Zakat Profesi dan Kepedulian Kaum Profesional.
183
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat ber- dasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh.
7
Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam 1 faddam = ½ ha, sedangkan
atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang
penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya.
Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya sebagian
ulama setuju sampai pada angka 2,5 . Ada juga yang menyebutnya 10 - 20 dengan menyamakannya dengan harta temuan rikaz.
Kontroversi inilah yang ingin diselesaikan oleh penulis buku ini, paling tidak menurut Ijtihadnya sendiri.
Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 berdasarkan qiyas kepada zakat
perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas.
Di Indonesia angka 2,5 ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 ,
profesi modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Saat ini cukup banyak profesi yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah
seperti komisaris perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis
dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 . Demi keadilan hukum,
Amin Rais menawarkan zakat profesi sebesar 20 .
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap
pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 atau
7
Ibid.,
184
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
10 . Qiyas yang dilakukan para ulama tersebut tetap menimbulkan kemusykilan-kemusykilan problema tersendiri. Kemusykilan-kemusykilan
tersebut adalah menyangkut masalah epistemologi hukum Islam yang belum kukuh debatable. Sebagai contoh bagaimana mungkin mengqiyaskan
zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan nisabnya masih diper- selisihkan. Kemusykilan berikutnya, hasil dari qiyas tersebut belum mampu
menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, dan rikaz, implikasinya adalah
terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi.
Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian, maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban
zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah
gaji pegawai yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam
setahun mengalami dua kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua kali panen menjadi, Rp.1.500.000 X 2
= Rp. 3.000.000,-. Dibagi 12 bulan, sehingga pendapatan petani perbulannya adalah Rp. 250.000. Jadi apabila pendapatan seorang pegawai telah
mencapai Rp. 250.000, maka ia wajib membayar zakat profesinya. Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap menerima
gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 dan ini merupakan angka yang cukup tinggi. Berangkat dari kemusykilan-
kemusykilan yang terjadi dalam penentuan kadar zakat profesi, diperlukan jalan lain.
Jalaluddin Rakhmat, menawarkan cara baru untuk merumuskan landasan kewajiban zakat profesi dengan cara merujuk ayat-ayat al-
Qur’an dan meninggalkan metode qiyas yang selama ini digunakan para ulama. Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat
seperti yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang khumus perlimaan berkenaan dengan ghanimah harta rampasan
perang yang dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga
sanggup mengeluarkan 20 dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang dengan mudah mendapatkan uang,
185
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
seharusnya juga mampu mengeluarkan jumlah sebesar itu karena peng- hasilan profesi juga dapat disebut dengan ghanimah. Jika demikian hasil
ghanimah harus dikeluarkan khumus perlimaan atau 20 . Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 dengan berdasarkan dalil
al-Qur’an dan Hadis.
Terlepas dari perbedaan tentang kadar zakat profesi di atas, yang paling penting sebenarnya adalah komitmen kaum professional untuk
mengeluarkan zakat disamping infaq dan sadaqah. Adalah tidak tepat jika alasan perhitungan, perbedaan tentang hukum zakat profesi dan
hal-hal tekhnis lainnya dijadikan alasan untuk menolak kewajiban zakat profesi.
Jika profesi yang digelutinya termasuk profesi “kelas atas” mungkin dapat mengambil bagian yang 20 , sedangkan profesi yang biasa mungkin
bias mengambil bagian yang 2,5 . Yang paling penting kemauan untuk membayar zakat profesi tersebut.
Adalah menarik mencermati tradisi zakat yang dikembangkan para sahabat dan generasi sesudahnya. Mereka tidak terlalu dipusingkan
dengan masalah-masalah aturan zakat, apakah nisab, haul, kadar, dan sebagainya. Di dalam diri mereka muncul kesadaran berzakat yang
cukup tinggi. Jika merasa hartanya telah memenuhi syarat untuk berzakat, mereka segera menunaikannya. Apabila belum memenuhi syarat, mereka
membayar infaq.
Sebenarnya, jika kaum professional seluruhnya memiliki kesadaran yang sama untuk membayar zakat atas profesinya tanpa harus terkait
secara kaku dengan ketentuan praktisnya, maka cukup banyak dana yang terkumpul dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk melakukan
pemberdayaan ekonomi umat. Setidaknya ada kata-kata bijak yang dapat dipegang, di atas fikih hukum ada kebijaksanaan ke‘arifan.
Orang yang ‘arif tidak akan terjebak dengan aturan tekhnis hukum. Dia akan berbuat atas dorongan moral dan kemanusiaan dan bukan
atas dorongan hukum.