Model Pengembangan Harta Yang Di Larang. 1

1. Model Pengembangan Harta Yang Di Larang. 1

  P SWT melarang riba dan menghalalkan jual beli, sebenarnya Ia melarang

  ada dasarnya Islam sangat mendorong terjadinya pengembangan harta dengan usaha-usaha yang halal, terutama hal-hal yang berkenaan dengan pemberdayaan sektor riil. Pada saat Allah

  segala bentuk pengembangan harta yang tidak berangkat dari sektor riil seperti riba yang hanya mengandalkan masa (waktu) dan sebagai alternatif mendorong terjadinya jual beli sebagai satu bentuk pengembangan harta yang absah.

  Oleh sebab itu, Al-Qur‘an menuntun umatnya agar menjauhi segala bentuk aktivitas pengembangan harta dengan cara yang tidak bisa dibenarkan. Berikut ini akan dijelaskan model pengembanan harta yang dilarang.

a. Judi (maisir)

  Kata maisir dalam bahasa Arab berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi dilarang terlepas apakah seseorang terlibat secara penuh atau berperan sedikit. Di samping judi dikenal juga istilah azlam yang juga bermakna peraktek perjudian. Biasanya azlam digunakan untuk menyebut peraktek perjudian yang menggunakan berbagai macam bentuk taruhan, undian atau lotere.

  Larangan kedua bentuk peraktek perjudian ini disebabkan karena

  1 Ulasan lengkap tentang tema ini dapat dilihat dalam Azhari Akmal Tarigan dkk, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bandung: Cita Pustaka, 2006, h. 187-206. Untuk

  keperluan buku ini, topik tersebut diringkas seperti di atas.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  seseorang akan mendapatkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, ramalan atau terkaan. Dan sekali lagi bukan di dapat dari sebuah kerja yang riil. Allah SWT telah melarang perjudian dengan larangan yang cukup tegas dan keras. Bahkan syari‘at memposisikan harta yang diperoleh dari perjudian sebagai harta yang bukan termasuk hak milik. Di dalam surah al-maidah Allah SWT berfirman:

  Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan.

  Di dalam ayat di atas, dengan tegas Allah mengharamkan jual beli dan minuman keras. Bahkan larangan tersebut dipertegas dengan penekanan seperti yang terlihat di dalam penggunaan kata innama yang bermakna “hanya saja”. Biasanya bentuk ini digunakan untuk penegasan dan pembatasan objek. Lebih keras dari itu Allah menempatkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan syetan dan digolongkan sebagai najis. Dari sinilah Allah memerintahkan untuk menjauhi kedua perbuatan tersebut. Kebaikan hanya diperoleh dengan menjauhinya dan keburukan akan di dapat dengan mendekati keduanya.

  Ramalan atau terkaan dalam bisnis sering dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam. Di antara jual beli yang dikenal pada masa itu adalah jual beli habal al-habla, yaitu membayar seekor unta betina dengan cara menebak jenis kelamin yang ada di dalam kandungan unta. Ada juga jual beli muzabanah dan muhaqalah. Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang kering yang sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah segar yang ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Demikian juga halnya dengan muhaqalah, yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih di dalam bulirnya yang jumlahnya juga harus diterka. Ada juga penjualan mukhafrabah, yaitu jual beli padi-padian atau sayur-sayuran sebelum masa panen. Biasanya di dalam jual beli ini terjadi terkaan tentang hasilnya. Pada- hal bisa saja seiring dengan perjalanan waktu, padi tersebut misalnya, diserang badai atau hasilnya jauh lebih baik dari apa yang diramal sebelumnya. Larangan jual beli ini adalah untuk menjaga kepentingan petani itu sendiri.

  Jika dianalisi dengan pendekatan filosofis, larangan judi sebenarnya

  46 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS disebabkan bahwa keuntungan yang diperoleh melalui cara judi tidak

  bergantung pada keahlian, kepiawaian dan kesadaran melainkan digantungkan pada sesuatu atau pihak luar yang tidak terukur. Tidak ada rasionalitas di dalam perjudian yang ada hanya untung-untungan.

b. Penipuan (al-Ghabn)

  Al-Ghabn menurut bahasa bermakna al-khada‘ (penipuan). Di dalam bahasa Arab ada ungkapan “Ghabanahu Fulanan; naqashahu fi ast- staman wa ghayyarahu fahuwa ghabin wa dzaka maghbun” yang artinya, Dia menipu si pulan, yaitu mengurangi dan merubah harganya. Maka dia adalah penipu dan si fulan adalah orang yang tertipu. Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata atau dengan harga yang lebih rendah dari rata-rata.

  Jadi di dalam ghabn, penipuan terjadi pada harga bukan pada materibenda yang diperjualbelikan. Ghabn yang dilarang adalah yang sudah sampai pada tarap keji, sedangkan yang tidak dilarang adalah yang didasarkan pada kemampuan melakukan penawaran dan tidak sampai merugikan salah satu pihak.

c. Penipuan (Tadlis)

  Pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dan qabul antara penjual dan pembeli, lalu majlis jual-beli tersebut berakhir, maka transaksi tersebut telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan penjual tersebut.

  Persoalannya adalah bagaimana jika sebelum berakhir majelis aqad, sebenarnya telah terjadi penipuan (tadlis). Di dalam jenis penipuan ini ada dua bentuk yang bisa terjadi; penipuan itu terjadi pada sisi penjual dan pada sisi lain bisa juga terjadi pada sisi pembeli.

  Adapun jenis penipuan yang terjadi pada penjual adalah apa yang disebut dengan tadlis. Penipuan ini terjadi apabila si penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pembeli, padahal dia jelas-jelas mengetahuinya; atau apabila si penjual menutupi cacat tersebut dengan sesuatu yang dapat mengelabui si pembeli, sehingga terkesan tidak cacat atau menutupi

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  barangnya dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan barangnya semua baik.

  Sedangkan penipuan dari si pembeli adalah jika ia memanipulasi alat pembayarannya atau menyembunyikan manipulasi tersebut, padahal dia jelas-jelas tahu. Bahkan untuk mengelabui penjual, tidak jarang pembeli juga mengiming-imingi untuk memberikan barang tertentu. Karena yang paling penting bagi pembeli adalah bagaimana barang tersebut bisa dimilikinya.

d. Al-Gharar

  Al-gharar di dalam bahasa Arab bermakna akibat, bencana, bahaya, resiko dan sebagainya. Di dalam kontrak bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya atau memasuki resiko tanpa mengetahui apa konsekuensinya.

  Al-gharar (resiko atau uncertainty) menurut Ibn Taimiyyah adalah, things with unknown fate, akibatnya transaksi tersebut menjadi sell- ing such things is maysir or gambling. Senada dengan ungkapan tersebut, Ibn Qayyim juga menyatakan bahwa gharar adalah kemungkinan ada dan tidak ada. Jual beli yang seperti ini dilarang karena mengandung unsur judi (maysir).

  Jika dianalisis, bisnis pada hakikatnya adalah keberanian untuk menempuh suatu resiko. Resiko malah menjadi sebuah keniscayaan sehingga dalam bisnis dikenal istilah, no risk, no return. Yang menjadi persoalan adalah apakah setiap resiko disamakan dengan uncertainty (ketidakpastian). Sampai disini agaknya perlu kembali mendefinisikan pengertian resiko yang disamakan dengan gharar.

  Dengan mengutip analisis yang diberikan oleh Van Deer Heidjen (1996), Iggi A Achsien membagi uncertainty itu dalam makna ketidakpastian ke dalam tiga bentuk. Pertama adalah risk, memiliki preseden historis dan dapat dilakukan estimasi probabilitas untuk tiap hasil yang mungkin muncul. Kedua, structural uncertainty adalah kemungkinan terjadinya suatu hasil bersifat unik, tidak memiliki preseden di masa lalu, tetapi terjadi dengan logika kausalitas. Ketiga, unknowables menunjuk kejadian

48 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS yang secara ekstrem kemunculannya tidak terbayangkan sebelumnya.

  Dengan demikian kasus gharar sebenarnya banyak terjadi pada yang terakhir, unknowables.

  Model identifikasi resiko lainnya dapat dilihat pada dua tipe yang ditawarkan oleh Al-Suwailem (1999). Pertama, risiko pasif, seperti game of chance, yang hanya mengandalkan keberuntungan semata. Kedua, resiko responsif yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hukum kausalitas yang logis. Kalau yang pertama dipersamakan dengan game of chance, maka yang kedua dapat dipersamakan pula dengan game of skill. Agaknya gharar terjadi pada yang pertama.

  Gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, Kelompok pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan. Kedua, Kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

  Menurut Karim, sebenarnya terjadinya tadlis dan gharar disebabkan adanya incomplete information. Bedanya dalam tadlis, incomplete in- formation hanya dialami satu pihak saja (unknown to one party, misalnya pembeli saja atau penjual saja), sedangkan dalam gaharar incom- plete information dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli ataupun penjual). Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).

  Lebih jauh menurut Karim, dalam perspektif ilmu ekonomi, taghrir (gharar) ini lebih dikenal sebagai ketidakpastian atau risiko. Dalam situasi kepastian, hanya ada satu hasil atau kejadian yang akan muncul dengan probabilitas sebesar 1 (Satu). Pada lain pihak, dalam situasi ketidakpastian (uncertainty) lebih dari satu hasil atau kejadian yang mungkin akan muncul dengan probabilitas. (Karim, 162-163).

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gharar timbul karena dua sebab. Pertama, kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya kontrol skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya (non exist) obyek. Kedua bentuk inilah yang disebut dengan gharar.

  Sebagaimana yang telah disebut, al-gharar biasanya terjadi pada

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  jual beli. Jual beli yang mengandung gharar adalah jual beli yang tidak dapat dipastikan adanya atau tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau karena tidak mungkin dapat diserahterimakan.

  Adapun conotoh-contoh yang sering dikemukakan dalam pembahasan al-gharar adalah menjual ikan di dalam air, menjual burung di udara, menjual tangkapan yang masih di dalam perangkap. Lebih lengkapnya di bawah ini ada beberapa bentuk jual beli yang dilarang.

  Pertama, Jual beli dengan cara Hashah. Orang Jahiliyah dulu melakukan jual beli tanah yang tidak jelas luasnya. Mereka melemparkan hashah (batu kecil). Pada tempat akhir di mana batu tersebut jatuh, itulah tanah yang dijual. Kedua, Jual beli “Tebakan Selam” (Dharbatul Ghawwash). Orang-orang Jahiliyah juga melakukan jual beli dengan cara menyelam. Barang yang ditemukan di laut waktu menyelam itulah yang dijual- belikan. Mereka bisa melakukan akad. Si pembeli menyerahkan harga bayaran sekalipun tak mendapat apa-apa. Si penjualpun terkadang menyerahkan barang yang berlipat ganda walaupun dengan harga yang tidak pantas. Ketiga, Jula beli Nitaj. Akad untuk hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil, diantaranya menjualbelikan susu yang masih berada di mammae (kantung susu) binatang tersebut. Keempat, Jual beli mulamasah. Yaitu dengan cara si penjual dan si pembeli melamas (menyentuh) baju salah seorang dari mereka (saling menyentuh) atau barangnya. Setelah itu jual beli harus dilaksanakan tanpa diketahui keadaannya atau saling ridha. Kelima, Jual-beli munazabah. Yakni kedua belah pihak saling mencela barang yang ada pada mereka dan ini dijadikan dasar jual beli; yang tak saling ridha. Keenam, Jual-beli Habalul Habalah (anak unta yang masih di dalam perut).

  Diakhir pembahasannya, Iggi H.Achasien memberikan kesimpulan. Kesediaan menaggung resiko merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam bisnis. Namun penting untuk di catat, resiko yang dibolehkan tersebut adalah resiko yang melibatkan pengetahuan, sebagai game of skill dan bukan game of chance. Jika game of skill dibenarkan maka konsekuensinya siapa saja yang terlibat dalam bisnis harus menguasai manajemen resiko.

  Dengan mengutip Bernstein (1996), Iggi menuliskan di dalam bukunya tentang apa yang dimaksud dengan manajemen resiko yaitu,

50 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS The essence of risk management lies in maximizing the areas where we

  have some control over the out come while minimizing the areas where we have absolutely no control over the outcome and the linkage between effect and cause is hidden from us.

  Dengan demikian, kekhawatiran-kekhawatiran dari ketidakpastian tersebut dapat diminimalisir.

e. Ihtikar (Menimbun)

  Al-ihtikar secara bahasa bermakna bertindak sewenang-wenang. Secara sederhana diterjemahkan dengan Penimbunan. Dalam makna terminologinya ihtikar berarti membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian disimpan dengan maksud untuk dijual kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya dengan harga yang tinggi. Ihtikar bisa juga berarti menimbun kekayaan untuk diri sendiri dan keluarga tanpa memikirkan nasib orang lain.

  Ada kesan kuat ihtikar merupakan satu aktivitas bisnis untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan kesulitan dan kesusahan orang lain. Ihtikar biasanya terjadi pada saat barang melimpah dan tentu saja harganya menjadi murah. Ketika barang tersebut langka, maka harganya akan naik. Pada saat yang sama, karena barang tersebut dibutuhkan bagaimanapun tingginya masyarakat akan membelinya.

  Dalam perekonomian modern penimbunan ini dapat terjadi dalam bentuk individual dan kolektif. Dalam bentuk individual bentuknya terjadi dalam model trust, di mana antara pengusaha pabrik dan bertindak bersama-sama untuk membeli sebagian besar saham perusahaan sehingga akhirnya mampu mempengaruhi harga untuk dunia luar. Para anggota trust tidak dibenarkan untuk menjual barang dengan harga di bawah harga yang telah disepakati. Bentuk yang lain adalah Holding Company, yaitu perusahaan yang menyimpan, memegang atau mengurus sero- sero perusahaan lain. Dengan demikian perusahaan ini bisa mengendalikan perusahaan yang seronya dikuasai. Terakhir adalah merger yaitu peng- gabungan antara dua perusahaan atau lebih menjadi satu. Dengan demikian posisi perusahaan menjadi kuat dan bisa mengendalikan perekonomian masyarakat.

  Sebenarnya yang paling berbahaya adalah yang dilakukan dalam

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  bentuk multi unit monopoli. Modelnya ada empat, pertama, price agreement, adalah kesepakatan harga di antara perusahaan-perusahaan besar, sehingga setiap perusahaan yang mengikat kesepakatan tersebut memperoleh keuntungan besar walaupun pada hakikatnya perusahaan tersebut tidak bersatu. Dengan adanya kesepakatan tersebut mereka dapat mengendalikan harga sesuai dengan keinginan mereka. Kedua, Price Leadership, adalah perusahaan-perusahaan kecil yang menyepakati ketetapan harga yang diinginkan oleh perusahaan besar. Apabila perusahaan kecil tidak mematuhi kemauan perusahaan besar, maka perusahaan kecil akan ambruk. Ketiga, Pool adalah gabungan para pekerja untuk memperkuat barisan mereka dalam memproduksi barang. Satu sama lain tidak boleh melampaui produksi atau harga jual dari yang lain. Keempat, cartel yang berarti persekutuan para pengusaha untuk saling membantu dalam mengumpulkan atau membeli barang-barang yang ada pada anggota, kemudian membuat kesepakatan untuk memasarkan barang tersebut dengan harga yang telah mereka tetapkan. Labanya mereka bagikan sesuai dengan kesepakatan, modal dan peran anggota tersebut. Akibatnya seringkali perusahaan kecil tidak dapat bersaing dengan perusahaan besar yang menggunakan sistem cartel ini.

  Penimbunan ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadis yang artinya, dari Ma‘mar bin Abdullah, Rasulullah bersabda, tidaklah menimbun melainkan orang yang berdosa (H.R.Muslim). Pada hadis yang lain juga ada dinyatakan, Sejelek-jelek hamba adalah si penimbun, jika ia mendengar barang murah ia murka dan jika barang mahal ia gembira.

  Semangat larangan ini didasarkan pada nilai moral Islam. Kita dilarang mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kesusahan dan kesulitan orang lain. Mencari keuntungan tidak dilarang selama dilakukan dengan cara yang fair.

f. Monopoli dan Oligopoli

  Satu bentuk aktivitas bisnis yang dilarang dan ada kemiripan secara substansial dengan ihtikar adalah monopoli. Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak memiliki pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk ke dalam bidang industri atau bisnis tersebut. Monopoli