Gerakan Daur Ulang Sosial

490 aksi anti rokok, narkoba, korupsi kolusi dan nepotisme KKN, pornografi, dan sebagainya, bermacam gerakan aksi pro hidup sehat, lingkungan bersih, lingkungan hidup, demokrasi, kemerdekaan, penegakan HAM, dan seterusnya, atau beragam gerakan pemberdayaan dan advokasi petani, buruh, nelayan, pengamen, gender, anak, penyandang cacatdispabel, masyarakat miskin perdesaan atau perkotaan, dan lainya. Sedangkan Pasar loak menunjukpada suatu pasar yang memperjualbelikan barang- barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan oleh pemilikya.Jual beli barang- barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan tersebut merupakan inti keberadaan pasar loak.Jual beli merupakan suatu aktivitas atau usaha bersama, tidak mungkin dilakukan sendiri.Aktivitas atau usaha bersama dalam jual beli di pasar loak terjadi karena adanya permintaan dan penawaran barang-barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan.Permintaan dan penawaran terhadap barang-barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan, oleh sebab itu, merupakantujuan dari keberadaan pasar loak. Karena ada masyarakat atau kelompok dalam masyarakat yang tidak mau berjual-beli di pasar loak, bahkan menghindari bersentuhan dengan pasar loak, seperti tidak mau berjalan kaki di dekat pasar loak, meski hanya sekedar melintasi tempat pasarnya. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa pasar loak dikonotasikan sebagai pasar miskin, yaitu pasar di mana dihadiri oleh para kaum miskin dan marjinal. Sehingga apabila seseorang hadir di sana ia merasa akan merendahkan status sosial dan marwah mereka sebagai orang kaya atau berstatus sosial tinggi Damsar, 1998a dan 2002. Pada level ini pasar loak sudah dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan, karena merupakan suatu aktivitas atau usaha bersama, khususnya terkait dengan jual beli barang- barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan.Apakah gerakan jual beli di pasar loak dimaksud untuk menunjang atau menolak perubahan, sehingga prasyarat terakhir dari gerakan sosial terpenuhi? Yang pasti keberadaan pasar loak telah memberi dampak suatu perubahan dalam masyarakat,yaitu adanya gerakan memperpanjang usia pakai dari suatu barang dan menunda penggunaan barang baru melalui jual beli barang-barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan, yang sebahagian bahan bakunya berasal dari alam. Di samping itu, gerakan ini juga berusaha merubah pandangan masyarakat tentang stigmatisasi pasar loak dan pelaku yang terlibat di dalamnya bagi masyarakat Bukittinggi Indonesia dan implementasi romantisme bagi masyarakat Bielefeld Jerman.Oleh dua prasyarat dari gerakan sosial telah terpenuhi, yaitu suatu aktivitas atau usaha bersama dan merubah masyarakat.

4. Gerakan Daur Ulang Sosial

Gerakan ini bisa disebut sebagai socialrecycling atau daurulang sosial , yaitu mendaurulang barang-barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan melalui jual beli barang-barang tersebut di pasar loak untuk digunakan atau dipakai ulang oleh orang lain.Gerakan ini, dengan demikian, merupakan gerakan daurulang barang bekas atau “sampah” untuk digunakan atau dipakai kembali. Gerakan daurulang sosial ini bukan tanpa hambatan, terutama di Indonesia, seperti stigmatisasi pasar loak sebagai pasar miskin dan barang bekas sebagai rombengan.Dalam masyarakat Minangkabau, seperti disebut di atas misalnya, kata pasar loak mempunyai sinonim yang terkait dengan makna negatip, yaitu “pasa misikin”. Kata “pasa misikin” dikenal sampai pada tahun 1980-an di Bukittinggi sebagai sinonim dari pasar loak. Kata ini memiliki makna bahwa pada pasar ini hanya orang-orang miskin saja membeli barang untuk dipakai sendiri atau menjual barang karena memerlukan uang segera. Jika ada orang yang bukan miskin datang ke sana, meskipun hanya untuk lewat, maka ia akan memperoleh stigma sebagai orang yang tidak berpunya. Oleh sebab itu orang-orang yang berasal dari kelompok lapisan menengah ke atas jangankan singgah ke pasar tersebut untuk melihat- 491 lihat apa yang sedang dijual di sana; sedangkan untuk lewat saja di jalan di mana pasar itu berada tidak dilakukan atau lebih tepatnya dihindari karena persoalan stigma tersebut. Kata “pasa misikin” menjadikan pasar loak bermakna negatip Damsar, 2005. Sekitar tahun 1990-an penggemar barang-barang bekas, khususnya busana dan asesorinya, di Sumatera Barat memakai kata butik sebagai sinonim dari kata pasar loak. Sedangkan kata butik itu sendiri dalam masyarakat modern Indonesia menunjuk pada suatu tempat di mana orang membeli barang-barang baru yang spesial dan eksklusif. Konstruksi sinonim baru bagi pasar loak merupakan konstruksi sosial dalam pemaknaan pasar loak, sehingga pasar loak yang maknanya negatip menjadi sesuatu hal yang positip Damsar, 2005. Rekonstruksi sosial terhadap makna pasar loak yang semula sebagai “pasar misikin” menjadi “butik”, lanjut Damsar 2005, merupakan strategi masyarakat untuk menghindari stigmatisasi sosial terhadap pengguna dan pembeli barang bekas. Stigmatisasi sosial tersebut juga dikonstruksi secara sosial. Rekonstruksi sosial bermula dari kebutuhan akan “busana layak pakai” begitu mendesak, sementara kondisi keuangan tidak memadai, dikarenakan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Keadaan tersebut dihadapi oleh banyak orang. Masyarakat harus memilih antara melakukan adaptasi terhadap krisis atau menghadapi hambatan budaya berupa stigmatisasi. Pilihan masyarakat adalah melakukan adaptasi. Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat adalah melakukan rekonstruksi makna pasar loak dari “pasa misikin” menjadi butik. Berdasarkan hasil penelitian lapangan aktor utama yang melakukan rekonstruksi makna pasar loak dari “pasa misikin” menjadi butik adalah orang-orang muda. Mereka menggunakan kata butik berkait dengan fesiyen, mode, kemewahan, dan kecantikan. Biasanya kalangan yang paling familiar dengan kata butik adalah orang-orang muda, karena orang-orang muda yang lebih banyak memperhatikan persoalan fesiyen, mode, kemewahan, dan kecantikan dibandingkan kelompok usia lainnya. Sedangkan kalangan orang tua terbawa arus rekonstruksi makna yang dilakukan oleh kalangan orang muda. Perubahan makna pasar loak dari “pasa misikin” menjadi butik telah membuka jalan bebas masuk dan keluar pasar loak. Karena hambatan dan rintangan stigma dari pasar loak sebagai “pasa misikin” telah hilang, maka setiap penawaran yang ada di pasar loak terhadap “barang layak pakai”, masyarakat menanggapinya dengan positip tanpa dibebani oleh beban sosial budaya, seperti pemaknaan terhadap suatu barang. Malahan dengan perubahan makna pasar loak sebagai butik memberikan status positip bagi pemakai barang- barang yang berasal dari butik. Karena bukankah butik adalah sebagai suatu pasar yang bersifat eksklusif, mewah, fesiyen, dan trendi. Dengan konsumsi barang yang berasal dari butik maka mereka termasuk juga dalam kelompok yang eksklusif, mewah, fesiyen, dan trendiDamsar, 1998b. Rekonstruksi sosial makna tidak hanya terjadi terhadap pasar loak tetapi juga pada barang bekas. Ada dua hal yang berkait dengan rekonstruksi ini : makna kata barang bekas dan barang bekas yang dimiliki. Pertama, makna kata barang bekas. Masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya pada mulanya menyebut barang bekas sebagai barang rombengan. Kata rombengan memiliki pengertian negatip, yaitu jelek, leceh, kusam, dan buruk. Ketika seorang anggota masyarakat ingin membeli barang rombengan, agar ia tidak dilecehkan, maka ia akan membeli barang tersebut secara sembunyi-sembunyi. Pedagang barang rombengan juga menciptakan petak bangunan sedemikian rupa sehingga orang lain tidak dapat melihat siapa saja yang datang kepadanya, apakah menjual atau membeli. Kedainya mirip warung nasi kaki lima yang ditutup sedemikian rupa pada waktu Ramadhan, bulan puasa. Kccuali bersengaja memperhatikan siapa saja yang masuk dan keluar dari kedai rombengan tersebut. Makna kata barang rombengan berubah seiring dengan perubahan makna kata “pasa misikin“ menjadi butik. Kata barang rombengan 492 menjadi barang butik. Perubahan ini menciptakan makna yang baru terhadap barang bekas, yang semula dipandang jelek, leceh, kusam dan buruk menjadi eksklusif, mewah, fesiyen, dan trendi. Perubahan makna seperti ini membuka kesempatan bagi orang untuk menikmati gayanya barang bekas karena makna negatipnya telah hilang Damsar, 2005. Kedua, makna barang bekas yang dimiliki. Pada masyarakat Minangkabau, menurut Damsar 2005, mulanya terdapat pandangan bahwa barang-barang pribadi seperti baju, celana, sepeda, dan sebagainya adalah personifikasi dari individu dan diri. Oleh sebab itu jika seseorang menjual barang-barang pribadi tersebut dimaknai sebagai menjual diri sendiri. Pandangan seperti ini bertahan sampai tahun 1980-an. Karena itu pula bisa dipahami mengapa tidak banyak masyarakat menjual barang bekas pribadi meski mereka butuh uang segera. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan pasar loak, karena pasokan supply barang-barang bekas dari masyarakat sedikit. Barang-barang pribadi sebagai personifikasi diri dari individu dan diri menunjukkan benda-benda memiliki kehidupan sosial. Dari perspektif ini, merujuk Lury 1998, benda- benda materi bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga mempunyai makna, dan bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial. Melalui perolehan, penggunaan dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian mempunyai kehidupan sosial. Seperti halnya rekonstruksi makna terhadap pasar loak, barang-barang bekas pribadi mulanya dipandang sebagai personifikasi individu dan diri mengalami rekonstruksi makna. Barang-barang pribadi, terutama bagi kelompok sosial menengah ke atas, telah sedemikian banyaknya, sementara ruang penyinpanan terbatas. Jalan keluar terhadap persoalan ini adalah perubahan terhadap pemaknaan terhadap suatu barang. Dengan kalimat lain, tidak semua dan sepanjang waktu barang-barang memiliki makna sosial yang sama. Pemaknaan barang diubah tergantung dengan konteks dan kebutuhan sosial terhadap barang-barang tersebut. Ketika barang-barang tertentu telah begitu banyak dan mengambil begitu banyak ruang maka akan ada proses penyeleksian kebutuhan terhadap suatu barang dan pemaknaannya. Ketika makna suatu barang diubah atau dinetralkan dari makna maka barang tersebut maka dapat dipergunakan untuk kepentingan apapun, termasuk sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan kepada orang lain Damsar, 1998b dan 2005. Sedangkan bagi kelompok sosial ekonomi bawah, kebutuhan uang segera dalam menghadapi persoalan hidup ekonomi, sosial, budaya dan agama yang semakin kompleks dan melelahkan, dapat mengubah pemaknaan barang-barang milik pribadi. Seperti kelompok sosial ekonomi menengah ke atas, kelompok ini juga mengubah makna barang dengan memperhatikan konteks dan kebutuhan sosial. Sehingga barang pribadi tertentu dapat dijadikan sebagai pelepas uang dijual ke pasar loak. Sekarang masyarakat memberi arti netral terhadap barang-barang bekas pribadi tertentu, terutama barang-barang pribadi yang berkaitan dengan rumahtangga atau keperluan bersama seperti koran bekas, aki bekas, dan lainnya adalah barang seperti barang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi terkandung personifikasi individu dan diri di dalam barang-barang bekas pribadi tertentu. Untuk barang-barang pribadi yang berkaitan dengan rumahtangga dan keperluan bersama menunjukkan pertumbuhan pasar yang signifikan. Pada saat ini banyak ditemukan orang yang berprofesi bergengsi seperti PNS membeli barang-barang bekas rumahtangga. Ini artinya penawaran terhadap barang tersebut relatif cukup tinggi. Sedangkan barang-barang pribadi yang biasanya melekat secara fisik dengan individu seperti busana, asesoris dan alas kaki, perkembangan pasarnya relatif stagnan. Walaupun tidak ada lagi makna bahwa barang-barang bekas pribadi tersebut sebagai personifikasi diri, namun tetap sedikit orang yang menjual barang-barang bekas pribadi ke pasar loak. Hal ini dikarenakan barang-barang bekas di pasar loak selain “layak pakai” 493 juga harganya sangat murah. Untuk segala busana, misalnya, harganya dua ribu rupiah. Sehingga kebanyakan orang enggan menjual barang-barang bekas pribadi yang melekat secara fisik ke pasar loak, karena harganya sangat murah sekali. Berbeda dengan pasar loak Bukittinggi, pasar loak Bielefeld memiliki sejarah yang lebih panjang. Dalam tradisi pemikiran Jerman, seperti dijelaskan Damsar 1998b, dikenal Romantisme Jerman. Dalam Romantisme Jerman terdapat pandangan bahwa kita hidup dalam dunia yang kita ciptakan sendiri dan prinsip bahwa kreatifitas tidak terbatas dan beragam Hawthorn, 1987: 37. Di samping itu, romantisme juga melihat bahwa hidup adalah bermakna dan baik 1981: 2. Berdasarkan atas ide tersebut, oleh karena itu, orang Jerman dapat menciptakan hidup mereka bermakna dan sebaik mungkin sesuai dengan keinginan mereka melalui kreatifitas mereka, termasuk kreatifitas di pasar loak.Kreatifitas di pasar loak oleh aktor pasar loak Jerman dipandang salah satu cara mereka untuk menyelamatkan lingkungan melalui transaksi barang-barang bekas, kuno, antik, atau yang tidak lagi digunakan.Kreatifitas pasar loak disadari oleh orang Jerman sebagai bentuk dari daur ulang sosial. Kesadaran terhadap penyelamatan lingkungan hidup tidak hanya diwujudkan dalam kreatifitas mereka di pasar loak dan konstruksi hukum melalui pengaturan pembuangan sampah dan sejenisnya. Tetapi juga telah mengkristal dalam suatu level kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran politik. Perwujudan kesadaran politik tersebut dikristalkan dalam pembentukan partai politik, bernama the Grüne Partai Hijau pada tahun 1980 di Karlsruhe.

5. Pasar Loak Sebagai Gerakan Lingkungan Global