Wakaf Tunai Dalam UU. No 41 Tahun 2004

3. Wakaf Tunai Dalam UU. No 41 Tahun 2004

  Beberapa tahun belakangan berkembang sebuah wacana yang cukup menarik, yaitu wakaf tunai. Alasan yang paling utama mengapa wakaf tunai (uang) ini terus disosialisasikan adalah karena wakaf benda tidak bergerak, bagaimanapun juga sangat terbatas. Wakaf jenis ini hanya dapat dilaksanakan oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai kesadaran berwakaf yang tinggi. Akhirnya, seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalah khusus orang-orang yang sangat kaya saja. Sedangkan orang yang ekonominya biasa-biasa tidak dapat berwakaf. Pada hal jumlah muslim yang kehidupannya biasa-biasa (ekonomi kecil dan menengah) jauh lebih besar dibanding dengan konglomerat-konglomerat muslim. Tentu saja jika ini dimanfaatkan maka potensi dana umat sangat besar.

Perspektif Fikih

  Berbeda dengan wakaf benda tidak bergerak, tampaknya wakaf uang tidak diperbincangkan secara luas di dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal ini bisa dipahami, wakaf uang di dalam fikih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Dengan menggunakan tinjauan sosiologis, bisa dipahami karena fikih wakaf dirumuskan pada masyarakat agraris, bukan pada masyarakat industri atau jasa. Di samping itu, contoh yang sering dirujuk ketika menjelaskan tentang wakaf adalah prilaku Umar r.a dengan tanah khaibarnya. Lengkaplah sudah bahwa wakaf hanya benda yang tidak bergerak, yang abadi dan tidak sirna.

  Akibat tidak dibicarakannya wakaf uang pada masa-masa awal Islam, umat Islampun akhirnya terlambat mengenal jenis wakaf ini. Oleh sebab itu, adalah absah jika penulis menduga tidak berkembangnya wakaf uang di Indonesia agaknya didasarkan pada pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang masih menganut mazhab Syafi‘i.

  Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, bolehnya wakaf uang adalah berdasarkan pendapat Muhammad Ibn Abdullah Al-Anshari murid Zufar (sahabatnya Abu Hanifah). Beliau disebut-sebut sebagai ulama yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang kontan; dinar dan dirham, Ulama-ulama saat itu yang mendengar pendapat Al- Anshari bertanya, apa yang kita lakukan dengan dana cash dirham ?

206 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Al-Anshari menjawab, “kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah,

  dan labanya kita sedekahkan. Ada juga pakar wakaf yang mendasarkan kebolehan wakaf uang ini kepada Imam Az-Zuhri.

Perspektif Undang-undang

  Kendatipun umat Islam Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i, tampaknya dalam hal wakaf uang ini, ulama dan pemikir-pemikir ekonomi Islam memilih pendapat yang membolehkan wakaf uang. Setidaknya inilah yang tercermin di dalam undang-undang No 41 tahun 2004.

  Pada Bagian Keenam tentang harta benda wakaf pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa, harta benda wakaf terdiri dari : a, benda tidak bergerak.

  B. benda bergerak. Selanjutnya pada ayat 3 dinyatakan bahwa: Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurup b adalah harta benda yang tidak dapat habis karena dikosumsi, meliputi: a. uang, b. logam mulia,

  c. Surat berharga, d. Kendaraan, e. Hak atas kekayaan intelektual. F. hak sewa dan, g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Klausul di atas dapat dijadikan dalil akan kebolehan wakaf uang. Dengan menggunakan kaedah fikih, keputusan hakim menyelesaikan perbedaan (hukm al-hakim yarfa’u al-khilaf). Maksudnya, dengan diundang- kannya masalah wakaf uang, khilaf antara yang membolehkan wakaf uang dan kelompok yang tidak membolehkannya menjadi tidak relevan lagi.

  Pada bagian kesepuluh tentang “wakaf benda bergerak berupa uang” pasal 28 dijelaskan bahwa, wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri agama. Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa, Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.

  Dari beberapa pasal di atas ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, wakaf uang tampaknya hanya boleh dilakukan melalui lembaga keuangan syari’ah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola wakaf uang. Alasan yang sering dikemukakan adalah bank

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  dipandang dapat mejamin bahwa wakaf uang tersebut tidak akan habis kendati digunakan. 12

  Lewat undang-undang ini jelas bahwa pihak nazir tidak memiliki kewenangan secara mandiri untuk mengelola wakaf uang. Paling- paling nazir hanya menerima bagi hasil dari wakaf uang tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan demi kepentingan umat.

  Kedua, lembaga keuangan syari’ah (bank syari’ah) yang ditugaskan untuk mengelola wakaf uang adalah lembaga yang ditunjuk oleh menteri agama. Di sini dikhawatirkan muncul monopoli yang melahirkan kecemburuan lembaga keuangan syari’ah. Jika semua lembaga diberi peluang yang sama untuk mengelola wakaf uang, dikhawatirkan memunculkan persoalan baru, seperti persaingan antar bank dan sebagainya.

  Mencermati undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, penulis melihat ada standar ganda yang diterapkan undang-undang. Pada satu sisi, undang-undang telah memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk berwakaf. Namun pada sisi lain, terdapat aturan-aturan yang menghambatnya. Sebagai contoh, dalam konteks wakaf uang, penunjukan lembaga keuangan syari’ah bagaimanapun akan membuat wakaf uang sulit perkembang. Nazir hanya mengharapkan bagi hasil dari pihak bank, yang relative kecil.

Penutup

  Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Undang-undang Wakaf, yang jelas, keberadaan undang-undang sangat penting untuk menegaskan kedudukan hukum wakaf uang. Setidaknya berdasarkan undang-undang tersebut, wakaf uang tidak lagi dipersoalkan. Yang penting adalah bagaimana memberdayakannya sehingga apa yang menjadi tujuan wakaf dapat terwujud. Pada gilirannya, wakaf uang dapat memberdayakan ekonomi Umat.