Wakaf Tunai Dalam UU. No 41 Tahun 2004

206 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Al-Anshari menjawab, “kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan. Ada juga pakar wakaf yang mendasarkan kebolehan wakaf uang ini kepada Imam Az-Zuhri. Perspektif Undang-undang Kendatipun umat Islam Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i, tampaknya dalam hal wakaf uang ini, ulama dan pemikir-pemikir ekonomi Islam memilih pendapat yang membolehkan wakaf uang. Setidaknya inilah yang tercermin di dalam undang-undang No 41 tahun 2004. Pada Bagian Keenam tentang harta benda wakaf pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa, harta benda wakaf terdiri dari : a, benda tidak bergerak. B. benda bergerak. Selanjutnya pada ayat 3 dinyatakan bahwa: Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurup b adalah harta benda yang tidak dapat habis karena dikosumsi, meliputi: a. uang, b. logam mulia, c. Surat berharga, d. Kendaraan, e. Hak atas kekayaan intelektual. F. hak sewa dan, g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Klausul di atas dapat dijadikan dalil akan kebolehan wakaf uang. Dengan menggunakan kaedah fikih, keputusan hakim menyelesaikan perbedaan hukm al-hakim yarfa’u al-khilaf. Maksudnya, dengan diundang- kannya masalah wakaf uang, khilaf antara yang membolehkan wakaf uang dan kelompok yang tidak membolehkannya menjadi tidak relevan lagi. Pada bagian kesepuluh tentang “wakaf benda bergerak berupa uang” pasal 28 dijelaskan bahwa, wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri agama. Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa, Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Dari beberapa pasal di atas ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, wakaf uang tampaknya hanya boleh dilakukan melalui lembaga keuangan syari’ah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola wakaf uang. Alasan yang sering dikemukakan adalah bank 207 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dipandang dapat mejamin bahwa wakaf uang tersebut tidak akan habis kendati digunakan. 12 Lewat undang-undang ini jelas bahwa pihak nazir tidak memiliki kewenangan secara mandiri untuk mengelola wakaf uang. Paling- paling nazir hanya menerima bagi hasil dari wakaf uang tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan demi kepentingan umat. Kedua, lembaga keuangan syari’ah bank syari’ah yang ditugaskan untuk mengelola wakaf uang adalah lembaga yang ditunjuk oleh menteri agama. Di sini dikhawatirkan muncul monopoli yang melahirkan kecemburuan lembaga keuangan syari’ah. Jika semua lembaga diberi peluang yang sama untuk mengelola wakaf uang, dikhawatirkan memunculkan persoalan baru, seperti persaingan antar bank dan sebagainya. Mencermati undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, penulis melihat ada standar ganda yang diterapkan undang-undang. Pada satu sisi, undang-undang telah memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk berwakaf. Namun pada sisi lain, terdapat aturan-aturan yang menghambatnya. Sebagai contoh, dalam konteks wakaf uang, penunjukan lembaga keuangan syari’ah bagaimanapun akan membuat wakaf uang sulit perkembang. Nazir hanya mengharapkan bagi hasil dari pihak bank, yang relative kecil. Penutup Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Undang-undang Wakaf, yang jelas, keberadaan undang-undang sangat penting untuk menegaskan kedudukan hukum wakaf uang. Setidaknya berdasarkan undang-undang tersebut, wakaf uang tidak lagi dipersoalkan. Yang penting adalah bagaimana memberdayakannya sehingga apa yang menjadi tujuan wakaf dapat terwujud. Pada gilirannya, wakaf uang dapat memberdayakan ekonomi Umat.

4. Wakaf Tunai dan Kesejahteraan Umat

Di antara karakteristik Ekonomi Islam EI adalah penolakan dan 12 Tulisan yang cukup baik tentang peran Bank Syari’ah dalam mengelola wakaf tunai dapat dibaca dalam, Mulya E Siregar, dkk, “Perananan Bank Syari’ah dalam Pengelolaan Wakaf Tunai” dalam, Wakaf Produktif, h. 121-141. 208 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pelarangan riba dalam seluruh aktivitas ekonomi. Riba disebut sebagai kezaliman yang merugikan bahkan menghancurkan, bukan saja dirinya tetapi juga masyarakat dan negara. Bukankah besarnya beban hutang Indonesia - yang kita tak tahu kapan lunasnya - disebabkan variabel bunga itu sendiri. Sebaliknya, Al-Qur’an mempromosikan zakat yang diyakini menggerakkan ekonomi melalui investasi dan distribusi. Bukanlah suatu kebetulan jika salah satu makna zakat adalah al-nama’ yang bermakna “to grow” tumbuh dan berkembang. Di samping dua variabel di atas, ekonomi Islam juga memiliki variabel unik lainnya yang oleh para ahli disebut dengan sektor volunteer suka rela. Contohnya adalah pranata infaq, sadaq, hibah, wasiat, hadiah dan wakaf, Dikatakan volunteer karena memang pranata tersebut secara normatif tidak diwajibkan baik oleh Al-Qur’an ataupun al-Hadis. Yang dituntut kedua sumber tersebut adalah kesukarelaan atau keikhlasan pemilik harta. Jika ia mengeluarkan hartanya untuk wakaf misalnya, maka ia akan memperoleh kebajikan al-birr dan juga kebaikan al- hasan. Andaipun ia enggan mengeluarkan hartanya untuk wakaf atau hibah, maka tidak ada dosa baginya. Ia hanya diwajibkan membayar zakat. Al-Qur’an berbicara tentang wakaf dalam dimensi hablum min Allah dan hablum min al-nas. Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah2:27, Allah menyatakan, “Belanjakanlah dari harta bendamu yang baik-baik”. Selanjutnya dalam suart Ali Imran3:92, ditegaskan, “Kamu tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu sukai”. Sedangkan di dalam hadis yang cukup populer Rasul bersabda, Jika anak Adam meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga, anak yang shaleh yang mendoakan kedua ibu bapanya, ilmu yang bermanfaat dan sadaqah jariyah Sahih Muslim. Di dalam riwayat yang lain, ketika merespon pertanyaan Umar Ibn Al-Khattab tentang Tanah Khaibar, Rasul mengatakan, Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya. Di dalam Al-Qur’an dan juga Hadis Rasul seperti yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan terminologi wakaf seperti yang dipahami para fuqaha. Kendati demikian, secara substansial, ayat dan hadis-hadis tersebut “memerintahkan” umat Islam untuk berwakaf. Bahkan Al-Qur’an men- dorong agar wakaf menjadi tradisi habit yang sejatinya harus terus