Etos Wakaf ; Ketakwaan dan Kesejahteraan Umat

7. Etos Wakaf ; Ketakwaan dan Kesejahteraan Umat

  Apa yang akan anda lakukan, jika anda memiliki sebidang tanah yang amat subur. Tanah itu sangat produktif sehingga apa saja yang ditanam, akan tumbuh dan menghasilkan buah-buahahan dan sayur- sayuran yang amat segar. Intinya nilai ekonomis tanah itu sangat tinggi.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Saya menduga jawaban kita akan bervariasi. Ada yang akan mengolah tanahnya menjadi tanah pertanian yang subur. Ada yang menjualnya dengan harga tinggi. Saya tidak tahu apakah ada yang memutuskan untuk mewakafkan tanahnya yang subur tersebut!.

  Merujuk pada sejarah kehidupan sahabat, kita akan menemukan satu babakan sejarah yang indah. Adalah Umar Ibn Al-Khattab, memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tanah itu dikhabarkan sangat subur dan bernilai ekonomis yang tinggi. Yang menarik adalah, Umar Ibn Al-Khattab tidak mengolah tanahnya. Tidak pula menjualnya dengan harga tinggi. Umar memilih untuk mewakafkan hartanya. Ketika Umar meminta pendapat Rasul, Nabi yangmulia itu mengatakan, jika engkau ingin, tahanlah zatnya dan ambil manfaatnya. Inilah makna wakaf dalam pengertian peraktisnya. Di dalam sabdanya Rasul ingin mengatakan, serahkanlah hartamu kepada Allah dan berikan kemanfaatannya buat umat. Harta wakaf adalah harta Allah swt yang pemanfaatannya kembali kepada umat. Umar Ibn Al-Khattab sesungguhnya telah menunjukkan sikap terpuji terhadap aset yang kita miliki. Demikianlah, etos wakaf sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW. Para sahabat semuanya ingin tampil menjadi orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan-kebaikan terlebih lagi dalam kaitannya dengan kepentingan umat Islam.

  Jika kita merujuk ke dalam Q.S Fathir ayat 32, setidaknya ada tiga golongan hamba Allah yang dipilihnya untuk mewarisi Al-Kitab. Ada yang disebut zhalimun li nafsih (mereka yang menzalimi dirinya sendiri), ada pula yang muqtashid (moderat) dan ada yang paling baik. Alquran menggunakan istilah sabiqun bi al-khairat. Kelompok yang terakhir ini adalah mereka yang selalu ingin mengambil kesempatan pertama dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka ingin di depan jika ada ruang untuk berbuat baik. Tidak perlu menunggu orang lain yang lebih dahulu melakukannya baru kemudian ia menyusul di belakang.

  Di antara instrument ekonomi Islam yang belakangan ini mendapat perhatian serius di kalangan ahli dan peraktisi ekonomi Islam adalah masalah wakaf. Berbeda dengan instrument ekonomi Islam lainnya yang relatif lebih stabil, seperti zakat, infaq, sadaqah, perbankan syari’ah, asuransi dan lainnya. Wakaf dipandang memiliki potensi yang besar. Tentu saja wakaf yang dimaksud dalam konteks ini adalah wakaf produktif bukan wakaf konvensional. Bahkan, wakaf jauh lebih potensial untuk

  220 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS memberdayakan ekonomi umat. Di antara faktornya adalah aturan-

  aturan wakaf yang relatif lebih fleksibel.

  Kehadiran UU No 1 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor

  42 Tahun 2009 tentang Pelaksanaannya adalah sebuah momentum di mana kita telah memasuki era baru fikih wakaf. UU tersebut tidak saja akomodatif terhadap aturan-aturan normatif tentang wakaf tetapi juga sangat progresif dalam merespon perkembangan modern. Di dalam UU di atur wakaf uang yang selama ini masih ditabukan dikalangan sebagian ulama. Demikian juga wakaf muaqqat (berjangka) yang tidak diberi ruang. Tidak kalah menariknya adalah UU tersebut juga mengatur tentang Manajemen Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, nazhir dan segala sanksi yang melingkupinya.

  Dari sisi perangkat peraturan, eksistensi wakaf kita jauh lebih baik dari masa lalu. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan etos wakaf umat. Meningkatkan etos wakaf umat bukanlah hal mudah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merubah paradigma wakaf umat. Mind set umat kita tentang wakaf masih merujuk kepada konsep wakaf yang dirumuskan ulama klasik, beberapa abad yang lalu. Tentu tidak semuanya salah. Namun keterikatan kepada pemikiran masa lalu, kerap membuat kita terbelenggu. Sampai di sini, idiom yang berlaku di dalam NU (Nahdhatul Ulama) layak untuk kita pertimbangkan. Al-muhafazhat ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhz bi al-jadid aslah (mem- pertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil gagasan baru yang lebih baik).

