Nazhir Wakaf Dalam UU No 41 Tahun 2004

223 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Selanjutnya, tugas-tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Menariknya, UU memberikan hak kepada nazhir hak untuk mendapat imbalan, upah, atau bagian maksimal 10 dari hasil bersih keuntungan atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Di samping itu, nazhir juga berhak mendapatkan pembinaan dari menteri yang menangani wakaf dan badan wakaf Indonesia untuk melaksanakan tugasnya secara baik dan benar. Satu hal yang perlu diperhatikan, UU tidak memberi kewenangan kepada nazhir untuk melakukan badal atau istibdal sebagaimana yang telah dibahas pada Jum’at lalu. Penukaran harta wakaf sepenuhnya menjadi wewenang menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Andaipun terjadi perubahan atau penukaran harta wakaf, posisi nazhir adalah memastikan bahwa harta wakaf itu memang tidak dapat lagi dipergunakan, ada kepentingan umum yang berkenaan dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota RUTR dan didasarkan pertimbangan keperluan agama yang dharuri. Sampai di sini, integritas seorang nazhir menjadi taruhannya. Secara implisit UU No 41 Tahun 2004 ingin menegaskan signifikansi keberadaan nazhir. Jika wakaf umat Islam ingin produktif, tidak ada pilihan lain kecuali dengan membentuk nazhir yang profesional. Nazhir yang bukan sebagai status melainkan sebagai profesi yang menuntut kemampuan managerial, integritas moral yang kuat dan visi yang kuat. Di samping itu, rumusan UU tentang nazhir yang sedemikian progresif, sesungguhnya merupakan kritik terhadap nazhir wakaf selama ini. Jujur harus diakui, jika sampai saat ini, harta wakaf yang jumlahnya di Indonesia cukup signifikan namun belum berhasil mensejahterakan umat Islam, salah satu faktornya adalah kegagalan nazhir atau ketidak- mampuan nazhir dalam mengelola, memberdayakan, memproduktifkan harta wakaf. Pernyataan ini bukan sekedar asumsi atau opini, namun merupakan sebuah penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun penelitian ini dilakukan oleh CSRC UIN Syarig Hidayatullah pad atahun 2005 di 11 Propinsi yaitu, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, 224 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Tuti A Najib dan Ridwan Al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agena Kemanusiaan; Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: FF dan CSRC, 2006. Mengenai profesionalitas nazhir, survey memperlihatkan bahwa hanya sedikit nazhir wakaf 16 yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh full time. Sebaliknya mayoritas nazhir wakaf 84 mengakui tugasnya sebagai nazhir adalah tugas sampingan. Umumnya mereka memiliki kerja yang lain. Adapun pekerjaan para nazhir adalah sebagai berikut: Berangkat dari fenomena di atas, mengharapkan seorang nazhir itu benar-benar professional adalah sebuah utopia angan angan yang tidak pernah terwujud. Nazhir juga tampaknya belum dipandang sebagai sebuah pekerjaan. Jadi mengelola wakaf masih dipandang sebagai perbuatan sukarela. Penelitian tersebut menunjukkan hanya 8 nazhir yang mendapatkan honor. Selebihnya ada yang mendapatkan honor namun sangat jauh dari cukup. Hanya 18 yang merasa puas dengan gaji sebagai nazhir. Mengapa tingkat kesukarelaan nazhir sangat besar ? Ternyata para nazhir umumnya adalah tokoh agama. Berikut tabel yang menjelaskan kedudukan nazhir di masyarakat. No Profesi Jumlah 1 PNS 33 2 PetaniNelayan 26 3 GuruDosen 16 4 Usahawan 10 5 Pengurus Masjid 6 6 Karyawan BUMN 6 7 Politisi 1 8 PolriTNI 1 9 Karyawan swasta 1 225 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Beberapa data lain yang tidak kalah menariknya adalah ternyata, umumnya yang mengangkat nazhir adalah masyarakat umum. Selebihnya 27 nazhir diangkat oleh wakif. Nazhir yang berasal dari keluarga sebanyak 11 dan yang bukan keluarga 6 , pengurus organisasi 12 dan pemerintah 9. Di samping itu, pada umumnya nazhir dipilih karena mereka memiliki kemampuan ilmu agama 23 dan hanya 16 yang berdasarkan kemampuan manajemen. Masih berkenaan dengan temuan penelitian, ternyata nazhir perseorangan masih dominan di berbagai lembaga wakaf. Adapun persentasenya mencapai angka 66 . Nazir dalam bentuk organisasi sejumlah 16 dan berbentuk badan hokum 18 . Setidaknya data-data di atas menunjukkan kepada kita betapa impian untuk mewujudkan nazhir professional menjadi sesuatu yang masih jauh dari harapan. Implikasinya lebih jauh adalah, pemanfaatan harta wakaf kita juga masih jauh panggang dari api. Tegasnya perlu kerja keras untuk melahirkan nazhir professional. Bagaimanapun juga, pember- dayaan wakaf menjadi tidak mungkin sepanjang kita belum berhasil melahirkan nazhir-nazhir yang professional. Berangkat dari data-data di atas, pembinaan nazhir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan. Dengan keberaan UU No 41 tahun 2004, Wakaf telah diposisikan tidak saja sebagai bentuk amaliah umat dengan cara melepaskan hak atas hartanya, melainkan lebih dari itu, wakaf telah ditempatkan sebagai instrument ekonomi Islam yang sangat penting dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat. Sejarah perwakafan di sebagian besar negara-negara Islam, cerita sukses mereka semuanya bermula dari kemampuan mengelola harta wakaf secara profesional. No Profesi Jumlah 1 Tokoh Agama lokal 83 2 Pejabat Pemerintah 5 3 Pimpinan Pesantren 5 4 Pengurus Organisasi 3 5 Orang Biasa 2 6 Tokoh Adat 2 226 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Wakaf tentu saja tidak bisa lagi di urus dengan cara sambil lalu. Lebih parah lagi, jika harta wakaf dibiarkan demikian saja tanpa diproduktifkan. Sudah saatnya kita melahirkan nazhir-nazhir yang profesional. Setidaknya dengan menggunakan pendekatan TQM Total Quality Management, indikator nazhir profesional itu adalah 1 amanah dapat dipercaya, 2 shiddiq jujur, 3 Fathanah cerdas dan tabligh transfaran. Selanjutnya, karakter sumber daya nazhir yang amanah adalah 1 terdidik dengan tinggi moralitas, 2 memiliki keterampilan yang unggul dan berdaya saing, 3 memiliki kemampuan dalam melakukan pembagian kerja, 4 dapat melaksanakan kewajiban serta memperoleh hak yang adil dan 5 memiliki standar operasional kerja yang jelas dan terarah. Djunaidi:2005. Dalam konteks Badan Wakaf Indonesia lebih-lebih untuk Sumatera Utara, tugas yang paling mendesak dilakukan adalah pendataan harta wakaf umat Islam di Sumatera Utara. Sudah saatnya kita memiliki data base yang lengkap dan rinci mengenai harta wakaf tersebut. Selanjutnya, pendataan nazhir dan pembinaannya juga harus segera dilakukan. Dari dua langkah inilah, gagasan untuk mengembangkan wakaf produktif dapat dilakukan. ‘Ala kulli hal, UU No 41 Tahun 2004 sesungguhnya telah menempatkan nazhir pada posisi yang terhormat. Bahkan keberadaannya dilindungi oleh UU. Oleh sebab itu tugas kita selanjutnya adalah bagaimana menjawab harapan UU tersebut, yaitu terbentuknya nazhir yang kuat dan profesional. Kepada merekalah harapan keberadaan umat Islam masa depan kita pertaruhkan. Semoga.

9. Eksistensi Nazhir Wakaf Dalam Fikih

Nazhir berasal dari bahasa Arab, “nazhara” yang artinya menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Jika dikaitkan dengan kata wakaf, nazhir wakaf, maknanya adalah orang atau pihak yang diberi tugas mengelola wakaf. Dengan kata lain, nazhir adalah orang atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas harta wakaf, baik mengurus, mengembangkan, memelihara, dan mendistribusikan hasilanya kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa nazir wakaf adalah orang, kelompok orang atau badan hukum 227 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS yang diserahi tugas dan berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal. Agaknya nazhir sebagai orang yang mengelola wakaf baru dikenal pada masa Khalifah Umar Ibn Al-Khattab. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan Khalifah Umar yang telah memberi imbalan, upah atau honor terhadap nazhir atas segala jerih payahnya dalam mengelola harta wakaf. Kebijakan Umar ini dilanjutkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat pada masa-masa berikutnya.. Di dalam kitab-kitab fikih, masalah nazhir ini dibahas di bawah judul, al-Wilayat ‘ala al-awqaf” artinya Penguasaan terhadap wakaf atau pengawasan terhadap wakaf. Kendatipun nazhir tidak menjadi rukun wakaf, tidak pula berkaitan dengan keabsahan wakaf, namun para fukaha tampaknya sepakat bahwa kedudukan nazhir sangat penting dalam pengelolaan harta wakaf. Oleh sebab itu, para ulama telah sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf pengawas wakaf baik nazhir tersebut bertindak sebagai wakif ataupun ia menunjuk orang lain. Dalam kajian fikih Islam, ada beberapa diskusi yang berkembang kaitannya dengan nazhir. Pertama, siapa yang berhak menunjuk nazhir. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan, kewajiban dan hak nazir wakaf. Ketiga, syarat-syarat nazir. Berkaitan yang pertama, menurut Hanafiyah yang berhak menunjuk nazhir itu sendiri adalah wakif. Menurut mazhab ini, wakif juga bisa menunjuk dirinya sendiri menjadi nazhir. Jika wakif tidak mengangkat nazhir, maka yang berhak menunjuk nazhir adalah orang yang diberi wasiat jika ada. Apabila orang yang diberi wasiat juga tidak ada maka hakim pemerintah berhak menunjuk nazhir. Bahkan Abu Yusuf mengatakan yang paling berhak mengangkat nazhir adalah wakif karena wakif adalah orang yang paling dekat dengan hartanya. Setidaknya wakif akan merasa “nyaman” dengan hartanya karena dikelola oleh orang yang dipercayainya. Namun, Mushtafa Syalabi tidak membenarkan wakif merangkap sebagai nazhir. Menurutnya, penunjukan wakif untuk dirinya sendiri untuk mengurus wakaf sebenarnya tidak dapat disebut nazhir. Isu yang masih diperdebatkan di dalam mazhab ini adalah, apakah nazhir itu posisinya mewakili wakif atau mewakili mauquf ‘alaih. Isu