Bank Syari’ah sebagai Solusi Krisis Ekonomi?

7. Bank Syari’ah sebagai Solusi Krisis Ekonomi?

  Saya tersentak membaca pernyataan A Riawan Amin ketua ASBISINDO yang mengatakan, pertumbuhan perbankan syari’ah nasional belum menyelesaikan permasalahan perekonomian nasional. Sebabnya, pertumbuhan Bank Syari’ah masih sangat lamban. Hanya 3 dari pangsa pasar perbankan nasional. Jika demikian, pantaslah kita bertanya, “Mungkinkah Bank Syari’ah menjadi Solusi krisis Ekonomi nasional kita ?. Keluhan seperti ini bukanlah yang pertama sekali kita dengar. Hampir tiap tahun, kita masih mendengarkan laporan yang menyedihkan ini?.

  Sebagai perbandingan, saya masih ingat pada tahun 2009. Di Harian

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  ini dimuat berita yang berjudul, “Pertumbuhan Nasabah Bank Syari’ah Menyedihkan.” (Waspada, 30 Januari 09). Pernyataan ini berdasarkan informasi yang diberikan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah. Kendatipun ada kenaikan tetapi sangat lamban. Bayangkan, jumlah nasabah perbankan syari’ah naik tipis dari 2007 sebanyak 2,845 juta rekening menjadi 3,799 juta rekening hingga 2008. Sedangkan untuk nasabah pembiayaan, keadaannya tidak jauh berbeda. Penyaluran kredit (pembiayaan) bank syari’ah hanya naik sedikit dari 512 ribu nasabah di 2007 menjadi 589 ribu nasabah di November 2008. Di samping itu, pangsa pasar bank Syari’ah baru mencapai 2,08 dengan total asset 47 triliun. Sedangkan target pemerintah adalah 5 dengan total asset 90 Triliun. Jumlah minimal inipun agaknya sulit terpenuhi dalam waktu dekat. Ironis memang, di sebuah Negara yang penduduknya mayoritas muslim, pangsa pasar bank syari’ah yang terserap baru sedikit.

  Jika tiga tahun yang lalu, pangsa pasar bank Syari’ah baru mencapai 2,08 dan laporan terakhir baru (2011) mencapai lebih kurang 3, betapa mengerikan pertumbuhan perbankan syari’ah di negeri yang mayoritas muslim ini. Untuk menaikkan pangsa pasar 1 saja kita membutuhkan waktu 3 tahun. Jika Pemerintah hanya menargetkan

  5 , berarti kita membutuhkan 6 tahun lagi untuk mencapai angka 5 .

  Berangkat dari kondisi yang menyedihkan inilah tampaknya BI merasa perlu melakukan berbagai macam terobosan. BI Menggelar Festifal Ekonomi Syari’ah (FES) yang bersifat massal. Juga menyelenggarakan Forum Riset Perbankan Syari’ah secara berkala. Tidak ketinggalan pula kegiatan sosialisasi, pelatihan, seminar dan kegiatan akademik lainnya yang bertujuan untuk menyadarkan orang-orang terdidik bangsa ini. Berbagai macam regulasi juga dilahirkan, lagi-lagi untuk mendorong akselarasi pertumbuhan perbankan syari’ah.

  Begitu seriusnya BI Pusat – juga BI di daerah - sepanjang yang saya mati- mendorong pertumbuhan dan perkembangan perbankan syari’ah ini, sayangnya semangat ini tidak diikuti praktisi perbankan syari’ah di daerah, khususnya di Medan Sumatera Utara. Perbankan syari’ah di daerah ini sepertinya berjalan di jalur lambat.

  Dari sisi sejarah, perbankan syari’ah lahir di Sumatera Utara sekitar awal tahun 1990-an. Lebih kurang 20 tahun lamanya, eksistensi perbankan

  156 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS syari’ah di Sumut tidak terlalu menggembirakan. Ironisnya, belakangan

  ini malah terjadi pergeseran model pengembangan perbankan syari’ah dari “sinergisitas” menjadi gerakan yang terfragmentasi. Jika pada tahun 1990-an sampai tahun 2000 awal, pengembangan bank syari’ah cukup massif, melibatkan semua unsur kekuatan, mulai dari peraktisi, ulama, akademisi, para tokoh-tokoh masyarakat, belakangan ini ada kesan kebersamaan itu tidak ditemukan lagi. Pada tahun 2001-2005, semangat kebersamaan terjalin secara sinergis dan harmonis antara berbagai lembaga keagamaan dari ulama, praktisi sampai remaja masjid. Pemerintah Propinsi di bawah kepemimpinan H. Rizal Nurdin (alm) kala itu, mendukung sepenuhnya gerakan ekonomi syari’ah di Sumut. Hasilnya, kegiatan ekonomi syari’ah tumbuh subur di Medan. Namun suasana itu tidak terasa sama sekali sekarang ini. Artinya, ada yang hilang dari gerakan ekonomi syari’ah di Sumut.

  Bagi saya, perbankan syari’ah saat ini belum bisa tampil sebagaimana perbankan konvensional. Perbankan konvensional sudah hadir selama ratusan tahun, dan eksistensinya telah menyatu di masyarakat. Artinya, perbankan konvensional tidak lagi membutuhkan gerakan-gerakan yang bersifat massal. Mereka cukup bermain di inovasi produk dan undian. Ditambah dengan gebyar-gebyar yang meriah dengan memanfaatkan media televisi. Sekali lagi, perbankan syari’ah tidak sama. Perbankan syari’ah masih baru, dan kita perlu melakukan langkah-langkah yang konsisten, terencana dan sistematis untuk mengembangkannya.

  Salah satu hal yang amat mendesak untuk kita ciptakan adalah melahirkan mujahid al-iqtishad. Mujahid Al-Iqtishad adalah mujahid- mujahid ekonomi syari’ah. Mereka bukan sekedar karyawan, pimpinan cabang atau “bankir.” Mereka benar-benar mujahid al-iqtishad yang bersungguh (mujahadah) dalam mensosialisasikan ekonomi syari’ah. Mereka tidak hanya berdiam dikantor, tetapi terus berjuang dan mensuarakan ekonomi dan perbankan syari’ah ke masyarakat. Mereka sadar, menjadi kepala cabang atau menjadi karyawan bank syari’ah tidak cukup hanya berdiam diri di kantor lalu melakukan hal-hal yang bersifat rutinitas. Tetapi harus bergerak, masuk ke simpul-simpul masyarakat. Membangun komunikasi dengan Perguruan Tinggi Islam dan ormas –ormas keagamaan. Mereka tidak hanya dekat dengan penguasaha dan nasabah, tetapi juga dekat dengan ulama. Bahkan mujahid Al-Iqtishad masuk ke majlis-

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  majlis ta’lim, pengajian-pengajian, walaupun tempatnya berada di pinggiran kota ataupun berada di pelosok-pelosok desa.

  Adakah karyawan perbankan syari’ah yang dapat tampil sebagai mujahid al-iqtishad? Saya khawatir mereka tak sepenuhnya paham dengan apa yang harus dilakukan. Tak juga peka terhadap tantangan yang akan dihadapi. Bahkan sebaliknya dan ini yang paling mengkhawatirkan, jangan-jangan mereka telah kehilangan ruh dan spirit jihadnya. Mereka kehilangan etos mujahid sehingga jihad al-iqtishad (berjihad) menjadi tak penting lagi. Sejatinya, jihad adalah kata kunci dalam pengembangan ekonomi syari’ah. Untuk itulah, dalam upaya membangun etos jihad inilah, semangat jihad harus selalu dihembuskan ke dalam hati sanubari para mujahid. Etos jihad ini harus menjadi spirit dalam pengembangan perbankan syari’ah.

  Tidak kalah pentingnya, lambatnya perkembangan Bank Syari’ah ini disebabkan tidak menyatunya institusi perbankan dan lembaga keuangan syari’ah lainnya. Pada tahun 1990-an, di Sumut hanya terdapat dua sampai tiga institusi perbankan Syari’ah. Bentuknya pun masih UUS (unit usaha syari’ah) dan satu Bank Umum Syari’ah (BUS). Di samping itu ada juga beberapa BPRS yang tumbuh dan berkembang di Sumut. Menariknya, pada waktu itu kendati bank-bank syari’ah bersaing untuk memperebutkan pangsa pasar, namun mereka tetap bisa bekerja sama. Bisa bersinergi dan itu berlangsung secara harmonis.

  Ketika bank Syari’ah di Sumut tumbuh bak cendewan di musim hujan, kerjasama malah tidak terbangun kendati mereka berada dalam payung Asbisindo, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Benar bahwa lembaga perbankan adalah lembaga bisnis. Kompetisi menjadi tak terhindarkan. Namun ada yang terlupakan. Bank syari’ah membawa panji Islam. Nilai-nilai agama harus tetap menjadi payung segala aktifitas. Jangan sempat bank syari’ah malah menggunakan cara-cara sekuler, bersaing tidak sehat dan saling menegasikan. Merasa dirinya lebih syari’ah dari bank lainnya, padahal kenyataannya tidak demikia. Cara-cara seperti ini menurut saya, bukan malah saling menguatkan, tetapi sebaliknya saling melemahkan.

  Saya menyarankan, seluruh kekuatan ekonomi Islam di Sumut, dapat bersinergi untuk merumuskan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan ekonomi syari’ah yang saat ini hampir mati suri.

  158 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Sosialisasi ekonomi syari’ah tidak sepenuhnya dapat menggunakan

  kacamata rasional. Ekonomi syari’ah juga memiliki dimensi spiritual, teologis dan moral. Untuk itu kebersamaan antar lembaga strategis menjadi keniscayaan. Intinya, semangat jihad harus kita tumbuhkan pada diri kita, apakah praktisi perbankan, pemerhati, ulama, ustaz, dan sebagainya. Jika kita tidak melakukan apapun, percayalah, bank syari’ah di Sumut akan jalan ditempat.

  Intinya adalah, kita tidak bisa menjadikan ekonomi syari’ah, khususnya perbankan syari’ah sebagai solusi krisis ekonomi nasional kita –apatah lagi krisis ekonomi global- selama pertumbuhan perbankan syari’ah kita masih sangat kecil. Tugas kita adalah mengembangkan dan memasyarakatkan ekonomi syari’ah kepada umat Islam dan meyakinkan manusia bahwa ekonomi Islam adalah sistem ekonomi terbaik. Seperti apa yang dikatakan Riawan Amin, selama sistem ribawi tidak dihapuskan di negara ini, maka perbankan syari’ah sulit untuk berkembang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS