DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Menurut Adiwarman A Karim, monopoli tidak identik dengan

54 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Menurut Adiwarman A Karim, monopoli tidak identik dengan

  ihtikar. Dalam Islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stock barang untuk keperluan persediaanpun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent. Kesimpulannya monopoli boleh, sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. (Adiwarman:2002).

  Menarik untuk mencermati pemikiran Al-Ghazali yang menyatakan penimbunan barang diharamkan apabila: Pertama, Barang yang ditimbun itu adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Sebab orang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya selama setahun penuh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Kedua, Orang yang menimbun itu sengaja menunggu saat harga barang yang ditimbunnya itu memuncak (maximing profit), sehingga ia dapat menjualnya dengan harga tinggi. Ketiga, Penimbunan dilakukan pada saat orang banyak sangat mem- butuhkannya, seperti bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Tetapi kalau barang yang ditimbun tersebut bukan termasuk kebutuhan pokok dan kurang diperlukan, maka hal ini tidak berdosa karena tidak menimbulkan kemudharatan (ihya ‘ulum al-din).

  Lebih lanjut menurut Karim, yang masuk dalam kategori ihtikar adalah apabila komponen-komponen berikut ini terpenuhi. Pertama, Mengupayakan adakalanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries. Kedua, Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan. Ketiga, Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 dan 2 dilakukan.

  Agaknya satu hal yang perlu diberi catatan bahwa keburukan yang ditimbulkan oleh monopoli, juga terjadi dalam peraktek ihtikar adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau menentukan harga pada tingkat sedemikian rupa sehingga memaksimumkan labanya, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan konsumen.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Hemat penulis, semangat inilah yang terdapat dalam peraktek ihtikar sehingga dilarang Rasul. Di dalam hadis Rasul bersabda, siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat. (Riwayat Thabrani). Di dalam hadis yang lain Rasul bersabda, siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah. (Riwayat Ibn Majah). Masih menurut hadis rasul, “para pedagang yang menimbun barang makanan (keperluan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan ) Allah dan Allahpun melepaskan (hubungan dengan)-nya.

  Ihtikar bagaimanapun juga akan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Di samping itu, ihtikar juga menunjukkan egoisme diri yang tak berbatas, satu sifat yang dibenci oleh Allah Swt. Disebabkan kemudharatan yang ditimbulkan peraktek ihtikar, pemerintah sejatinya harus dapat menutup pintu (sadd al-zari’ah) bagi terjadinya ihtikar. Jika ihtikar telah terjadi maka pemerintah harus mampu mengurainya dan memberikan hukuman bagi pelakunya.

  Oleh sebab itu, pesan moral yang kita petik dari hadis adalah, jangan kita menggunakan kekayaan kita untuk menimbulkan kemudharatan orang lain. Tidak pula kita menggunakan kekuatan ekonomi kita untuk mengambil keuntungan tak terbatas pada saat orang lain mengalami kesulitan. Tetap saja yang utama adalah bagaimana kita bersikap moderat, tawassut, sederhana, dan inilah sesungguhnya inti dari ekonomi Islam yang terambil dari kata al-qasd yang maknanya adalah kesederhanaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.