Kajian Islam IAIN.SU, dari Dikotomi ke Integrasi

6. Kajian Islam IAIN.SU, dari Dikotomi ke Integrasi

  IAIN.SU yang berdiri pada tanggal 19 November 1973, telah berusia

  37 tahun. Jika angka 40 kerap dipandang sebagai angka kesempurnaan, maka IAIN.SU sebenarnya sedang bergerak menuju kesempurnaannya sebagai perguruan tinggi agama ternama di Indonesia. Akan lebih baik lagi jika terbaik di kawasan Asia. Paling tidak di semenanjung Malayu, IAIN.SU harus menjadi kiblat perguruan tinggi agama. Masa tiga tahun bagi sebuah perguruan tinggi tidaklah lama. Tepat pada tahun 2013, mimpi IAIN.SU menjadi Universitas Islam Negeri harus sudah terwujud. Perubahan yang terjadi sejatinya tidak hanya sebatas papan nama, kop surat atau stempel, namun seluruh dimensinya, fisik dan non fisik harus berubah. Inilah yang sejatinya harus disadari sivitas akademika IAIN.SU. termasuk para pegawai dan karyawannya. IAIN.SU sedang bergerak menuju perubahan yang lebih baik.

  Sebagai lembaga pendidikan tinggi agama Islam Negeri, kajian Islam yang selama ini menjadi concernya mau tidak mau juga akan mengalami perubahan, setidaknya mengalami perkembangan khususnya pada dimensi epistemologinya. Perubahan itu disebabkan karena kehidupan masyarakat juga mengalami perubahan. Jujur harus diakui, kemajuan ilmu pengetahuan-tekhnologi-informasi, ternyata memberi pengaruh dan membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Dunia keilmuan harus mampu merespon perubahan yang sedemikian cepat. Jika tidak, perguruan tinggi tidak saja akan tertinggal tetapi juga akan ditinggalkan masyarakat.

  Civitas Akademika IAIN.SU di bawah pimpinan Prof. Dr. Nur A Fadhil Lubis, MA menyadari sepenuhnya perubahan yang sedang berlangsung

  250 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS di masyarakat. Pada skala yang lebih makro, tantangan masa depan

  yang semakin compleceted juga membutuhkan respon dan jawaban yang tidak saja benar tetapi juga fungsional. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat saat ini tidak lagi sederhana. Isu-isu gender, HAM, buruh migran, Traficking, dan terorisme, adalah isu-isu yang tidak boleh dianggap sebagai angin lalu. IAIN. SU harus meresponnya tidak saja secara institusional tetapi lebih dari itu, harus direspon dengan pendekatan keilmuan yang terpertanggungjawabkan. Jika di dalam Islam dikenal doktrin, “Islam salihun likulli zaman wa makan” maka dalam konteks IAIN. Kita harus berani mengatakan, IAIN. SU Salihun likulli zamana wa makan. (IAIN.SU harus tetap eksis di segala zaman dan tempat).” Untuk tetap salih, IAIN. SU harus berubah, dinamis, progresif dan responsif.

  Ironis memang, jika sampai hari ini, pada saat usia IAIN.SU berusia

  37 tahun, tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa IAIN.SU tidak lebih DARI sekedar pesantren kota, tegasnya pesantren di tengah-tengah kota. Lulusannyapun dianggap hanya mampu membaca do’a dan ceramah agama. Tidak lebih dari itu. Jika lulusan IAIN.SU mampu membaca do’a, ceramah, dan memimpin ritual-ritual ibadah, itu memang bagian dari kompetensinya. Hanya saja yang salah adalah jika kemampuan yang telah disebut di awal dipandang satu-satunya kemampuan. Pernyataan yang benar adalah, alumni IAIN.SU sekarang ini disamping mampu memimpin ritual keagamaan, tetapi mereka juga mampu memimpin partai politik, bekerja di lembaga dan organisasi modern, seperti perbankan dan perusahaan modern, wartawan bahkan di militer. Alumni IAIN, juga memiliki etos kewirausahaan yang membanggakan. Mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi puluhan bahkan ratusan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan.

  Dalam konteks kajian Islam, mahasiswa IAIN SU dididik tidak lagi menjadi muqallid (taqlid-mengikuti apa kata dosen dan kitab), tetapi juga harus berani berijtihad setidaknya untuk dirinya sendiri. IAIN.SU tidak melahirkan muqallid (pengikut buta) tetapi melahirkan mujtahid (pembaharu). Bahkan saat ini mahasiswa juga dilatih untuk mampu mengkritik, menggugat pemikiran masa lalu, walaupun pemikiran itu dilahirkan oleh ulama-ulama besar. Pergerakan dari muqallid (taqlid) ke mujtahid (ijtihad) lalu menjadi pengkritik (naqdiyyah), inilah yang membuat IAIN termasuk IAIN.SU kerap disalahpahami. Jika IAIN dituduh

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  melahirkan orang-orang liberal, seperti yang dituduhkan oleh Hartono Ahmad Jaiz, sebenarnya tuduhan itu lebih menggambarkan ketidakpahaman mereka terhadap perkembangan keilmuan Islam saat ini. Akibatnya, ketika mendengar pemikiran Islam yang berbeda dengan main stream yang berkembang, pikiran itu distigma sebagai sesat, aneh dan nyeleneh.

