Wakaf Tunai dan Kesejahteraan Umat

4. Wakaf Tunai dan Kesejahteraan Umat

  Di antara karakteristik Ekonomi Islam (EI) adalah penolakan dan

  12 Tulisan yang cukup baik tentang peran Bank Syari’ah dalam mengelola wakaf tunai dapat dibaca dalam, Mulya E Siregar, dkk, “Perananan Bank Syari’ah

  dalam Pengelolaan Wakaf Tunai” dalam, Wakaf Produktif, h. 121-141.

  208 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pelarangan riba dalam seluruh aktivitas ekonomi. Riba disebut sebagai

  kezaliman yang merugikan bahkan menghancurkan, bukan saja dirinya tetapi juga masyarakat dan negara. Bukankah besarnya beban hutang Indonesia - yang kita tak tahu kapan lunasnya - disebabkan variabel bunga itu sendiri. Sebaliknya, Al-Qur’an mempromosikan zakat yang diyakini menggerakkan ekonomi melalui investasi dan distribusi. Bukanlah suatu kebetulan jika salah satu makna zakat adalah al-nama’ yang bermakna “to grow” (tumbuh dan berkembang).

  Di samping dua variabel di atas, ekonomi Islam juga memiliki variabel unik lainnya yang oleh para ahli disebut dengan sektor volunteer (suka rela). Contohnya adalah pranata infaq, sadaq, hibah, wasiat, hadiah dan wakaf, Dikatakan volunteer karena memang pranata tersebut secara normatif tidak diwajibkan baik oleh Al-Qur’an ataupun al-Hadis. Yang dituntut kedua sumber tersebut adalah kesukarelaan atau keikhlasan pemilik harta. Jika ia mengeluarkan hartanya untuk wakaf misalnya, maka ia akan memperoleh kebajikan (al-birr) dan juga kebaikan (al- hasan). Andaipun ia enggan mengeluarkan hartanya untuk wakaf atau hibah, maka tidak ada dosa baginya. Ia hanya diwajibkan membayar zakat.

  Al-Qur’an berbicara tentang wakaf dalam dimensi hablum min Allah dan hablum min al-nas. Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah2:27, Allah menyatakan, “Belanjakanlah dari harta bendamu yang baik-baik”. Selanjutnya dalam suart Ali Imran3:92, ditegaskan, “Kamu tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu sukai”. Sedangkan di dalam hadis yang cukup populer Rasul bersabda, Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga, anak yang shaleh yang mendoakan kedua ibu bapanya, ilmu yang bermanfaat dan sadaqah jariyah (Sahih Muslim). Di dalam riwayat yang lain, ketika merespon pertanyaan Umar Ibn Al-Khattab tentang Tanah Khaibar, Rasul mengatakan, Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.

  Di dalam Al-Qur’an dan juga Hadis Rasul seperti yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan terminologi wakaf seperti yang dipahami para fuqaha. Kendati demikian, secara substansial, ayat dan hadis-hadis tersebut “memerintahkan” umat Islam untuk berwakaf. Bahkan Al-Qur’an men- dorong agar wakaf menjadi tradisi (habit) yang sejatinya harus terus

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  dikembangkan umat seperti yang telah diperankan sahabat pada era awal. Secara substansial ayat dan hadis di atas memotivasi kita untuk rela dan ikhlas mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki untuk diambil manfaatnya oleh orang lain. Beberapa hadis malah menggunakan kata habas yang secara etimologi berarti “penjara, diam, mencegah, tahanan dan pengamanan.” Dengan demikian kata ahbasa al-mal yang terdapat di dalam hadis mengandung arti “menahan harta dan selanjutnya menyedekahkan hasilnya”. Dari makna inilah wakaf didefinisikan seperti yang terdapat di dalam UU No 41 Tahun 2004 sebagai, “Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syaria’h”. (Pasal 1 ayat 1).

  Kembali kepada pernyataan awal di atas, jika wakaf sebagai sisi volunteer dalam EI, mampukah ia menggerakkan ekonomi umat. Apakah pranata wakaf dapat memberdayakan ekonomi dan mensejahterakan umat. Alih-alih wakaf, zakat yang sisi normatif dan teologisnya begitu jelas, sampai saat ini belum berhasil menggerakkan ekonomi umat. Sampai saat ini, kita baru bisa berandai-andai. Tidak lebih dari itu. Jika umat Islam di Indonesia disiplin membayar zakat, maka potensi dana zakat yang terkumpul bisa mencapai angka 3 Triliun, 7 Triliun bahkan ada yang mengatakan 13 Triliun pertahun. Dengan uang sebesar itu, berapa banyak sektor usaha mikro dan menengah ummat yang dapat kita gerakkan. Namun apa yang terjadi ? Ternyata kita hanya berandai- andai. Jangankan 3 Triliun, dana zakat kita sampai saat ini belum menyentuh angka 1 Triliun.

  Demikian pula halnya dengan wakaf tunai. Di Indonesia, sejak tahun 2001, telah dicanangkan gerakan wakaf tunai (wakaf uang). Kendati hukumnya diperselisihkan para ulama, namun MUI telah menyelesaikan khilaf ini dengan mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf uang. Selanjutnya, UU Wakaf no 41 tahun 2004, lebih mempertegas keberadaan wakaf baik harta yang bergerak ataupun harta yang tidak bergerak. Dengan demikian, memperdebatkan hukum wakaf tunai (uang) tidak lagi relevan dan tidak kontekstual. Yang kita lakukan saat ini adalah, bagaimana mendorong umat Islam gemar untuk berwakaf.

  Dana wakaf uang yang terkumpul dan dikelola dengan baik, transparan

  210 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dan akuntabel, lalu digabungkan dengan asumsi dana zakat, setidaknya

  umat Islam Indonesia dapat mengumpulkan dana segar pertahunnya minimal 6 Triliuntahun. Dengan dana ini, bukan saja ekonomi umat Islam dapat dipicu dan berdayakan, umat Islam Indonesia juga dapat melepaskan negara dari beban hutangnya. Negara yang saat ini menjadi mustahiq zakat dengan kualifikasi gharim (orang atau badan hukum yang terlilit hutang), layak untuk ditolong umat Islam.

  Dana yang terkumpul tersebut tentu saja harus dikelola dengan menggunakan perangkat manajemen keuangan yang modern, transparan dan akuntabel. Lepas dari perdebatan apakah dana wakaf dapat diinvestasikan secara langsung ke dalam proyek usaha atau harus melalui lembaga keuangan syari’ah (LKS), yang jelas, dana atau hasil wakaf uang tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan sektor ekonomi ril masyarakat. Mengapa sektor ril ? beberapa penelitian telah menunjukkan, sektor ril inilah yang sesungguhnya dapat bertahan dari terpaan badai krisis moneter. Lebih dari itu, menggerakkan sektor ril menjadi keniscayaan karena program ini dapat mengurangi pengangguran yang menerpa umat. Bahkan wakaf uang juga mampu menumbuhkan etos kewirausahaan (enterpreneurship) umat Islam.

  ‘Ala kulli hal, bagaimana memanfaatkan dana wakaf tunai tentu tidak menjadi soal. Kita memiliki banyak ahli yang mampu merencanakan dan mengelola uang tersebut sehingga dapat memberi nilai tambah. Persoalan kita adalah, wakaf uang tersebut belum berjalan maksimal. Tegasnya, uang yang dikelola itu tidak ada. Beberapa lembaga wakaf termasuk yang ada di Sumatera Utara, baru mampu mengumpulkan wakaf uang dalam hitungan puluhan sampai ratusan juta rupiah. Dengan jumlah yang sangat minimal ini, hasil dari bagi hasilnya tentu sangat kecil sehingga untuk biaya operasional lembaga wakaf itu saja tidak cukup.

  Dengan demikian, hal penting yang perlu kita lakukan saat ini adalah menumbuhkan kesadaran umat untuk berwakaf. Tugas ini tidaklah mudah. Tanpa kesungguhan ulama untuk menyadarkan umat, maka gagasan wakaf uang sama sekali tidak berarti. Saat ini, umat tidak saja harus disadarkan akan ajaran agamanya yang sangat mendorong untuk berwakaf, tetapi juga mereka harus disadarkan tentang besarnya arti kepedulian bagi orang yang sangat membutuhkan.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Tegasnya, hal yang sangat penting kita lakukan saat ini adalah membangun kesadaran umat akan pentingnya wakaf tunai. Gerakan kesadaran ini hemat saya tidak boleh dilakukan secara sporadis. Kita harus segera merencanakan langkah, strategi dan taktik, agar gerakan wakaf tunai bisa efektif. Oleh sebab itu, Kementerian Agama dengan kewenangan yang dimilikinya harus segera mengambil langkah-langkah strategis.