Hakikat Ekonomi Islam EKONOMI ISLAM:
85
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Di dalam fikih Mu’amalat isu-isu yang akan dikaji adalah bisnis dan hukum kontrak. Ketika kita membuka bab fiqh al-mu’amalat tampak
pembahasan yang pertama muncul adalah nazhriyat al-‘aqad teori- teori akad, al-buyu’ jual beli dengan segala bentuk dan variasinya,
al-ijarah sewa menyewa, al-musyawarakah, al-hiwalah, al-mudharabah, al-rahn dan sebagainya. Isu-isu inilah yang telah diajarkan puluhan bahkan
ratusan tahun lalu di fakultas-fakultas Syari’ah di seluruh dunia. Sayangnya topik-topik di atas sangat didominasi oleh pendekatan fikih hukum.
1
Kedua, Ekonomi Islam sebagai ilmu ekonomi pada umumnya. Sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri, ekonomi Islam bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadis. Tentu ekonomi Islam memiliki bidang-bidang kajiannya seperti ekonomi makro Islam i dan ekonomi Makro Islam i. Adapun yang
termasuk bagian ekonomi makro adalah masalah moneter, perdagangan dan hubungan internasional, isu-isu pembangunan ekonomi pembangunan
dan lain sebagainya. Di bagian yang disebut terakhir ini masih terdapat berbagai cabang lainnya seperti masalah-masalah pengentasan kemiskinan,
pengangguran dan isu-isu pembangunan lainnya. Adapun dari sisi mikronya yang termasuk bagian dari ekonomi Islam adalah prilaku konsumsi,
persaingan, bisnis, biaya, keuangan publik, dan isu-isu mikro lainnya.
Ketiga, ekonomi Islam hanya dilihat dari sisi norma atau etika. Dengan kata lain, ekonomi Islam hanyalah memuat nilai-nilai atau filosofi-filosofi
yang dikembangkan dari Al-Qur’an.
2
Misalnya tentang kedudukan manusia sebagai khalifah dan konsekuensinya dalam mengelolaan sumber daya
alam. Masalah kebutuhan manusia terhadap harta. Dalam konteks larangan,
1
Disebabkan kuatnya pendekatan fikih dalam kajian Mua’amalat membuat konstruk pemikiran di kalangan sarjana Islam bahwa Mu’amalat identik dengan
hukum bisnis. Fiqh Mu’amalat sesungguhnya tidak hanya menyangkut hukum bisnis tetapi juga berkaitan erat dengan ekonomi. Ada sedikit kesulitan jika kita
mengeluarkan ekonomi Islam dari lingkup mu’amalat. Lalu cantolan atau induk ekonomi Islam ini ke mana? Seminar dan Workshop yang dilakukan Prodi Ekonomi
Islam baru-baru ini tetap saja memperdebatkan rumah ekonomi Islam, apakah di Mu’amalat atau berdiri sendiri. Tentu saja masalah ini perlu terus menerus
dipikirkan sehingga bertemu dengan pemikiran konsepsional yang teruji.
2
Dalam konteks ini, sebuah buku yang menarik untuk dikaji adalah, Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu?” Renungan tentang Bisnis Islam dan Ekonomi
Syari’aj Jakarta: Airlangga, 2010. Buku ini memuat kajian tentang norma dan filsafat ekonomi Islam yang dikonstruksi melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.
86
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
pada bagian ini akan diperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan larangan riba, larangan mengurangi timbangan, memberi infaq dan
sadaqah, kewajiban membayar zakat dan lainnya. Tema-tema ini memiliki landasn nash yang jelas di dalam Al-Qur’an. Berangkat dari perspektif
yang ketiga ini, seolah-olah ketika bicara tentang ekonomi Islam sama artinya berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang terlarang.
Keempat, ekonomi Islam hanya dilihat dari kelembagaan atau industri, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, hotel
syari’ah dan industri lainnya. Bahkan belakangan ini isu-isu ekonomi Islam yang dipandang penting dan perlu mendapat perhatian yang lebih
luas lagi adalah berkaitan dengan citizen finance, lembaga keuangan mikro seperti BMT, Koperasi Syari’ah, yang mulai menunjukkan geliatnya
sedemikian rupa. Bahkan beberapa kasus di Jawa, keberadaan BMT yang dikelola Pinbuk lebih dapat diterima dibanding dengan BPRS itu sendiri.
3
Dari penjelasan sederhana di atas, jelas terlihat bahwa ekonomi Islam itu sebenarnya sangat luas. Tampak juga bahwa perbankan syari’ah
hanyalah sub dari sebuah sistem ekonomi yang besar. Begitu besarnya, hampir tidak ada persoalan kehidupan ini yang tidak bersentuhan dengan
masalah ekonomi. Sekali lagi, adalah keliru jika ada yang menyempitkan makna ekonomi Islam hanya berhubungan dengan industri keuangan
seperti perbankan.
Di antara hal yang perlu kita luruskan berkaitan dengan munculnya kesan, berekonomi Islam dimaknakan dengan berinteraksi dengan perbankan
syari’ah, menjadi nasabah apakah sebagai shahib al-mal penabung atau sebagai mudharib pihak ketiga. Padahal terlibat di dalam ekonomi
Islam tidak bisa dibuktikan dengan ATM salah satu bank syari’ah. Walaupun berinteraksi dengan lembaga perbankan syari’ah tetap niscaya namun
tidak boleh dijadikan satu-satunya ukuran. Lebih parah lagi, jika ada yang mendefinisikan berekonomi Islam sama dengan menggunakan produk
3
Berturut-turut sejak tahun 2006 sampai 2007 Gatra menurunkan edisi khusus lebaran yang memuat tentang perkembangan ekonomi Syari’ah di Indonesia dari
segala segi. Lebih luas lihat, tahun 2006 dengan judul, Spirit Ekonomi Islam dan pada tahun 2007, Booming Bisnis Syari’ah. Menariknya laporan ini tidak saja memuat
institusi bisnis yang berkembang tetapi juga memuat tentang tokoh atau pengusaha yang berhasil.
87
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
yang di buat oleh orang Islam, berbelanja di warung atau super market milik orang Islam dan selainnya menjadi terlarang. Pada hal berekonomi
syari’ah menghendaki maknanya yang utuh dan komprehensif kaffah.
Aktivitas ekonomi kita sehari-hari sejatinya harus dilihat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi yang harus sesuai dengan konsep ekonomi
Islam. Bagaimana pola konsumsi yang kita terapkan baik dalam kehidupan pribadi atau berumahtangga ekonomi rumah tangga, haruslah berdasarkan
syari’ah. Bagaimana kita memanfa’atkan sumber daya yang ada pada kita, apakah sudah sesuai dengan ekonomi Islam atau belum. Demikian
juga halnya ketika kita membayar zakat, mendayagunakannya, sejatinya adalah bagian dari praktik ekonomi Islam. Demikian pula halnya dengan
praktik wakaf juga harus dilihat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi.
Lepas dari semua itu, kekeliruan yang disebut di atas, tidaklah semata- mata disebabkan kesalahan masyarakat. Sepertinya, penyebab munculnya
kekeliruan itu didasarkan atas sikap sebagian ulama kita, ustaz dan da’i yang ketika menjelaskan Islam cenderung masih terpecah-pecah. Lebih
parah dari itu, dimensi ibadah lebih kuat dibanding dari sisi mu’amalahnya. Dengan kata lain, Islam hanya dijelaskan dari dimensi ibadah semata
dan tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan mu’amalat apa lagi politik, sosial dan budaya. Beban ini juga harus dipikul perguruan tinggi
Agama Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin dalam waktu yang relative panjang, ternyata Islam telah dijelaskan, dikaji dan dibahas tidak secara
komprehensif. Islam masih dipahami parsial dan terpilah-pilah. Islam tidak diuraikan sebagai sebuah konsep universal. Padahal kata al-Jami’ah
sebagai arti dari Universitas sudah lama dikenal. Hal itu seharusnya menjadi bukti universal keilmuan Islam.
Setelah kita memperbincangkan makna ekonomi Islam, diskusi berikutnya adalah berkaitan dengan ketahanan ekonomi masyarakat.
Sebelum berbicara tentang ketahanan ekonomi masyarakat, satu pertanyaan mendasar penting untuk diajukan. Apakah ekonomi Islam dapat bertahan
dari gempuran krisis keuangan global. Tahun 2008 kendati menjadi tahun krisis dalam perjalanan ekonomi dunia, namun bagi ekonomi
Islam, tahun itu memiliki makna tersendiri. Masyarakat dunia semakin yakin, bahwa ekonomi Islam memiliki ketahanan terhadap gempuran
krisis global. Mengapa bisa terjadi? jawabnya bisa dilihat dari tiga perspektif. Pertama, Ekonomi Islam menolak sistem bunga dari segala bentuk transaksi
88
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
keuangan. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa salah satu penyebab krisis keuangan global termasuk di Amerika adalah adanya
kebijakan tingkat suku bunga yang rendah. Islam menawarkan sistem yang lebih rasional untuk mengganti sistem yang menindas riba. Kedua,
dalam kebijakan fiskal aktifitas yang dilakukan harus mendukung aktivitas riil domestik. Ekonomi Islam sangat menolak apa yang disebut dengan
ekonomi balon. Ketiga, dalam kebijakan moneter yaitu pasar keuangan, baik pasar uang dan pasar modal harus dijalankan sesuai dengan sistem
ekonomi Islam.
4
Secara sederhana, aktivitas ekonomi akan hancur jika norma dan etika dilanggar. Setidaknya ada beberapa norma dasar yang sejatinya
harus dihindari. Larangan tersebut terangkum di dalam kata yang populer; “Maghrib” yang sebenarnya merupakan kepanjangan dari Maisir Judi,
Gharar ketidakjelasan, kabur, Riba dan Batil. Kehancuran ekonomi dunia termasuk di negara ini sebenarnya karena praktik-praktik Maghrib.
Jujur harus diakui, kapitalisme dengan segala derivasinya, telah mendorong praktik ekonomi terlarang di atas harus dilakukan oleh pelaku bisnis.
Akibatnya, krisis ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
Jika ekonomi Islam mampu bertahan terhadap gempuran krisis ekonomi global, itu juga mengandung makna bahwa ekonomi Islam
mampu memberi ketahanan ekonomi terhadap masyarakat. Untuk mencapai kondisi ideal ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Pertama, karena ekonomi itu merupakan sebuah sistem, maka sistem ekonomi itu haruslah berlandaskan syari’ah. Kehidupan ekonomi harus
berlangsung secara adil, khususnya yang berhubungan dengan struktural. Struktur yang tidak adil, timpang dan menindas, membuat peraktik
ekonomi Syari’ah akan sulit untuk tumbuh dan berkembang. Kedua, masyarakat sejatinya memiliki kesadaran yang mendalam terhadap
syari’ah dengan segala aspek dan dimensinya. Harus disadari, kesadaran masyarakat Islam terhadap ekonomi syari’ah masih sangat rendah
dibanding dengan kesadarannya terhadap ibadah dan aspek Islam lainnya.
Lepas dari itu semua, hal yang paling penting kita lakukan saat ini adalah membangun kesadaran masyarakat tentang eksistensi ekonomi
4
Lebih lanjut lihat, Hendro Wibowo, “Ketahanan Ekonomi Syari’ah Terhadap Krisis Global” dalam SEBI.
89
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Syari’ah. Terus terang saja, masih banyak umat Islam yang merasa asing dengan ekonomi syari’ah. Oleh karena itulah, kita tidak boleh berhenti
untuk terus menerus melakukan sosialisasi, pencerahan dan membangun kesadaran umat Islam tentang pentingnya berekonomi secara syari’ah.
Jika kesadaran kita sebagai umat telah terbangun, maka tidak diragukan lagi, ekonomi Syari’ah dalam maknanya yang luas akan
bertumbuh dan berkembang. Sudah barang tentu kehidupan ekonomi masyarakat akan semakin baik. Insya Allah.