17
Studi lainnya adalah studi tentang Kasus Cerai Gugat Suami Isteri Berpendidikan Tinggi di Kecamatan Depok, Sleman, Jogjakarta Tahun 2007-2009; yang dilakukan oleh
Sun Choirul Ummah. Menurut Sun terdapat faktor internal dan faktor eksternal penyebab cerai gugat. Untuk faktor internal diantaranya terkait dengan persepsi terhadap kesetaraan
gender dari pihak istri, sedangkan untuk faktor eksternal diantaranya karena campur tangan pihak ketiga baik orang tua maupun kerabat dekat. Studi lainnya dilakukan Nunung Susfita,
berjudul Cerai Gugat di Kalangan Masyarakat Kota Mataram, Studi Kasus di Peradilan Agama Kelas 1A Mataram Tahun 2004-2005. Berdasarkan hasil studi Susfita penyebab
terbanyak cerai gugat karena faktor ekonomi 40, diikuti faktor akhlak 25 dan faktor KDRT 10. Mengingat lokus studi hal ini dapat dipahami, meski kondisi serupa belum
tentu terjadi di Kota Padang.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif jenis studi kasus tiga kasus cerai gugat, dengan observasi dan wawancara mendalam sebagai metode utama
pengumpulan data. Sebagai catatan mengingat usia kritis perkawinan berada pada rentang usia pernikahan 1-5 tahun masa perkawinan, kasus yang dipilih adalah kasus dengan usia
pernikahan 1-5 tahun dan telah bercerai maksimal 3 tahun terakhir dengan pertimbangan bahwa informan masih cukup baik mengingat proses perceraian yang terjadi dan bahwa
proses perceraian pada rentang waktu tersebut sudah diputus oleh pengadilan. Sebagai key informan adalah pihak istri selaku pelaku cerai gugat, serta informan lainnya yaitu suami
sebagai pasangan yang dicerai gugat, atau unsur keluarga dekat yang mendampingi proses cerai gugat suami tidak dijadikan key informan mengingat dalam kasus cerai gugat
umumnya keberadaan suami sulit untuk diketahui atau jika diketahui sulit untuk diajak berkomunikasi, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural pengadilan agama,
serta pejabat Kankemenag Kota Padang termasuk pejabat KUApenghulu. Selain itu juga dihimpun data pendukung baik dari literatur, dokumen, dan laporan dari institusi terkait,
maupun pemberitaan media massa. Selain di Kota Padang, studi Litbang Kemenang yang dilakukan pada April 2015 ini juga dilakukan di beberapa daerah lainnya, namun khusus
untuk Kota Padang juga didalami peran adat dalam fenomena cerai gugat yang terjadi.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum.
Sebagaimana terjadi di hampir banyak daerah di seluruh Indonesia, terdapat trend peningkatan angka cerai gugat di Kota Padang dari tahun ke tahun 2008-2013, yaitu:
Tabel 1
Kasus Perceraian di Kota Padang Tahun 2008 – 2013
TAHUN JUMLAH
PERKARA CERAI TALAK
CERAI GUGAT Jumlah
Prosentase Jumlah
Prosentase 2008
771 261
38 424
62 2009
728 246
35 462
65 2010
851 278
33 573
67 2011
851 328
35 615
65
18
2012 1042
354 34
688 66
2013 1052
351 33
701 67
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Klas I A Padang, tahun 2008-2012 data diolah
Mengenai apa yang menjadi penyebab, tak ditemukan data yang secara spesifik menyebut faktor terjadinya cerai gugat. Data yang tersedia hanya menyebut penyebab
perceraian secara umum, yaitu tidak adanya keharmonisan dan tidak ada tanggung-jawab, sebagai penyebab utama mengingat selalu muncul dengan frekuensi tertinggi selama kurun
waktu 2010-2014. Selain itu terdapat faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, dan cemburu serta krisis akhlak, poligami, dipenjaradihukum, kekejaman jasmani cacat biologis,
KDRT, dan penganiayaan yang muncul dengan frekuensi relatif rendah tabel 2. Meski tidak terdapat data spesifik tentang penyebab cerai gugat, mengingat kasus cerai gugat
cukup dominan terjadi, data tersebut dapat dijadikan sebagai informasi umum.
Tabel 2
Penyebab Perceraian di Kota Padang Tahun 2010-2014 No Penyebab Perceraian
2010 2011 2012 2013 2014 1. Poligami Tidak Sehat
2 4
5 2. Krisis Akhlak
8 31
35 3. Cemburu
2 22
68 16
18 4. Ekonomi
72 126
42 39
5. Tidak Ada Tanggung-jawab 143
328 468
243 169
6. Kawin Dibawah Umur 3
7. DihukumDipenjara 2
1 8. Cacat BIologis
3 9. KDRT
10. Gangguan Pihak Ketiga 30
18 76
132 127
11. Tidak Ada Keharmonisan 301
322 304
548 693
12. Penganiayaan 2
13. Kekejaman Jasmani 2
31 18
Sumber: Pengadilan Agama Padang Tahun 2014 data diolah.
4.2. Proses Mediasi.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Perma No.1 Tahun 2008, Majelis Hakim Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian termasuk cerai
gugat, dilakukan melalui proses mediasi yang berlangsung maksimal 40 hari. Untuk kasus cerai gugat, proses mediasi tidaklah mudah dilakukan mengingat dalam banyak kasus cerai
gugat, pihak suami umumnya tidak datang sementara proses mediasi mensyaratkan kehadiran kedua-belah pihak. Karenanya proses mediasi untuk cerai gugat relatif sangat
jarang terjadi, untuk tidak mengatakan tidak pernah dilakukan. Karena itu pula penyelesaian kasus cerai gugat relatif lebih cepat, dapat diselesai putus dalam waktu kurang
dari satu bulan
19
Proses mediasi sendiri ditangani tiga hakim, yang sejak tahun 2013 juga melibatkan 2 orang dari unsur non hakim, yang diambil dari hakim senior yang sudah
pensiun. Proses mediasi sebagaimana diungkap Ali Amar SH, MHI selaku hakim mediator dari unsur non hakim, diawali dengan disidangkannya perkara yang dilanjutkan dengan
penyerahan berkas ke hakim mediator. Mengingat banyaknya kasus, rata-rata hakim mediator menangani 20 perkara setiap bulannya. Karena hal itu proses mediasi umumnya
untuk kasus cerai talak tidak terlalu efektif, meski beberapa kasus dapat mencegah terjadinya perceraian.
4.3. Peran Adat.
1
Dalam adat Minangkabau, terdapat satu institusi yaitu qodhi atau penghulu, yang dijabat oleh mereka yang dinilai memiliki kepahaman yang baik tentang hukum Islam yang
kepemimpinannya berjenjang mulai ditingkat kaum hingga ditingkat Nagari. Qodhi secara umum berperan sebagai tempat kembali bagi suatu kaum umtuk mendapatkan
pertimbangan hukum dan karena hal itu pula qodhi kaum dan Nagari dalam praktek sehari- hari kini difungsikan sebagai P3N atau pembantu penghulu.
Sebagaimana tergambar dalam falsafah Minang, rumah bakali, kampung batuo rumah atau kaum pasti ada kepemimpinannya, begitu juga kampung atau Jorong pasti ada
kepemimpinannya. Penyelesaian permasalahan dilakukan pertama-tama ditingkat kaum, jika tidak selesai baru dibawa ke tingkat jorong, dan jika tidak juga selesai di bawa Jorong,
selanjutnya di bawa ke Nagari.
Dalam penanganan berbagai masalah tersebut qodhi memegang peranan penting, yaitu mengurusi masalah perkawinan atau kehidupan berkeluarga. Sebagai contoh jika
seorang perempuan suaminya tidak pulang ke rumah paling lama tiga hari, maka pihak ninik-mamak akan mengusut untuk mencari tahu mengapa hal tersebut terjadi. Perempuan
yang suaminya tidak pulang akan ditanyai, begitu juga pihak sumando atau keluarga suami. Jika ditemukan masalah, kedua belah pihak akan menerima nasehat dari ninik-mamak agar
masalah dapat diselesaikan, sehingga dengan cara ini masalah sejak awal sudah dapat dicarikan jalan keluarnya tidak perlu berujung dengan perceraian. Jika masalah tidak
dapat selesai ditingkat kaum diistilahkan dengan ranji keturunan, masalah dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ditingkat Jorong, dan dari jorong baru dibawa ke Nagari.
Praktek ini kini sayangnya tidak lagi berjalan, bahkan ada kecenderungan untuk membawa masalah langsung ke Pengadilan Agama mengingat kebijakan yang ada, bahkan tanpa perlu
menanyakan BP4 Nagari. Informan menduga hal ini ikut berkontribusi pada banyaknya pertikaian suami-istri yang berujung menjadi perceraian cerai talak maupun cerai gugat,
dengan kata lain menjadi salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya perceraian.
Terkait dengan keterlibatan ninik-mamak dalam kehidupan berkeluarga, masyarakat Minang meyakini bahwa para ninik mamak diistilahkan sebagai bundo
kandung fungsinya diibaratkan sebagai pemegang anak kunci rumah tangga, yaitu mereka yang memegang perlu mengetahui, pen segala seluk-beluk persoalan rumah-tangga yang
terjadi pada para kemenakannya. Karena pertalian hubungan ini muncullah perasaan ado raso badunsanak, rasa batatanggo, rasa berkorong kampuang, yang memberi efek orang
tidak mudah mengajukan perceraian. “Saya akan bercerai dengan anaknya, padahal istri saya kemenakan bapak saya.” Rasa inilah yang diperhatikan di Minangkabau, yaitu bahwa
kalau bercerai hancurlah persaudaraan, mengingat segala macam ada sangkut-pautnya.
4.4. Uraian Kasus
1
Hasil wawancara dengan H. Aresno Dt. Andomo, S. Ag pada 18 April 2015, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Pariangan Nagari Tuo Minangkabau, Tanah
Datar. Selain itu narasumber sudah bertugas di KUA selama 19 tahun dan pernah menjadi KUA teladan.
20
Dalam studi ini didalami tiga kasus cerai gugat, yaitu kasus EL-OS, IK-IB, dan Fat-Fik, yang masing-masing berkontribusi memberi gambaran spesifik mengenai
fenomena yang dieksplore.
4.4.1. Kasus EL-OS: Dominasi Keluarga Suami atas Suami. Masa Perkenalan hingga Pernikahan.
EL merupakan perempuan terdidik yang menamatkan program diploma tiga D3 pada tahun 2005 dan setelah bekerja melanjutkan
pendidikannya tahun 2010 hingga tamat S1. Lahir dan besar di Padang, adat Minang di dalam keluarga EL tidak lagi dipraktekkan mengingat keluarga ibunya lama merantau ke
Medan. Meski sudah tidak melaksanakan adat Minang, mamak paman EL yang tinggal di Pondok Gede masih melaksanakan peran penting. Saat EL hendak memutuskan apakah
akan menikah dengan OS atau tidak, peran mamak EL sangat dominan. Mamak EL satu- satunya anggota keluarga yang bertemu langsung dengan OS, yang dimungkinkan karena
Mamak EL tinggal di Pondok Gede sementara OS di Bekasi, Mamak EL lah yang ditemui OS dan keluarga Ibu OS dan kakak OS untuk meminta agar EL bersedia menjadi istri OS.
Tentang perkenalan EL dengan suami OS, terjadi melalui perantaraan teman kampus EL yang meminta EL mencermati profil OS pada akun FB milik OS mengingat
EL dan OS tinggal berjauhan. EL di Padang, sementara OS di Tambun, Bekasi. Setelah OS menghubungi EL lewat telpon sebagai tanda ketertarikannya, perkenalan dilanjutkan
dengan menggunakan fasilitas chatting baik melalui FB maupun HP video call. Karena keduanya merasa mantap, EL meminta OS berkunjung ke rumah mamak EL kakak ibu
EL yang tinggal di Jakarta untuk berkenalan. OS datang ke rumah Mamak EL ditemani ibu dan kakak kandungnya OS anak kedua dari dua bersaudara serta suami kakaknya
kakak ipar OS.
Setelah mamak EL memberi respon positif terhadap OS dan kelaurga, EL mantap meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Menjelang hari raya pada Juni 2012 EL dan
OS pun menikah. Sebagaimana tradisi Minang, prores diawali dengan silaturahim keluarga laki-laki ke rumah perempuan, sebagai pertanda persetujuan untuk melanjutkan ke jenjang
pernikahan, dan dilanjutkan dengan kedatangan keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki untuk meminang manjapuik.
Tentang waktu pelaksanaan pernikahan, EL sebenarnya menginginkan agar pernikahan dilaksanakan di akhir tahun, yaitu dibarengkan dengan kakak pertama EL yang
juga akan menikah. Alasan lain karena kuliah EL belum selesai. Akan tetapi karena OS dan keluarga terutama kakak OS tidak berkenan, EL dan keluarga mengalah. Bibit-bibit
konflik berupa adanya intervensi kakak keluarga OS yang berlebihan sebenarnya mulai tampak, akan tetapi EL dan keluarga tidak menyadari. Tentang hal ini paman EL
mengatakan,
“Kalau saya liat, keluarganya sih bagus-bagus saja. Hubungan mereka bersaudara kelihatan akrab, baik sekali. Cuma kalau menurut saya penyebab masalah EL
itu karena sangat baiknya hubungan mereka. Terlalu dekat. Karena ibunya hanya punya dua anak. Inilah yang menurut saya penyebabnya.”
