Bangkitnya Semangat Filantropi Islam

216 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masa formatif hukum Islam, dimensi hukum filantropi-lah yang menonjol dan secara perlahan namun pasti aspek cinta kemanusiaan yang dikandung ZISWAF menjadi kabur untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali. Para ulama sering menyebutkan, perintah mengeluarkan zakat disebut al-Qur‘an sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Hal ini menunjukkan, sejatinya manusia tidak saja memiliki hubungan yang baik dengan Allah habl min Al- lah tetapi juga harus memiliki hubungan yang harnonis dengan manusia habl min nas. Hubungan dengan Allah dilambangkan dengan salat sedangkan hubungan sesama manusia disimbolkan dengan zakat. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa sisi hukum zakat ini mendapat perhatian yang luas di dalam kitab-kitab fikih, baik yang klasik ataupun yang kontemporer. Semuanya diatur dengan sangat rinci seperti penentuan syarat-syarat benda yang wajib dizakati, hawl masa dan nisab kadar sampai penentuan orang-orang yang berhak menerimanya dengan segala kreterianya. Kuatnya dimensi hukum zakat ternyata sangat berpengaruh dalam struktur kesadaran batin masyarakat Islam. Mereka membayar zakat karena dorongan hukum. Lewat zakat mereka berupaya untuk menghindari murka Allah. zakat yang semula berorientasi anthroposentris kemanusiaan bergeser menjadi teosentris ketuhanan. Jadilah zakat mirip dengan upeti. Jika seorang demang, harus memberikan upetinya kepada raja, maka manusia juga memberikan upetinya kepada Tuhan melalui zakat. Kritik ini pernah disampaikan ulama NU, Masdar Farid Mas’udi di dalam karyanya yang berjudul, Agama Keadilan. Sadar atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari pelaksanaan zakat dan institusi lainnya di dalam masyarakat Islam. Zakat dan institusi lainnya tidak saja dibedakan dari sisi hukum, tetapi juga berbeda secara priorotas. Zakat menjadi utama disbanding yang lainnya. Jika zakat diwajibkan maka infaq, sadaqah, dan waqaf ZISWAF hanya dianjurkan sunnah. Bila dikerjakan berpahala dan tidak mengapa jika ditinggalkan. Padahal di dalam al-Qur‘an, kata infaq, shadaqah, dan zakat selalu digunakan dan dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya ?. Dalam konteks ini, sebenarnya ZISWAF telah mengalami reduksi 217 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS makna yang cukup berarti. Ketika ZISWAF dijadikan sebagai masalah hukum yang tentu saja membutuhkan rumusan hukum yang sistematis dan mekanistis. pendeknya ZISWAF sebagai filantrofi Islam telah kehilangan substansinya. Sejatinya pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya atau lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap ancaman hukuman, melainkan satu bentuk komitmen sosial seorang muslim terhadap muslim lainnya. Pemberian itu hendaknya didasarkan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia. Dengan demikian, pembayaran zakat, juga sadaqah dan infaq tidak lagi semata-mata sebatas kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan ridha Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Singkatnya, ZISWAF dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi. Jika ZISWAF di lihat sebagai satu bentuk perwujudan rasa cinta kepada sesama manusia, maka potensi ZISWAF yang sebenarnya sangat besar jika dapat teraktualkan. Sebaliknya, jika ZISWAF hanya dilihat dari sisi hukumnya saja, maka akibatnya adalah, ZISWAF akan terperangkap di dalam aturan-aturan hukum yang kaku. Pada gilirannya, filantrofi Islam yang dimaksudkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin, menjadi tidak terwujud. Sampai di sini, perubahan paradigma dalam memandang institusi filantrofi Islam menjadi sebuah keniscayaan. ZISWAF sebagai bentuk filantropi Islam, jika dikembalikan kepada makna asalnya dipastikan dapat mendatangkan sumber dana yang besar. Syaratnya paradigma yang mendasarinya harus digeser. Selama ini infaq dan sadaqah dipahami sekedar pemberian karitatif yang ala kadarnya. Sehingga, infaq dan sadaqah seringkali tidak dipersiapkan dengan matang karena dianggap bukan pemberian yang sungguh- sungguh. Untuk membuktikannya, kita bisa melihat bagaimana isi kotak- kotak infaq seperti yang terlihat setiap hari jum‘at. Di dalam kota infaq itu, ditemukan recehan uang kalaupun ada yang besar paling 218 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS satu dua harga sepuluh atau duapuluh ribu Contoh berikutnya, penghasilan yang di dapat pengemis yang telah kehilangan satu kakinya. Mereka tidak lebih mendapatkan kumpulan recehan, kalaupun ada yang besar, paling-paling seribu rupiah. Lagi-lagi ada paradigma yang salah, karena infaq itu hukumnya sunnah, boleh dilakukan dan juga tidak ada cela jika ditinggalkan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah, mengembalikan ZISWAF sebagai bentuk filantrofi Islam yang diimplementasikan dalam bentuk kepedulian dan kecintaan kepada sesama manusia. Sejatinya, ia tidak lagi dibelenggu oleh konsep-konsep hukum yang kaku, melainkan ia menjadi sesuatu yang bebas dan hanya diikat oleh komitmen kemanusiaan. Seorang muzakki yang telah mengeluarkan zakatnya pada tahun tertentu, tidak berarti ia telah lepas dari tanggungjawab. Sebaliknya ia akan selalu berusaha untuk mengangkat taraf hidup orang yang susah ke arah yang lebih baik. Ia akan merasa belum berhasil, jika ZISWAF yang dikeluarkannya tidak dapat mensejahterakan orang lain. Gempa Sumbar mengajarkana kepada kita, memberi didasarkan atas nama kemanusiaan berhasil melampaui sekat-sekat hukum. Mereka mengeluarkan hartanya tidak lagi didasarkan kewajiban dan keterpaksaan melainkan kerelaan. Mereka yang memberi tidak terjebak dengan haul dan nishab. Yang penting bagaimana bisa memberi dan berempati. Ternyata hasil yang dikumpulkan cukup besar dan melampaui perolehan zakat dan wakaf yang diselenggarakan bertahun-tahun. Bedanya adalah jika filantropi yang berkembang di Barat semata- mata didasarkan humanisme universal. Sedangkan filantrofi Islam didasari semangat berbakti kepada Allah dan berempati kepada manusia. Lepas dari itu adalah penting bagi kita untuk membudayakan semangat filantrofi Islam dan tidak memposisikannya hanya sebagai aktivitas yang sporadis dan temporer.

