTAR PUSTAKA Abdulla h, Irwan. 1997. “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan ”dalam Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah e d . . Yogyakarta: PustakaPelajar. Ardhanariswari, Riris, Sofa Marwah , dan Tri Rini Widyastuti. 2014. Pengembangan Model Putting-out System untuk Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan Perempuan Perajin Batik Banjarnegara. Universitas Jenderal Soedirman: Penelitian Hibah Bersaing. Chotim, Erna Ernawati. 1994. Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan: Kasus Industri Kecil Batik Pekalongan. Seri Working Paper AKATIGA No.3. Bandung: Yayasan Akatiga. Fakih, Mansour. 1997.Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. alih bahasa Tri Wibowo, Jakarta: Kencana Prenada Media. Hart, Keith. 1989. Informal Workers in Development. London: University Press. Mas’oed, Mochtar. 2006.Bahan Pelatihan Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik. Kerjasama PSG UGM Yogyakarta danPPGAUnsoed Purwokerto. Miles, Matthew B. and A. Michel Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press. Newman, Lawrence. 1994. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon. Punch, Keith. 2006. Developing Effective Research Proposal. London: Sage Publication. Rochmawati, Dilli. 2010. Banyumas Membatik Makna Analisis Semiotik Makna Sosial Budaya dalam Motif Batik Banyumasan. Skripsi, FISIP Unsoed, Purwokerto. 111 Safaria, A.F. 200 3. “Sistem Maklun Subkontrak sebagai Startegi Buruh untuk Bertahan” dalam A.F. Safaria, dkk. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal: Permasalahan dan Prospek. Bandung: Yayasan Akatiga. Strauss, Anselm, and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedure and Techniques. Beverly Hills: Sage Publications. Suratiyah, Ken. 1997. “Pengorbanan Wanita Pekerja Industri”dalam Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah ed., Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syaifudian, Hetifah dan Erna Ernawati Chotim. 1994.Dimensi Starategis Pengembangan Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen Batik. Akatiga: Bandung, 1994. Tjokrowinoto. Moeljarto.1987.Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah,dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana. http:www.batikgumelem.com201303mengenal-batik-gumelem-banjarnegara_21. html, diakses 7 Juli 2014 http: banjarnegarakab.go.id dan http:dokumentergumelem.blogspot.com200912. Diakses 10 Juli 2014. www.antaranews.comberita531651gubernur-jawa-tengah-tetapkan-umk-2016. Diakes 30 April 2016. 112 RELASI STRUKTUR DAN AKTOR DALAM ARENA KONTESTASI POLITIK PEREMPUAN 17 1 Sulsalman Moita, 2 I Ketut Suardika 1 Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Halu Oleo Email: moitasulsalmanyahoo.co.id 2 Jurusan Pendidikan Seni Budaya Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo Email:mortredewingmail.com Abstract This research was conducted in the city of Kendari Southeast Sulawesi, with the aim of:1 analyze the strengths and political struggle actor female Emitter participate in the political arena; 2 describes the role of structural factors in the arena of political contestation women; and 3 review and analyze the consequences of relationship structures and actors in influencing gender relations in parliament.The research is a qualitative case study approach to examine the relationship of structure and actors in the arena of political contestation women. Data was collected through interviews, observation and documentation. Data were then analyzed using qualitative data analysis, the analysis undertaken since the data collection until the research is completed.The results showed that: 1 The political struggle actor female in the arena of political contestation childbirth movement and the struggle against political structure mendominiasi and subordinating through internal strength and individual moral actor, meaning self encourage rationality of politics, the movement itself as a reflection of understanding in politics; 2 The role of structural factors pushing womens struggles to compete in the political arena which manifests itself in a number of institutions such as political institutions, the election organizers, media press, womens NGO, the Centre for the Study of Gender and Womens Organization; 3 The consequences of the relationship structures and actors affecting gender relations in Parliament include: the allocation of resources, access, control, participation and benefit. Keywords: Relationships, Structures, Actors, Gender, Politics. 1.PENDAHULUAN Tampilnya sosok politisi perempuan baik dalam politik lokal maupun politik nasional di Indonesia, bukanlah fenomena yang unik. Seperti diutarakan oleh Manuell Castells 1997 dalam The Power of Identity bahwa transformasi politik dunia menjelang abad ke-21, salah satunya ditandai oleh fenomena runtuhnya tatanan patriarki di berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini, maka ranah politik yang selama ini dimaknai sebagai dunia laki-laki, mengalami transformasi besar-besaran yang tidak saja menempatkan hadirnya kaum perempuan namun juga tampilnya diskursus feminis dalam arena politik. Di Indonesia, kiprah perempuan di arena politik belum terlalu menggembirakan. Selama satu dasawarsa, yakni periode 1987 hingga 1997, keterwakilan perempuan hanya 12,06 Irmayani Osta F.P, 2009; Omara, 2009. Tonggak kebangkitan perempuan di arena politik diharapkan muncul, setelah hadirnya undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Partai Politik dan undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, untuk mencalonkan minimal 30 kaum perempuan sebagai calon anggota legislatif. Secara sosiologis Undang-Undang tersebut telah mencerminkan realitas yang ada di masyarakat, yang berusaha mengakomodasi tuntunan masyarakat yang menghendaki adanya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. 