Bank Syari’ah sebagai Solusi Krisis Ekonomi?

155 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ini dimuat berita yang berjudul, “Pertumbuhan Nasabah Bank Syari’ah Menyedihkan.” Waspada, 30 Januari 09. Pernyataan ini berdasarkan informasi yang diberikan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah. Kendatipun ada kenaikan tetapi sangat lamban. Bayangkan, jumlah nasabah perbankan syari’ah naik tipis dari 2007 sebanyak 2,845 juta rekening menjadi 3,799 juta rekening hingga 2008. Sedangkan untuk nasabah pembiayaan, keadaannya tidak jauh berbeda. Penyaluran kredit pembiayaan bank syari’ah hanya naik sedikit dari 512 ribu nasabah di 2007 menjadi 589 ribu nasabah di November 2008. Di samping itu, pangsa pasar bank Syari’ah baru mencapai 2,08 dengan total asset 47 triliun. Sedangkan target pemerintah adalah 5 dengan total asset 90 Triliun. Jumlah minimal inipun agaknya sulit terpenuhi dalam waktu dekat. Ironis memang, di sebuah Negara yang penduduknya mayoritas muslim, pangsa pasar bank syari’ah yang terserap baru sedikit. Jika tiga tahun yang lalu, pangsa pasar bank Syari’ah baru mencapai 2,08 dan laporan terakhir baru 2011 mencapai lebih kurang 3, betapa mengerikan pertumbuhan perbankan syari’ah di negeri yang mayoritas muslim ini. Untuk menaikkan pangsa pasar 1 saja kita membutuhkan waktu 3 tahun. Jika Pemerintah hanya menargetkan 5 , berarti kita membutuhkan 6 tahun lagi untuk mencapai angka 5 . Berangkat dari kondisi yang menyedihkan inilah tampaknya BI merasa perlu melakukan berbagai macam terobosan. BI Menggelar Festifal Ekonomi Syari’ah FES yang bersifat massal. Juga menyelenggarakan Forum Riset Perbankan Syari’ah secara berkala. Tidak ketinggalan pula kegiatan sosialisasi, pelatihan, seminar dan kegiatan akademik lainnya yang bertujuan untuk menyadarkan orang-orang terdidik bangsa ini. Berbagai macam regulasi juga dilahirkan, lagi-lagi untuk mendorong akselarasi pertumbuhan perbankan syari’ah. Begitu seriusnya BI Pusat – juga BI di daerah - sepanjang yang saya mati- mendorong pertumbuhan dan perkembangan perbankan syari’ah ini, sayangnya semangat ini tidak diikuti praktisi perbankan syari’ah di daerah, khususnya di Medan Sumatera Utara. Perbankan syari’ah di daerah ini sepertinya berjalan di jalur lambat. Dari sisi sejarah, perbankan syari’ah lahir di Sumatera Utara sekitar awal tahun 1990-an. Lebih kurang 20 tahun lamanya, eksistensi perbankan 156 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS syari’ah di Sumut tidak terlalu menggembirakan. Ironisnya, belakangan ini malah terjadi pergeseran model pengembangan perbankan syari’ah dari “sinergisitas” menjadi gerakan yang terfragmentasi. Jika pada tahun 1990-an sampai tahun 2000 awal, pengembangan bank syari’ah cukup massif, melibatkan semua unsur kekuatan, mulai dari peraktisi, ulama, akademisi, para tokoh-tokoh masyarakat, belakangan ini ada kesan kebersamaan itu tidak ditemukan lagi. Pada tahun 2001-2005, semangat kebersamaan terjalin secara sinergis dan harmonis antara berbagai lembaga keagamaan dari ulama, praktisi sampai remaja masjid. Pemerintah Propinsi di bawah kepemimpinan H. Rizal Nurdin alm kala itu, mendukung sepenuhnya gerakan ekonomi syari’ah di Sumut. Hasilnya, kegiatan ekonomi syari’ah tumbuh subur di Medan. Namun suasana itu tidak terasa sama sekali sekarang ini. Artinya, ada yang hilang dari gerakan ekonomi syari’ah di Sumut. Bagi saya, perbankan syari’ah saat ini belum bisa tampil sebagaimana perbankan konvensional. Perbankan konvensional sudah hadir selama ratusan tahun, dan eksistensinya telah menyatu di masyarakat. Artinya, perbankan konvensional tidak lagi membutuhkan gerakan-gerakan yang bersifat massal. Mereka cukup bermain di inovasi produk dan undian. Ditambah dengan gebyar-gebyar yang meriah dengan memanfaatkan media televisi. Sekali lagi, perbankan syari’ah tidak sama. Perbankan syari’ah masih baru, dan kita perlu melakukan langkah-langkah yang konsisten, terencana dan sistematis untuk mengembangkannya. Salah satu hal yang amat mendesak untuk kita ciptakan adalah melahirkan mujahid al-iqtishad. Mujahid Al-Iqtishad adalah mujahid- mujahid ekonomi syari’ah. Mereka bukan sekedar karyawan, pimpinan cabang atau “bankir.” Mereka benar-benar mujahid al-iqtishad yang bersungguh mujahadah dalam mensosialisasikan ekonomi syari’ah. Mereka tidak hanya berdiam dikantor, tetapi terus berjuang dan mensuarakan ekonomi dan perbankan syari’ah ke masyarakat. Mereka sadar, menjadi kepala cabang atau menjadi karyawan bank syari’ah tidak cukup hanya berdiam diri di kantor lalu melakukan hal-hal yang bersifat rutinitas. Tetapi harus bergerak, masuk ke simpul-simpul masyarakat. Membangun komunikasi dengan Perguruan Tinggi Islam dan ormas –ormas keagamaan. Mereka tidak hanya dekat dengan penguasaha dan nasabah, tetapi juga dekat dengan ulama. Bahkan mujahid Al-Iqtishad masuk ke majlis- 157 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS majlis ta’lim, pengajian-pengajian, walaupun tempatnya berada di pinggiran kota ataupun berada di pelosok-pelosok desa. Adakah karyawan perbankan syari’ah yang dapat tampil sebagai mujahid al-iqtishad? Saya khawatir mereka tak sepenuhnya paham dengan apa yang harus dilakukan. Tak juga peka terhadap tantangan yang akan dihadapi. Bahkan sebaliknya dan ini yang paling mengkhawatirkan, jangan-jangan mereka telah kehilangan ruh dan spirit jihadnya. Mereka kehilangan etos mujahid sehingga jihad al-iqtishad berjihad menjadi tak penting lagi. Sejatinya, jihad adalah kata kunci dalam pengembangan ekonomi syari’ah. Untuk itulah, dalam upaya membangun etos jihad inilah, semangat jihad harus selalu dihembuskan ke dalam hati sanubari para mujahid. Etos jihad ini harus menjadi spirit dalam pengembangan perbankan syari’ah. Tidak kalah pentingnya, lambatnya perkembangan Bank Syari’ah ini disebabkan tidak menyatunya institusi perbankan dan lembaga keuangan syari’ah lainnya. Pada tahun 1990-an, di Sumut hanya terdapat dua sampai tiga institusi perbankan Syari’ah. Bentuknya pun masih UUS unit usaha syari’ah dan satu Bank Umum Syari’ah BUS. Di samping itu ada juga beberapa BPRS yang tumbuh dan berkembang di Sumut. Menariknya, pada waktu itu kendati bank-bank syari’ah bersaing untuk memperebutkan pangsa pasar, namun mereka tetap bisa bekerja sama. Bisa bersinergi dan itu berlangsung secara harmonis. Ketika bank Syari’ah di Sumut tumbuh bak cendewan di musim hujan, kerjasama malah tidak terbangun kendati mereka berada dalam payung Asbisindo, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Benar bahwa lembaga perbankan adalah lembaga bisnis. Kompetisi menjadi tak terhindarkan. Namun ada yang terlupakan. Bank syari’ah membawa panji Islam. Nilai-nilai agama harus tetap menjadi payung segala aktifitas. Jangan sempat bank syari’ah malah menggunakan cara-cara sekuler, bersaing tidak sehat dan saling menegasikan. Merasa dirinya lebih syari’ah dari bank lainnya, padahal kenyataannya tidak demikia. Cara-cara seperti ini menurut saya, bukan malah saling menguatkan, tetapi sebaliknya saling melemahkan. Saya menyarankan, seluruh kekuatan ekonomi Islam di Sumut, dapat bersinergi untuk merumuskan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan ekonomi syari’ah yang saat ini hampir mati suri. 158 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Sosialisasi ekonomi syari’ah tidak sepenuhnya dapat menggunakan kacamata rasional. Ekonomi syari’ah juga memiliki dimensi spiritual, teologis dan moral. Untuk itu kebersamaan antar lembaga strategis menjadi keniscayaan. Intinya, semangat jihad harus kita tumbuhkan pada diri kita, apakah praktisi perbankan, pemerhati, ulama, ustaz, dan sebagainya. Jika kita tidak melakukan apapun, percayalah, bank syari’ah di Sumut akan jalan ditempat. Intinya adalah, kita tidak bisa menjadikan ekonomi syari’ah, khususnya perbankan syari’ah sebagai solusi krisis ekonomi nasional kita –apatah lagi krisis ekonomi global- selama pertumbuhan perbankan syari’ah kita masih sangat kecil. Tugas kita adalah mengembangkan dan memasyarakatkan ekonomi syari’ah kepada umat Islam dan meyakinkan manusia bahwa ekonomi Islam adalah sistem ekonomi terbaik. Seperti apa yang dikatakan Riawan Amin, selama sistem ribawi tidak dihapuskan di negara ini, maka perbankan syari’ah sulit untuk berkembang. Wallahu a’lam bi al-shawab. 159 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS 159 4 BAGIAN SAATNYA MENDAYAGUNAKAN ZISWAF UNTUK KESEJAHTERAAN UMAT 160 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

BAB I MENGGALI POTENSI EKONOMI UMAT

YANG TERPENDAM

1. Dari Teoritis ke Ranah Praktis

P ersoalan yang cukup rumit diatasi dalam kerangka pendayagunaan potensi ekonomi umat adalah paradigma berpikir umat yang masih normatif-teologis. Segala bentuk ajaran Islam termasuk dalam bidang ekonomi dipandang semata-mata berdimensi ibadah mahdah dan pelaksanaannya dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Tentu saja cara pandang ini tidak seluruhnya salah. Hanya saja efek yang ditimbulkannya tidak positif bahkan dapat berpengaruh negatif secara sosial. Sebagai contoh dapat disebut di sini. Ketika zakat hanya dilihat dari sisi ibadahnya saja tanpa mempertimbangkan dimensi ekonominya, maka bisa dipastikan peluang untuk melakukan reformulasi zakat berwawasan ekonomi menjadi sulit, untuk mengatakan tidak mungkin dilakukan. Orang sudah merasa aman ketika telah membayar zakat dan merasa tidak lagi berdosa. Pelaksanaan zakat baginya merupakan sebuah upaya untuk melepaskan diri dari beban keagamaan. Jangankan untuk memikirkan bagaimana mendayagunakan zakat secara produktif, kemana zakatnya disalurkan Ia tidak lagi mau perduli. Sampai di sini diperlukan perubahan paradigma berpikir umat terutama dalam aspek mu‘amalahnya. Setidaknya ada beberapa tesis yang perlu dijadikan sebagai titik berangkat. Pertama, kesalehan sosial harus lebih diutamakan dari kesalehan individual. Kedua, ukuran kesalehan tidak hanya diukur seberapa banyak ia melaksanakan perintah agama, tetapi diukur seberapa besar efek sosial yang ditimbulkan dari ibadah individualnya. Ketiga, nilai ibadah sosial jauh lebih besar dari ibadah individual. Keempat, dalam konteks mu‘amalah, faktor lingkungan sosial 160 161 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS budaya menjadi sangat penting dan menentukan dalam memformulasikan konsep-konsep ekonomi Islam ketimbang teks atau nash baik dari al- Qur’an maupun dari hadis ataupun ijmak ulama. Kelima, ibadah apapun bentuknya dalam Islam hanya akan bermakna bila memiliki implikasi positif dalam kehidupan social. Hasil dari perubahan paradigma ini, diharapkan umat tidak akan kebingungan atau ketakutan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap konsep-konsep ajaran Islam yang dianggap telah membantu. Pada sisi lain, jika terjadi pembaharuan-pembaharuan misalnya dalam konsep zakat atau wakaf, umat tidak akan mencurigainya lagi malah sebaliknya akan memberikan dukungan karena mereka yakin perubahan itu semata-mata untuk kemaslahatan umat. Potensi Zakat Zakat, infaq dan sadaqah ZIS memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Ini ditunjukkan dengan disebutkannya perintah wajib mengeluarkan zakat sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Lebih jauh dari itu, menarik untuk dicermati bahwa Zakat merupakan soko- guru kehidupan ekonomi umat yang berkeadilan seperti yang dicanangkan al-Qur’an. Sampai di sini menarik mencermati ungkapan Yusuf Al-Qaradhawi: Zakat adalah satu rukun yang bercorak sosial-ekonomi dari lima rukun Islam. dengan zakat, di samping ikrar tauhid syahadat dan salat, seseorang barulah sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya sesuai dengan firman Allah Q.S.9: 11, Tetapi mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, barlaah mereka saudara kalian seagama...zakat sekalipun dibahas dalam pokok bahasan “ibadat” karena dipandang bagian yang tidak terpisahkan dari shalat, sesungguhnya merupakan bagian sistem sosial ekonomi Islam, dan oleh karena itu dibahas di dalam buku-buku tentang strategi hukum dan ekonomi Islam. 1 Dalam perkembangan terakhir, zakat telah dihubungkan dengan suatu upaya strategis untuk melakukan pengentasan kemiskinan yang 1 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun, Didin Hafidhuddin dan Hasanuddin, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1991, h. 3