Meneguhkan Keilmuan Ekonomi Islam

5. Meneguhkan Keilmuan Ekonomi Islam

  Lebih dari satu dekade, ekonomi Islam baik dari sisi keilmuanya lebih-lebih dalam bentuk praktik, menunjukkan perkembangan yang signifikan. Program studi ekonomi Islam tumbuh pesat bak cendawan di musim hujan. Tidak saja di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) tetapi juga sudah merambah di lingkungan perguruan tinggi umum. Jangan ditanya bagaimana studi ekonomi Islam di luar negeri. Bahkan di negeri yang sekuler sekalipun. Mereka lebih maju beberapa langkah dari Indonesia. Tidaklah mengherankan jika kita akan bertemu dengan ahli-ahli ekonomi Islam Indonesia lulusan Barat.

  Sedangkan dari sisi praktiknya, seperti yang terlihat dalam bentuk lembaga keuangan syari’ah dan bisnis Islam pada umumnya, trendnya

  102 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS juga terus meningkat. Bukan sebatas pertumbuhan kantor cabang

  yang angkanya terus menaik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah terbangunnya kesadaran baru di masyarakat untuk mengaplikasikan ekonomi Syari’ah dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini setidaknya dapat dijadikan indikasi terbentuknya masyarakat ekonomi Syari’ah akan segera terwujud.

  Perkembangan ekonomi Islam yang signifikan tersebut bukan tanpa masalah. Dari sisi praktik perbankan misalnya, ada banyak persoalan yang perlu diselesaikan. Misalnya dari segi kesesuaiannya dengan syari’ah (complain syari’ah). Apakah praktik murabahah yang berlangsung saat ini sudah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN atau tidak. Demikian juga dengan praktik dana talangan haji atau produk “berkebun emas” yang berpotensi untuk berbeda dengan ketentuan fatwa DSN.

  Sedangkan dari sisi keilmuannya, ekonomi Islam juga sedang dipertanyakan basis epistimologisnya. Apakah ekonomi Islam itu bagian dari ilmu ekonomi atau bagian dari ilmu-ilmu agama. Ada sebagian orang yang memahami bahwa ekonomi Islam itu bagian dari ilmu ekonomi, maka metodologi keilmuannya juga harus mengikuti apa yang berlaku di dalam ekonomi konvensional. Banyak argumentasi yang dijadikan alasan. Mulai dari yang serius menyangkut epistemologinya sampai alasan yang terkesan sederhana. Ekonomi Islam itu fenomena baru dan belum matang. Bahkan sampai saat ini tidak ada kesepakatan para pakar ekonomi Islam tentang ekonomi Islam. Aliran mazhab yang berkembangpun sebatas ide atau gagasan. Belum sampai pada tingkat teoritik yang benar-benar matang.

  Pertanyaannya adalah, di mana posisi Islam. Lalu apa yang mereka pahami tentang Islam dalam hubungannya dengan ekonomi. Jawabnya, Islam dipahami hanya sebatas kumpulan nilai moral semata. Tidak lebih dari itu. Bagi mereka Islam tidak memiliki model ekonomi tertentu. Bahkan ada pakar ekonomi Islam yang mengatakan bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi plus zakat minus riba. Zakatpun dipahami sebagai bagian dari kedermawanan. Sedangkan riba sama dengan bunga, yang sebenarnya juga dilarang dalam berbagai tradisi agama dunia.

  Cara pandang seperti ini berimplikasi serius terhadap banyak hal. Yang paling nyata itu adalah pada aspek kurikulumnya. Artinya, kurikulum yang harus dikembangkan di dalam fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  (FEBI) nantinya harus merujuk kurikulum fakultas ekonomi konvensional seperti yang ada di UI atau USU. Kurikulum itu harus diikuti agar lulusannya memiliki kualifikasi yang sama dengan lulusan Fakultas ekonomi konvensional. Aspek-aspek syari’ah yang ditambahkan ke dalam kurikulum itu atau yang diinjeksikan hanyalah sebatas kekhususan saja. Dari sisi mata kuliah mungkin mahasiswa hanya perlu mengambil 6-8 mata kuliah saja yang berkenaan dengan syari’ah.

  Di lain pihak, ada banyak pakar yang memahami ekonomi Islam itu adalah bagian dari ajaran Islam itu. Tegasnya, ekonomi Islam atau yang disebut dengan iqtishad al-islami merupakan bagian dari ajaran Mu’amalat. Jika demikian ekonomi Islam bagian dari syari’at untuk membedakannya dari aspek tauhid dan akhlak. Kendati disebut berbeda, sesungguhnya tauhid dan akhlak tidak boleh berpisah apa lagi berjalan sendiri-sendiri.

  Karena ekonomi Islam bagian dari ajaran Islam, maka ekonomi Islam harus mencari dan mengembangkan epistemologinya sendiri. jika sampai detik ini, epistemologi ekonomi Islam masih belum disepakati dikalangan para ahli dan belum menjadi aksioma dan doktrin keilmuan, bukan berarti tidak ada. Epsitemologinya bisa jadi ada namun belum tergali karena khazanah itu tersimpan dan belum sempat digali.

  Eksponen ini ingin menegaskan ekonomi Islam itu adalah ilmu yang mandiri. Bahkan ekonomi Islam itu telah diuji coba dalam peraktik kehidupan Rasul dan sahabatnya pada masa lalu. Kita bisa bertanya, sistem ekonomi manakah yang dipakainya ketika memimpin bangsa Arab lebih kurang dari 23 tahun lamanya. Apakah Rasul menerapkan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis ? bukankah pada saat itu, sistem tersebut belum ada pada masa itu, walaupun akarnya bisa dilacak sampai ke zaman Romawi kuno.

  Jika demikian, FEBI UIN dan IAIN yang bakal terbentuk tidak perlu meniru fakultas ekonomi konvensional. Secara kreatif, eksponennya harus dapat mengembangkan model keilmuannya sendiri, merumuskan metodologinya dan membuktikan pengaruhnya pada saat diterjemahkan dalam kehidupan manusia. Ekonomi Islam harus bisa menjawab dan menyelesaikan problem kehidupan manusia.

  Dengan cara pandang seperti ini, tidaklah berarti ekonomi Islam

  104 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS itu esklusif dan terisolasi. Tidak perduli dengan keilmuan konvensional.

  Justru ekonomi Islam dapat meminjam metodologi keilmuan ekonomi konvensional sepanjang sesuai dengan nilai-nilai syari’ah. Proses peminjaman itu sesuatu yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam disiplin lainpun, seperti dalam studi filsafat Islam, peminjaman itu juga berlangsung. Dan nyaris tidak ada masalah serius. Tentu saja selektifitas tetap penting untuk memastikan peminjaman itu tidak membawa mudharat bagi keilmuan ekonomi Islam.

  Tidak kalah pentingnya, FEBI harus juga dapat memastikan lulusannya dapat bersaing dipentas global. Tidak saja memiliki kemampuan teoritik yang mumpuni, keterampilan (skill) yang handal, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Justru pada sisi yang disebut terakhir inilah menjadi pembeda dengan lulusan konvensional. Dan itu semua didasarkan pada nilai-nilai tauhid.

  Dua sudut pandang ini mengemuka kembali lebih-lebih pada saat Kementerian Agama dalam waktu dekat akan mengeluarkan keputusan tentang pembentukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) di beberapa UIN dan IAIN. Kita bersyukur, IAIN. Sumatera Utara termasuk salah satu IAIN yang mendapat penghargaan sebagai sabiquna al-awwalun (generasi pertama) yang memiliki fakultas ekonomi dan bisnis Islam.

  Tentu yang terbaik bukan memilih satu di antara dua, melainkan bagaimana merumuskan pemikiran dan sikap yang lebih moderat. Hemat penulis, di antara jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan integrasi keilmuan itu sendiri. Integrasi keilmuan ini dipandang jalan yang lebih “dingin” dan juga memiliki sejarahnya tersendiri. Masalahnya adalah bagaimana merumuskan integrasi itu dalam bentuknya yang lebih jelas. Cara ini juga akan diperbincangkan dalam forum yang bergengsi tersebut.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS