METODE PENELITIAN TEMUAN DAN PEMBAHASAN

254 yang menyimpulkan bahwa masyarakat adat hidup dalam lingkungan yang menantang dan terlibat dalam negoisiasi yang kompleks, sehingga ditemukan prinsip lingkungan sosio kultural dalam penyelesaian konflik. Pada sisi partisipasi dalam penyelesaian konflik dibahas oleh Gloper 2008 dalam penelitiannya tentang pentingnya melibatkan semua stakeholder dalam menentukan perencanaan kepemilikian lahan, sehingga diperlukan pengambilan kebijakan tentang lahan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat Pratap, 2010. Sebagai perbandingan hasil penelitian Cain 2010 di Angolamenemukan pendekatan aprtisipatif untuk pengolahan lahan menjadi projek percontohan terutama bagi pemerintah dengan tujuan mempengaruhi program nasional yang baru untuk perumahan dan pemukiman di perkotaan. Temuan penelitian yang dilakukan di beberapa negara menekankan perlakuan masyarakat yang lebih diutamakan dalam upaya meredam dan mengendalikan konflik, namun pendekatan mediasi untuk menyelesaikan konflik dapat menjadi salah satu alternatif. Menurut Barsky 2000, penyelesaian konflik dapat lebih efektif dengan menggunakan model mediasi antar kelompok dan proses terkait. Konflikantar kelompok yang disebabkan oleh perbedaan nilai inisial ,keyakinan, konflik seperti itu sering dipersulit oleh stereotip, prasangka, mis-komunikasi, dan bentuk kesalah pahaman.Model untuk menangani konflikantar kelompok melalui debat, dialog, pemecahan masalah, danintervensi berbasisi dentitas. Sejalan dengan Alfitri dkk 2014, bahwa kelembagaan non formal berupa hukum adat yang dipraktekkan melalui pengadilan adat, dengan prinsip mengedepankan ruang dialogis, penyampaian pendapat secara seimbang tanpa tekanan, sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, telah mampu memberikan ruang damai dan harmonis secara berkelanjutan bagi masyarakat adat di Sumatera Selatan. Terkait metode penyelesaian konflik pertanahan,tentunya diperlukandukungan basis data yang komprehensif dan detail dari berbagai perspektif, baik dari masyarakat, perusahaan atau pemerintah. Menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu mengkaji secara komprehensif akar konflik, dinamika, dan penyelesaian konflik lahan, sebagai dasar rumusan kebijakan bagi pemangku kepentingan.

3. METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pertimbangan data akan lebih dalam digali dan dipahami dengan menggunakan peneliti sebagai instrumen utama. Penggalian data dilakukan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terpokus, observasi. Data primer dan data sekunder, akan dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan utama penelitian. Konflik yang dikaji yaitu petani desa Rengas dan desa Limbang Jaya dengan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Alasan dipilihnya kedua lokasi tersebut dikarenakan kedua lokasi konflik memiliki akar yang sama tetapi rentang waktu konflik yang berbeda,sehingga akan memberikan gambaran bagi mekanisme penyelesaian yang terjadi. Selain itu untuk memperkuat argumentasi dalam rekomendasi proses penyelesaian lebih lanjut.

4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah Konflik Hadirnya PTPN VII dan Hilangnya Hak Kelola Petani PTPN VII Cinta Manis berdiri berdasarkan SK Mentan No. 076MentanI1981 Tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan yang merupakan upaya pemerintah guna memenuhi Swasembada gula dalam negeri. Pada awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai 21.358 Ha. Penyediaan lahan pembangunan Perkebunan dan Pabrik Gula Cinta Manis 255 melalui SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379I1981 tanggal 16 November 1981. Pemerintah dan perusahaan melakukan sosialisasi menjanjikan masyarakat akanmendapatkan ganti rugi, jaminan pekerjaan, fasilitas pendidikan, kesehatan. Tetapi kenyataannyapratek penyediaan lahan dilakukan melalui penggusuran secara paksa, peminggiran masyarakat, dan intimdasi oleh aparat keamanan, termasuk di wilayah Rengas dan Limbang Jaya. Tindakan tersebutmengakibatkan lahan pertanian masyarakat yang telah dikelola turun temurun beralih fungsi, menjadi bagian dari proyek perkebunan. Berdasarkan data pergerakan petani Rengas lahan masyarakat Rengas yang terkena dampak yaitu selus 2.535 Hektar, sedangkan yang diganti rugi 824 Hektar.Pengukuran kembali lahan dilakukan oleh masyarakat Desa Rengas berdasarkan pada peta desa dan berita acara ganti rugi oleh TIM 9 Pembebasan lahan, sedangkan untuk lahan di Desa Limbang Jaya seluas 641 Hektar lahan yang diambil alih oleh perusahaan. Struktur masyarakat pertanian, akhirnya bergeser sejak kehadirian perusahaan. Masyarakat beralih profesi menjadi buruh harian, merantau, dan harus meninggalkan desa untuk beberapa tahun lamanya mencari tempat menjadi buruh pertanian di daerah lain. Secara ekonomi adanya pergeseran sumber daya ekonomi tersebut secara alamiah berpengaruh pada kondisi sosiol ekonomi masyarakat. Perbedaan Landasan Klaim Logika hukum formal menjadi dasar klaim perusahaan terhadap lahan rakyat, misalkan lahan dilakukan ganti rugi dengan bukti kepemilikan yang sah secara hukum, selain itu klaim lain yaitu lahan yang memiliki bukti tanam tumbuh sebagai salah satu bukti kepemilikan, sedangkan masyarakat memiliki klaim pengakuan lokal dalam memahami kepemilikan, luasan, batas dan hak kelola. Perbedaan kontruksi landasan klaim inilah yang menjadi pemicu kontestasi konflik lahan. Masyarakat desa Rengas dan Limbang Jaya serta masyarakat desa di Sumatera Selatan secara umum, diatur berdasarkan pemerintahan marga, dalam praktek pengaturan masyarakat berdasarkan Undang-Udang Simbur Cahaya. Penguasaan lahan batasan ladang dan mekanisme pengaturan pengelolaan lahan disebutkan secara jelas pada bab mengenai “Aturan Dusun dan Berladang”. Misalkan dalam pasal 27 Undang-undang Simbur Cahaya menyebutkan bahwa : “Jika orang yang berladang di marga asing hendaklah minta izin pada pasirahnya dan ia membayar sewa bumi pada yang punya tanah di dalam satu bidang 1 rupiah, dan itu uang pula pada orang banyak. Dan yang melanggar ini dapat kena denda 6 R “ Maling Utan”. dan pasal 28 “Jika orang yang numpang bertalang atau berkebun di tanah lain dusun atau marga hendak balik ke dusun sendiri, ia punya tanaman segala pulang pada yang punya tanah”. Menurut Collins 2008, penguasaan lahan oleh masyarakat di Sumatera Selatan berdasarkan konsensus, satu komunitas dapat memberi hak kepada pendatang untuk mengelola tanah adat atau ulayat. Berbeda dari hak kepemilikan formal, hak pengelolaan oleh perorangan hanya berlangsung selama lahan itu ditanami. Jika lahan ditinggalkan atau tidak digarap lagi hak kepemilikan kembali kepada komunitas. Sejak berlakukanya hukum formal dalam pengakuan terhadap penguasaan lahan dan pengelolaa lahan, serta penghapusan pemerintahan marga. Dasar klaim yang selama ini hidup dan telah terinternalisasi dalam masyarakat menjadi lemah dihadapkan dengan pendekatan formal oleh negara dan perusahaan. Legitimasi perusahaan dengan hukum formal dalam konflik menjadi pemicu utama menjalar dan melembaganya konflik. INTENSITAS DAN DINAMIKA KONFLIK 256 Membaca Fase Konflik Masyarakata Desa Rengas Temuan penting dalam mapping konflik petani desa Rengas yaitu setting sosial politik telah memberikan kontribusi bagi hadirnya konflik sebagai respon alamiah dari setiap kebijakan yaang dianggap menegasikan rakyat. Secara historis konflik Rengas telah melalui dua fase prakondisi sosio politik yaitu pada masa sebelum reformasi Orde Baru, dan pasca reformasi: Sebelum Reformasi 1981-1998 Kehadiran perusahaan perkebunan sejak tahun 1981, dengan praktek pembebasan lahan tidak transparan, tidak ada ruang dialogis menjadi akar historis lahirnya konflik yang masif dan berkelanjutan.Kondisi tersebut tergambar dalam tabel berikut: Tabel 1.Pemetaan Aktor dan Isu dalam Konflik Masyarakat Desa Rengas dan PT. PTPN VII Fase Sebelum Reformasi Fase Sebelum Reformasi 1981-1998 Masyarakat Desa Rengas PT. PTPN VII Isu dan Legitimasi - Ganti rugi murah - Pembebasan lahan tidak transparan - Proses ganti rugi tanpa negosiasi - Penyerobotan lahan - Tindakan represif aparat - Sistem tenurial lokal kepemilikan adat - SK Mentan Nomor 076MentanI1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan - SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379I1981 tanggal 16 November 1981 Aktor - Kriyo Kepala Desa - Sebagian kepala keluarga - Sebagian tokoh masyarakat - Satgas dan Karyawan - Manajemen PT. PTPN VII Humas - Aparat kemananan Tentara - Pemerintah daerah Tim 9 Pendekatan - Menolak ganti rugi - Melakukan protes dalam skala kecil - Litigasi peradilan - Litigasi peradilan - Mediasi, melalui ganti rugi - Kerjasama dengan Pemerintah Daerah Penyelesaian - Tidak Tercapai - Ganti Rugi Sebagian lahan masyarakat Sumber : Analisis Data Primer, Juni 2015 Fase sebelum reformasi Orde Baru, ditandai dengan kuatnya dominasi negara terhadap rakyat, sehingga tidak ada ruang bagi kehidupan yang demokratis. Penindasan dan peminggiran rakyat demi kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tontonan dan direspon melalui perlawanan tanpa kekerasan dari rakyat. Setting sosial politik merupakan prakondisi lahirnya konflik yang terjadi antara masyarakat Rengas dengan perusahaan dan negara pada waktu itu. Selain prakondisi sosial politik Orba yang membingkai konflik, isu dan kondisi riil yang mendasari konflik yaitu pertama; praktek pembebasan lahan yang tidak transparan, 257 kedua; ganti rugi lahan dengan harga yang sangat murah, ketiga; proses ganti rugi tanpa negosiasi, keempat; tindakan refresif aparat keamanan saat melakukan pembebasan lahan. Dasar legitimasi yang mendasari klaim masyarakat terhadap kepemilikan lahan yaitu sistem tenurial lokalatau hukum adat, sedangkan PTPN VII dengan dasar klaim legal yaitu 1 SK Mentan No. 076MentanI1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan. 2 SK Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Selatan No. 379I1981 tanggal 16 November 1981, tentang penyediaan lahan. Aktor yang terlibat dalam kontestasi konflik yaitu pertama pihak masyarakat Rengas yaitu KriyoKepala Desa. Pada fase ini masih sedikit masyarakat yang terlibat dan ambil bagian dalam penolakan terhadap kehadiran perusahaan. Strategi perlawanan diawal masuknya perusahaan dilakukan oleh aktor-aktor Rengas yaitu menolak ganti rugi, melakukan protes dalam skala kecil dalam lingkup ikatan kekeluargaan. Dari pihak perusahaan aktor yang terlibat dalam konflik yaitu dari Manajemen Perusahaan Humas, Satgas dan Karyawan, aktor aparat keamanan Tentara, Pemerintah Daerah Tim 9. Untuk memuluskan rencana dan operasional perusahaan pendekatan yang digunakan oleh perusahaan yaitu dengan strategi bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, Aparat Keamanan, mediasi, ganti rugi dan jalur litigasi peradilan. Tahun 1996 akhir fase pertama masyarakat mengalihkan strategi perlawanan dengan jalur litigasi peradilan. Upaya litigasi ditempuh oleh kelompok masyarakat Desa Rengas yang merasa belum pernah menerima ganti rugi dari lahan mereka yang digusur oleh perusahaan. Upaya litigasi dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi oleh kuasa hukum, Syahziar Syaarani, S.H., dan gugatan dimenangkan oleh masyarakat Desa Rengas hingga sampai ke Mahkamah Agung MA RI. Keputusan Mahkamah Agung RI menyebutkan bahwa lahan yang belum dibebaskan adalah milik warga masyarakat Desa Rengas, tetapi sejak ditetapkan keputusan tersebut tidak dilakukan eksekusi oleh pengadilan, hingga berakhirnya fase konflik di era Orde Baru. Kendala lain menggunakan jalur litigasi yaitu tidak semua masyarakat mampu membayar kuasa hukum, sehingga tidak semua lahan masyarakat yang memiliki surat tersebut dimenangkan oleh pengadilan, padahal menurut Misbah, berdasarkan pendapat kuasa hukum pada waktu kasus yang sama, sehingga kemenangan salah satu tuntutan dianggap kemenangan semua masyarakat. Pasca Reformasi 1998-Sekarang Memasuki era reformasi, di mana kebebasan mulai diadikan ukuran dalam pengembilan kebijakan, terutama dalam pelibatan partisipasi masyarakat, telahmemberikan pengaruh penggunaan strategi dan trik lebih variatif dalam konstelasi konflik yang terjadi antara masyarakat Rengas dan perusahaan, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut: Tabel 2. Pemetaan Aktor dan Isu dalam Konflik Masyarakat Rengas dan PT. PTPN VIIFase Reformasi Fase Reformasi 1998-Sekarang Masyarakat Rengas PTPN VII Isu dan Legitimasi - Penyerobotan Lahan - Tindakan refresif aparat Meninggalnya Kryo - Kemenangan Gugatan di MA - SK Mentan No. 076MentanI1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan 258 - SK Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Selatan No. 379I1981 tanggal 16 November 1981 Aktor - Tokoh Masyarakat - Tokoh Agama - WALHI Sum-Sel Pihak ketiga - LBH Palembang Pihak ketiga - SPI Pihak Ketiga - Satgas dan Karyawan - Manajemen PT. PTPN VII Humas Pendekatan - Perjuangan kolektif - Aksi massa, protes - Konfrontasi - Mediasi - Litigasi - Mediasi Penyelesaian - Reklaiming - Menarik diri Sumber: Analisis Data Primer, Juni 2015 Isu pada fase reformasi merupakan lanjutan dari fase sebelumnya. Kemenangan di MA RI menjadi alas legitimasi formal dari masyarakat, setelah sebelumnya difase pertama hanya mengandalkan klaim melalui sistem tenurial lokal, sedangkan dasar klaim dan ligitimasi perusahaan masih sama yaitu berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian dan Gubernur Sumatera Selatan, serta dokumen ganti rugi. Memasuki fase reformasi aktor masyarakat yang terlibat perlawanan terhadap perusahaan kian meningkat, aktor tersebut misalkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan didukung oleh hampir semua lapisan masyarakat. Meningkatnya jumlah aktor dan massa yang terlibat dalam konflik tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik yang mulai terbuka. Konfrontasi mulai diperankan dalam panggung perseteruan antara masyarakat dengan perusahaan. Mengimbangi semakin massif gerakan masyarakat, perusahaan tetap dengan pendekatan hukum formal dan memperkuat dukungan ekonomi politik terhadap stakeholder untuk terlibat dalam konstelasi konflik yaitu aparat keamanan dalam hal ini aparat kepolisian. Fase ini melahirkan banyak pendekatan yang dilakukan oleh kedua belahpihak, dan peran pemerintah mulai hadir dalam ruang-ruang dialogis mencari jalan solusi yang tak pernah tercapai. Aktor lokal telah membawa konflik ke ruang eskalasi yang memucak menjadi konflik kekerasan. Mobilisasi massa secara besar-besaran dan tindakan menguasai lahan menjadi strategi penting dalam konflik bagi masyarakat. Tindakan tersebut dibalas dengan tindakan pencegahan oleh perusahaan didukung oleh satgas dan aparat keamanan, tetapi akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap konflik yang tak kunjung usai sehingga situasi konflik mengarah pada tindak kekerasan dilakukan oleh kedua bela pihak. Tahun 2009 puncak dari konflik yang meletus menjadi kekerasan terbuka antara masyarakat, perusahaan dan aparat keamanan. Menurut Abdul Kholek 2011, tercatat 12 korban penembakan masyarakat Desa Rengas saat terjadi konflik kekerasan di lahan yang disengketakan. Kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat Brimobda Sumatera Selatan dengan melakukan pengamanan asset perusahaan merupakan tindakan kekerasan dan dianggap sebagai puncak krisis dari konflik. Pasca konflik kekerasan muncul dukungan dari unsur masyarakat sipil, memberikan kekuatan baru dan semakin sistematisnya gerakan yang dibangun oleh 259 masyarakat Desa Rengas. Wahana Lingkungan Hidup WALHI Sumatera Selatan dan Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan adalah institusi yangberperan cukup penting dalam upaya strategi konfrontasi melalui aksi massa sistematis, dan melakukan desakan kepada pengambil kebijakan. Institusi lain adalah Lembaga Bantuan Hukum LBH Palembang lebih menekankan pada asfek pelanggaran HAM atas penembakan warga Desa Rengas. Tahun 2010 masyarakat yang didukung oleh unsur masyarakat sipil melakukan reklaiming lahan yang disengketakan seluas 1.529 Ha. Reklaiming yang dilakukan oleh masyarakat sebagai tindakan akhir dikarenakan proses penyelesiaan melalui mediasi dan dialog tidak menghasilkan kesepakatan yang diinginkan. Landasan klaim reklaiming yaitu kemenangan di MA, sistem tenurial lokal, hasil pengukuran kembali oleh masyarakat secara partisipatif, dan didapatkan informasi mengenai perusahaan tidak memiliki HGU dilahan yang disengketakan. Hingga kini masyarakat telah mengelola lahan tersebut, dan membagikan kepada seluruh warga Rengas yang ikut melakukan perlawanan terhadap perusahaan. Konflik Masyarakat Desa Limbang Jaya, sebagai Eskalasi Pemicu utama konflik Limbang Jaya dan PTPN VII Cinta Manis, yaitu kemenangan masyarakat Rengas dalam menguasai kembali lahan yang dikelola oleh perusahaan, melalui upaya reklaiming. Kasus Limbang Jaya tidak ditemukan catatan sejarah perlawanan masyarakat dalam menentang hadirnya perusahaan.Awal terseretnya masyarakat Limbang Jaya dalam konstelasi konflik dengan perusahaan yaitu saat bergabungnya beberapa aktor kedalam organisasi “Gerakan Petani Penesak Bersatu” GPPB, sejak tahun 2011. Berdirinya GPPB sebagai pelembagaan gerakan perlawanan masyarakat terhadap PTPN VII Cinta Manis. Gerakan ini terinspirasi dari kemenangan masyarakat Rengas dalam merebut kembali lahan yang dikelola oleh perusahaan sejak tahun 1981, melalui aksi reklaiming. GPPB mencakup wilayah 7 tujuh kecamatan dan 22 Desa dengan jumlah anggota lebih kurang 6.611 KK. Luas lahan yang dituntut oleh GPPB yaitu 21.000 hektar, lahan tersebut tesebar di 7 tujuh kecamatan, termasuk didalamnya wilayah Desa Limbang Jaya dengan luas 641 Hektar. Tuntutan GPPB yaitu mendesak pengembalian lahan yang dikelola oleh perusahaan dengan dasar argumentasi sebagai berikut pertama; proses ganti rugi yang masih bermasalah; kedua; keberadaan perusahan merubah struktur masyarakat dari petani produktif menjadi buruh tani; ketiga; minimnya penyerapan tenaga kerja masyarakat lokal; keempat; tindakan represif aparat keamanan; kelima; minimnya kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah. Berbagai strategi dilakukan oleh organisasi dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Gerakan yang dibangun dengan cakupan yang relatif luas mengakibatkan rentang kendali kurang maksimal. Pengalaman perlawanan petani Rengas serta strategi yang diterapkan mangadopsi pola-pola yang hampir sama. Isu pembebasan lahan dan ganti rugi lahan dimunculkan kembali untuk membangkitkan semangat aktor dalam memobilisasi massa di masing-masing desa untuk masuk kedalam ruang konfliktual. Intensitas konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Limbang Jaya dan PTPN VII Cinta Manis, semakin meningkat saat pola konfrontasi mulai menjadi strategi utama yang dimainkan oleh aktor terlibat konflik.Banyak aktor yang dikriminalisasikan dalam konflik tersebut, kondisi ini telah menarik aparat keamanan kedalam kontestasi konflik. Pola ini hampir sama dengan kasus Desa Rengas dan konflik pertanahanlain yang terjadi di Indonesia. Puncaknya yaitu ketiga ratusan aparat kepolisian besenjata lengkap masuk ke Desa Limbang Jaya, untuk menangkap salah satu aktor penggerak, pendekatan represif telah 260 menyulut kemarahan masyarakat sehingga terjadinya bentrok hingga beberapa masyarakat terkena tembak, dan satu warga Angga 12 Tahun meninggal dunia terkena peluru tajam oleh Brimob di Desa Limbang Jaya pada tanggal 27 Juli 2012. Aksi massa, kriminalisasi, tindakan represif dan jatuhnya korban menjadi tontonan wajib setiap kontestasi konflik pertanahan. Dalam persfektif perusahaan pengerahan aparat keamanan untuk pengawalan asset dan mendorong konflik keranah litigasi, merupakan trik untuk membentengi mereka agar tidak terlibat langsung kedalam konflik terbuka, shock therapy bagi masyarakat bahwa perlawanan tersebut sebagai bentuk penentangan terhadap negara. Disisi lain aktor gerakan masyarakat memanfaatkan kekerasan untuk menaikkan isu dan mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik. Tetapi dalam kasus Limbang Jaya, kekerasan dan kriminalisasi ternyata berimbas pada menurunnya semangat dan totalitas keterlibatan masyarakat, serta banyak aktor-aktor kunci yang menarik diri dari kontestasi konflik, sehingga pola konflik Rengas yang berujung dengan reklaiming tidak mampu direalisasikan oleh masyarakat Limbang Jaya maupun GPPB. Kondisi ini mengalihkan kembali konflik keranah laten, dan menjadi bara dalam sekam yang bisa menjalar dan meletus kembali dalam konflik yang lebih besar dan sistemik. Upaya Penyelesaian Konflik Jalur Advokasi NGO Non Goverment Organization Konflik di Desa Rengas mulai didampingi secara intensif oleh NGO pasca penembakan 12 petani di lahan yang disengketakan tahun 2009, sedangkan konflik di Limbang Jaya dua tahun kemudian setelah terhimpun dalam GPPB tahun 2011. Advokasi Rengas oleh WALHI Sumatera Selatan, SPI, dan LBH Palembang, sedangkan di Desa Limbang Jaya melalui organisasi lokal yaitu Gerakan Petani Penesak Bersatu GPPB. Penyelesaian konflik baik Rengas maupun Limbang Jaya melalui jalur advokasi NGO, menitikberatkan pada strategi bertindak secara terorganisir, sistematis, propaganda, lobby, aksi massa, konfrontasi, dan mediasi Kholek, 2011. Pola-pola tersebut diterapkan dengan metode yang sama dalam kedua kasus konflik tersebut, meskipun dalam rentang waktu yang berbeda. Tabel 3. Penyelesaian Konflik Jalur Advokasi Kasus Desa Rengas dan Limbang Jaya No Subjek Konflik Jalur Advokasi Aksi Massa Konfrontasi Lobbi Mediasi 1 Petani Rengas + + - - 2 Limbang Jaya + + - - Sumbe : Analisis Peneliti, 2015 Tabeltersebut memberikan gambaran mengenai jalur advokasi NGO bersama masyarakat sebagai subjek konflik. Baik kasus Desa Rengas maupun Desa Limbang Jaya semua terlibat dalam upaya penyelesaian melalui lobby, mediasi, aksi massa, dan konfrotasi. Kedua konflik tersebut lebih dominan menitikberatkan pada pendekatan jalur aksi massa, dan kofrontasi atau perlawanan langsung. 261 Aksi massa dan konfrontasi bukan sebagai langkah akhir dalam penyelesiaan konflik tetapi sebagai upaya awal untuk mendesak pihak yang berwenang. Misalkan dalam kasus Rengas pasca penembakan warga yang menduduki lahan, tercatat beberapa kali upaya untuk mendesak pemerintah dalam penanganan konflik lahan. Isu yang didorong dalam berbagai aksi massa yaitu agar pengambil kebijakan segera mengambil tindakan penyelesaian terhadap konflik yang telah berlarut-larut tersebut. Keterlibatan masyarakat Desa Rengas dan Desa Limbang Jaya dalam aksi massa di level lokal, maupun nasional sebagai wujud perjuangan masyarakat untuk mendapatkan jalan penyelesiaan koflik. Jika dianalisis aksi massa sebagai langkah awal mendorong penyelesiaan konflik, sepertinya capaian dari strategi tersebut masih minim dalam mendorong penyelesaian konflik, karena dalam setiap aksi massa dari level lokal sampai nasional respon pemangku kepentingan tetap sama yaitu tidak memiliki komitmen kuat terhadap penyelesaian konflik, dan terkesan mengambil jarak terhadap konflik, serta saling lempar tanggung jawab. Kasus yang menimpa petani Desa Rengas yang melakukan aksi reklaiming sebagai wujud nyata dari upaya konfrontasi, setelah jalur aksi massa mendesak dan mendorong pemangku kepentingan untuk hadir dalam ruang penyelesaian dianggap gagal. Upaya reklaiming sebagai jalur penyelesaian jangka pendek yang dianggap paling rasional oleh masyarakat, untuk memastikan lahan yang disengekatan dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun reklaiming tidak bisa dianggap sebagai penyelesiaan sengketa, tetapi dalam persfektif masyarakat jalan ini sebagai bentuk riil perlawanan sesungguhnya, terhadap perusahaan dan negara yang tidak hadir dalam upaya mencari alternatif pemecahan masalah.Tetapi untuk kasus Limbang Jaya, upaya reklaiming tidak memberikan hasil, dikarenakan tidak adanya basis historis dari perlawanan masyarakat, sehingga upaya konfrontatif tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Jalur Mediasi Pemangku Kepentingan Upaya advokasi dilakukan oleh masyarakat sipil, telah memberikan efek positif dengan adanya tindak lanjut oleh pemangku kepentingan. Dalam hal ini Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, DPRDRI, BPN, Kementerian BUMN, Kepolisian. Tetapi mediasi sebagai jalan normatif yang ditempuh oleh pemangku kepentingan dalam meminimalisir dampak negatif dari konflik yang terjadi. Sehingga mediasi belum merujuk pada penyelesaian yang komprehensif, dan berkelanjutan. Mediasi yang dipraktekkan hanya sebatas peredam sementara dari pertikaian kedua bela pihak yang berkonflik. Kasus Desa Rengas maupun Limbang Jaya tercatat beberapa kali jalur mediasi dilakukan, dalam upaya mencari jalan penyelesaian yang diterima oleh kedua bela pihak.Tuntutan masing-masing pihak dalam praktek mediasi, memang tidak ditemukan titik kesepakatan. Poin yang ditawarkan masyarakat dianggap tidak logis, baik oleh perusahaan maupun oleh pemerintah, dan dianggap akan memicu pelanggaran hukum menurut persfektif aparat penegak hukum. Pada sisi lain, perwakilan masyarakat beranggapan bahwa tawaran tersebut sebagai akar dari penyelesaian konflik yang berlarut- larut. Dilevel kebijakan pemerintah, dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 896KPTSI2013 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Fasilitasi Penanganan Konflik Pertanahan Antara PetaniWarga Sekitar Perkebunan Cinta Manis Dengan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir. Tim terpadu menggunakanmetode verifikasi yaitu komparasi data warga yang mengklaim lahan dengan data ganti rugi dari PTPN VII Cinta Manis berdasarkan bukti legal. Tim terpadu kinerja tidak efektif kerena perspektif penyelesaian konflik lahan hanya pada dokumen ganti rugi, bukti kepemilikan lahan secara formal, tanpa melibatkan 262 catatan-catatan historis mengenai peristiwa pembebasan lahan, serta pengakuan terhadap hukum adat mengenai kepemilikan lahan masyarakat yang telah tumbuh secara turun temurun. Fakta tersebut sebagai salah satu kelemahan dalam penyelesaian konflik yang dimediasi oleh pemerintah, sehingga win-win solution tidak pernah terwujud dalam ruang mediasi. Baik kasus petani Desa Rengas maupun masyarakat Desa Limbang Jaya, meskipun adanya tim terpadu penyelesaian konflik lahan yang dibentuk oleh pemernitah, tetapi belum mampu memberikan penyelesaian yang berkelanjutan,karena ruang penyelesaian yang ditempuh tidak menyentuh kepada substansi permasalahan, sehingga konflik hanya diredam sementara, dan kemungkinan besar pegulangan konflik menjadi kekerasan sangat terbuka dikemudian hari.

5. KESIMPULAN