  Di antara pergeseran paradigma berpikir tentang wakaf adalah, antara keabadian dan kemanfaatan. Berpegang pada keabadian ‘ain (materi) wakaf kerap membuat kita tidak bisa memproduktifkan harta wakaf. Keabadian atau baqa’ wakaf juga membuat kita tidak bisa memperluas objek wakaf. Oleh sebab itu, definisi wakaf yang menegaskan tahan zatnya dan ambil manfaatnya harus dipahami secara seimbang. Demikian juga dengan larangan Rasul untuk mewarisi, menjual atau menghibahkan tanah wakaf itu harus diletakkan dalam konteks yang tepat. Sejatinya, manfa’at wakaf tidak saja diposisikan sebagai tujuan (goal) wakaf tetapi harus dijadikan asas dalam pengembangan wakaf.

  Menerapkan konsep keabadian wakaf akan sangat sulit jika kita bicara tentang wakaf uang. Apa lagi jika ada yang memahami keabadian

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  wakaf itu adalah materi atau benda uang itu sendiri. Pada hal uang akan bermanfaat jika dikelola dan diputarkan secara ekonomis. Jika keabadian wakaf uang dipahami pada nilai, ternyata nilai uang juga mengalami fluktuasi. Sampai di sini, penting untuk memahami inti wakaf itu adalah bagaimana harta yang dimiliki memberi kemanfaatan yang lebih luas buat kemanusiaan. Sampai saat ini, penulis melihat masih ada dikalangan umat Islam bahkan ulama dan cendikiawannya yang belum bisa menerima wakaf uang dengan alasan definisi yang telah ditetapkan ulama masa lalu.

  Sebagai lanjutannya, menurut penulis, rubu’ wakaf harus diletakkan pada rumpun mu’amalat. Tidak lagi ditempatkan pada rubu’ ibadah. Posisi ini menentukan bagi majal al-ijtihad (ruang ijtihad). UU Wakaf memberi peluang untuk menukar, mengganti dan menjual harta wakaf kendatipun prosedurnya sangat rumit dan sulit. Tentu ini penting untuk menghindarkan kesewenang-wenangan para nazhir jika keran tabadul wakaf ini di buka sedemikian luas. Intinya, perubahan peruntukan wakaf itu diperkenankan sepanjang sesuai dengan undang-undang. Bukankah, manfaatnya akan kembali kepada umat juga. Yang salah adalah jika harta wakaf ditukar untuk kepentingan pemilik modal dan kaum kapitalis. Tanah wakaf yang tidak termanfaatkan atau tidak produktif bisa saja dijual dan hasilnya kembali dibelikan kepada tanah yang memiliki nilai ekonomi dan potensial untuk dikembangkan.

  Ijtihad-ijtihad seperti di atas sangat diperlukan dalam upaya mengoptimalkan wakaf. Tidak saja diperlukan keberanian intelektual untuk berijtihad tetapi juga keberanian moral. Pada saat inilah, integritas nazhir akan dipertaruhkan. Apakah upayanya dalam memproduktifkan wakaf disisipi kepentingan pribadi atau golongan ? ataukah semata- mata demi kepentingan umat.

  Pada gilirannya, upaya untuk memproduktifkan wakaf membutuhkan Sumber daya Insani yang tangguh. Dalam hal ini, keberadaan nazhir menjadi niscaya. Nazhir bukan orang yang tinggal di masjid atau yang rumahnya dekat dengan objek wakaf. Nazhir juga bukan famili atau anak dari pewakif. Makna nazhir dalam undang-undang adalah sumber daya manusia yang tangguh, cerdas dan bermoral serta mampu mempro- duktifkan wakaf. Mampu memberi nilai tambah terhadap wakaf. Intinya,

  222 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ia mampu untuk memberdayakan harta wakaf untuk kemanfaatan yang

  sebesar-besarnya buat umat.

  Poin yang ingin penulis sampaikan adalah, tugas kita sebagai khalifah sesungguhnya adalah bagaimana membuat umat ini meningkat ketakwaannya dan meningkat pula kesejahteraannya. Kita tidak bisa mendorong umat untuk bertakwa namun hidupnya sengsara. Tidak boleh juga kita biarkan umat tenggelam dalam kesejahteraan materialnya, namun miskin secara spiritual. Tugas kita adalah mendorong etos wakaf umat. Kerjasama dan keteladanan ulama dan umara serta masyarakat menjadi penting. Hanya dengan kerjasama yang baik inilah, ketakwaan dan kesejahteraan umat akan sama-sama bisa kita bangun.