223
daerah ini, maka dapat ditempuh dengan mudah baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Mendengar nama Sulit Air saat ini terbayang dalam fikiran orang Sumatera Barat sebuah nagari dimana masyarakatnya adalah perantau yang sukses. Saat lebaran tiba, para perantau
pulang bersama, atau yang dikenal oleh orang minang “pulang basamo”. Saat itu terlihat pertambahan penduduk Sulit Air dengan berjubelnya kendaraan pribadi dengan berbagai
merek dan model yang berdatangan dari berbagai kota besar di Indonesia. Berbeda halnya dengan zaman dulunya, menurut tokoh masyarakat Sulit Air
bahwa konotasi negatif melekat pada nagari ini, seperti dalam profil Sulit Air di bawah ini :
“Suli Aie ” Orang Minang melafalkan dua kata di atas. Kata-kata pedas itu merupakan nama sebuah Nagari yang tersuruk di perbukitan Danau Singkarak Kabupaten Solok,
Sumatera Barat. Mendengar namanya saja, bulu kuduk segera berdiri. Membayangkan sebuah perkampungan kumuh di perbukitan batu cadas yang tandus dengan sawah-sawah
dikotori rumput-rumput liar yang juga tak sanggup hidup lagi. Masyarakat penghuninya tinggal di gubug-gubug reot berlantai tanah. Perkampungan hanya dihuni laki-laki tua dan
wanita renta serta anak-anak caludih berkulit legam terpanggang matahari. Anak-anak kecil bermain dalam simbahan debu tanpa alas, mereka yang lebih besar membawa
tempayan di kepala menuruni perbukitan terjal menuju sumber air, Danau Singkarak.
Penampilan Sulit Air dulu dengan sekarang ternyata berbeda, tidak ada lagi kelangkaan air sekalipun kemarau melanda teramat panjang. Sawah dan ladang dapat
menghasilkan padi serta tanaman khas seperti kulit manis sebutan untuk kayu manis, dan tanaman kebun lainnya. Sulit Air bukanlah tanah yang gersang seperti namanya melainkan
perbukitan yang subur makmur. Pembangunannya melebihi nagari-nagari lain di Sumatera Barat. Berbaliknya rupa wajah dengan nama yang melekat sampai sekarang itu ternyata
tidak lepas dari peran perantau asal Nagari Sulit Air yang tersebar di seantero tanah air dan juga luar negeri.
Jumlah remitan yang dikirim oleh para migran dari tempat bekerja cukup tinggi, kondisi ini sangat membantu mengentaskan kemiskinan para migran apabila remitan
dikelola dengan baik tidak hanya untuk keperluan konsumtif tetapi lebih pada keperluan produktif. Pada penelitian tahun pertama ditemukan bahwa, proses pengiriman remitan
oleh migran internasional asal Sumatera Barat dalam dua bentuk, pertama dikirim melaluim teman sesama perantau, hal ini dilakukan timbal balik, karena mereka saling
berkirim bagi siapa yang pulang kampung pada waktu tertentu. Kedua lewat bank, hal ini dilakukan kepada bank yang mudah diakses oleh keluarga di kampung. Proses yang
beragam ini menyebabkan sulitnya mendapatkan data pasti berapa jumlah remitan yang dikirim perantau ke kampung halamannya.
Keterlibatan institusi lokal dalam proses pengiriman tersebut dapat dibedakan atas kiriman keluarga dan kiriman untuk pembangunan. Di tingkat keluarga pihak yang terlibat
adalah keluarga inti samapai keluarga luas, namun keluarga luas seperti mamak kaum hanya mengetahui, tidak terlibat dalam pengelolaan penggunaan uang tersebut. Di tingkat
institusi keterlibatan tokoh masyarakat formal dan informal pada kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung halaman, baik bangunan fisik maupun melaksanakan sebuah
kegiatan. Ikatan emosional perantau adaa pada level jorong, bukan nagari, maka pengelolaan remitan untuk pembangunan seyogyanya dilakukan di tingkat jorong. Maka
penelitian tahun II dilakukan untuk menyusun model berdasarkan masukan dan rangcangan pada tahun I.
2. Proses dan Pola Pengiriman Remitan
224
Sebagaimana temuan penelitian tahun pertama tentang proses pengiriman uang pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, pertama dikirim melalui teman, dimana
para perantau mengirimkan uang untuk keluarga mereka kepada saudara atau teman yang pulang kampung. Kepada orang yang pulang kampung ini telah diberikan pesan kepada
siapa saja uang itu akan diberikan. Perantau yang mengirim biasanya telah mengorder kepada siapa saja uang akan diberikan, misalnya kepada bapak, ibu, anak atau saudara
lainnya. Merantau ke negeri orang ternyata tidak mengurangi hubungan kekerabatan yang ada pada mereka, malah kekerabatan berkembang dari pertemanan menjadi karib kerabat
baru. Semula di kampung belum saling mengenal, karena tinggal di nagari tetangga, misalnya bagi orang Suayan nagari tetangga adalah Batu Hampa, yang semula di kampung
belum kenal, karena merantau menjadi kenal dan akhirnya berkembang menjadi kerabat baru. Mereka saling menjalin hubungan baik layaknya seperti keluarga luas semasa di
kampung.
Kedua, melalui bank, biasanya dikirim langsung kepada rekening orang atau keluarga yang dituju. Saat ini bank bukanlah suatu yang aneh, masyarakat perdesaan telah
menggunakan bank sebagai media menyimpan uang dan peminjaman. Di lokasi penelitian ditemukan penggunaan jasa bank adalah salah satu dampak dari tingginya jumlah perantau
di nagari tersebut. Suayan dengan kondisi georgafis dimana infrastrukturnya cukup baik, memudahkan masyarakat mengakses bank ke Kota Payakumbuh. Menurut keluarga
migran, tidak sulit bagi mereka untuk pergi ke bank mengambil uang jika ada kiriman dari saudara mereka di luar negeri.
Di nagari Sulit Air terdapat sedikit perbedaan pada proses pengiriman dibandingkan dengan perantau yang berasal dari Suayan. Walaupun sama menggunakan
jasa bank, perantau di Australia, mengirim uang ke kampung lewat rekening saudaranya di Jakarta. Saudara di Jakarta yang membawa uang yang sudah diamplopkan ke kampung
Sulit Air. Dengan banyaknya perantau luar negeri, bank BRI unit yang biasanya di Sumatera Barat terdapat di ibu kecamatan, namun di Sulit Air Bank BRI hadir di ibu Nagari
Sulit Air. Dengan adanya fasilitas bank ini, sangat memudahkan masyarakat mengambil uang kiriman dari saudara dirantau.
Pada tahun kedua penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kaiatan yang erat antara remitan migran internasional dengan remitan yang berasal dari perantau domestik. Hal ini
terkait dengan ikatan perantau asal nagari tersebut. Ikatan perantau nagari sulit air misalnya, keberadaan organisasi Sulit Air Sepakat SAS, tidak terlepas dari dukungan
perantau yang yang ada di luar negeri dan dalam negeri juga. Pengiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung terkoordinasi dan menyatu dalam organisasi tingkat pusat
yang selanjutnya dikirim ke kampung halaman. Orang yang diharapkan turun langsung menyampaikan bantuan biasanya pengurus pusat yang berkedudukan di Jakarta. Kegiatan
“pulang basamo” yang mereka jadwalkan sekali dalam dua tahun, terkoordinir antara perantau luar negeri dan perantau domestik.
Dari proses pengiriman, temuan penting adalah bahwa terdapat dua janis pengiriman yang dilakukan oleh perantau ke kampung halaman, pertama kiriman yang
ditujukan untuk keluarga, kedua kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung halaman. Kiriman untuk kampung halaman ini belum terkelola dengan baik, baik oleh
organisasi perantau itu sendiri, maupun oleh institusi lokal yang ada di kampung. Perlu dilakukan pemberdayaan atas kelembagaan yang potensial mengelola remitan. Model
pemberdayaan ini masih disempurnakan saat tulisan ini dibuat. 1.
Peran Institusi Lokal
Keterlibatan institusi lokal nagari dalam pemanfaatan remitan selama ini memiliki dinamika yang cukup panjang. Beda nagari, berbeda pengalaman yang mereka alami,
namun remitan diakui sebagai salah satu penopang dana pembangunan nagari desa
225
selama ini. Menurut tokoh masyarakat Suayan, terjadi krisis kepercayaan perantau terhadap lembaga yang ada di kampung, hal ini disebabkan beberapa pengalaman masa lalu, dimana
kiriman yang diberikan perantau kepada kampung halaman tidak mencapai sasaran. Namun disisi lain di nagari Sulit Air pengakuan masyarakat dan pemerintah nagari bahwa
keberhasilan pembangunan di nagari tidak terlepas dari dukungan dana dari perantau. Tidak saja berupa dana, namun yang tidak kalah pentingnya adalah sumbangan pemikiran
dan jaringan dengan pihak luar. Berdirinya cabang pesantren Gontor di Sulit Air tidak terlepas dari jaringan yang dibangun oleh perantau terhadap masyarakat nagari Sulit Air.
Informasi tersebut dibenarkan oleh perangkat pemerinntah nagari, dimana perantau saat mengirim bantuan kepada nagari diiringi oleh rasa keterikatan terhadap kerabat terdekat.
Misalnya diberikan bantuan terhadap keluarga miskin yang ada di kampung.
Keterlibatan institusi lokal dapat diklasifikasikan kepada dua, pertama kiriman untuk keluarga, melibatkan institusi paruik suku, unsur yang terlibat di dalammua adalah
mamak kepala waris.au yang dikenal dengan tungganai. Tapi bisa saja makam tersebut adalah ninik mamak penghulu dalam suku tersebut. Pada tataran paruik biasanya
diketahui oleh keluarga inti, bapak, ibu nenek, paman atau saudara laki-laki dari pihak ibu atau yang disebut mamak kaum. Mamak biasanya diberi khabar, namun tidak diberitahu
jumlah uang yang dikirim. Mamak hanya mengetahui jumlah uang jika diberikan tersendiri lewat kiriman oleh anak kemenakannya. Pengakuan beberapa mamak kaum di Sulit Air
dan di Suayan, bahwa mereka mengetahui kalau ada kiriman uang dari rantau, tapi mereka hanya sebatas tahu saja, menurutnya tidak enak rasanya ikut campur lebih jauh. Artinya
peran mamak menentukan kebijakan dalam sebuah kaum tidak begitu besar fungsinya dalam mengatur kiriman yang ditujukan ke keluarga oleh perantau. Namun bila kiriman itu
untuk membangun rumah, maka mamak akan membantu dalam pelaksanaan pembangunan rumah tersebut. Peran yang lebih besar dilakukan mamak dan ninik mamak bila salah
seorang perantau sukses ingin membangun rumah gadang temuan penelitian tahun I.
Kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung halaman pada penelitiaan tahun I ditemukan bahwa jumlahnya beragam, namun akumulasinya cukup besar
mendukung pembangunan yang ada di nagari tersebut. Bantuan ini biasanya dikirim lewat organisasi persatuan kampung. Biasanya mereka kumpulkan dulu di organisasi perantau di
luar negeri, lalu lembaga ikatan keluarga kampung yang ada di Jakarta biasanya yang mengirim ke kampung halaman. Biasanya dilakukan dengan mengantar langsung ke
kampung halaman, namun ada juga yang mengirimkan lewat ikatan perantau domestik. Potensi kiriman lebih besar di Sulit Air dibanding Suayan, hal ini berhubungan dengan
keaktifan organisasi perantau mereka. Sulit Air dengan organisasi perantaunya SAS yang cukup profesional, telah berhasil membangun infrastuktur pedesaan seperti jalan, jembatan,
dan sarana pendidikan. Lewat SAS dan yayasan pembangunan kampung yang mereka bangun telah berhasi membangun Pesantren cabang Gontor, jalan, jembatan, dan
sebagainya. Kiriman tipe kedua ini melibatkan banyak unsur yang ada dalam masyarakat.
2. Jorong sebagai Basis Pemberdayaan