Menggagas Infaq Produktif SAATNYA MENGEMBANGKAN

212 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS produktif. Semangat dasarnya adalah bagaimana infaq yang kita berikan itu tidak hanya bersifat karitatif dan konsumtif saja, melainkan dapat menjadi poduktif. Mengapa harus infaq ? jawabnya adalah baik zakat atau wakaf ketika kita ingin menjadikannya produktif, jujur harus diakui kita masih berhadapan dengan berbagai kendala baik yang bersifat yuridis normative atau sosiologis empiris. Ternyata dikalangan umat Islam terutama tokoh-tokoh agamanya masih belum satu visi dalam melihat masalah ini. Jujur harus diakui, masih ada ulama yang menolak zakat produktif dan wakaf produktif. Mudah-mudahan dengan infaq yang aturan-aturan syari’ahnya lebih longgar dibanding dengan zakat dan wakaf tersebut, diharapkan kita dapat mengelolalnya sedikit lebih leluasa. Disamping itu, tanpa adanya persyaratan—persyaratan khusus, seperti haul dan nisab, memungkinkan masyarakat dapat berpatisipasi sepenuhnya dalam berinfaq. Infaq dalam Alquran Di dalam Alquran kata infaq yang akar katanya adalah n-f-q, disebut lebih kurang 80 kali dalam berbagai surah dan bentuk derivasinya. Adapun maknanya cukup banyak, adakalanya bermakna zakat, sadaqah, tetapi yang paling umum adalah pemberian suka rela untuk menolong agama. Infaq juga bermakna al-imarah kemakmuran. Demikian makna-makna yang dikemukakan oleh Al-Damaghani yang menulis kitab Qamus Al- Quran. Dari makna-makna yang diberikan oleh Al-Damaghani tersebut kita dapat mendefinisikan infaq sebagai pemberian harta benda secara sukarela untuk mengembangkan agama dengan segala dimensinya dan juga untuk memakmurkan umatnya. Makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Alquran khususnya yang berbicara tentang infaq. Di dalam surah Al-Baqarah ayat 273 Allah swt. berfirman yang artinya, apa yang engkau nafkahkah untuk kebaikan maka sesungguhnya Allah maha mengetahui. Selanjutnya di dalam surah Ali-Imran ayat 92, Al- lah swt berfirman, engkau belum mendapatkan kebaikan, sehingga engkau menafkahkan apa-apa yang engkau cintai. Di dalam surah Al-Baqarah ayat 3, Allah swt dengan tegas menyatakan, bahwa orang yang bertaqwa 213 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS itu adalah orang-orang yang beriman kepada yang ghaib al-ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami nafkahkan atas mereka. Berbeda dengan zakat yang hukumnya adalah wajib, infaq hukumnya sunah. Namun yang sering terlupakan adalah, kualitas kehidupan keberagamaan kita sebenarnya ditentukan oleh amalan-amalan sunat ini. Seseorang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, namun mengabaikan hal-hal yang sunat, sebenarnya orang tersebut belum dapat dikatakan sebagai saleh atau muhsin. Orang baik yang sampai pada kualitas ihsan, adalah orang-orang yang rajin melaksanakan amalan- amalan sunnat. Sesuatu yang tidak wajib, tetapi dikerjakannya juga menunjukkan betapa tinggi kualitas keberagamaan orang yang seperti ini. Jika ia mengerjakan ibadah yang wajib, maka hal tersebut merupakan hal yang biasa saja. Alasannya karena ibadah tersebut telah diwajibkan. Justru jika tidak dikerjakannya, maka ia akan berdosa. Perbedaan lainnya menurut M.A.Mannan adalah baik sadaqah atau infaq zat dan manfaatnya sekaligus ditransfer ketika telah diberikan. Sedangkan waqaf, yang ditransfer adalah manfaatnya saja dan bukan ‘ainnya. Persoalannya adalah bagaimana infaq tersebut agar tetap bisa memberdayakan umat Islam khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu ada dua hal yang harus kita lakukan. Pertama, Jika selama ini, infaq merupakan gerakan individual, maka infaq harus dijadikan