Pada awal pernikahan, EL dan OS sudah langsung berhadapan dengan ujian berat. OS diberhentikan dari tempat bekerja beberapa hari saja setelah pernikahan. Karena suami
tidak lagi bekerja, tiga bulan setelah pernikahan, EL yang tetap tinggal bersama ibunya untuk menuntaskan studi dan sekaligus mengurus pemberhentian dirinya dari tempat
bekerja, harus membiayai sendiri kebutuhan dirinya. Bahkan ketika EL datang ke Jakarta menyusul suaminya untuk sementara waktu hanya tiga minggu mengingat skripsi EL
meski sudah selesai masih belum diujikan, EL terpaksa menggunakan uang simpanan pribadi uang pesangon untuk kebutuhan sehari-hari termasuk membeli tiket Jakarta-
Padang PP dan keperluannya selama di Jakarta, sebagian dari keperluan OS, bahkan keperluan keluarga OS mengingat EL tinggal satu atap dengan mereka kakak OS serta ibu
OS. Akibatnya uang pesangon EL habis untuk membayar aneka kebutuhan tersebut.
21
Keributan mulai terbuka saat EL untuk sementara waktu tinggal bersama OS di rumah kakak OS; dan semakin menjadi-jadi saat EL kembali datang ke Jakarta beberapa
bulan kemudian, segera setelah urusan kuliahnya benar-benar rampung dan ia sudah berhenti dari bekerja. Sumber utama konflik adalah keinginan EL untuk tinggal terpisah
dari keluarga OS tidak tinggal di rumah kakak OS, yang sebenarnya merupakan kesepakatan EL dan OS sebelum menikah. Selain itu EL merasa tidak nyaman mengingat
EL dan OS bukan tinggal di rumah orang tua OS, akan tetapi di rumah kakak OS yang sudah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Hal lain karena OS sudah memiliki rumah
sendiri meskipun kecil, serta karena EL dan OS sudah mencari kontrakan dan membayar uang muka sehingga EL tidak melihat ada alasan mengapa mereka harus bertahan tinggal
di rumah kakak OS.
Keributan demi keributan terjadi. Bukan hanya dengan kakak OS, belakangan juga melibatkan ibu OS. Masalah pun berkembang dari ketidak-setujuan EL dan OS keluar dari
rumah hingga perilaku sehari-hari EL yang selalu dinilai buruk. Menurut penuturan EL, kakak dan ibu OS memperlakukannya dengan tidak baik. Berbagai urusan rumah-tangga
di serahkan pengerjaannya kepada EL sementara EL sedang hamil. OS yang awalnya membela EL belakangan tampak mendua bahkan akhirnya kerap membela kakak dan
ibunya. Apapun yang dilakukan EL dinilai salah.
Konflik memuncak ketika EL dan OS akhirnya pindah ke rumah OS. Tapi hanya berlangsung tiga minggu, setelah itu EL diminta OS pulang ke Padang dengan alasan agar
dapat melahirkan di Padang padahal sebelumnya OS meminta orangtua EL datang ke Jakarta untuk menemani EL melahirkan. Ketika EL sudah di Padang sebelum melahirkan,
ibu OS sempat datang ke Solok ke rumah kerabatnya bahkan tinggal cukup lama hingga lebaran. Akan tetapi Ibu OS tidak mau mendatangi EL, bahkan meminta EL yang
mendatangi Ibu OS di Solok. Mengikuti nasihat OS agar EL mendatangi ibunya, meski berat mengingat kehamilan EL sudah memasuki usia delapan bulan akhir, EL pergi ke
Solok ditemani ayahnya. Sesampai di Solok EL tidak berhasil bertemu ibu OS karena ibu OS pergi entah kemana. Belakangan EL tahu bahwa ibu OS sengaja bersembunyi karena
tidak ingin bertemu.
Ketika lebaran, EL dan keluarga datang mengunjungi keluarga OS di Solok dan ibu OS yang masih tinggal disana. Akan tetapi EL hanya menerima kemarahan, karena
dinilai tidak tahu adat. EL hanya membawa kue-kue dan tidak membawa makanan lengkap sebagaimana kebiasaan di keluarga OS. Saat lebaran, OS juga datang ke Padang. Meski
sempat bermalam di rumah orang tua EL, akan tetapi OS lebih banyak tinggal di Solok. Saat hari raya itu pula EL mendapat informasi dari kerabat OS di Solok bahwa orang-tua
dan kakak OS serta OS sudah tidak menyukai EL dan akan menceraikan EL setelah EL melahirkan.
Ketika EL melahirkan, OS yang sudah kembali ke Jakarta datang ke Padang. Akan tetapi karena bangun kesiangan, ia ketinggalan pesawat dan terpaksa dipinjami uang untuk
membeli tiket oleh orang tua EL agar dapat berangkat ke Padang karena mengeluh tidak mempunyai uang. OS yang hanya semalam tinggal di Padang kembali ke Jakarta karena
harus bekerja, adapun kakak dan ibu OS tidak pernah mau melihat anak EL hingga kini. EL sudah mengikuti arahan OS untuk mengirim SMS kepada Ibu dan kakak OS untuk
memberitahu bahwa ia sudah melahirkan. SMS EL tidak pernah dibalas. Satu-satunya SMS yang dikirim ibu OS berisi luapan kemarahan dan sumpah-serapah, diantaranya menyebut
anak EL sebagai anak setan.
Setelah OS mentalak EL tak lama setelah EL melahirkan, EL menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya. Sehari setelah mentalak EL melalui telfon OS
sempat mengirim SMS kepada EL mengajak rujuk dengan persyaratan EL dan keluarga harus datang ke Jakarta karena Ibu dan kakaknya tidak mau datang menemui EL dan
22
keluarga di Padang. EL dan keluarga menilai hal tersebut sebagai penghinaan. Mereka mendiamkan saja dan menunggu apakah OS akan mendatangi anak dan istrinya. Setelah
itu praktis tidak ada kontak antara EL dengan OS, hingga EL melakukan gugatan cerai. Selama itu pula OS tidak pernah mengirim uang. elakangan tersiar kabar bahwa OS sudah
menikah dan sudah pula memiliki anak.
Proses Gugatan Cerai
. Proses gugatan cerai tidak berlangsung lama. Setelah EL menceritakan perihal masalah rumah-tangganya tak lama setelah OS menyatakan talak
kepadanya melalui telpon, kedua orang tua dan mamak EL yang tinggal di Jakarta dapat menerima keinginan EL untuk menggungat cerai. Hal itu karena setelah OS menyatakan
talak tidak lagi ada kabar berita dari OS dan mereka melihat EL memerlukan kejelasan status untuk masa depannya. Gugatan cerai dilakukan pada Mei 2014, sementara SK keluar
pada Agustus 2014. Menurut penuturan pihak PA, keputusan dapat lebih cepat karena pihak laki-laki OS yang tinggal di Jakarta tidak pernah datang dalam persidangan meski surat
undangan sudah dilayangkan dan dinyatakan sampai atau diterima oleh pihak yang bersangkutan. Selama proses gugatan cerai EL didampingi oleh ayahnya, sesekali ditemani
sepupunya yang juga bertindak sebagai saksi dalam proses cerai gugat tersebut.
Paska Gugatan Cerai
. Sejak kembali ke rumah orang tua untuk melahirkan hingga akhirnya suami mentalak lewat telepon dan EL mengajukan cerai gugat, EL tinggal
di rumah orang tuanya bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan juga adik- adiknya. Peran pengasuhan karena hal itu ditangani bersama oleh orang tua dan kakak serta
ipar dan adik-adik, yang menyayangi anak EL sebagaimana layaknya menyayangi anak dan kemenakan. Karena hal itu EL tidak terlalu menghadapi masalah terkait pengasuhan,
mengingat adanya peran dari keluarga besar.
Problem yang agak berat dirasa EL terkait masalah ekonomi karena ia tidak bekerja dan tidak mempunyai tabungan saat ditelantarkan suaminya. Akan tetapi karena EL menilai
kejelasan status pernikahan lebih penting dan ia yakin akan memperoleh pekerjaan mengingat ia sebelumnya sudah punya pengalaman kerja serta adanya dukungan penuh
dari orang tua, kakak, adik serta kerabat termasuk mamaknya yang tinggal di Pondok Gede; EL mantap dengan keputusannya menggugat cerai. Tak lama setelah gugatan cerai
dilakukan EL yang sudah mengirimkan sejumlah lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan akhirnya mendapat panggilan kerja. Ketika studi dilakukan, EL sedang melewati masa job-
training dan optimis dapat terus bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Keberadaan keluarga besar dalam pengasuhan anak juga membantu EL berkonsentrasi penuh pada
pekerjaan, karena ia dapat meninggalkan anak di rumah dengan tenang saat ia bekerja mengingat anak didampingi oleh orang-orang yang menyayanginya nenek dan tantenya.
Lingkungan sekitar begitu pula kerabat tidak seluruhnya tahu bahwa EL sudah bercerai bahkan ia yang melakukan gugatan cer
ai. “Biarlah mereka tahu sendiri. Saya tidak ingin ramai-
ramai membicarakannya, pen. Tidak ada gunanya…” Namun mereka yang tahu umumnya memahami posisi EL dan berempati padanya. Karenanya EL tidak
mendapat perlakuan negatif dari sekitar atas tindakan cerai gugat yang dilakukannya. Menurut EL kalaupun orang-orang yang kini belum tahu bahwa dirinya sudah bercerai
nantinya tahu, EL yakin mereka akan memahami jika diberi penjelasan. “Sekarang
masyarakat sudah pintar. Kalau diberitahu akan paham.” EL kini hanya ingin membesarkan anaknya dan menekuni pekerjaannya dengan
baik dan belum berfikir apakah akan menikah lagi atau tidak. Ia yakin akan dapat melewati masa sulit yang kini dialami dengan baik, diantaranya karena dukungan penuh keluarga
besar. “Belum ada terpikir untuk menikah lagi, pen. Mau konsentrasi membesarkan anak
dan bekerja. Tapi saya optimis saya bisa. Saya bersyukur papa dan mama serta kakak dan adik serta uwo di Jakarta dan famili lain sangat mendukung… Saya merasa lebih baik.
Sekarang semua jad i jelas…”
23
4.4.2. Kasus IK dan IB: Campur Tangan Keluarga Perempuan atas Perempuan.
Masa Perkenalan hingga Pernikahan.
IK 31 tahun berpindidikan S1, usia dua tahun lebih tua dari IB, berasal dari keluarga berada. Ayahnya bekerja di Pemprov
Sumatera Barat dan pernah menjabat sebagai kapala dinas. Ibunya pun orang yang berpendidikan, yaitu guru di sebuah SLTA, yang sengaja pensiun dini agar dapat mengurus
anak dan cucunya. Secara ekonomi IK tergolong cukup mampu. Sejak sebelum menikah sudah bekerja, yaitu sebagai tenaga MLM pada sebuah produk herbal yang cukup ternama
di Kota Padang.
Adapun IB, tingal dan lahir di Padang Panjang meski berasal dari Pariaman. Orang tua lama merantau ke Bukit Tinggi, sehingga kerap merasa lebih sebagai orang Bukit
Tinggi ketimbang orang Pariaman. Sebagaimana halnya IK, IB berasal dari keluarga terpandang dan cukup mampu. Bapaknya mantan rektor di salah satu universitas negeri di
Sumatera Barat, sementara ibunya kini dekan di salah satu perguruan tinggi negeri. Lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, IB yang menyukai seni sangat halus perasaannya.
Ia mengenal IK sebagai teman satu kampus dan telah menjalin hubungan beberapa tahun selama mereka kuliah hingga akhirnya menikah.
Menikah dengan perayaan cukup mewah mengingat kedua orang tua pasangan suami istrri ini merupakan pejabat terpandang, IK dan IB yang setelah menikah tinggal di
rumah ibunya semula merupakan pasangan yang cukup berbahagia. Masalah mulai muncul karena IK tidak puas dengan keuangan IB yang dinilainya tidak memadai. IB yang seniman
menurut IK tidak bekerja maksimal, sehingga IB hanya bisa membawa pulang uang sedikit. IK menilai IB malas dan tidak bertanggung-jawab, namun dalam perspektif IB dan
keluarga persoalan tidak seperti itu. Tentang tidak bekerja maksimal, IB yang bekerja dibidang seni memang memiliki dinamika pekerjaan berbeda dengan pegawai kebanyakan.
Ia tidak beroleh uang setiap bulan secara rutin, akan tetapi tergantung pada pertunjukkan yang diselenggarakan. Semenetara itu IB menilai IK tidak dapat memahami keinginannya
untuk berusaha, karena terlalu memilih-milih jenis pekerjaan. Ketika IB hendak membuka toko misalnya, IK keberatan karena menilai tidak layak dengan kondisi ekonomi dirinya
dan keluarga.
Perbedaan pandang juga terjadi mengenai apa yang menjadi penyebab retaknya rumah-tangga IK dan IB. Jika menurut IK karena IB malas dan kurang berusaha, keluarga
IB menilai persoalan karena IK kurang menghargai IB. IK dan IB yang tinggal di rumah orang-tua IK paska menikah menurut keluarga IB kerap memperlakukan IB dengan tidak
baik. IB yang merupakan anak dari keluarga terpandang karenanya merasa terhina. Sebagai contoh ketika kakak iparnya pulang bekerja, IB diberi tugas membuka dan menutup pintu
garasi. IB melalui lisan orang-tuanya menilai IB kurang mendapat pelayanan yang baik. Ia diperlakukan sebagai orang yang tinggal menumpang dan bukan sebagai suami tidak ada
keleluasaan mengambil lauk-pauk dan makan seolah dicatu. IK juga kerap bicara dengan suara keras sementara IB yang sangat halus dan perasa tidak pernah diperlakukan seperti
itu di rumah orang tuanya.