7. Etos Wakaf ; Ketakwaan dan Kesejahteraan Umat

Apa yang akan anda lakukan, jika anda memiliki sebidang tanah yang amat subur. Tanah itu sangat produktif sehingga apa saja yang ditanam, akan tumbuh dan menghasilkan buah-buahahan dan sayur- sayuran yang amat segar. Intinya nilai ekonomis tanah itu sangat tinggi. 219 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Saya menduga jawaban kita akan bervariasi. Ada yang akan mengolah tanahnya menjadi tanah pertanian yang subur. Ada yang menjualnya dengan harga tinggi. Saya tidak tahu apakah ada yang memutuskan untuk mewakafkan tanahnya yang subur tersebut. Merujuk pada sejarah kehidupan sahabat, kita akan menemukan satu babakan sejarah yang indah. Adalah Umar Ibn Al-Khattab, memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tanah itu dikhabarkan sangat subur dan bernilai ekonomis yang tinggi. Yang menarik adalah, Umar Ibn Al-Khattab tidak mengolah tanahnya. Tidak pula menjualnya dengan harga tinggi. Umar memilih untuk mewakafkan hartanya. Ketika Umar meminta pendapat Rasul, Nabi yangmulia itu mengatakan, jika engkau ingin, tahanlah zatnya dan ambil manfaatnya. Inilah makna wakaf dalam pengertian peraktisnya. Di dalam sabdanya Rasul ingin mengatakan, serahkanlah hartamu kepada Allah dan berikan kemanfaatannya buat umat. Harta wakaf adalah harta Allah swt yang pemanfaatannya kembali kepada umat. Umar Ibn Al-Khattab sesungguhnya telah menunjukkan sikap terpuji terhadap aset yang kita miliki. Demikianlah, etos wakaf sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW. Para sahabat semuanya ingin tampil menjadi orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan-kebaikan terlebih lagi dalam kaitannya dengan kepentingan umat Islam. Jika kita merujuk ke dalam Q.S Fathir ayat 32, setidaknya ada tiga golongan hamba Allah yang dipilihnya untuk mewarisi Al-Kitab. Ada yang disebut zhalimun li nafsih mereka yang menzalimi dirinya sendiri, ada pula yang muqtashid moderat dan ada yang paling baik. Alquran menggunakan istilah sabiqun bi al-khairat. Kelompok yang terakhir ini adalah mereka yang selalu ingin mengambil kesempatan pertama dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka ingin di depan jika ada ruang untuk berbuat baik. Tidak perlu menunggu orang lain yang lebih dahulu melakukannya baru kemudian ia menyusul di belakang. Di antara instrument ekonomi Islam yang belakangan ini mendapat perhatian serius di kalangan ahli dan peraktisi ekonomi Islam adalah masalah wakaf. Berbeda dengan instrument ekonomi Islam lainnya yang relatif lebih stabil, seperti zakat, infaq, sadaqah, perbankan syari’ah, asuransi dan lainnya. Wakaf dipandang memiliki potensi yang besar. Tentu saja wakaf yang dimaksud dalam konteks ini adalah wakaf produktif bukan wakaf konvensional. Bahkan, wakaf jauh lebih potensial untuk