gerakan massal. Infaq sebagai gerakan individual tidak akan memberikan dampak apa-apa terhadap perubahan masyarakat. Lebih dari itu, infaq individual ini secara ekonomis tidak akan memberi makna yang signifikan. Anda bisa membayangkan, jika anda berinfaq Rp. 50.000,- kepada seseorang. Pertanyaan adalah apa yang dapat dilakukannya dengan uang tersebut. Bandingkan jika 10.000 umat Islam berinfaq Rp. 50.000,- maka akan terkumpul uang sebanyak Rp. 500.000.000,-. Lalu jika yang berinfaq itu sampai 20.000 orang maka akan terkumpul dana infaq 1 T. bayangkan tentu banyak hal yang bisa kita lakukan dengan uang 1 T. Tinggal lagi jika uang tersebut kita kelola secara konvensional, maka dalam waktu yang singkat uang tersebut juga akan habis. Bagaimana agar uang tersebut tetap “abadi.” Jalan keluarnya adalah kita harus memanfaatkan perbankan syari’ah dengan cara mendefositokannya. 214 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Untuk itu yang kedua dalam pengelolaan infaq produktif kita harus memanfaatkan lembaga perbankan. Melalui produk mudharabah, maka kita dapat memudharabahkan uang infaq produktif tersebut dan kita akan memperoleh bagi hasil yang signifikan. Bagi hasil inilah yang kita manfaatkan untuk membantu apakah dalam bentuk pemberian beasiswa, membuat pelatihan-pelatihan keterampilan yang memberdayakan generasi muda muslim dan sebagainya. Selama dana tersebut berada diperbankan maka selama itu pula hasilnya dapat dimanfaatkan. Bayangkan jika yang kita infaqkan itu Rp. 100.000,- atau lebih dari itu dikali dengan 23 dari umat Islam Indonesia yang berinfaq, maka kita dapat mengumpulkan uang yang lebih banyak lagi. Tentu saja, dengan memudharabahkannya lewat perbankan syari’ah, maka banyak hal yang dapat dilakukan dengan uang tersebut. Sudah saatnya kita melakukan terobosan-terobosan yang signifikan berkenaan dengan ibadah maliyah ibadah-ibadah yang berhubungan dengan harta agar lebih berdaya guna. Sebenarnya kesadaran berzakat, berinfaq dan berwakaf umat Islam cukup tinggi. Hanya saja kesadaran dan gerakan-gerakan yang dilakukan masih bersifat individual, sehingga tidak memiliki daya dobrak yang berarti untuk memecahkan “batu- batu” kemiskinan dan kebodohan yang masih membelenggu dan menghalangi kemajuan umat Islam saat ini. Akibatnya, ketika kita memasuki tahun baru hijriyah yang akan datang 1427 H, tetap saja masalah serius yang kita hadapi masih berkisar kebodohan dan kemiskinan. Saatnya lembaga perbankan tidak saja kita manfaatkan sebagaimana layaknya perbankan nasional. Perbankan syari’ah tidak boleh hanya sekedar lembaga intermediasi, tetapi ia juga harus dapat melakukan rekayasa produk untuk memberdayakan umat. Oleh sebab itu apa yang ingin dikembangkan oleh Bank Muamalat Indonesia dalam upaya menggagas infaq produktif layak mendapatkan dukungan kita semua. Mudah-mudahan, dengan infaq produktif akan melengkapi produk-produk zakat produktif dan wakap produktif yang telah digulirkan kendatipun masih tersendat-sendat. Jika zakat produktif dan wakaf produktif kita fokuskan dalam pemberdayaan ekonomi lemah melalui qard al-hasan atau suntikan- suntikan modal, maka infaq produktif dapat kita berdayakan dengan pemberian bea siswa. Sangat banyak umat Islam yang memiliki kemampuan 215 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS intelektual yang cukup baik tetapi lemah secara ekonomi, sehingga mereka tidak mampu meneruskan sekolahnya. Lebih dari itu, saat ini kita masih sangat membutuhkan manusia- manusia unggul untuk membangun peradaban Islam. Tanpa keberadaan manusia-manusia unggul ini, selama itu pula kita tidak dapat mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain.

6. Bangkitnya Semangat Filantropi Islam

Salah satu hikmah Gempa Bumi di Sumatera Barat yang menggoncang ranah Minang beberapa hari yang lalu adalah, bangkitnya solidaritas masyarakat Indonesia juga masyarakat luar negeri untuk bersama- sama membantu ranah Minang agar dapat bangkit kembali. Bantuan yang terus mengalir baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri, seolah menyentakkan kita semua bahwa ternyata penduduk dunia ini masih memiliki hati untuk peduli dan berbagi. Semangat untuk berbagi dan keinginan untuk saling meringankan inilah yang disebut dengan filantropi. Pertanyaannya adalah, apakah Islam memiliki semangat filantrofi sebagaimana yang berkembang di Barat? Filantropi secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedermawanan, kemurahhatian atau sumbangan sosial manusia. Filantropi juga dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta kepada sesama manusia yang mendorongnya untuk berbuat baik dan tulus kepada manusia yang membutuhkan sehingga dapat meningkatkan kehidupan mereka yang kesusahaan. 13 Berangkat dari definisi di atas, kita bisa mengatakan bahwa di dalam Islam, institusi filantropi ini terlihat ke dalam bentuk zakat, infaq dan sadaqah dan wakaf ZISWAF. Ajaran filantrofi ini sesungguhnya memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Bahkan yang cukup menarik adalah, pada awal Islam, filantropi Islam didasari oleh rasa cinta sesama manusia yang membawa kepada keinginan untuk berbagi dan saling merasakan. Namun seiring dengan 13 Sukron Kamil, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fikih: Problema dan Solusi” dalam, Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Bandung: Teraju, 2003, h. 41-69. 216 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masa formatif hukum Islam, dimensi hukum filantropi-lah yang menonjol dan secara perlahan namun pasti aspek cinta kemanusiaan yang dikandung ZISWAF menjadi kabur untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali. Para ulama sering menyebutkan, perintah mengeluarkan zakat disebut al-Qur‘an sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Hal ini menunjukkan, sejatinya manusia tidak saja memiliki hubungan yang baik dengan Allah habl min Al- lah tetapi juga harus memiliki hubungan yang harnonis dengan manusia habl min nas. Hubungan dengan Allah dilambangkan dengan salat sedangkan hubungan sesama manusia disimbolkan dengan zakat. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa sisi hukum zakat ini mendapat perhatian yang luas di dalam kitab-kitab fikih, baik yang klasik ataupun yang kontemporer. Semuanya diatur dengan sangat rinci seperti penentuan syarat-syarat benda yang wajib dizakati, hawl masa dan nisab kadar sampai penentuan orang-orang yang berhak menerimanya dengan segala kreterianya. Kuatnya dimensi hukum zakat ternyata sangat berpengaruh dalam struktur kesadaran batin masyarakat Islam. Mereka membayar zakat karena dorongan hukum. Lewat zakat mereka berupaya untuk menghindari murka Allah. zakat yang semula berorientasi anthroposentris kemanusiaan bergeser menjadi teosentris ketuhanan. Jadilah zakat mirip dengan upeti. Jika seorang demang, harus memberikan upetinya kepada raja, maka manusia juga memberikan upetinya kepada Tuhan melalui zakat. Kritik ini pernah disampaikan ulama NU, Masdar Farid Mas’udi di dalam karyanya yang berjudul, Agama Keadilan. Sadar atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari pelaksanaan zakat dan institusi lainnya di dalam masyarakat Islam. Zakat dan institusi lainnya tidak saja dibedakan dari sisi hukum, tetapi juga berbeda secara priorotas. Zakat menjadi utama disbanding yang lainnya. Jika zakat diwajibkan maka infaq, sadaqah, dan waqaf ZISWAF hanya dianjurkan sunnah. Bila dikerjakan berpahala dan tidak mengapa jika ditinggalkan. Padahal di dalam al-Qur‘an, kata infaq, shadaqah, dan zakat selalu digunakan dan dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya ?. Dalam konteks ini, sebenarnya ZISWAF telah mengalami reduksi