“Anak saya tidak dihargai dirumah isterinya. Kita harus menyadari bahwa perempuan memang di bawah laki-
laki kalau di Minang ini… akan tetapi karena sekarang perempuan sudah merasa tinggi, laki-
laki jadi kurang dihargai...” Konflik antara IB dan IK relatifbersifat tidak terbuka. IB yang pendiam lebih
banyak memendam rasa. Ketika kesabarannya hilang, ia menghindar dengan memilih pulang ke rumah orang-tuanya. Puncaknya ketika ia meninggalkan rumah isteri dan pergi
ke luar Padang. Saat itu IB sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan karena merasa sudah tidak lagi ada kecocokan. IB pergi dari rumah pada saat IK sedang hamil enam bulan
dan tidak lagi pernah ada kontak dengan IK hingga IK mengajukan gugatan cerai. IB bukan tidak ingin memberi nafkah setelah ia pergi dari rumah, namun menurut keluarga IB, IK
24
selalu menampik pemberian IB karena merasa sudah cukup secara materi. IB menyimpan uang yang sedianya diberikan kepada IK untuk biaya pengasuhan anaknya, dengan rencana
akan diberikannya kelak jika waktunya lebih kondusif.
Gugatan cerai
. Gugatan cerai diajukan pada Februari 2015 dan sudah mendapat SK putusan pada bulan Maret kurang dari satu bulan. Sebagaimana diungkap ibu IB,
putusan terlalu cepat bahkan mereka tidak tahu bahwa putusan sidang sudah dikeluarkan karena hanya sekali menerima panggilan sidang. Mereka masih menunggu-nunggu
pemanggilan berikutnya, bahkan ibu IB menunggu kesempatan untuk dapat bersaksi, sementara putusan ternyata sudah keluar. Saat sidang pertama IB memang tidak datang
karena khawatir kemarahannya terbuka di forum selain karena bekerja dan tinggal di luar kota. Namun ia tidak menduga bahwa itu menjadi panggilan sidang satu-satunya dalam
proses cerai gugat tersebut dan keputusan segera keluar. Selama proses cerai gugat, IK ditemani ibu dan kakak laki-lakinya yang mendukung penuh keputusan IK dan yang
sekaligus menjadi saksi selama proses persidangan.
Paska Cerai Gugat.
IK yang tinggal bersama ibu dan kakaknya yang juga sudah menikah dan mempunyai anak, sebagaimana halnya EL, banyak terbantu dengan
keberadaan keluarga luas ibu dan kakaknya terutama dalam peran pengasuhan. Untuk ekonomi IK juga banyak terbantu, selain ia juga mempunyai penghasilan tetap meski tidak
banyak. Respon masyarakat sekitar tempat IK tinggal tidak terlalu terlihat mengingat IK tinggal di perumahan elit yang cenderung agak individualis. Selain itu keberadaan orang-
tua IK yang merupakan tokoh menyebabkan IK tidak terlihat memiliki beban dengan keputusan cerai gugat yang dilakukan. Saat ditanya mengenai perasaan dirinya, IK
menjawab bahwa ia kini merasa lega karena sudah resmi dapat berpisah dari IB. IK sama sekali tidak mengajukan tuntutan pembiayaan nafkah kepada IB paska bercerai, yang
menurut penuturan IK dilakukan agar proses dapat berlangsung cepat sebagaimana diutarakan petugas PA. Karena hal itu dalam putusan cerai IB sama sekali tidak diwajibkan
memberi nafkah kepada IK, meski IK ditetapkan mendapatkan hak pengasuhan.
4.4.3. Kasus FAT dan FIK: Isteri dengan Pendidikan Rendah dan Usia Relatif
Muda Proses Perkenalan hingga Pernikahan
. Berbeda dengan EL dan IK yang berpendidikan tinggi sarjana, Fat hanya taman SLTA, itu pun setelah ia bersekolah di
enam sekolah, karena setiap tidak naik kelas pindah sekolah. Menikah pada usia 19 tahun, Fat secara emosional tidak stabil meledak-ledak. Saat diwawancarai Fat nampak masih
sangat geram terhadap mantan suaminya. Ketika nama FIK disebut, kemarahan Fat langsung terlihat.
Fat merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Keluarga Fat dapat dikatakan secara ekonomi kurang. Kakaknya sempat bekerja sebagai buruh di Jakarta, akan tetapi kini
menanggur dan tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Minturun, yang letaknya agak di pinggir Kota. Sedangkan orang tua Fat hanya buruh tani ladang dengan penghasilan
terbatas. Fat kini bekerja pada home industri didepan rumah, yaitu membantu pengerjaan pengemasan penganan yang diproduksi home industri tersebut.
FIK berasal dari keluarga dengan status sosial rendah. Berasal dari keluarga besar dengan jumlah saudara hingga dua belas orang, bapak dan ibu Fik yang bekerja sebagai
buruh tani ladang tidak mengecap pendidikan cukup. Bapak Fik yang sudah cukup berusia bahkan tidak dapat mengingat nama anak-anaknya apalagi urutan kelahiran anak-
anaknya, bicara dengan tutur kata yang agak kasar dan dengan suara keras, yang sekaligs menunjukkan kemampuan intelektual dan status sosial ekonomi keluarga tersebut.
FIK menikah pada usia 24 tahun saat bercerai usia 27 tahun dan sudah mempunyai pekerjaan cukup baik disebuah pabrik besar di Kota Padang pada saat menikah
25
dan masih bekerja disana hingga kini. Perkenalan Fat dan Fik difasilitasi oleh kerabat Fik, yang kebetulan kenal baik dengan Fat. Perkenalan berlangsung setahun lebih, hingga
kemudian keduanya memutuskan meneruskan ke jenjang pernikahan. Mereka menikah pada Februari 2011, dikaruniai satu anak yang lahir pada Juli 2012.
Setelah menikah, Fat dan Fik sebagaimana tradisi Minang, tinggal di rumah perempuan Fat. Pernikahan mereka awalnya penuh kebahagiaan. Akan tetapi karena Fat
suka membentak-bentak, berteriak, meraung-raung bahkan pernah berguling-guling dipelataran saat marah; keributan demi keributan tak terhindarkan. Persoalan kecil menjadi
besar karena mendapat respon berlebihan dari Fat. Selain suka mengamuk, Fik mengeluhkan Fat yang kerap datang ke kantor Fik dan mengamuk disana dan membuat Fik
malu. Adapun Fik menurut Fat berubah kasar setelah menikah karena terlibat perjudian. Konflik memuncak ketika Fik meninggalkan rumah Fat dan membawa semua barang-
barangnya, sebagai pertanda bahwa ia sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya dengan Fat. Fat yang tidak terima mendatangi Fik dan mengamuk di rumah Fik, meminta Fik
kembali ke rumah. Fik tidak menggubris. Kondisi bertambah parah karena bapak Fat juga bereaksi keras, melabrak Fik sambil membawa parang. Fik tidak juga kembali hingga Fat
melahirkan, bahkan hingga anaknya sudah bisa berjalan. Sesekali Fik ada memberi nafkah kepada Fat dan hal itu memicu kemarahan Fat dan mendorong Fat melabrak Fik ke kantor.
Proses Cerai Gugat.
Karena Fik tidak kunjung kembali dan tidak memberi nafkah, Fat atas masukan keluarga dan teman menggugat cerai Fik. Gugatan cerai diajukan
Fat pada bulan Mei 2013 dan keluar putusan pada Juni 2003. Sebagaimana halnya IK, putusan gugatan cerai Fat sangat cepat, yaitu hanya sebulan setelah diajukan.
Meski di dalam SK cerai disebutkan bahwa Fik dihukum untuk membayar nafkah setiap bulannya sebesar lima ratus rupiah, nafkah tersebut tidak pernah diberikan kepada
Fat paska putusan cerai gugat keluar hingga kini. Keluarga Fik memang pernah memberi uang saat anak Fat dan Fik berulang tahun, akan tetapi bersifat temporal. Fat dan keluarga
pun tidak terlalu paham haknya, karena mereka tidak mengerti bahwa Fik diwajibkan memberi nafkah di dalam SK disebutkan menghukum untuk perawatan anak Fik dan Fat.
Paska Cerai Gugat.
Paska cerai gugat Fat masih terlihat terguncang dan belum dapat menerima. Kemarahan masih jelas terlihat pada wajah Fat yang bereaksi negatif
ketika nama Fik disebut atau ketika kasusnya ditanyakan kembali. Untuk pengasuhan Fat mengandalkan dukungan keluarga, namun karena keluarga bukanlah orang yang mengerti
pendidikan anak, pengasuhan dilakukan seadanya tanpa pengetahuan yang memadai oleh ibunya yang sudah agak sepuh atau kakaknya yang belum menikah dan kini menganggur.
Fat terbantu dengan dukungan tugas pengasuhan dari keluarga besar, terlbeih lagi karena Fat yang belum dapat berdamai dengan masalah yang dihadapinya cenderung tidak fokus
pada pengasuhan anaknya. Ia disibukkan dengan urusan dendamnya kepada mantan suaminya.Lingkungan sekitar tempat tinggal Fat yang masih bernuansakan pedesaan
cenderung menilai perceraian sebagai aib. Karena itu respon negatif lingkungan masih kerap diterima Fat selain karena karakter Fat yang temperamental. Meski demikian Fat
diuntungkan karena kini sudah mempunyai pekerjaan, sehingga perlahan-lahan dapat mengalihkan kemarahannya pada hal lain yang lebih produktif bekerja.
4.5. Analisis Kasus 4.5.1.Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai Suami.
Merujuk pada tiga kasus sebagaimana telah diuraikan, faktor penyebab istri menggugat cerai yang utama karena adanya penelantaran oleh pihak suami suami pergi
meninggalkan istri tanpa kabar dan tanpa memberikan nafkah. Perginya suami dari rumah untuk kasus EL istri diminta kembali ke rumah keluarganya namun tidak kunjung dijemput
pulang bukan karena ketidak-mampuan ekonomi, akan tetapi sebagai isyarat bahwa pihak
26
suami sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahan, baik karena ketidak-cocokan terhadap pribadi istri Kasus Fat dan Fik serta IB dan IK maupun sebagai akibat ikut
campurnya orang tua dan keluarga dalam pernikahan kasus EL-OS. Temuan ini berbeda dengan kebanyakan tstudi perceraian yang menempatkan faktor ekonomi selalu sebagai
penyebab dominan, yang sekaligus menunjukkan bekerjanya faktor-faktor non-materi pada kasus-kasus tertentu.
Mengenai mengapa pihak istri menggugat cerai, hal itu bukan karena peningkatan kemampuan ekonomi perempuan independensi perempuan dan juga bukan karena
kesadaran gender yang makin baik. Pada tiga kasus yang di dalami, bekerjanya perempuan bukan menjadi penyebab perceraian, akan tetapi perempuan bekerja justru untuk
mempertahankan diri paska perceraian. Alasan cerai gugat lebih sebagai upaya perempuan memperjelas status atau keberadaannya dalam pernikahan, mengingat dengan kondisi
status yang tidak jelas, perempuan berada pada kondisi yang lebih buruk dibandingkan jika ia melakukan cerai gugat rational choice theory. Adanya dukungan dari keluarga besar
dan penilaian masyarakat yang makin objektif teradap kasus perceraian, menyebabkan kalkulasi atas tindakan cerai gugat dinilai lebih menguntungkan, dibandingkan dengan
kondisi tidak memiliki status yang jelas dalam pernikahan.
Mengenai adanya dukungan dari keluarga besar, hal itu sekaligus menunjukkan masih eksisnya keluarga besar di Padang, meski terbatas pada ibu, bapak, serta kakak dan
adik, sementara peran ninik-mamak kalau pun ada tidak terlalu menonjol. Dukungan diberikan keluarga besar dengan tujuan untuk mengeluarkan perempuan dari penderitaan
akibat pengabaian, yang secara konkrit disaksikan langsung oleh keluarga besar.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa suami tidak menceraikan istri jika memang sudah tidak lagi menginginkan dan membiarkan istri yang melakukan tindakan untuk
bercerai? Alasan keengganan pihak suami untuk mengeluarkan uang guna mengurus perceraian serta tidak ingin repot, dapat diduga menjadi penyebab terjadinya pembiaran
meski pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan. Pada sisi lain, hal ini menunjukkan semakin tidak bekerjanya kontrol sosial masyarakat, sehingga tindakan
pengabaian tidak melaksanakan peran, tidak memenuhi kewajiban terhadap istri dan anak, dapat berlangsung lama tanpa ada respon apapun dari sekitar.
Dalam konteks masyarakat Minang, hal ini sekaligus menunjukkan sudah tidak bekerjanya tidak hidupnya pranata sosial masyarakat setempat yang bersumber dari adat
istiadat dalam mencegah tindakan penyimpangan. Kontrol atas masyarakat melalui peran ninik-mamak sebelumnya dalam kurun waktu cukup lama efektif mencegah berbagai
tindakan penyimpangan yang ada hamil diluar nikah, berhubungan dengan bukan muhrim, perjudian, dan lain-lain, yang pada akhirnya sekaligus menjaga keutuhan keluarga dan
kesucian lembaga pernikahan. Akan tetapi seiring dengan makin menurunnya peran ninik- mamak terutama peran ekonomi baik karena tantangan internal pada diri ninik-mamak
yang harus berkonsentrasi memenuhi kebutuhan termasuk kebutuhan ekonomi diri dan keluarga sehingga peran membimbing dan menafkahi anak kemenakan menjadi
terabaikan, ninik-mamak juga kehilangan saham untuk dapat melaksanakan peran yang lebih besar pengawasan, penasihatan. Karenanya dalam banyak kasus ninik-mamak
hanya menjadi stempel atas kebijakan yang diambil, dengan penguatan peran pada ayah bahkan pada individu itu sendiri makin individualis.
Meski upaya-upaya ke arah penguatan kembali bundo kanduang ninik-mamak terus dilakukan, diantaranya dengan memunculkan kembali lembaga adat melalui
pembentukan institusi Kerapatan Adat Nagari KAN dan Lembaga Kerapatan Adat Minang LKAM, akan tetapi kuatnya muatan politis pada kehadiran institusi ini terutama
LKAM, menyebabkan efektifitasnya tidak terlalu dapat diandalkan. Untuk KAN, meski dibeberapa Nagari mulai berperan, peran yang dilaksanakan baru sebatas pada pengurusan
27
tanah adat atau tanah pusaka dan belum masuk ke ranah pernikahan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat KAN baru dikembangkan ditingkat Nagari Kecamatan, sementara
ditingkat jorong bahkan desa serta kaum, yang sangat mungkin berperan mengurus masalah pernikahan penanaman nilai-nilai tentang berkeluarga dan konsultasi pernikahan, belum
lagi terlihat. Ditingkat Nagari KAN juga mulai difungsikan sebagai BP4 disebut dengan BP4 Nagari, namun belum efektif untuk semua kecamatan.
Persoalan lain, mengapa pihak suami meninggalkan istri? Untuk kasus EL, faktor campur tangan keluarga suami ibu dan kakak perempuan, terutama dalam urusan
kebebasan pasangan suami istri tersebut untuk tinggal terpisah dari keluarga suami, menjadi faktor utama. Hubungan antar anggota keluarga yang terlalu kuat antara ibu dan
anak laki-lakinya serta antara kakak perempuan dengan adik laki-lakinya menjadikan pihak ibu dari suami EL serta kakak kandung OS tidak dapat kurang dapat berempati akan
kebutuhan keluarga baru tersebut terutama kebutuhan pihak istri adiknya atau kebutuhan menantunya. Hal tersebut menjadi semakin buruk ketika suami-istri tinggal terpisah istri
kembali ke rumah orang tua dan juga diperparah dengan ketidak-sabaran pihak suami untuk menunggu konflik mereda serta sikap pro-aktif pihak suami untuk menyelesaikan
masalah. Kondisi menjadi makin sulit ketika dalam kondisi penuh konflik pihak suami justru memutuskan untuk menikah lagi. Pada tahap ini pengabaian pihak suami terhadap
istri dan anak yang dikandung serta keputusan suami menikah lagi sementara masalah belum selesai, memantapkan pihak istri untuk mengajukan gugatan cerai.
Hal tersebut relatif mirip dengan kasus IK meski dengan bentuk agak berbeda. Jika konflik dalam rumah tangga EL dipicu oleh dominasi keluarga suami atas diri suami, pada
kasus IK dominasi keluarga istri yang memunculkan sikap kurang penghargaan isteri terhadap suami yang tinggal di rumahnya yang menjadi penyebab. Meski rumah IK yang
berasal dari keluarga cukup mampu memungkinkan pasangan suami istri tersebut tinggal di rumah keluarga istri, namun jika pihak istri kurang dapat menunjukkan penghargaan
terhadap suami mengingat laki-laki Padang umumnya perlu diperlakukan khusus karena kuatnya budaya patriarki. Terlebih lagi karena suami IK datang dari keluarga terpandang
dengan status sosial baik dan sekaligus pimpinan dari suatu kaum. Sikap yang tidak baik kurang menghargai bukan hanya akan melukai perasaan suami, akan tetapi sekaligus
menimbulkan penolakan dari keluarga besar suami karena dinilai merendahkan keluarga besar. Karenanya kemampuan perempuan untuk melakukan penyesuaian perangainya
terhadap kebiasaan yang hidup dimasyarakat, menjadi kebutuhan mutlak guna menjaga keutuhan rumah-tangganya. Perbedaan karakter antara suami dan istri pada kasus IK dan
IB juga perlu dicermati, karena meskipun keduanya datang dari keluarga terpandang dan dengan status pendidikan yang sama tingginya, akan tetapi penyesuaian masing-masing
pihak terhadap karakter personal pasangan, persoalan lain yang juga perlu menjadi perhatian. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan, mengingat pada ketiga pernikahan
yang kasusnya didalami, meski pernikahan diawali dengan perkenalan berpacaran bahkan pada kasus IK-IB berpacaran setahun lebih, ternyata tidak membantu masing-masing pihak
untuk saling mengenal karakter pasangannya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa proses berpacaran yang kerap ditengarai sebagai tahapan saling mengenal, tidak selalu terjadi
karena masing-masing pihak masih harus beradaptasi dengan agak sulit setelah menikah.
Merujuk Levinger, hal-hal tersebut dapat menjadi faktor terjadinya pembusukan atau pengrusakan dalam kehidupan pernikahan, yaitu ketika secara kalkulatif atas reward
kesenangan yang diperoleh dari pernikahan dinilai tidak sebanding dengan kesulitan aneka konflik yang ditimbulkan. Yang tidak kalah penting, temuan penelitian juga
menunjukkan, pasangan suami-istri kini tidak lagi melihat pernikahan sebagai sesuatu yang sacral sehingga harus dipertahankan dengan upaya maksimal diperjuangkan eksistensinya
dengan sepenuh daya. Hal tersebut setidaknya terindikasi dari menurunnya daya tahan
28
keluarga dalam menghadapi masalah, yang kerap dengan mudah menjadikan perceraian sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Peningkatan angka perceraian diduga
diantaranya terjadi karena hal ini, yaitu karena semakin rendahnya ketahanan keluarga, terutama pada keluarga dengan usia pernikahan lima tahun atau kurang. Hal ini juga
membenarkan proposisi bahwa semakin lama pasangan menikah, semakin kecil kemungkinan
terjadi perceraian.
http:freesociologybooks.comsociology_Of_The_Family 12_Divorce_and_Separation.
php. Proses perceraian yang makin mudah dan murah, juga dapat diduga menjadi
faktor mengapa sebagian orang menjadikan perceraian sebagai pilihan solusi atas permasalahan yang dihadapi, tanpa mempertimbangkan ekses negatif yang mungkin
menyertai terhadap anak misalnya. Rendahnya pemahaman yang benar tentang keluarga karena tidak berfungsinya sistem pembinaan masyarakat mengenai keluarga baik melalui
keluarga, sekolah, maupun komunitas masyarakat, menyebabkan pernikahan atau kehidupan berkeluarga termasuk perceraian kini dimaknai dalam arti berbeda tidak lagi
seagai institusi sakral yang perlu dipertahankan.
4.5.2. Dampak Cerai Gugat pada Institusi Keluarga
. Pada kasus EL dan IK yang memiliki latar belakang pendidikan cukup baik tamat
S1 dan mempunyai kesanggupan untuk bekerja menafkahi diri sendiri dan anak meski dalam jumlah terbatas serta adanya dukungan keluarga pihak perempuan, dampak
perceraian bagi EL dan IK meski pun meninggalkan kesedihan dan kemarahan akan tetapi tidak terlalu berdampak mengingat dampak ekonomi dapat diminimalisir. Terlebih lagi
karena ketika mereka masih menikah pun suami dan keluarga tidak memberikan nafkah maksimal istri masih terlibat dalam pembiayaan keuangan rumah-tangga. Pada kasus EL
bahkan uang pesangon miliknya habis digunakan untuk keperluan rumah-tangga. Hal tersebut berbeda dengan kasus Fat yang berpendidikan SLTA dan tidak memiliki cukup
ketrampilan serta kondisi keuangan yang terbatas. Selain itu lingkungan sosial FAT yang tinggal dipinggir kota Lubuk Minturun, menyebabkan isu perceraian masih menjadi isu
sensitif. Ketidak-sediaan FAT untuk diwawancarai menjawab tapi hanya terbatas dan ekspresi kemarahan FAT saat ditanyai, menjadi gambaran tentang hal tersebut. Begitu pula
ekspresi kemarahan keluarga suami FAT atas kedatangan peneliti. Kurangnya pendidikan dan lingkungan sosial yang relatif agak tradisional, berpengaruh besar atas keberadaan
keluarga pasangan tersebut.
Masyarakat Minang umumnya, termasuk mereka yang tinggal di Kota Padang, masih kuat menganut extended family keluarga luas dalam hal ini keluarga pihak istri.
Segera setelah menikah peran keluarga istri langsung dapat dirasakan, diantaranya dengan keharusan pasangan yang baru menikah tinggal di rumah keluarga istri umumnya mereka
baru meninggalkan rumah keluarga istri setelah mempunyai rumah sendiri. Tradisi ini tampak jelas pada disain Istana Baso Pagaruyung yang menempatkan anak-anak mereka
yang sudah menikah masuk ke dalam rumah pusako yang disebut pula sebagai Rumah Bundo Kanduang, masing-masing mendapat satu kamar. Meski beberapa tradisi Minang
sudah mulai memudar, kembalinya anak perempuan ke rumah keluarga orang tuanya masih kuat dipraktekkan di masyarakat Minang di Sumatera Barat, termasuk di Padang.
Karena itu pula peran pengasuhan anak umumnya tidak dilakukan sendirian, akan tetapi bersama-sama dengan keluarga istri ibu, kakak atau adik, bahkan ipar. Pada
pasangan yang belum mampu belum memiliki rumah tradisi ini sangat membantu, karena dapat mengurangi beban ekonomi keluarga muda tersebut tidak perlu mengeluarkan uang
untuk biaya mengontrak atau membeli rumah. Selain itu jika pasangan keluarga muda tersebut bekerja, keterlibatan keluarga istri dalam pengasuhan membantu mereka untuk
29
jangka pendek karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pembantu. Begitu pula ketika terjadi perceraian, peran pengasuhan tidak terlalu berat dirasakan pihak istri ketika
mereka harus mengasuh anak setelah perceraian, karena orang tua dan kakak serta adik- adik bahkan ipar ikut terlibat membantu.
Apa yang terjadi pada IK, EL, dan FAT, ketiganya menunjukkan fenomena keterlibatan keluarga besar dalam pengasuhan anak. Pihak perempuan yang bercerai dapat
mencari nafkah dengan lebih leluasa karena peran pengasuhan dilakukan oleh keluarga besar sementara ia bekerja. Bukan hanya dalam pengasuhan, kebutuhan ekonomi pihak
perempuan yang bercerai juga ditanggung bersama oleh keluarga perempuan tersebut, meski kini sudah tidak lagi melibatkan ninik-mamak sebagaimana adat Minang. Back-up
penuh keluarga dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini sedikit banyak memberikan kontribusi bagi perempuan yang rumah-tangganya bermasalah dalam
mengambil keputusan untuk bercerai menggugat cerai, meski pihak keluarga pada ketiga kasus tidak mendorong dilakukannya perceraian. Peran keluarga besar ini pun sangat
membantu dalam mengurangi ekses negatif yang muncul pada keluarga, terutama pada peran pengasuhan dan ekonomi.
4.5.3. Respon Struktur Sosial atas Cerai Gugat.
Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai
berkurang. Masyarakat mulai melihat perceraian kasus per-kasus dalam memberi penilaian. Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal tersebut. Masyarakat kota yang
makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi penilaian negatif terhadap tindakan perceraian, akan tetapi mencoba memahami lebih dalam sebelum memberikan penilaian.
Hal tersebut berbeda pada masyarakat pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung merespon negatif kasus-kasus perceraian yang terjadi.
Hal yang perlu dicermati terkait dengan peran PA sebagai institusi yang melakukan eksekusi atas permohonan perceraian. Tidak adanya kordinasi antara lembaga yang
mengurus pernikahan KUA, lembaga penasihatan pernikahan BP4, dan lembaga yang mengeksekusi perceraian PA; menyebabkan kehidupan berkeluarga dilihat sebagai
sekuel yang terpisah: pernikahan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian merupakan hal yang lain. Bukan hanya dilihat terpisah, akan tetapi terdapat perbedaan
penanganan dan pendekatan. PA sebagai lembaga eksekusi pernikahan misalnya cenderung melihat perceraian secara administratif dan juridis semata. Karena hal itu kasus-kasus
perceraian dalam hal ini cerai gugat dapat diselesaikan dalam waktu sangat singkat, tanpa upaya-upaya maksimal untuk menjaga sakralisasi keutuhan pernikahan. Upaya untuk
menghadirkan pihak tergugat pada kasus cerai gugat misalnya terlihat sangat lemah pasif, padahal dengan ketidak-hadiran pihak tergugat mediasi tidak dapat dilakukan. Selain itu
hak-hak perempuan untuk mendapatkan nafkah paska perceraian terutama jika membawa anak belum mendapat perlindungan, mengingat banyaknya putusan cerai gugat yang tidak
mewajibkan suami untuk memberi nafkah untuk anak yang dibawa istri. Pendekatan administratif lagi-lagi menjadi prioritas supaya kasus cepat selesai, yang menghilangkan
makna substantif yang sedianya juga diperhatikan menjaga generasi atau anak dari ekses negatif perceraian. Keputusan cerai gugat yang menetapkan mantan suami untuk memberi
nafkahpun ada kecenderungan dibiarkan tidak dilaksanakan, dengan tidak adanya mekanisme pelaksanaan putusan.
5. KESIMPULAN