Menggagas Infaq Produktif

5. Menggagas Infaq Produktif

  Tidak terbayangkan sebelumnya, kehadiran bank-bank Islam seperti Bank Muamalat Indonesia, BRI Syari’ah untuk sekedar menyebut beberapa contoh, ternyata telah membawa berbagai macam inovasi tidak saja dalam bentuk pengembangan institusi mu’amalat Islam yang lebih modern, tetapi juga membawa pengaruh dalam pengembangan ibadah- ibadah maliyah (ibadah yang berhubungan dengan harta seperti ZISWAF, zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf). Dengan memanfaatkan jasa perbankan, ibadah-ibadah maliyah tersebut dapat dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga efek yang ditimbulkannya tidak saja dalam rangka memenuhi tuntutan syari’ah tetapi juga dapat memberdayakan masyarakat yang kurang mampu.

  Sebut saja misalnya, sejak tahun 2001, kita telah mengembangkan wakaf produktif. Jika selama ini wakaf hanya dipahami sebagai benda tak bergerak dan pemanfaatannya terbatas untuk kuburan, masjid dan madrasah saja, maka dengan wakaf produktif, kita dapat menyentuh aspek-aspek lain yang lebih bernuansa pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebagai contoh, dengan mengembangkan wakaf uang tentu saja melalui jasa perbankan, maka kita dapat memberi bea siswa dari hasil wakaf tersebut tanpa harus menghabiskan “a’in (zatnya) nya”. A’innya dalam hal ini uang yang diserahkan itu tetap, tapi hasil dari pemanfaatan uang tersebut oleh bank Islam dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat. Yang sangat menarik adalah, jika dahulu orang yang berwakaf tergolong orang-orang yang benar-benar kaya karena merekalah yang memiliki tanah yang luas atau uang yang banyak, maka dengan wakaf uang, hanya Rp. 50.000, atau 100.000,- misalnya, ia telah dapat berwakaf.

  Selanjutnya, yang ingin kita kembangkan saat ini adalah infaq

  212 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS produktif. Semangat dasarnya adalah bagaimana infaq yang kita berikan

  itu tidak hanya bersifat karitatif dan konsumtif saja, melainkan dapat menjadi poduktif.

  Mengapa harus infaq ? jawabnya adalah baik zakat atau wakaf ketika kita ingin menjadikannya produktif, jujur harus diakui kita masih berhadapan dengan berbagai kendala baik yang bersifat yuridis normative atau sosiologis empiris. Ternyata dikalangan umat Islam terutama tokoh-tokoh agamanya masih belum satu visi dalam melihat masalah ini. Jujur harus diakui, masih ada ulama yang menolak zakat produktif dan wakaf produktif. Mudah-mudahan dengan infaq yang aturan-aturan syari’ahnya lebih longgar dibanding dengan zakat dan wakaf tersebut, diharapkan kita dapat mengelolalnya sedikit lebih leluasa. Disamping itu, tanpa adanya persyaratan—persyaratan khusus, seperti haul dan nisab, memungkinkan masyarakat dapat berpatisipasi sepenuhnya dalam berinfaq.

Infaq dalam Alquran

  Di dalam Alquran kata infaq yang akar katanya adalah n-f-q, disebut lebih kurang 80 kali dalam berbagai surah dan bentuk derivasinya. Adapun maknanya cukup banyak, adakalanya bermakna zakat, sadaqah, tetapi yang paling umum adalah pemberian suka rela untuk menolong agama. Infaq juga bermakna al-imarah (kemakmuran). Demikian makna-makna yang dikemukakan oleh Al-Damaghani yang menulis kitab Qamus Al- Quran.

  Dari makna-makna yang diberikan oleh Al-Damaghani tersebut kita dapat mendefinisikan infaq sebagai pemberian harta benda secara sukarela untuk mengembangkan agama dengan segala dimensinya dan juga untuk memakmurkan umatnya. Makna seperti ini dapat kita temukan di dalam Alquran khususnya yang berbicara tentang infaq. Di dalam surah Al-Baqarah ayat 273 Allah swt. berfirman yang artinya, apa yang engkau nafkahkah untuk kebaikan maka sesungguhnya Allah maha mengetahui. Selanjutnya di dalam surah Ali-Imran ayat 92, Al- lah swt berfirman, engkau belum mendapatkan kebaikan, sehingga engkau menafkahkan apa-apa yang engkau cintai. Di dalam surah Al-Baqarah ayat 3, Allah swt dengan tegas menyatakan, bahwa orang yang bertaqwa

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  itu adalah orang-orang yang beriman kepada yang ghaib (al-ghaib), mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami nafkahkan atas mereka.

  Berbeda dengan zakat yang hukumnya adalah wajib, infaq hukumnya sunah. Namun yang sering terlupakan adalah, kualitas kehidupan keberagamaan kita sebenarnya ditentukan oleh amalan-amalan sunat ini. Seseorang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, namun mengabaikan hal-hal yang sunat, sebenarnya orang tersebut belum dapat dikatakan sebagai saleh atau muhsin. Orang baik yang sampai pada kualitas ihsan, adalah orang-orang yang rajin melaksanakan amalan- amalan sunnat. Sesuatu yang tidak wajib, tetapi dikerjakannya juga menunjukkan betapa tinggi kualitas keberagamaan orang yang seperti ini. Jika ia mengerjakan ibadah yang wajib, maka hal tersebut merupakan hal yang biasa saja. Alasannya karena ibadah tersebut telah diwajibkan. Justru jika tidak dikerjakannya, maka ia akan berdosa.

  Perbedaan lainnya menurut M.A.Mannan adalah baik sadaqah atau infaq zat dan manfaatnya sekaligus ditransfer ketika telah diberikan. Sedangkan waqaf, yang ditransfer adalah manfaatnya saja dan bukan ‘ainnya. Persoalannya adalah bagaimana infaq tersebut agar tetap bisa memberdayakan umat Islam khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu ada dua hal yang harus kita lakukan.

  Pertama, Jika selama ini, infaq merupakan gerakan individual, maka infaq harus dijadikan gerakan massal. Infaq sebagai gerakan individual tidak akan memberikan dampak apa-apa terhadap perubahan masyarakat. Lebih dari itu, infaq individual ini secara ekonomis tidak akan memberi makna yang signifikan.

  Anda bisa membayangkan, jika anda berinfaq Rp. 50.000,- kepada seseorang. Pertanyaan adalah apa yang dapat dilakukannya dengan uang tersebut. Bandingkan jika 10.000 umat Islam berinfaq Rp. 50.000,- maka akan terkumpul uang sebanyak Rp. 500.000.000,-. Lalu jika yang berinfaq itu sampai 20.000 orang maka akan terkumpul dana infaq

  1 T. bayangkan tentu banyak hal yang bisa kita lakukan dengan uang

  1 T. Tinggal lagi jika uang tersebut kita kelola secara konvensional, maka dalam waktu yang singkat uang tersebut juga akan habis. Bagaimana agar uang tersebut tetap “abadi.” Jalan keluarnya adalah kita harus memanfaatkan perbankan syari’ah dengan cara mendefositokannya.

214 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Untuk itu yang kedua dalam pengelolaan infaq produktif kita harus memanfaatkan lembaga perbankan. Melalui produk mudharabah, maka kita dapat memudharabahkan uang infaq produktif tersebut dan kita akan memperoleh bagi hasil yang signifikan. Bagi hasil inilah yang kita manfaatkan untuk membantu apakah dalam bentuk pemberian beasiswa, membuat pelatihan-pelatihan keterampilan yang memberdayakan generasi muda muslim dan sebagainya. Selama dana tersebut berada diperbankan maka selama itu pula hasilnya dapat dimanfaatkan. Bayangkan jika yang kita infaqkan itu Rp. 100.000,- atau lebih dari itu dikali dengan

  23 dari umat Islam Indonesia yang berinfaq, maka kita dapat mengumpulkan uang yang lebih banyak lagi. Tentu saja, dengan memudharabahkannya lewat perbankan syari’ah, maka banyak hal yang dapat dilakukan dengan uang tersebut.

  Sudah saatnya kita melakukan terobosan-terobosan yang signifikan berkenaan dengan ibadah maliyah (ibadah-ibadah yang berhubungan dengan harta) agar lebih berdaya guna. Sebenarnya kesadaran berzakat, berinfaq dan berwakaf umat Islam cukup tinggi. Hanya saja kesadaran dan gerakan-gerakan yang dilakukan masih bersifat individual, sehingga tidak memiliki daya dobrak yang berarti untuk memecahkan “batu- batu” kemiskinan dan kebodohan yang masih membelenggu dan menghalangi kemajuan umat Islam saat ini. Akibatnya, ketika kita memasuki tahun baru hijriyah yang akan datang 1427 H, tetap saja masalah serius yang kita hadapi masih berkisar kebodohan dan kemiskinan.

  Saatnya lembaga perbankan tidak saja kita manfaatkan sebagaimana layaknya perbankan nasional. Perbankan syari’ah tidak boleh hanya sekedar lembaga intermediasi, tetapi ia juga harus dapat melakukan rekayasa produk untuk memberdayakan umat.

  Oleh sebab itu apa yang ingin dikembangkan oleh Bank Muamalat Indonesia dalam upaya menggagas infaq produktif layak mendapatkan dukungan kita semua. Mudah-mudahan, dengan infaq produktif akan melengkapi produk-produk zakat produktif dan wakap produktif yang telah digulirkan kendatipun masih tersendat-sendat.

  Jika zakat produktif dan wakaf produktif kita fokuskan dalam pemberdayaan ekonomi lemah melalui qard al-hasan atau suntikan- suntikan modal, maka infaq produktif dapat kita berdayakan dengan pemberian bea siswa. Sangat banyak umat Islam yang memiliki kemampuan

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  intelektual yang cukup baik tetapi lemah secara ekonomi, sehingga mereka tidak mampu meneruskan sekolahnya.

  Lebih dari itu, saat ini kita masih sangat membutuhkan manusia- manusia unggul untuk membangun peradaban Islam. Tanpa keberadaan manusia-manusia unggul ini, selama itu pula kita tidak dapat mengejar ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain.