DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ghaniyya al-taqiyya al-khafiyya (Allah menyukai hamba yang kaya, bertakwa

24 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ghaniyya al-taqiyya al-khafiyya (Allah menyukai hamba yang kaya, bertakwa

  lagi tidak angkuh. (hadir Riwayat Ahmad dan Muslim).

  Jika demikian, bagaimana dengan informasi sejarah yang menyatakan bahwa Rasul itu miskin. Jika kita merujuk kepada surah Al-Dhuha ayat

  8, Dan Allah mendapatimu serba kekurangan lalu ia mencukupkannya (fa aghna). Ada kesan lewat ayat ini, Rasul memang pernah hidup miskin tetapi Allah mencukupkannya (memberinya kekayaan). Sulit diterima akal, kalau Rasul itu tidak punya harta pada hal ia memiliki harta yang banyak. Hal ini penting mengingat Rasul juga tidak pernah meminta- minta kepada orang lain. Tidak kalah menariknya, Rasul juga memilih kebutuhannya seperti makanan, pakaian bukanlah dari bahan dan materi-materi yang biasa-biasa. Sebut saja misalnya kurma ajwa yang sering disebut sebagai kurma rasul. Kurma ajwa adalah kurma yang sangat mahal dibanding dengan kurma lainnya. Beliau juga memiliki onta terbaik yang diberi nama Al-Qashwa. Oleh sebab itu, penyebutan kata miskin yang dikaitkan dengan Nabi harus diberi makna lain. Kendati demikian, kayanya Nabi bukanlah dalam arti berlimpah harta. Karena ternyata ketika Nabi meninggal, yang ditinggalkannya hanya Al-Qur’an dan Hadis. Saya cenderung memahami makna kaya adalah berkecukupan, tegak di atas kaki sendiri dan tidak meminta-minta kepada orang lain.

  Sebenarnya jika kita merujuk ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tidak sulit untuk menyimpulkan sebenarnya Islam memerintahkan umatnya untuk menjadi kaya. Alasannya, banyak ajaran-ajaran Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan harta banyak. Sebut saja zakat dan haji. Hal ini belum lagi kalau kita bicara tentang pembangunan, pendidikan, kesehatan, pengembangan tekhnologi yang semuanya membutuhkan harta. Sungguh tepat ketika nabi bersabda, salahu ummati bi al-‘ilmi wa al-mal (umatku akan baik dengan harta dan ilmu).

  Dalam konteks memahami Nabi secara proporsional menarik mencermati apa yang ditulis Muhammad Syafi’ Antonio di dalam bukunya yang berjudul, Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager. Muhammad SAW mempunyai keunikan tersendiri mengenai kekayaan. Pada kondisi tertentu beliau menjadi orang kaya dan pada kondisi yang lain menjadi orang miskin. Pada saat-saat tertentu beliau juga berada pada posisi antara keduanya. Hidup sederhana dan bersahaja. Tentu saja hal ini tidak terlepas kedudukan beliau sebagai uswat hasanah. Nabi bisa menjadi contoh

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  bagi siapa saja, orang kaya yang dermawan dan beriman, orang sederhana yang selalu bersyukur atau orang miskin yang sabar dan tabah. 3

  Sulit membayangkan jika Nabi itu tidak kaya, padahal ia mampu membayar mahar kepada Khadijah dalam jumlah besar; 20 ekor unta terbaik ditambah 12 ons (uqiyah) emas. Satu jumlah yang cukup besar jika dikonversi dengan mata uang kita saat ini. Ali Syu’aibi membagi kekayaan Nabi tiga macam. Pertama dari sumber al-fa’i, harta yang diperoleh tanpa melalui pertempuran. Kedua, ghanimah harta yang diperoleh setelah terjadi pertempuran. Ghanimah inilah yang disebut dengan harta pampasan perang. Ketiga, al-sahm yaitu beberapa bagian di luar seperlima yang

  merupakan hak Rasul. 4 Sungguh Nabi pernah sangat kaya sehingga

  ia sanggup membagikan 150 ekor onta kepada Bani Hunain. Nabi juga memiliki tanah Fadak yang sangat subur dan banyak menghasilkan. Daftar kekayaan Nabi ini cukup panjang dan bisa dibaca pada bukunya Syu’aibi Ali yang berjudul, Muhammad seorang Milyuner?

  Dengan demikian sesungguhnya perspektif Islam tentang kaya sebenarnya cukup jelas. Tuntunan menjadi kaya bukan saja bersumber dari Al-Qur’an tetapi juga dari hadis-hadis Nabi. Bahkan wujud konkritnya dapat kita temukan pada sosok Rasulullah SAW. Alih-alih kekayaan sebagai nasib apa lagi takdir, ternyata dalam perspektif Al-Qur’an kekayaan itu harus diusahakan. Ia tidak datang tanpa sebab dan alasan yang rasional. Tidak ada orang yang bangun tidur langsung menjadi kaya. Oleh sebab itu, ajaran Al-Qur’an tentang profesionalitas, penghargaan terhadap waktu, otonomi manusia, kerja sebagai jihad harus dilihat dalam rangkaian perspektif Islam tentang kaya.