  Meminjam kerangka pemikiran yang ditawarkan Prof. Dr. Amin Abdullah, MA, adalah penting bagi kita untuk membedakan antara ulum al-din, al-fikr al-islami dan dirasah islamiyyah. Tanpa pemahaman yang tepat terhadap ketiga istilah ini, yang terjadi adalah kekacauan atau kerancuan pemikiran. Ketiga istilah tersebut sebenarnya menggambarkan perjalanan sejarah keilmuan Islam. Jika dahulu kita berada pada era ulum al-din (ingatlah karya magnum opusnya Al-Ghazali, ihya ‘ulum al-din), kitapun telah memasuki era pemikiran Islam (al-fikr al-islami) dan saat ini kita berada di gerbang dirasah islamiyyah.

  Apa sesungguhnya yang membedakan ketiga terminologi kunci ini. Secara sederhana, úlum al-din adalah era ilmu-ilmu Islam klasik yang mencapai puncak kejayaannya pada abad tengah. Kita masih ingat Imam Al-Ghazali bahkan ulama-ulama lainnya yang berhasil merumuskan bangunan keilmuan tafsir dan ilmu tafsir, hadis dan ulum al-hadis, fiqh- ushul fiqh, bahasa, Kalam-Tasawuf dan cabang ilmu tradisional lainnya. Pada era ini, kekuatan bahasa atau teks menjadi sesuatu yang niscaya. Demikian juga penarikan kesimpulan secara deduktif sangat dominan. Teks apakah itu qur’an dan hadis, dijadikan satu-satunya penentu untuk mengabsahkan sesuatu atau menolaknya. Tidak ada kritik hadis (baik itu naqd sanad ataupun naqd al-matan) seperti yang berkembang saat ini.

  Seiring dengan terbitnya fajar pembaharuan pemikiran Islam yang dimotori oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Iqbal, sampai pada era Fazlur Rahman, kitapun memasuki fase baru yaitu, al-fikr al-islami. Kajian-kajian Islam pada era ini tidak lagi normatif tetapi juga bernuansa filosofis. Muncullah disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an, pemikiran hukum, pemikiran kalam, pemikiran tasawuf, pemikiran modern dalam Islam dan sebagainya. Konsekuensi kajian yang tidak lagi semata berdasarkan teks dan deduktif, membuat banyak produk pemikiran Islam yang lahir berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan yang ditemukan di dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Tidak sedikit pembaharu yang diusir dari kampung halamannya, dituduh sesat, antek Yahudi, dan tuduhan keji lainnya. Bahkan ada yang mati

  252 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dibunuh. Semuanya disebabkan pembaharuan pemikiran yang ditawarkannya

  berbeda dengan pemikiran tradisional yang sudah membatu.

  Saat ini kita sedang memasuki era dirasah islamiyyah yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Islamic studies. Kendati kajiannya tetap berbasis filosofis, tetapi metode dan pendekatannya menggunakan beragama disiplin ilmu-ilmu yang kerap dianggap sekuler. Sebut saja misalnya ilmu sosiologi, antropologi, psycologi, dan sebagainya. Pada era ini, perhatian pemikir tidak lagi diarahkan semata-mata pada teks tetapi juga lebih fokus pada masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat. Sebagai contoh, fikih Islam harus bisa merespon masalah- masalah yang muncul di masyarakat. Bagaimana bangunan fikih munakahat kita pada era keluarga batiih (keluarga kecil). Bagaimana pula bangunan fikih keluarga, relasi hak dan kewajiban bagi istri yang bekerja menjadi TKW. Masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dipecahkan hanya berpedoman pada kaedah fikih dan ushul fikih. Kita memerlukan perangkat keilmuan lainnya semisal sosiologi, psycologi bahkan antropologi. Terlebih lagi saat ini, kajian-kajian Islam tidak dapat melepaskan diri dari hukum internasional, studi budaya, hukum lingkungan, pluralisme agama dan lainnya.

  Satu hal yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah, pergeseran model kajian keislaman melahirkan konsekuensi yang terkadang umat Islam sendiri tidak siap menerimanya. Sebagai contoh, jika kita menggunakan ilmu antropologi dalam memahami dan merumuskan hukum waris Islam akan mengahasilkan kesimpulan yang berbeda dengan apa yang dipahami para fuqaha. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, mana yang benar dan mana yang salah. Atau kedua-duanya benar dan kebenarannya tergantung masanya. Jika kita menggunakan pendekatan sosiologi, HAM bahkan sejarah dalam kajian relasi antar pemeluk agama, konsekuensi logisnya adalah runtuhnya ajaran fikih Islam berkaitan dengan relasi muslim dengan non muslim.

  Demikianlah, pola dikotomi keilmuan sejatinya sudah harus ditinggalkan. Kita memasuki era integrasi keilmuan. Benar bahwa isu integrasi masih dalam proses pematangannya. Namun upaya ini perlu terus didorong. Saatnya, seluruh komponen yang di IAIN.SU harus membangun dialog dan kerja sama untuk mewujudkan mimpi bersama. IAIN.SU harus mewujudkan visinya sebagai pusat keunggulan dalam kajian dan penerapan ilmu-ilmu keislaman untuk kedamaian umat manusia. Semoga.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS