Menimbun (Al-Ihtikar) BBM: Absennya Etika

2. Menimbun (Al-Ihtikar) BBM: Absennya Etika

  Rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM pada awal April mendatang telah menimbulkan kegoncangan di tengah-tengah masyarakat. Mereka khawatir, kenaikan itu akan berpengaruh terhadap melonjaknya harga bahan-bahan pokok. Bahkan masyarakat juga cemas jika BBM akan hilang di pasaran. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika BBM “raib” dari SPBU tanpa ada yang mau bertanggungjawab. Bagaimana pula nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada BBM seperti nelayan, supir angkot, industri kecil dan lain sebagainya. Kekhawatiran yang berlebihan ini menyebabkan sebagian masyarakat mengambil jalan pintas demi menyelamatkan diri. Merekapun memilih untuk melakukan penimbunan BBM.

  Setidaknya ada dua alasan yang mendorong masyarakat melakukan penimbunan BBM. Pertama, mereka benar-benar khawatir jika BBM hilang dari pasaran. Dalam hal ini penimbunan dilakukan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Mereka menyebut istilah sekedar untuk berjaga-jaga dan persiapan. Bagi mereka tentu tidak ada maksud untuk mencari keuntungan dibalik penimbunan tersebut. Sekali lagi motifnya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri dan jauh dari motif bisnis. Kedua, penimbunan memang dilakukan seperti apa yang dikatakan pepatah, “mengambil kesempatan di dalam kesempitan.” Merekalah yang mengamalkan “aji mumpung”. Motifnya jelas untuk bisnis. Begitu

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  BBM naik ataupun langka, maka mereka bisa menjual dengan harga yang mahal. Mau tidak mau, konsumen akan membelinya karena memang mereka sangat membutuhkan.

  Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum menimbun barang atau lebih spesifiknya lagi BBM dalam perspektif hukum Islam. Artikel ini mencoba akan menjawab persoalan di atas.

  Penimbunan harta dalam literatur Fikih Mu’amalat disebut dengan ihtikar, yang berasal dari kata hakara. Di dalam kamus arti asal kata ini adalah aqz-zulm (zhalim atau aniaya) dan isa’ah al-mu’asyarah (merusak pergaulan). Dalam ilmu sharaf ketika kata hakara mengambil bentuk ihtakara, yahtakiru, ihtikaran, maka arti kata ini adalah upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu kenaikan atau menunggu melonjaknya harga. Pada saat itulah ia akan melepas barang yang ditimbunnya ke pasar. Para ulama fikih memberikan definisi ihtikar dengan redaksi yang berbeda-beda. Imam Asy-Syaukani menyatakan, ihtikar sebagai penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan, Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan dia akan menjualnya dengan harga yang melonjak pula. (Haroen,2007:158).

  Jika kita menyelami pemikiran-pemikiran yang di dalam kitab-kitab fikih, khususnya yang berkenaan dengan ihtikar, kita akan menemukan ragam pemikiran yang berkembang. Di antara yang diperdebatkan ulama adalah berkaitan dengan jenis barang atau produk yang dilarang untuk menimbunnya. Ada yang membatasi diri pada jenis makanan. Alasannya, makanan termasuk ke dalam makanan pokok. Ada pula ulama yang tidak membatasinya hanya pada makanan, tetapi menyangkut semua produk yang menjadi hajat hidup orang banyak.

  Kata-kata kunci untuk memahami ihtikar adalah penimbunan, kelangkaan, melonjaknya harga. Motivasi ihtikar adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya pada saat krisis. Dengan demikian, jika ada orang yang menimbun harta untuk dirinya sendiri maka hal itu tidak terlarang. Namun ada ulama yang lebih jauh melihat persoalan ihtikar. Bagi mereka ihtikar mengakibatkan kerugian, kesusahan atau kemudharatan bagi orang lain. Terlepas apakah barang itu ditimbun untuk keperluan diri sendiri atau untuk bisnis. Intinya, penimbunan menyebabkan kelangkaan dan hal itu menimbulkan kemudharatan bagi orang lain.