Riba Versus Bunga Bank, Samakah?

2. Riba Versus Bunga Bank, Samakah?

  Persoalan riba dan bunga bank merupakan topik yang sering diperdebatkan terlebih lagi sejak dikeluarkannya fatwa MUI tentang keharaman bunga bank. Pertanyaannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba ? Seperti yang telah disebut di muka, ulama telah sepakat bahwa riba hukumnya haram. Namun apakah riba sama dengan bunga bank, para ulama tampaknya berbeda pendapat. Bagi yang menyatakan sama, tentu akan menyatakan bunga bank itu haram. Bagi kelompok yang menyatakan berbeda tentu akan menyatakan bahwa bunga bank tidak haram.

  Salah seorang pemikir ekonomi Islam yang cukup produktif, Umar Chapra telah menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara teknis riba (bunga) mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal ini, riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga sesuai dengan konsensus ulama fikih. 3

  Kendati Chapra telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama dengan riba, namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut salah satu diantaranya adalah Muhammad Abduh. Baginya riba yang diharamkan hanyalah riba yang ad‘aafan muda‘aafah (berlipat ganda). Abduh membolehkan menyimpan uang di Bank dan mengambil bunganya. Dasarnya menurut Abduh adalah Pertama, maslahat mursalah. Kedua, Tabungan di bank bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam (mudarabah dan musyarakah). 4

  Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Pertama, pertimbangan darurat. Kedua, Yang dilarang oleh al-Qur’an adalah bunga yang berlipat ganda (tinggi). Ketiga, Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam katagori mukallaf, jadi bank tidak terkena khitab ayat-ayat Allah maupun hadis nabi.

  3 Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, Yogyakarta:Dana Bhkati Prima, 1997.

  4 Ibid.,

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah :Wacana Ulama dan Cendikiawan telah membantah argumen-argumen tersebut Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat. Dalam Ushul fiqh yang disebut darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Jika demikian pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke bank konvensional akan menjadikan perekonomian hancur sehingga manusia akan mengalami kesengsaraan.

  Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak ada bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 alasan untuk menyebut darurat itu menjadi hilang. Tegasnya saat ini terlebih lagi setelah berdirinya Bank Syari’ah Mandiri (1999), BNI Syari‘ah, Danamon Syari‘ah, BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari‘ah) dan bank-bank Islam lainnya, alasan darurat tidak lagi dapat dibenarkan.

  Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba, didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali–Imran yang telah disebut, tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang. Dengan demikian tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba (usury) dengan bunga (interest) karena keduanya sama-sama mempresentasikan tambahan atau peningkatan dari pokok modal yang ada.

  Kemudian kata “berlipat ganda” pada ayat 130 surah ali imran dalam ilmu tata bahasa Arab (nahu) disebut hal yang menggambarkan sifat riba bukan sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipat-gandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba.

  Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari persoalan adh‘afan mudha‘afah dengan menyatakan, “Orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini dengan kata adh‘afan mudha‘afah adalah dalam konteks menerangkan

  132 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka (orang-orang

  Mekah) telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan uang yang berlebihan. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kreteria (syarat) dalam pelarangan riba. Dalam arti yang tidak berlipat ganda menjadi boleh. 5

  Alasan ketiga yang menyebut bank bukan taklif juga keliru. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau sakhsiyah hukmiyah dan dipandang sah serta dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Ditinjau dari sisi mudharat dan manfaat, perusahan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dari perorangan. Bank yang menggunakan sistem bunga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding rentenir.

  Dengan demikian ketika Allah mengharamkan riba melalui ayat- ayatnya, yang dituju bukan hanya individu-individu saja melainkan institusi yang melaksanakan praktek riba. Sampai di sini, pakar ekonomi Islam kontemporer berkesimpulan bahwa bunga bank terlepas dari tinggi rendahnya suku bunga yang diterapkan tetap haram.

  Mendiskusikan riba dari sisi hukum, akan diwarnai dengan perbedaan pendapat. Untuk itu adalah menarik untuk melihat sisi lain mengapa al-Qur’an melarang praktek riba, atau dengan kata lain apa motivasi al-Qur’an ketika melarang riba?

  Pada intinya riba sangat bertentangan secara langsung dengan semangat kooperatif yang ada dalam ajaran Islam. Orang yang kaya, seharusnya memberikan hak-hak orang miskin dengan membayar zakat dan memberi sedekah sebagai tambahan dari zakat tersebut. Islam tidak mengizinkan kaum muslimin untuk menjadikan kekayaannya sebagai alat untuk menghisap darah orang-orang miskin. Maulana Maududi-seperti yang dikutip Mustaq Ahmad- menjelaskan kejahatan- kejahatan riba sebagai berikut: 6

  5 Lihat Nur A Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis dalam Islam, h. 207. Lebih luas lihat, Yusuf Al-Qaradhawi, Bunga Bank Haram, Jakarta:

  Akbar Media Eka Sarana, 2001, h. 74-75.

  6 Lihat, Nur A Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis dalam Islam, h. Lihat lebih lanjut dalam Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam,

  Jakarta: Al-Kaustar, 2000, h. 128.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Pertama, Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang berlebihan dan mementingkan diri sendiri, keras hati dan menjadi pemuja uang. Kedua, Riba akan menimbulkan kebencian, permusuhan dan bukan sikap simpati dan koorporasi. Ketiga, Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung dalam perdagangan. Jika ia melakukan investasi, maka itu akan dilakukan demi kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. Kelima, Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan itu hanya berada di dalam tangan pemilik- pemilik modal.

  Umer Chapra setelah membahas persoalan Riba sampai pada sebuah kesimpulan, alasan pokok mengapa al-Qur’an memberi penjelasan larangan riba yang cukup keras, adalah karena Islam ingin menegakkan sistem ekonomi yang didalamnya semua bentuk eksploitasi dibatasi. Ketidakadilan yang terjadi dalam bentuk, penyandang dana yang dijamin memperoleh keuntungan tanpa melakukan sesuatu atau ikut menanggung risiko, sementara pengusaha, meskipun telah melakukan kerja keras, tidak mempunyai jaminan serupa. Islam ingin menegakkan keadilan diatara pengusaha dan pemilik modal.

  Dalam tinjauan ekonomi, para pakar menyebut bahwa riba banyak mengandung kerugian. Anwar Iqbal menyatakan riba adalah sumber segala bentuk kejahatan ekonomi, dan dia amat bertanggungjawab dalam melahirkan konsentrasi kekayaan pada satu tangan. Sistem bunga yang menjadikan penambahan dan akumulasi kekayaan tanpa usaha dan keringat akan melahirkan kebencian dan permusuhan.

  Syekh Mahmud Ahmad menyatakan bahwa sistem bunga adalah berbanding terbalik dengan keputusan investasi, dan sepanjang sistem bunga mendominasi sistem perekonomian maka pengangguran akan muncul. Qutub menyatakan bahwa praktek riba akan menimbulkan matinya kesadaran moralitas pelaku bisnis.

  Dilihat dari uraian terdahulu, jelaslah larangan al-Qur’an terhadap praktek riba karena aktivitas ini hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lain, terutama orang yang ekonominya lemah. Dalam perjanjian itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima perjanjian berat sebelah tersebut. Tegasnya riba (bunga bank) mengandung

  134 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS unsur eksploitasi manusia terhadap manusia lain sesuatu yang sangat

  bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yaitu ta‘awun dan win- win solution.