Filantropi Islam, Potensi Yang Terabaikan

2. Filantropi Islam, Potensi Yang Terabaikan

  Philantropy (filantropi) secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedermawanan, kemurahhatian atau sumbangan sosial manusia. Filantropi juga dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta kepada sesama manusia yang mendorongnya untuk berbuat baik dan tulus kepada manusia yang membutuhkan sehingga dapat meningkatkan kehidupannya.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Di dalam Islam, institusi filantropi ini terlihat ke dalam bentuk zakat, infaq dan sadaqah dan wakaf (ZISWAF) yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Pada awal Islam, filantropi Islam juga didasari oleh rasa cinta sesama manusia yang membawa kepada keinginan untuk berbagi dan saling merasakan. Namun seiring dengan masa formatif hukum Islam, dimensi hukum filantropi-lah yang menonjol dan secara perlahan namun pasti aspek cinta kemanusiaan yang dikandung ZISWAF menjadi kabur untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali. 2

  Para ulama sering menyebutkan, perintah wajib untuk mengeluarkan zakat itu ditunjukkan oleh al-Qur‘an dengan menyebut kata zakat sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Begitu pentingnya zakat dan tidak infaq dan sadaqah, maka zakat ditempatkan sebagai rukun Islam yang keempat. Bahkan dalam sejarahnya, Abu Bakar pernah memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang membangkang dan enggan membayar zakat.

  Sisi hukum zakat inilah yang pada masa-masa berikutnya menjadi fokus perhatian, mulai dari penentuan syarat-syarat benda yang wajib dizakati milk, hawl dan nisab) sampai penentuan orang-orang yang berhak menerimanya dengan segala kreterianya. Kondisi ini semakin diperparah dengan dimunculkannya dampak-dampak orang yang tidak mau membayar zakat dan akibat yang dideritanya baik di dunia maupun diakhirat.

  Cukup banyak kisah yang menakutkan yang dialami para pembangkan zakat, mulai dari Qarun seseorang yang disimbulkan sebagai konglomerat yang kapitalistik pada zaman Musa, Tsa‘labah pengusaha muda yang

  2 Ada kesan kuat, pergeseran eksistensi Al-Qur’an dari kitab moral menjadi kitab hukum, terjelma ke dalam sebagian besar institusi hukum Islam. Zakat yang

  semula muatannya adalah moral yang mengedepankan kepedulian dan kasih sayang bergeser sebagai seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan yang harus ditunai- kan. Bagi yang mengabaikannya ada diberi siksaan yang pedih. Lembaga perkawinan yang pada mulanya sebagai media untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, untuk kebaikan bersama di dunia dan akhirat bergeser menjadi hubungan dua pihak yang melahirkan hak dan kewajiban. Meminjam apa yang pernah dikembangkan oleh Fazlur Rahman, sejatinya Al-Qur’an harus dapat dibaca dalam dua dimensi, ideal moral dan legal formal. Dan ideal moral bagaimanapun juga harus diutamakan dari legal formalnya.

168 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS berhasil namun sombong pada masa nabi Muhammad SAW, harus menderita

  secara mengenaskan disebabkan tidak mau membayar zakat. Akhirnya, siapa saja yang mendengar dan membacanya menjadi takut, tidak saja takut hartanya akan hilang, tetapi juga takut kalau-kalau ia mendapatkan kutukan dan siksaan Allah SWT. Akhirnya zakatpun dikeluarkan dan difungsikan sebagai media “tolak bala”. 3

  Akhirnya dorongan seseorang membayar zakat adalah semata- mata disebabkan oleh dorongan hukum, termasuklah di dalamnya sebagai upaya untuk menghindar dari murka Allah. zakat yang semula berorientasi anthroposentris (kemanusiaan) bergeser menjadi teosentris (ketuhanan). Jadilah zakat mirip dengan upeti. Jika seorang demang, harus memberikan upetinya kepada raja, maka manusia juga memberikan upetinya kepada Tuhan melalui zakat.

  Penulis sebenarnya hanya ingin mengatakan, sadar atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari pelaksanaan zakat dan intitusi lainnya di dalam masyarakat Islam. Kita layak bertanya, mengapa hanya zakat yang diwajibkan, dan mengapa pula infaq, sadaqah, dan waqaf hanya dianjurkan (sunnah). Kalau kita berbicara dari sisi al-Qur‘an, bukankah kata infaq, shadaqah, dan zakat selalu digunakan dan dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya ?.

  Dalam konteks ini, sebenarnya zakat, infaq dan sejenisnya telah mengalami reduksi makna yang cukup berarti. Ketika zakat dijadikan sebagai masalah hukum yang tentu saja membutuhkan rumusan hukum yang sistematis, pada waktu itu, zakat juga infaqa dan sadaqah sebagai filantrofi Islam telah kehilangan substansinya.

  Sejatinya pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya atau lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap ancaman hukuman, melainkan satu bentuk komitmen sosial seorang muslim terhadap muslim lainnya.

  3 Benar ada hadis yang menyatakan bahwa zakat, infaq dan sadaqah dapat menolak penyakit atau kesusahan. Namun hal ini bukanlah tujuan utama dari

  zakat itu sendiri. Menolak penyakit tidak lebih dari “efek samping” dari zakat. Tujuannya dasarnya adalah menghapus disparitas (kesenjangan) antara yang kaya dengan yang miskin. Oleh sebab itu, persoalan pemerataan zakat dan pemberdayaan harta zakat menjadi niscaya. Tentu saja secara teologis harus dilakukan semata- mata mengharap ridha Allah SWT.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Pemberian itu hendaknya didasarkan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia. Dengan demikian, pembayaran zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan (rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Singkatnya, zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi.

  Jika zakat dan infaq di lihat sebagai satu bentuk perwujudan rasa cinta kepada sesama manusia, maka potensi filantropi Islam yang sebenarnya sangat besar akan dapat teraktualkan. Sebaliknya, jika dilihat dari sisi hukumnya saja, maka akibatnya adalah, zakat, infaq ataupun wakaf akan terperangkap di dalam aturan-aturan hukum yang kaku. Pada gilirannya, filantrofi Islam yang dimaksudkan sebagai sarana untuk berbagi, menguatkan dan mensejahterakan menjadi tidak terwujud. Sampai di sini, perubahan paradigma dalam memandang institusi filantrofi Islam menjadi sebuah keniscayaan.

  Zakat seharusnya tidak hanya dipahami sebagai konsep yang pasif, melainkan harus dilihat sebagai konsep yang dinamis. Dalam konteks inilah, dana-dana zakat itu dapat dikembangkan melalui investasi maupun melalui usaha-usaha yang produktif. Tidak ada keharusan, ketika dana zakat masuk, pada saat itu pula harus diserahkan kepada mustahiqnya. Sebaliknya, untuk maksimalisasi hasil, dana zakat dapat dikembangkan.

  Di banding zakat yang wajib, infaq, sadaqah dan wakaf sebenarnya dapat mendatangkan sumber dana yang besar jika paradigmanya berhasil digeser. Selama ini infaq dan sadaqah dipahami sekedar pemberian karitatif yang ala kadarnya. Sehingga, infaq dan sadaqah seringkali tidak dipersiapkan dengan matang karena dianggap bukan pemberian yang sungguh- sungguh, dibanding dengan zakat.

  Untuk membuktikannya, kita bisa melihat bagaimana isi kotak- kotak infaq seperti yang terlihat setiap hari jum‘at. Di dalam kota infaq itu, ditemukan recehan uang kalaupun ada yang besar paling satu dua harga sepuluh atau duapuluh ribu. Contoh berikutnya, penghasilan yang di dapat pengemis yang telah kehilangan satu kakinya. Mereka tidak lebih mendapatkan kumpulan recehan, kalaupun ada yang besar, paling-paling seribu rupiah. Lagi-lagi ada paradigma yang salah, karena

170 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS infaq itu hukumnya sunnah, boleh dilakukan dan juga tidak ada cela

  jika ditinggalkan.

  Demikian juga dengan wakaf, yang selama ini dipahami sebagai wakaf benda tidak bergerak seperti tanah untuk perkuburan atau bangunan masjid. Akhirnya, yang dapat berwakaf, adalah orang yang sangat kaya dan benar-benar memiliki kesadaran keimanan tinggi. Padahal, jika wakaf uang, terlepas dari berapun jumlahnya, dapat disosialisasikan kepada umat, maka betapa besar dana yang dapat digali dari umat, untuk selanjutnya diproduktifkan.

  Perubahan paradigma yang dimaksud adalah, mengembalikan zakat dan infaq, sadaqah juga wakaf sebagai bentuk filantrofi Islam yang diimplementasikan dalam bentuk kepedulian dan kecintaan kepada sesama manusia. Sejatinya, ia tidak lagi dibelenggu oleh konsep-konsep hukum yang kaku, melainkan ia menjadi sesuatu yang bebas dan hanya diikat oleh komitmen kemanusiaan.

  Seorang muzakki yang telah mengeluarkan zakatnya pada tahun tertentu, tidak berarti ia telah lepas dari tanggungjawab. Sebaliknya ia akan selalu berusaha untuk mengangkat taraf hidup orang yang susah ke arah yang lebih baik. Ia akan merasa belum berhasil, jika ZISWAF yang dikeluarkannya tidak dapat mensejahterakan orang lain.