17 Disajikan dalam rangka Konferensi Nasonal Sosiologi V, Padang 17-19 Mei 2016 113 Meskipun kedua undang-undang di atas, tidak sepenuhnya memberikan jaminan peningkatan partisipasi politik perempuan, namun setidaknya dapat menjadi starting point bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasinya dalam politik di Indonesia. Selama dua Pemilu, keterwakilan perempuan di kursi legislatif mengalami peningkatan, yaitu 11,6 pada Pemilu 2004 dan 18 pada Pemilu 2009. Kendatipun secara nasional persentase keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30, namun berbeda dengan Kota Kendari pada Pemilu 2009 dari 30 kuota kursi anggota legislatif, 10 orang 33 adalah perempuan; kemudian pada Pemilu 2014 dari 35 kuota kursi 13 orang 37 adalah perempuan. Kota Kendari juga merupakan satu-satunya dari 17 KabupatenKota di Provinsi Sulawesi Tenggara yang mampu menempatkan keterwakilan lebih 30 perempuan sebagai anggota legislatif. Konfigurasi keterwakilan perempuan di parlemen Kota Kendari merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dikaji dari perspektif sosiologi gender dan sosiologi politik, karena tidak hanya semata-mata tercapainya persentase keterwakilan perempuan di parlemen; namun proses yang mengantarkan mengapa dan bagaimana kaum perempuan dapat eksis dan setara di arena politik, di tengah dominannya kaum laki-laki dengan kultur patriarkinya. Salah satunya adalah terjadinya rekonstruksi atas konstruksi sosial yang selama ini menganggap perempuan adalah subordinat laki-laki di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik. Rekonstruksi sosial merupakan salah satu kajian filsafat sosial yang menuntut diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang dikembangkan ke taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri terhadap teori dan metode. Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo. Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial. Berkaitan dengan pemahaman rekonstruksi sosial, membawa pada kajian tentang relasi stuktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan. Perjuangan politik aktor kaum perempuan, di samping dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri, juga didukung oleh faktor-faktor struktural seperti media massa, organisasi politik, dan organisasi semi politik. Masing-masing berusaha membangun suatu makna baru dalam keterwakilan perempuan dalam politik. Tentu saja melalui, perang wacana, ide, ideologi atas keterwakilan perempuan yang dapat diterima oleh masyarakat pemilih. Jika pada masyarakat telah terbentuk suatu konstruksi sosial tentang sesuatu, maka proses rekonstruksi bisa membentuk konstruksi sosial yang baru di antara komunitas tertentu yang melakukan resosialisasi. Relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan, tidak hanya berhenti pada agenda perjuangan memenuhi keterwakilan 30 perempuan berdasarkan Undang-Undang Pemilu dan Politik; akan tetapi relasi juga dilakukan ketika menjalankan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, budgetting, dan pengawasan. Selain itu politisi perempuan di parlemen, berada pada level yang sejajar dengan kaum pria, yang nampak dalam keseimbangan posisi jabatan pimpinan, fraksi, dan komisi. Fenomena eksistensi politisi perempuan di DPRD Kota Kendari, menunjukkan adanya konsekuensi pada pola relasi gender dalam bentuk alokasi sumber daya, akses, dan partisipasi yang dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender; termasuk secara ekslusif politisi perempuan di wilayah ini telah membentuk kaukus perempuan parlemen sebagai satu-satunya kaukus yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang agendanya memperjuangkan pembangunan yang responsif gender dan anggaran yang pro gender. 114 Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini diharapkan dapat menjelaskan perspektif sosiologis dari relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan di Kota Kednari. Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakekuatan dan perjuangan politik aktor kaum perempuan dalam arena kontestasi politik di Kota Kendari?, Bagaimana peranan faktor-faktor struktural di arena kontestasi politik perempuan di Kota Kendari? dan Bagaimana konsekuensi relasi struktur dan aktor dalam mempengaruhi relasi gender di parlemenKota Kendari?

2.TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum terdapat dua model analisis yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini dalam perspektif gender, yakni model analisi mikro dan meso. Model analisis mikro, menempatkan individu sebagai unit analisisnya. Penjelasan berparadigma definisi sosial ini menganggap individu- individu anggota masyarakat bukannya ‘obyek’ benda mati yang siap ‘dibentuk’ dan selalu dijadikan sasaran kekuatan eksternal struktur sosial dan budaya, melainkan individu-individu yang aktif, kreatif dan mempunyai kemampuan merespon stimulasi eksternal yang dinilai merugikan kepentingannya. Individu mempunyai kemampuan dan kapasitas yang memadai sehingga pada gilirannya mampu mereproduksi dan merekonstruksi sesuatu yang dinilai ‘given’ oleh masyarakat. Teori-teori yang dapat dipergunakan dalam model penjelasan mikro ini, misalnya Teori Fenomenologi dan Teori masyarakat aktif. Selanjutnya model analisis meso adalah kajian yang akan mensinergikan perdebatan dua kubu teoritisi besar yakni paradigma fakta sosial dan paradigma definisi sosial. Paradigma inilah yang menurut Giddens menghasilkan teori strukturasi. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna hanya melalui kerangka struktur. Model analisis mikro dan meso di atas, kemudian disinergikan dengan pemikiran rekonstruksionisme. Pendekatan ini muncul karena terjadi kesenjangan dan kekecewaan terhadap teori- teori umum yang tidak dapat bersikap “kritis”. Rekonstruksionisme mendasarkan pada dua premis mayor: 1 masyarakat membutuhkan rekonstruksi yang konstan atau perubahan, dan 2 perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pengetahuan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Pada intinya rekonstruksionisme bertujuan untuk mengkongkretisasi kehidupan, di mana dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, sekolah dan pendidikan dalam koordinasi sosial budaya dan arah yang harus sesuai keinginan masyarakat Hamalik, 2007. Berdasarkan penjelasan konsep filsafat rekonstruksionisme, maka teori sosiologi yang relevan untuk mengkaji rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik adalah: teori masyarakat aktif dari Etzioni. Model yang diperkenalkan Etzioni dalam Poloma, 2007 untuk menjawab berbagai isu-isu sosial masyarakat modern termasuk gender, yaitu: 1 Bagaimana seseorang mengendalikan masa depannya?; 2 Bagaimana masa depan itu lebih banyak ditentukan tindakan rasional tetapi spontan; 3 Bagaiman aktor individual diarahkan?; 4 Sejauh mana kebenaran kekuatan self-kontrolnya? Lebih jauh Etzioni, mengungkapkan bahwa orientasi masyarakat aktif memiliki tiga komponen yakni: kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu atau lebih tujuan. Teori Etzioni tersebut, jika disinergikan dengan eksistensi perempuan dalam politik, maka proses rekonstruksi, mengacu pada tiga komponen masyarakat aktif, yaitu: Pertama, perempuan perlu meningkatkan kesadaran pribadi yang tumbuh atas motivasi untuk berkiprah di dunia politik. Kedua, pengetahuan para aktor, yaitu perempuan memiliki pengetahuan dan 115 pengalaman politik untuk berkompetisi di arena politik yang umumnya dikuasai oleh kaum laki-laki. Ketiga, kaum perempuan berkomitmen pada satu atau lebih tujuan dalam berpolitik, seperti tujuan aktualisasi diri dan tujuan prestasi. Selanjutnya, relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan juga dapat dikaji dari pendapat salah seorang teoritisi gender yakni Simone de Beauvoir. Menurut Beauvoir 1999, bahwa atribut seorang wanita bukan ada sejak dilahirkan melainkan diciptakan oleh lingkungan budayanya. la mengatakan bahwa eksistensi diri manusia bukan bawaan sejak lahir, melainkan merupakan pilihan, karena itu hak setiap individulah untuk menetapkan identitas dirinya. Filsafat eksistensialisme ini menjadi dasar pemikiran aktivis feminisme yang percaya bahwa identitas gender harus dikonstruksi oleh individu yang bersangkutan. Untuk dapat menentukan identitas dirinya, maka seorang perempuan harus menjadi dirinya sendiri otonom, dan lepas dari pengaruh alam. Kajian relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan juga dapat dianalisis dalam perspektif gerakan sosial. Menurut Scoot 2011, di dalam gerakan sosial terdapat aspek-aspek mikro dalam internal diri aktor yang mempengaruhi gerakan yakni: ideologi diri, nilai-nilai diri, perspektif memandang suatu fenomena, sumber daya diri, dan komitmen diri. Gerakan internal diri aktor dapat mempengaruhi realitas perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Gerakan dalam internal diri, merupakan usaha untuk menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab, termasuk dalam kehidupan politik.

3.METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang berusaha memahami pemaknaan individu dari subjek yang ditelitinya. Peneliti melakukan interaksi dan komunikasi yang mendalam dan intensif dengan fihak yang diteliti, termasuk di dalamnya peneliti harus mampu memahami dan mengembangkan kategori-kategori, pola-pola dan analisa terhadap proses-proses sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Berdasarkan jenis penelitian di atas, maka pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus yakni penyelidikan intensif tentang individu, dan atau unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti. Lokus penelitian di DPRD Kota Kendari, dengan pertimbangan: 1 DPRD Kota Kendari merupakan satu-satunya DPRD KabupatenKota di Sultra yang mampu menempatkan keterwakilan 30 perempuan anggota legislatif; 2 keterwakilan perempuan sebagai anggota legilatif, tidak hanya semata-mata memenuhi keterwakilan 30 berdasarkan Undang-Udang Pemilu dan Undang-Undang Politik akan tetapi di dalamnya ada proses perjuangan dan gerakan yang mengantarkan tercapainya kuota tersebut serta konsekuensi relasi struktur dan aktor, baik dalam menjalankan tugas dan fungsi legislatif maupun implikasinya terhadap pola relasi gender dan responsif gender. Subyek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi utama dalam penelitian ini adalah subyek yang secara langsung melakukan proses perjuangan untuk kesetaraan gender, yakni 13 orang anggota DPRD Kota Kendari periode 2014-2019. Penelitian ini juga menggunakan informan pendukung, antara lain: pimpinan dan anggota DPRD; pimpinan dan pengurus parpol; pers media massa; Stakeholder yang peduli terhadap program kesetaraan gender, seperti LSM perempuan Pusat Studi Gender, ormas perempuan; masyarakat konstituen; dan penyelenggara Pemilu. Kriteria penentuan 116 informan pendukung di atas adalah mereka yang memahami secara mendalam dan akurat tentang masalah penelitian, serta jujur dan terbuka dalam memberikan data atau informasi. Berdasarkan sumbernya, data yang dipergunakan terbagi ke dalam dua kategori, yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari subyek penelitian dan sejumlah informan pendukung. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subyek penelitian yang diteliti. Selain itu, peneliti juga akan melakukan pengamatan untuk mengetahui bagaimana perilaku sosial subyek yang diteliti berkaitan dengan tema-tema yang menjadi fokus penelitian. Data sekunder akan diperoleh melalui studi dokumen yaitu data dari instansifihak terkait, seperti Sekretariat DPRD, Partai Politik pengusung, Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD, dan sumber tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan beberapa proses secara bertahap yaitu: 1. menelaah seluruh data yang telah diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan memahaminya; 2. mereduksi data dengan cara abstraksi menganalisis dan merangkum intisari data; 3. menyusun data dalam satuan atau klasifikasi; 4. satuan itu dikategorisasi sambil membuat koding; dan 5. memeriksa keabsahan data. 4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN Pola Perjuangan Politik Aktor Kaum Perempuan dalam Arena Kontestasi Politik di Kota Kendari Dalam penelitian ini, kekuatan dan perjuangan aktor perempuan untuk setara merupakan landasan pencerahan dan pengetahuan untuk berjuang melawan kungkungan dominasi. Perjuangan untuk kesetaraan juga dimaknai sebagai suatu gerakan, aksi