Etika Bisnis dan The Corporate Mystic

7 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS yang cukup terkenal The Corporate Mystic, 4 menuliskan bahwa, pada pasar global nanti, anda akan menemukan orang-orang suci, mistikus atau sufi, di perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern, bukan di wihara, biara, kuil, gereja atau masjid. 5 Jika prediksi Hendricks dan Goodeman di atas benar, tentu saja hal tersebut cukup mengejutkan kita. Bukankah selama ini kegiatan bisnis-tanpa bermaksud mengeneralisir-merupakan kegiatan yang sangat jauh dari nilai-nilai etika terlebih lagi nilai-nilai spritualitas. Ternyata gagasan Hendricks dan Goodeman ini bukan hanya sekedar gagasan apa lagi sekedar khayalan. Mark Moody, pimpinan senior di Shell, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia telah mencoba gagasan tersebut. Ia memanggil seorang pendeta Budhha guna memberikan trapi spritual kepada 550 eksekutif perusahaan tersebut. Langkah ini diambilnya untuk meningkatkan kinerja karyawannya sekaligus membangun paradigma dalam perusahaannya agar lebih canggih dan menguntungkan. 6 The Corporate Mystic mendasarkan diri pada integritas, passing and compassion, dan nilai nilai mistik-spritual. Paling tidak ada dua belas karakteristik penting dari the corporate mystic yang harus diamalkan pemimpin perusahaan dan karyawannya jika perusahaannya ingin maju. 7 Sebagian diantaranya yang paling penting adalah: 4 Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Kaifa salah satu line Mizan. Buku ini diberi pengantar oleh Haidar Bagir. Lihat, Gay Hendricks dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, Sukses Berbisnis dengan Hati, terj. Fahmy Yamani, Bandung: Kaifa, 2002. 5 Pernyataan ini dikutip oleh Ahmad Najib Burhani dalam bukunya, Sufisme Kota. Buku ini sengaja ditulis dalam konteks merespon trend sufisme kota atau gerakan-gerakan sejenis di dunia kontemporer. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota,Jakarta: Serambi, 2001, h. 63. Bandingkan dengan Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001. Lihat juga, Sukidi, Kecerdasan Spiritual, Jakarta: Gramedia, 2002. 6 Ibid., 7 Pokok-pokok pikiran Gay Hendirck dan Kate Ludeman telah diringkas oleh Haidra Bagir ketika memberi Kata Pengantar untuk buku tersebut. Lihat Haidra Bagir, “Dari Etika ke Mistisisme: Trend Baru Manajemen Perubahan, dalam, Gay Hendrick dan Kate Ludeman, The Corporate Mystic, h. Xi-xx. Ulasan panjangnya dapat dilihat di buku tersebut yang tertera dari halaman 1-23 yang isinya merupakan pengantar 12 ciri khas kepemimpinan. 8 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Pertama, mutlak jujur dan selalu berkata benar serta konsisten akan kebenaran. Mereka akan selalu jujur, kendatipun kejujuran untuk menunjukkan kebenaran itu amat menyakitkan. Kedua, keterbukaan sebagai beyond a moral injunction. Ketiga, pengetahuan diri yang menuntut setiap orang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu orang-orang diperusahaan tersebut harus menjadi masyarakat belajar learning society terutama belajar tentang diri mereka sendiri. Keempat, fokus dalam kontribusi. Selama ini mungkin yang lebih diutamakan adalah giving hak ketimbang receiving kewajiban. The Corporate mystic membangun kesadaran diri untuk lebih focus dalam kontribusi. Kontribusi mereka terhadap orang lain selalu berada di altar depan niat-niat mereka. Kelima, Spritualitas non dogmatis. Ini menjadi nilai intrinsik manusia, dasar perennial atas nilai kejujuran, keterbukaan dan sebagainya. Ketujuh, Mencapai lebih banyak hasil dengan sedikit upaya. Perhatian harus dipusatkan pada masa sekarang. Hanya jika kita berada pada masa sekarang-bukannya terjebak dalam penyesalan terhadap masa lampau dan kekhawatiran masa depan-waktu bisa ditaklukkan. Ini karena memang hanya masa sekaranglah yang bisa dikelola. Ketujuh, membangkitkan yang terbaik dalam diri mereka dan orang lain. Kedelapan, keterbukaan terhadap perubahan. Perubahan sesuatu yang tidak bisa ditolak, ia bagaikan air yang terus berjalan. Di sinilah diperlukan keseriusan untuk belajar sehingga ia akan selamat di dalam arus perubahan tersebut. Kesembilan, Cita rasa humor yang tinggi. Satu-satunya cara yang terbaik untuk menilai kesehatan sebuah tim atau sebuah perusahaan adalah dengan mengetahui seberapa sering mereka bercanda. Kesepuluh, Visi yang jauh kedepan dan fokus yang cermat. Mimpi besar harus dimiliki setiap orang. Mimpi inilah yang akan menggerakkannya untuk mewujudkan cita-citanya. Kesebelas, Disiplin diri yang ketat. Kedisiplinan merupakan sebuah keharusan. Namun yang terbaik adalah kedesiplinan yang bersumber 9 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dari kesadaran dan gairah hidup, bukan karena sikap otoriter yang membuat ketakukatan. Keduabelas, keseimbangan hidup dalam empat domain utama, keakraban, kerja, spritualitas dan komunitas. Agaknya nilai-nilai spritualitas yang dimaksud dalam the corporate mystic tidak diambil dari ajaran agama tertentu saja, tetapi nilai-nilai spritualitas universal yang terdapat di dalam semua agama. Mungkin inilah yang dimaksud oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Mega Trend 2002 yang salah satu trend dimaksud adalah kebangkitan agama milenium Ketiga. 8 Kebangkitan agama yang dimaksud Naisbit ternyata bukan agama formal atau agama terorganisir, yang memiliki hirarki tertentu dan sangat menekankan dimensi formalitas lahiriyah. “Agama” masa depan adalah spritualitas itu sendiri atau setidaknya agama yang sangat menekankan spritualitas. Menyangkut hal ini, Naisbit datang dengan jargon, Sprituality Yes, Religion No Spritualitas Yes, Agama No. Mengapa spritualitas?. jawabnya adalah spritualitas melampaui sekat-sekat geografis, idiologis, dan agama formal?. Spritualitas adalah nilai-nilai intrinsik yang di miliki dan dibutuhkan setiap manusia seperti kejujuran, keterbukaan, keseimbangan, keakraban, terlepas agama apa yang dianutnya.

3. Merasakan Kehadiran Tuhan dalam Aktivitas Bisnis

Ada kesan yang berkembang di masyarakat, bahwa Dunia bisnis adalah dunia yang kotor, penuh tipu daya dan pelanggaran terhadap norma-norma. Adalah sangat tidak mungkin menghubungkannya dengan persoalan etika. Jika demikian berbicara tentang etika bisnis apa lagi dikaitkan dengan agama Islam terasa mengada-ada. Tidaklah mengherankan jika muncul ungkapan “Bisnis itu Kotor” dan “Bisnis tidak bermoral”. Ungkapan ini ada benarnya jika kita berangkat dari kasus- kasus pelanggaran etika bisnis seperti, menyuap untuk memenangkan tender, memanipulasi timbangan untuk meraup keuntungan lebih, memanipulasi kwitansi untuk mendapat komisi, menggunakan bahan 8 John Naisbit dan Patricia Aburdene, Mega Trend 2000, Jakarta: Bumi Aksara, 1990 10 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS berbahaya bagi konsumen untuk menekan ongkos produksi, memasang iklan porno untuk mendongkrak volume penjualan, menekan upah buruh serendah-rendahnya, menyingkirkan lawan bisnis dengan cara yang kotor dan contoh-contoh lain yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Namun bukanlah berarti bisnis itu kotor. Dalam konteks inilah diperlukan kontrol moral pelaku bisnis melalui apa yang disebut dengan Etika Bisnis. 9 Sebagai agama yang ajarannya menyeluruh, melingkupi seluruh aspek kehidupan tentulah persoalan etika bisnis tidak luput dari perhatian. Bahkan lebih jauh dari itu, jika etika bisnis konvensional melihat persoalannya pada aspek prilaku, maka Islam memandangnya lebih dalam lagi yaitu menyentuh aspek nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup seseorang. Etika bisnis Islam mulai berkembang sebagai wacana intelektual Islam pada permulaan tahun 1970-an. Sebelumnya kajian etika bisnis Islam muncul menjadi kajian yang berdiri sendiri, pembicaraan etika dalam bisnis terserak-serak dalam kitab-kitab fikih dan kitab-kitab akhlak dan tasawwuf. Dalam kitab fikih ditemukan pembahasan tentang riba, larangan untuk melakukan gharar penipuan dalam jual beli dan topik-topik mu‘amalat lainnya. Untuk menyebut karya beberapa pemikir Islam tentang etika bisnis kita dapat melihat karyanya Yusuf Qardawi yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam. Kemudian karyanya Rafiq Isa Beekun yang berjudul Business Ethics in Islam. Belakangan adalah karyanya Mustaq Ahmad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Etika Bisnis Islam. Persoalan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah nilai apa yang 9 Kotornya dunia bisnis dilukiskan oleh Muhammad Syakir Sula dengan istilah Marketing Bahlul. Marketing ini adalah bentuk aktivitas bisnis yang mengabaikan etika dan mengeliminasi Allah dalam peraktik bisnis. Beliau dengan cukup apik mencontohkan perilaku bisnis yang kotor itu dengan istilah, Golg Bahlul, Strategi “Buka Kancing”, Cantik “ Bisa Dipakai” alias Bispak, dan isu-isu lain. Risywah dalam berbagai bentuk, wanita yang dijadikan objek atau alat tawar, kerap dijadikan penentu dalam aktivitas bisnis. Untuk melawan aktivitas bisnis tersebut Syakir Sula menawarkan apa yang disebutnya dengan Marketing Syari’ah atau Marketing Spiritual. Lebih luas lihat, Muhammad Syakir Syula, Marketing Bahlul, Jakarta; Sri Gunting, 2008.