Ketersediaan SDI Ekonomi Syari’ah

2. Ketersediaan SDI Ekonomi Syari’ah

  Perkembangan ekonomi Syari’ah di Indonesia seperti yang tampak pada pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah (LKS) bank dan non bank ternyata tidak diikuti dengan ketersediaan Sumber Daya Insani (di singkat SDI) yang memadai. Tidaklah berlebihan jika dikatakan,

  236 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS selama ini lembaga keuangan syari’ah khususnya perbankan syari’ah

  dikelola dan dijalankan oleh “muallaf-muallaf” yang baru belajar perbankan syari’ah. Dengan mengikuti pelatihan beberapa minggu sampai satu dua bulan, mereka langsung terjun payung bergelut dengan sistem perbankan syari’ah. Tidaklah mengherankan- untuk menyebut sekedar contoh- banyak karyawan perbankan syari’ah yang masih mempersamakan bunga bank dengan margin bahkan dengan nisbah bagi hasil itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang instan tanpa didukung oleh pemahaman yang mendalam tentang nash dan filosofinya.

  Kehadiran “muallaf-muallaf” perbankan syari’ah itu tentu tidak dapat dipersalahkan. Kenyataannya, pada saat sistem perbankan syari’ah hadir di Indonesia sekitar tahun 1990-an, bangsa ini sesungguhnya tidak memiliki sumber daya insani yang benar-benar memahami dan terlatih dalam bidang perbankan syari’ah terlebih-lebih dalam bidang ekonomi Islam. Kalaupun ada ahli ekonomi Islam, kita hanya dapat menyebut beberapa nama semisal Muhammad Syafi’i Antonio dan Adiwarman Azwar Karim. Sebelumnya ada beberapa tokoh yang kerap menulis tentang ekonomi Islam semisal Dawam Rahardjo dan AM. Saefuddin.

  Agaknya, dari perspektif politik ekonomi Islam, yang penting pada saat itu (orde baru) adalah bagaimana lembaga perbankannya berdiri dulu, urusan siapa yang menjalankannya dan bagaimana operasionalnya dipikirkan belakangan. Pada saat itu sulit membayangkan Presiden Soeharto “mengizinkan” berdirinya lembaga perbankan syari’ah. Syukurlah kendati simbol yang dipakai tidak menggunakan nama Islam ataupun syari’ah, berdirinya bank bagi hasil itu diizinkan. Di sadari sepenuhnya, alotnya penamaan “bank Islam” tersebut karena masih adanya kelompok yang masih takut dan curiga pada Islam (Islam phobia). Sampai di sini, peran Pak Harto dalam pendirian bank syari’ah tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.

  Dengan kata lain, keberadaan muallaf perbankan syari’ah adalah “jalan pintas” untuk mengisi kekosongan sumber daya insani tersebut. Karena mereka pulalah, terlepas atas kelebihan dan kekurangannya, perbankan syari’ah bisa berjalan seperti yang kita saksikan saat ini. Hanya saja membiarkan mu’allaf perbankan syari’ah selamanya menjadi muallaf tentu tidak dapat dibenarkan. Sudah saatnya setelah dua dekade perjalanan perbankan syari’ah di Indonesia, institusi yang berjalan

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  lambat tersebut dapat dikelola dan dijalankan oleh praktisi-praktisi perbankan syari’ah yang tangguh, cerdas, menguasai teori dan peraktik perbankan syari’ah dan tentu saja memiliki integritas moral (akhlak) yang tangguh. Bank Syari’ah tanpa akhlak (etika bisnis) maka semuanya menjadi binasa.

  Menyiapkan sumber daya Insani ekonomi syari’ah yang beriman, berakhlak, berilmu dan terampil adalah misi Program Studi Ekonomi Syari’ah Fak. Syari’ah IAIN.SU Medan yang saat ini usianya sudah mencapai sewindu (2002-2010). Sejak dibuka tahun 2002, prodi Ekonomi Syari’ah di samping Program DIII Manajemen Perbankan Syari’ah (MPKS) yang lebih dahulu hadir bahkan yang pertama di Indonesia, peminat prodi ini terus menerus mengalami peningkatan yang signifikan. Berawal dari peminat yang tidak sampai 100 orang untuk pertama kalinya di buka, saat ini peminat prodi Ekonomi Syari’ah menembus angka 800 pelamar setiap tahunnya. Umumnya mereka tersebar pada tiga konsentrasi, Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Ekonomi dan Manajemen Syari’ah dan Akuntansi dan Keuangan Syari’ah.

  Sayangnya minat pelamar yang cukup besar tersebut tidak didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di IAIN.SU. Pada tahun 2010, prodi Ekonomi Syari’ah hanya diperkenankan menerima mahasiswa sejumlah 120 orang (tiga lokal 40 mahasiswa) dengan tiga konsentrasi. Bayangkan betapa banyaknya pelamar potensial yang tidak memiliki kesempatan untuk kuliah di Prodi EKI. Tidak kalah menyedihkannya, lebih dari separoh pelamar sesungguhnya mereka yang lulus ditinjau dari sisi standard nilai kelulusan. Hanya saja karena porsi (kouta) yang tersedia hanya 120 kursi, maka diberlakukanlah sistem ranking. Artinya calon yang memperoleh nilai tertinggi dari urutan 1-120, merekalah yang berhak duduk di fak. Syari’ah.

  Di sinilah muncul dilemma. Pada satu sisi, kita membutuhkan sumber daya insani perbankan syari’ah khususnya dan ekonomi Islam yang cukup banyak. Pada sisi lain, kemampuan lembaga pendidikan tinggi seperti IAIN.SU sangat terbatas. Bayangkan, seperti apa yang dilaporkan oleh ICDIF LPPI Jakarta, pertumbuhan industri perbankan syari’ah dalam tiga tahun ke depan, diperkirakan mencapai angka 25-30 . Untuk memenuhi ketersediaan karyawan perbankan syari’ah, dibutuhkan

  40 ribu orang tenaga kerja yang terampil dalam bidang perbankan

  238 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS syari’ah. Berangkat dari fenomena tersebut, mengharapkan program

  pendidikan regular untuk dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut - walaupun seluruh UIN, IAIN dan STAIN di tambah perguruan tinggi umum yang membuka program studi Ekonomi Islam – maka hal itu jauh panggan dari api.

  Setidaknya ada tiga kelompok pelamar yang memilih prodi EKI selama ini. Pertama, mereka yang berasal dari pesantren. Umumnya lulusan pesantren memiliki kelemahan pada ilmu-ilmu umum, seperti matematika. Kelebihannya mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dan Arab yang relative baik. Kedua, lulusan dari Madrasah Aliyah baik negeri ataupun swasta. Umumnya mereka memiliki sedikit kemampuan bahasa dan sedikit ilmu umum lainnya. Saya menyebutnya dengan “ilmu yang tanggung”. Kemampuan bahasanya tidak sebaik pesantren, ilmu umumnya tidak sebaik anak-anak yang berasal dari SMU. Ketiga, mereka yang berasal dari SMU baik negeri ataupun swasta yang jumlahnya relative banyak. Mereka menguasai ilmu-ilmu umum, seperti matematika, ilmu sosial plus bahasa Inggris tetapi tidak menguasai bahasa Arab apa lagi membaca kitab.

  Melalui program pendidikan dan pelatihan yang telah dicanangkan prodi, selama 4 tahun – 5 tahun (8 -10 semester), ketiga tipologi mahasiswa EKI di atas akan memiliki kemampuan dan skill yang sama. Sesuai dengan kompetensinya, lulusan prodi EKI nantinya akan memiliki kecakapan dan kemahiran dalam bahasa Arab dan Inggris. Mampu membaca kitab- kitab Arab (kuning) dan menggali khazanah klasik terutama yang berkaitan dengan Ekonomi Islam. Mereka juga memiliki kemampuan menjelaskan secara verbal segala yang berkaitan dengan ekonomi Islam dan perbankan syari’ah. Selanjutnya mereka akan memiliki skill dalam mengoperasikan komputer terutama yang berkaitan dengan program- program yang memiliki keterkaitan erat dengan perbankan dan aktivitas bisni. Lebih dari itu, mereka juga memiliki etika bisnis yang integral dengan keyakinan tauhidnya serta mempunyai etos dakwah yang dapat membuat mereka dapat tampil menjadi mujahid-mujahid ekonomi Syari’ah. Hemat penulis, dua kompetensi yang disebut terakhir inilah yang kurang dimiliki para muallaf ekonomi syari’ah selama ini.

  Dukungan yang cukup besar diberikan oleh LKS, bank dan non bank, kerjasama yang intens dengan dunia luar, tenaga-tenaga pengajar

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  yang ahli, terampil dan professional. FEBI meyakini bahwa perlahan namun pasti, fakultas ini akan mampu membawa program ini mencapai prestasi terbaiknya.