dan reaksi atas marginalisasi dan subordinasi kaum perempuan dalam politik. Esensi gerakan dan perjuangan untuk meningkatkan kapasitas politik kaum perempuan diilhami oleh paradigma teori-teori kritis dalam feminisme dan pembangunan, bersinergi oleh lahirnya kesadaran diri atas dasar pemaknaan fenomenologi yang berdialektika dengan kekuatan aktor di dalam struktur, sehingga menghasilkan dualitas struktur dan aktor strukturasi. Hasil penelitian, menjelaskan bahwa moral individu aktor menjadi kekuatan utama terjadinya proses rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik. Individu memiliki motivasi dan cita-cita yang tinggi untuk berjuang karena adanya faktor-faktor internal dalam diri, seperti jenjang pendidikan, latar belakang profesi, pengalaman organisasi, kepercayaan diri, motivasi, kesadaran diri, kapasitas bersaing, komitmen, dan sebagainya. Faktor-faktor internal tersebut bersinergi dan didukung oleh kekuatan eksternal seperti partai politik, pemilih, media massa, organisasi perempuan, dan stakeholder lainnya. Kondisi sosial budaya yang mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik merupakan modal dasar yang diperlukan individu aktor untuk berjuang menjadi anggota DPRD. Kondisi inilah dimana mayoritas subyek penelitian sepakat bahwa dibutuhkan kapasitas diri sebelum mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota legislatif. Kapasitas yang harus dimiliki adalah input-input pribadi yang menjadi kekuatan awal, seperti tingkat pendidikan, latar belakang profesi, dan pengalaman organisasi. Signifikansi tingkat pendidikan subyek penelitian dalam mengaktualisasikan kiprah politik mereka untuk menjadi caleg, mempengaruhi struktur kognitif berupa: 1 pengetahuan dasar tentang politik, 2 pemahaman awal mengenai tugas dan kewajiban sebagai anggota legislatif, dan 3 tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk berkompetisi. Struktur kognitif tersebut melahirkan makna-makna dasar dalam diri sebagai landasan awal menguatnya harapan, motivasi, dan upaya untuk menjadi politisi. 117 Latar belakang profesi menjadi kekuatan pendorong bahwa terdapat nilai-nilai, moral, etika, dan etos yang dapat mengantarkan seseorang memiliki jati diri untuk eksis dan dikenal oleh orang lain sehingga tercipta relasi timbal balik dalam aktivitas politik. Ditinjau dari aspek pemaknaan diri sebagai bagian dari gerakan untuk setara, pengalaman profesi menjadi modal sosial sekaligus menjadi investasi sosial sehingga ketika dikonversi pada aktivitas-aktivitas politik akan menjadi modal politik. Pada aspek pengalaman organisasi menjadi kekuatan pendorong untuk mendobrak tradisi bahwa politik itu pada umumnya hanya identik kaum dengan laki-laki. Mereka menyadari bahwa tanpa pengenalan organisasi, kaum perempuan tidak bisa memahami kepemimpinan, kedisiplinan, komitmen, strategi, tanggungjawab, peran, dan sebagainya. Sehingga begitu pentingnya organisasi, semua subyek penelitian sepakat bahwa untuk menjadi politisi termasuk anggota DPRD mesti didukung oleh pengalaman organisasi. Selanjutnya pemaknaan diri sebagai kekuatan dan etos dalam proses perjuangan politik di arena kontestasi, memfokuskan pada lahirnya suatu sikap, tindakan, dan gerakan untuk setara melalui pemaknaan diri aktor. Pemaknaan diri adalah proses bagaimana seseorang mengendalikan masa depannya dengan tindakan rasional serta kekuatan kontrol diri yang dimiliki. Untuk mengendalikan masa depan maka diperlukan proses belajar yang bersinergi dengan pengalaman-pengalaman. Upaya mengendalikan masa depan secara otonom melalui proses belajar adalah salah satu bagian dari proses menuju kesetaraan politik di arena kontestasi. Guna memaksimalkan potensi kaum perempuan dalam politik, diperlukan kesadaran diri yang kuat, terarah, sistemik sehingga simpul-simpul politik yang selama ini membelenggu mereka menjadi terbuka seiring dengan kondisi struktural yang memberi peluang baik dalam bentuk regulasi, kebijakan, program maupun aksi-aksi konkrit. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kesadaran subyek penelitian merupakan kekuatan animo dalam berpolitik. Animo politik menjadi landasan bahwa aktivitas politik didominasi oleh upaya berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki, baik potensi dalam diri maupun potensi luar diri yang bersinergi atas animo diri. Sejumlah indikator yang menjadi dasar munculnya kesadaran untuk turut dalam Pemilihan Umum 2014, antara lain: adanya pengalaman politik, motivasi untuk setara, dan akses politik. Atas dasar tersebut pengalaman politik mendorong kesadaran diri untuk ikut berpolitik pada Pemilu 2014. Motivasi untuk setara menciptakan ambisi yang kuat, meningkatnya inisiatif dan kemampuan mengarahkan energi positif untuk menjadi anggota parlemen. Selanjutnya pemaknaan diri berkorelasi dengan pemahaman identitas diri subyek penelitian dalam merespon gerakan sebagai politisi parlemen. Salah satu aspek yang memberi pengaruh yang signifikan terhadap identitas diri seorang aktor untuk berjuang adalah gerakan diri. Gerakan diri adalah bagian dari gerakan sosial. Gerakan sosial mikro berpusat pada individu, mengandung muatan seperti ideologi diri, nilai-nilai diri, perspektif memandang fenomena, optimalisasi sumberdaya diri, dan komitmen diri. Kesemua input gerakan diri tersebut, diintegrasikan ke dalam suatu keyakinan kuat yang disadari, dipahami, dan perjuangkan. Temuan penelitian menunjukkan adanya perubahan ideologi diri subyek penelitian dari ideologi nature menjadi ideologi nurture. Ideologi nurture dalam persepektif gender tidak diartikan sebagai bentuk pembangkangan dalam kehidupan keluarga, tetapi merupakan bentuk respon sikap dan tindakan bahwa dalam diri ada prinsip-prinsip untuk maju, berhasil, dan harapan yang sama dengan kaum laki-laki di dunia politik. Berkaitan dengan nilai diri, subyek penelitian sepakat bahwa nilai diri tidak hanya sekedar menjadi potensi tetapi harus diaktualisasikan melalui pemberdayaan secara maksimal dengan melihat fokus dan hasil yang diharapkan. Seorang calon anggota legislatif harus mampu memahami tipologi pemilih, sehingga ketika melakukan sosialisasi 118 politik akan terjalin interaksi dan komunikasi politik yang diharapkan. Nilai diri dapat integrasikan dengan harapan pemilih seperti kemampuan memperjuangkan aspirasi masyarakat ketika terpilih sebagai anggota parlemen. Analisis selanjutnya mengenai gerakan diri adalah perspektif dalam memandang fenomena berdasarkan pengalaman-pengalaman. Temuan penelitian menunjukkan bahwa, seluruh subyek penelitian sepakat bahwa sebelum perempuan terjun ke dunia politik maka harus tertanam dalam dirinya kultur politik. Kultur politik tidak hanya dilandasi oleh semangat bersaing belaka; akan tetapi dibarengi dengan performance guna merepresentasi politik perempuan di parlemen. Representasi politik perempuan di parlemen pada dasarnya telah dimulai ketika mencalonkan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, ia sensitivitas gender ketika melakukan sosialisasi, silaturahmi, kampanye terbatas, maupun kampanye terbuka. Sinergi dengan optimalisasi sumber daya diri, para subyek penelitian sepakat bahwa potensi tingkat pendidikan, pengalaman organisasi, dan pengalaman pekerjaan perlu dimaksimalisasi agar masyarakat dapat mengetahui kemampuan figur calon anggota legislatif.Pentingnya sumber daya diri oleh subyek penelitian sangat disadari, karena tanpa itu mereka tidak memiliki referensi yang cukup untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki kemampuan dan kapasitas bersaing. Terakhir adalah komitmen yang bermakna perjanjian untuk melakukan sesutu. Sebagai calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2014, merupakan langkah awal tumbuhnya komitmen tersebut. Para subyek penelitian menyadari bahwa pilihan sebagai calon anggota legislatif bukan hanya sekedar memenuhi persyaratan partai politik pengusung; akan tetapi ada nilai tanggungjawab yang terpatri dalam diri subyek untuk memperjuangkan panji-panji partai politik pengusung yang berkaitan dengan ideologi, visi dan misi, dan program partai. Guna mewujudkan komitmen diri, para subyek penelitian melakukan strategi politik mulai dari strategi komunikasi politik, membentuk tim sukses, menyiapkan infrastruktur, strategi membangun opini publik, penggunaan media, dukungan kolega dan kelembagaan, dan sebagainya. Namun di antara komitmen dan tanggung jawab tersebut, setiap individu memiliki strategi yang khas yang menjadi kekuatan dalam upaya menanamkan kepercayaan dan ekspektasi publik. Selanjutnya perjuangan subyek penelitian, bersinergi dengan eksistensi struktur sosial dan politik sebagai medan dimana individu merefleksikan perilaku politiknya. Posisi struktur tidak membatasi individu untuk melakukan aktivitas politik, namun justru memberi peluang untuk melakukan perubahan yang didasari refleksi kesadaran diri. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada 3 bentuk perjuangan yang dilakukan subyek penelitian pada Pemilu 2014 yaitu: tahapan pendaftaran atau pencalonan, tahapan kampanye, dan tahapan pemungutan suara. Tahap pencalonan adalah tahap pendaftaran sebagai caleg dengan melengkapi semua prosedur dan syarat administrasi berdasarkan regulasi yang ada. Tahap kampanye yakni subyek penelitian melakukan upaya-upaya konkrit guna mendapatkan simpati pemilih melalui kampanye dialogis, kampanye bermedia, dan kampanye terbuka. Tahap pemungutan suara adalah tahap yang paling menentukan dari seluruh tahapan pemilu karena disinilah kapasitas subyek diuji, apakah ia dipercaya oleh konstituen di Daerah pemilihanya untuk menjadi wakil rakyat. Peranan Faktor-Faktor Struktural dalam Arena Kontestasi Politik Perempuan di Kota Kendari Teori strukturasi membawa kita pada pemahaman dan entitas kesadaran bahwa kehidupan manusia pada dasarnya berada pada dua elemen yang saling melengkapi, yakni elemen individu aktor dan elemen struktur sistem sosial. Kedua elemen tersebut tidak saling meniadakan akan tetapi membangun aliansi sehingga tokoh sosiologi Anthony Giddens menyebutnya sebagai dualisme. 119 Kajian sinergi antara struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan, paling tidak dapat dijelaskan dalam analisis dualitas Giddens. Struktur menjadi akses bagi aktor untuk memperkuat peluang dan kapasitas berpolitik sementara aktor merupakan sosok dengan identitas dan kemandiriannya dapat mengontrol berbagai regulasi, program, dan kebijakan politik. Penelitian tentang rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik menegaskan bahwa posisi aktor subyek penelitian, tidak terpisahkan dengan posisi struktur. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, saling membutuhkan satu sama lain, dan saling bersinergi sehingga cita-cita dan harapan tampilnya kaum perempuan di panggung politik dapat tercapai. Temuan penelitian mengungkapkan kondisi-kondisi struktural yang turut mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik yakni bentuk perjuangan, aksi, komitmen, dan sinergi untuk menciptakan keadaan dimana kaum perempuan dapat mengambil peran dan peluang sebagai calon anggota legislatif. insitusi atau lembaga yang turut mempengaruhi secara signifikan upaya menuju kesetaraan; baik insitusi yang berkaitan langsung dengan proses-proses politik seperti Komisi Pemilihan Umum dan Partai Politik maupun institusi-instituusi yang memiliki komitmen dan tanggung jawab mendorong perjuangan affirmative action, seperti organisasi Perempuan, Pusat Studi Wanita, Organisasi Keagamaan, dan media. Peranan yang pertama adalah institusi penyelenggara Pemilu yaitu KPU Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 tiga peran KPU yang signifikan mendorong keterwakilan perempuan di parlemen yaitu: sosialisasi keterwakilan perempuan pada tahap pencalonan caleg, sosialisasi keterwakilan melalui media, dan sosialisasi politik untuk pemilih pemula. Ketiga pola sosialisasi ini gencar dan efektif dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban KPU Kota Kendari dalam merealisasikan keterwakilan perempuan di DPRD. Institusi politik lainnya yang signifikan dalam mendorong proses kesetaraan gender di parlemen adalah partai politik. Temuan penelitian menunjukan bahwa parpol- parpol peraih kursi di DPRD Kota Kendari melakukan empat peran, yakni: kaderisasi dalam kepengurusan parpol, pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif, strategi dan kebijakan parpol terhadap caleg perempuan, dan peran parpol dalam meningkatkan kompetensi dan kapasitas anggota legislatif perempuan di parlemen. Khusus untuk strategi terhadap caleg perempuan, pada umumnya parpol menaruh atensi yang cukup penting dengan intens melakukan sosialisasi caleg baik melalui media maupun secara langsung dimasyarakat. Selain itu parpol juga umumnya memberikan pembekalan kepala caleg perempuan mengenai strategi bersaing, komunikasi politik, dan strategi memenangkan pemilu dengan mengemas isu-isu sensivitas gender. Selanjutnya, elemen struktur yang cukup signifikan sebagai wahana sosialisasi dan pendidikan politik adalah media. Eksistensi media, tidak hanya memberi informasi dan mempublikasi kegiatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan organisasi namun media juga dapat mempengaruhi pembentukan opini publik. Secara spesifik, media dapat menjadi wahana marketing politik bagi lembaga-lembaga politik, seperti parpol untuk mensosialisasikan visi dan misi, ideologi perjuangan, platform, dan kebijakan; termasuk memperkenalkan figur dan kandidat politisi perempuan yang akan berkompetisi memperebutkan kursi parlemen. Temuan penelitian menunjukan ada 3 indikator yang digunakan media guna mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik, yakni : a. sosialisasi melalui siaran atau berita; b. sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat; dan c. sosialisasi melalui program atau rubrik khusus. Berkaitan dengan peranan stakeholder perempuan, menunjukkan bahwa terdapat institusi stakeholder perempuan yang turut memberi kontribusi terhadap upaya-upaya kesetaraan gender dalam politik, yakni: organisasi perempuan yang terdiri dari Koalisi 120 Perempuan Indonesia KPI, Aliansi Perempuan Alpen, dan Solidaritas Perempuan SP; Pusat Studi Gender Universitas Halu Oleo dan Universitas Muhammadiyah; serta Ormas Perempuan masing-masing Aisiyah dan Muslimat NU. Organisasi perempuan merupakan stakeholder yang paling konsisten, reaktif, dan terstruktur dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam politik. Jaringannya, tidak hanya berbasis lokal dan nasional; akan tetapi terintegrasi dengan jaringan internasional. Berbagai langkah, upaya, dan strategi insiatif organisasi perempuan telah dilakukan mulai dari respon dan reaksi atas regulasi atau undang-undang yang mengatur keterwakilan, hingga melakukan pendidikan politik, pendampingan, proteksi, pembekalan, sosialisasi. Bahkan termasuk melakukan aksi-aksi sporadis lapangan untuk mengunggah kesadaran masyarakat akan pentingnya kemitraan dalam relasi antar laki-laki dan perempuan di ranah politik. Temuan penelitian mengelaborasi 3 tiga bentuk gerakan LSM Perempuan guna mendorong kesetaraan gender pada Pemilu 2009 dan 2014, yakni: a. rekomendasi dan sosialisasi; b. aksi-aksi lapangan; serta c. pembekalan dan pendampingan politik. Komponen stakeholder lainnya yang turut memberi kontribusi upaya-upaya mendorong kesetaraan gender dalam politik adalah Pusat Studi Gender Universitas Halu Oleo dan Universitas Muhammadiyah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kedua pusat studi tersebut, sepakat dan berkomitmen untuk mendorong kesetaraan gender dalam politik terutama keterwakilan di parlemen melalu riset, kajian, forum-forum diskusi, talkshow. Pusat Studi gender juga dapat membangun sinergi dan kerjasama untuk meningkatkan kapasitas anggota dewan perempuan pacsa terpilih melalui agenda proteksi, pendampingan, dan memaksimalkan potensi kaukus perempuan parlemen dalam memperjuangkan agenda-agenda pembangunan yang pro gender. Selanjutnya organisasi keagamaan yang berkontribusi dalam upaya mendorong kesetaraan gender adalah organisasi Aisyiah Sultra dan Muslimat NU. Temuan penelitian menunjukkan bahwa, DPW Aisyiah Sulawesi Tenggara memiliki program pendidikan politik kaum perempuan. Program ini tidak secara empiris mendorong kader untuk berafiliasi pada partai tertentu atau mendukung kadernya untuk menjadi politisi. Akan tetapi pendidikan politik lebih diarahkan untuk memberikan pencerahan bahwa perlunya kaum perempuan lebih cerdas memilih partai politik yang sesuai dengan perjuangan organisasi. Selain itu memilih pemimpin yang amanah, peduli, dan merakyat sesuai dengan prinsip-prinsip pemimpin dalam ajaran agama. Organisasi Aisyiyah juga mendorong dan mendukung pengurus dan kader yang ingin berpartai atau menjadi caleg untuk menggunakan cara-cara politik yang santun, beradab, dan berfihak kepada perjuangan dan kepentingan masyarakat. Kemudian muslimat NU dalam mendukung keterwakilan perempuan di parlemen pada pemilu 2009 dan 2014 adalah: 1 pembenahan kualitas kader yang berminat untuk berkiprah sebagai politisi melalui motivasi untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas; 2 mendorong kader yang disamping dikenal oleh masyarakat juga mampu mengetahui masalah-masalah kemasyarakatan serta ketika terpilih dapat menjalankan tugas dan fungsi DPRD dan mampu bermitra dengan pemerintah guna memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat ; 3 melakukan konsolidasi kepengurusan mulai dari tingkat atas sampai tingkat cabang, dan ranting guna mendukung kader yang menjadi caleg pada pemilu legislatif. Konsekuensi Relasi Struktur dan Aktor dalam Mempengaruhi Relasi Gender di Parlemen Kota Kendari Upaya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dalam politik dalam konteks relasi struktur dan aktor, tidak hanya pada terpenuhinya persentase keterwakilan perempuan di parlemen, namun apakah keterwakilan tersebut berkorelasi pelaksanaan 121 tugas dan fungsi parlemen. Secara empirik ada dua hal yang menjadi fokus, yakni konsekuensi terhadap relasi gender dan responsif gender. Konsekuensi terhadap relasi gender adalah posisi kaum perempuan sebagai subyek yang pro aktif terhadap penjabaran tugas pokok dan kewenangan legislatif. Perempuan sebagai wakil rakyat dapat membuktikan kapasitas, kompetensi, dan potensinya untuk sejajar, mendesain dan memaksimalisasi fungsi-fungsi parlemen serta mengemban aspirasi masyarakat. Sedangkan konsekuensi terhadap responsif gender adalah upaya-upaya merespon program, kebijakan, dan anggaran yang pro gender baik atas dasar inisiatif dan perjuangan perempuan legislatif maupun atas dasar komitmen bersama anggota parlemen. Indikator kebijakan yang pro gender termanifestasikan pada sejauhmana program-program gender yang melekat di setiap lembaga pemerintahan telah mencerminkan rasa keadilan? Apakah pengambil kebijakan menaruh perhatian yang memadai terhadap kepentingan kaum perempuan? Sedangkan indikator anggaran yang pro gender adalah sejauhmana alokasi anggaran telah memenuhi kuantitas dan kualitas yang diharapkan publik, dan apakah anggaran tersebut mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya? Selanjutnya konsekuensi responsif gender lainnya adalah terbentuknya kaukus perempuan parlemen, yang tidak hanya bermakna mengorganisir kekuatan anggota legislatif perempuan sebagai simbol kesetaraan namun dapat menjadi wadah perjuangan mendorong dan meningkatkan program dan anggaran yang pro gender. Berkaitan dengan relasi gender, temuan penelitian menunjukkan bahwa lima bentuk relasi yang mampu dilakukan oleh perempuan parlemen Kota Kendari, yakni: a. Alokasi sumber daya, yang nampak pada keseimbangan pada jabatan pada alat kelengkapan parlemen, kedudukan dalam panitia khusus, dan jabatan dalam Fraksi; b. Akses, nampak pada keseimbangan dalam proses lobi-lobi pembahasan anggaran dan melakukan penjaringan aspirasi; c. partisipasi. yakni perempuan parlemen cukup aktif dalam partisipasi sidang-sidang parlemen, hearing, dan dalam menerima aspirasi; d. kontrol, kemampuan anggota parlemen perempuan dalam mengontrol berbagai program dan keputusan eksektufi dan melakukan konsultasi dan koordinasi; serta e. manfaat yang diperoleh melalui peningkatan kapasitas dan penguatan relasi dengan konstituen. Selanjutnya berkaitan dengan responsife gender, temuan penelitian menunjukkan bahwa: eksistensi rekan-rekan anggota legislatif perempuan cukup pro aktif memperjuangkan anggaran dan program yang pro perempuan pada setiap pembahasan anggaran, baik di Komisi, badan anggaran, rapat pleno maupun rapat paripurna. Kaum perempuan sangat bersemangat, ngotot, dan kompak agar usul mereka untuk memperjuangkan kepentingan perempuan terakomodasi. Selanjutnya, upaya untuk mendorong program dan anggaran yang responsife gender telah dilakukan oleh anggota legislatif perempuan pasca terpilih, hal ini dapat dilihat pada alokasi anggaran dan sejumlah program ekslusive gender yang telah diperjuangkan. Namun semangat itu perlu dimaksimalisasi melalui penguatan kelembagaan melalui kaukus perempuan parlemen. 5.KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan merupakan gerakan dan perjuangan perempuan melawan stuktur politik yang mendominasi dan mensubordinasi. Pertama, diawali dengan kekuatan internal diri dan moral individu melalui kondisi sosial budaya yang mempengaruhi proses kesetaraan dalam politik yakni: latar belakang pendidikan, latar belakang profesi, dan pengalaman organisasi. Kedua, 1 Pemaknaan diri individu memotivasinya bertindak 122 secara rasional dan menciptakan kesadaran diri untuk berpolitik. Kesadaran diri dalam berpolitik dipengaruhi oleh pengalaman politik, motivasi untuk setara dan akses politik; 2 Pemahaman diri subyek sebagai politisi melahirkan gerakan diri untuk kesetaraan yang terdiri dari: ideologi diri nurture, nilai diri sebagai pengabdian, budaya politik untuk bersaing, optimalisasi sumber daya diri, dan komitmen diri. 3 Upaya dan perjuangan subyek bersaing dalam Pemiu 2014 merupakan momentum untuk mengakualisasikan refleksi kesadaran dalam bentuk tindakan politik seperti: tahap pencalonan, tahap kampanye, dan tahap pemungutan suara. Peranan faktor-faktor stuktural dalam arena kontestasi politik perempuan, antara lain: Pertama, peranan KPU melalui: sosialisasi keterwakilan perempuan pada tahap pencalonan dan melalui media, serta pendidikan politik untuk pemilih pemula. Peranan parpol melalui kaderisasi dalam kepengurusan, pencalonan perempuan sebagai kandidat, strategi dan kebijakan parpol terhadap caleg perempuan melalui sosialisasi dan pembekalan, serta peran parpol dalam meningkatkan kompetensi dan kapasitas anggota legislatif perempuan. Kedua, Peranan media dalam kesetaraan gender dalam politik melalui sosialisasi dalam siaran atau berita, sosialisasi iklan layanan masyarakat, dan sosialisasi melalui program khusus. Ketiga, Peranan stakeholder perempuan dalam proses kesetaraan gender dalam politik 1 organisasi perempuan melalui rekomendasi dan sosialisasi, aksi- aksi lapangan, pendidikan dan pendampingan politik; 2 Pusat Studi Gender melalui penelitian, pengkajian, pemberdayaan, pendampingan, dan forum diskusiseminar 3 Organisasi keagamaan melalui program pendidikan politik untuk perempuan, mendorong dan memotivasi kader potensial untuk berkiprah di dunia politik, melakukan advokasi pengarusutamaan gender, dan terlibat dalam forum-forum diskusiseminar. Sinergi kesadaran diri subyek dan dukungan elemen-elemen struktural berpengaruh terhadap konsekuensi terhadap relasi gender dan responsif gender. Pertama, konsekuensi terhadap relasi gender mengejawatahkan keseimbangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi legislatif, melalui lima bentuk relasi yakni: konsekuensi alokasi sumber daya dengan indikator kesetaraan pada posisi atau jabatan, kedudukan dalam pansus, dan jabatan dalam fraksi; konsekuensi relasi terhadap akses yakni kemampuan subyek dalam proses akomodasi anggaran dan reses menindaklanjuti aspirasi masyarakat; konsekuensi relasi terhadap partisipasi, nampak pada keseimbangan partispiasi subyek dalam rapat- rapat DPRD, rapat dengar pendapat, dan dalam menerima aspirasi; konsekuensi relasi terhadap kontrol melalui kemampuan dalam mengontrol kebijakan eksekutif, knosultasi, dan koordinasi; koneskuensi relasi terhadap manfaat yakni terjadinya peningkatan kapasitas dan penguatan relasi subyek penelitian dengan konstituen.

6.DAFTAR PUSTAKA

Acker, J. 1990. Hierarchies, Jobs, Bodies : A Theory of Gendered Organizations. London: Macmillan Press. Adian, Donny Gahral. 2010. Pengantar Fenomenologi. Depok : Koekoesan. Antrobus, Peggy. 2004. The Global women Movement. Bangladesh: The University Press. Astuti, Tri Mathaeni Puji. 2012. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press. Beauvior, Simone De. 1999. Second Sex : Kehidupan Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Promothea. Berger, Peter L. Luckmann Thomas. 1996. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Terjemahan. Jakarta: LP3ES. Bogdan dan Biklen. 1982. Qualitative Research for Education. Massacusette: Mc Graw- Hill Inc. Castells, Manuell. 1997. The Power of Identity. London and New York: Blackwell Publishing. 123 Dahlerup, Drude. 2006. Women Quotas and Politics. New York: Routledge. Fakih, Mansyour. 2002. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giddens, Anthony. 2011. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar Pembentukan Masyarakat. Terjemahan Maufur Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hermson, Paul S dan Lay, J Celeste, dan Stokes, Atiya.” Women Running “as women”: Candidate Gender, Campaign Issues, and Voter- Targeting Strategies”. The Journal of Politics, Vol.65, No.1,Februari 2003. Hobson, Barbara. 2003. Recognition Struggles And Social Movements; Contested, Identities, Agency And. Hutchings, Kimberly. 2010. Simone D Beauvior dalam Teori-Teori Kritis, Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Terjemahan: Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca. Illich, I, 1983. Gender. London: Marison Boyars. Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan : Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjadjaran. Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Kolonial. Jakarta : Rajawali Pers. Moser, C.O.N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training. London: Roudledge. Ozmon, Howard A dan Samuel M Craver. 1990. Philosophical foundations of education. Melbourne: Merrill Publishing Company. Poloma, M. Margareth, Sosiologi Kontemporer, 2007. Yogyakarta : Penerbit Yayasan Solidaritas Gadjah Mada. Putri, Alfadioni, Utami Putri Himam Fathul. Ibu dan Karir: Kajian Fenomenologi terhadap Dual-Career Familiy Mother and Career: Phenomenological Approach on the Dual-Career Family. Jurnal Psikologi, Volume 32, Nomor. 1,Tahun 2007. Ridjal, Fauzie dkk editor. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. Ritzer, George Smart Barry. 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusamedia. Robinson, Cactherine dan Bessell. 2002. Women in Indonesia. Singapore: ISEAS. Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. Santoso, Widjajanti, M. 2011. Sosiologi Feminisme, Konstruksi Perempuan dalam Industri Media. Yogyakarta: LKiS. Schrijvers, Joke. 1986. Mothers for Life. USA: Eburon Delft. Scoot, John. 2011. Sosiologi The Key Koncept. Jakarta : PT. Rajagrafindo Perkasa. Stanley, L. 1990. Feminist Praxis: Research, Teory and Epistimology in Feminist Sociology. London: Routledge. Susiana, Sali. Keterwakilan Perempuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR. DPD, dan DPRD. Jurnal Kajian, Volume 14, No 3, September 2008. 124 125 PENDIDIKAN POLITIK DAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL PEREMPUAN DESA 1 Vina Salviana Darvina Soedarwo 1 Hutri Agustino 1 Jurusan Sosiologi, FISIP Email: vina_salvianayahoo.co.id 2 Universitas Muhammadiyah Malang Email: hutri_freedomyahoo.co.id Abstract Majority of Indonesian women tend to be the object of politics, rather than being the subject of politics. A similar phenomenon was also experienced by rural women there are more involved in economic activities. One interesting phenomenon is the concern NGOs to conduct political education while also maintaining local economic development as part of community empowerment movement nuanced political awareness for women.Two women school in Batu City are interesting to examine that NGOs are Sekolah Perempuan Desa SPD as a pure manifestation of the peoples aspirations and Pendidikan Non Formal Perempuan PNFP was formed by government. This research uses a qualitative approach. The subject is the educators and women as the students, while the data collection techniques are in-depth interviews, observation, documentary and Focus Group Discussion. These research findings indicate that the SPD and PNFP able to provide political education with sufficient material for village women also some training that can develops their knowledge. One thing that is different from these two organizations are independently in funding the organization. SPD organization more independent than PNFP because PNFP is formed by the government, so PNFP has inadequate funds. Managerial and recruitment model of students in these two organizations are also a bit different as well as a model of economic development based on local potential. Keywords : Political Education , Local Economic Development, Rural Women

1. PENDAHULUAN