Meniru Allah yang ARTIKULASI NILAI SPIRITUALITAS

23 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS sifat Allah yang maha mughni. Berinfaq atau bersadaqah bermakna membagi kekayaan atau mendistribusikan pendapatan kepada orang lain. Bahkan lebih dari itu, tingkatan yang paling tinggi adalah, ketika infaq, sadaqah dan wakaf adalah media untuk memberdayakan orang lain. Kehidupan Rasulullah Bagaimana sebenarnya kehidupan Rasul SAW ? Apakah Nabi Muhammad SAW termasuk orang kaya atau tidak ? Jujur harus diakui, keyakinan sebagian umat Islam selalu menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang miskin. Riwayat-riwayat yang mengatakan, kerap sahabat melihat badan Rasul berbekas karena tidur di atas papan keras, di pelepah kurma dan sebagainya, cukup menunjukkan keadaan Rasul yang miskin. Rasul yang miskin juga kerap ditunjukkan dengan do’a yang disebut- sebut sebagai ajaran Rasul. Bunyinya, allahumma ahyina miskinan wa amitna miskinan wahsyurna yaum al-qiyamati ma’a al-masakin Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin dan kumpulkan aku pada hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin. Hadis yang menurut sebagian ulama lemah ini, dipahami sebagai bukti bahwa Rasul tidak saja miskin tetapi juga mencintai kemiskinan itu. Tidak kalah menariknya, beberapa pakar menyebutkan, sejarah sebenarnya tidak pernah menginformasikan kepada kita bahwa Rasul pernah memiliki harta yang sangat berlimpah. Justru sebaliknya, istrinya pernah mengeluh akibat sulitnya kehidupan material mereka, sampai-sampai Rasul mem- persilahkan mereka hidup sederhana atau diceraikan secara baik. 2 Pada sisi lain, kita juga menemukan beberapa riwayat yang menunjukkan betapa Rasul telah menabuh gendering perang dengan kemiskinan dan kefakiran. Rasul pernah berdo’a yang isinya meminta perlindungan dari kemiskinan dan kekufuran. Misalnya do’a Nabi , Allahumma inni ‘azubika min al-kufr wal-faqr Ya Allah Sungguh aku berlindung kepadaMu dari segala jenis kekufuran dan kefaqiran. Hadis ini diriwayatkan oleh Al-baihaqi dan Al-Hakim. Ada juga hadis Nabi yang berkenaan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash yang berbunyi, Inna Allah yuhub al-’abda al- 2 Berkenaan dengan hal ini dapat dilihat pada surat Al-Ahzab : 28. 24 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ghaniyya al-taqiyya al-khafiyya Allah menyukai hamba yang kaya, bertakwa lagi tidak angkuh. hadir Riwayat Ahmad dan Muslim. Jika demikian, bagaimana dengan informasi sejarah yang menyatakan bahwa Rasul itu miskin. Jika kita merujuk kepada surah Al-Dhuha ayat 8, Dan Allah mendapatimu serba kekurangan lalu ia mencukupkannya fa aghna. Ada kesan lewat ayat ini, Rasul memang pernah hidup miskin tetapi Allah mencukupkannya memberinya kekayaan. Sulit diterima akal, kalau Rasul itu tidak punya harta pada hal ia memiliki harta yang banyak. Hal ini penting mengingat Rasul juga tidak pernah meminta- minta kepada orang lain. Tidak kalah menariknya, Rasul juga memilih kebutuhannya seperti makanan, pakaian bukanlah dari bahan dan materi-materi yang biasa-biasa. Sebut saja misalnya kurma ajwa yang sering disebut sebagai kurma rasul. Kurma ajwa adalah kurma yang sangat mahal dibanding dengan kurma lainnya. Beliau juga memiliki onta terbaik yang diberi nama Al-Qashwa. Oleh sebab itu, penyebutan kata miskin yang dikaitkan dengan Nabi harus diberi makna lain. Kendati demikian, kayanya Nabi bukanlah dalam arti berlimpah harta. Karena ternyata ketika Nabi meninggal, yang ditinggalkannya hanya Al-Qur’an dan Hadis. Saya cenderung memahami makna kaya adalah berkecukupan, tegak di atas kaki sendiri dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Sebenarnya jika kita merujuk ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tidak sulit untuk menyimpulkan sebenarnya Islam memerintahkan umatnya untuk menjadi kaya. Alasannya, banyak ajaran-ajaran Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan harta banyak. Sebut saja zakat dan haji. Hal ini belum lagi kalau kita bicara tentang pembangunan, pendidikan, kesehatan, pengembangan tekhnologi yang semuanya membutuhkan harta. Sungguh tepat ketika nabi bersabda, salahu ummati bi al-‘ilmi wa al-mal umatku akan baik dengan harta dan ilmu. Dalam konteks memahami Nabi secara proporsional menarik mencermati apa yang ditulis Muhammad Syafi’ Antonio di dalam bukunya yang berjudul, Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager. Muhammad SAW mempunyai keunikan tersendiri mengenai kekayaan. Pada kondisi tertentu beliau menjadi orang kaya dan pada kondisi yang lain menjadi orang miskin. Pada saat-saat tertentu beliau juga berada pada posisi antara keduanya. Hidup sederhana dan bersahaja. Tentu saja hal ini tidak terlepas kedudukan beliau sebagai uswat hasanah. Nabi bisa menjadi contoh 25 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS bagi siapa saja, orang kaya yang dermawan dan beriman, orang sederhana yang selalu bersyukur atau orang miskin yang sabar dan tabah. 3 Sulit membayangkan jika Nabi itu tidak kaya, padahal ia mampu membayar mahar kepada Khadijah dalam jumlah besar; 20 ekor unta terbaik ditambah 12 ons uqiyah emas. Satu jumlah yang cukup besar jika dikonversi dengan mata uang kita saat ini. Ali Syu’aibi membagi kekayaan Nabi tiga macam. Pertama dari sumber al-fa’i, harta yang diperoleh tanpa melalui pertempuran. Kedua, ghanimah harta yang diperoleh setelah terjadi pertempuran. Ghanimah inilah yang disebut dengan harta pampasan perang. Ketiga, al-sahm yaitu beberapa bagian di luar seperlima yang merupakan hak Rasul. 4 Sungguh Nabi pernah sangat kaya sehingga ia sanggup membagikan 150 ekor onta kepada Bani Hunain. Nabi juga memiliki tanah Fadak yang sangat subur dan banyak menghasilkan. Daftar kekayaan Nabi ini cukup panjang dan bisa dibaca pada bukunya Syu’aibi Ali yang berjudul, Muhammad seorang Milyuner? Dengan demikian sesungguhnya perspektif Islam tentang kaya sebenarnya cukup jelas. Tuntunan menjadi kaya bukan saja bersumber dari Al-Qur’an tetapi juga dari hadis-hadis Nabi. Bahkan wujud konkritnya dapat kita temukan pada sosok Rasulullah SAW. Alih-alih kekayaan sebagai nasib apa lagi takdir, ternyata dalam perspektif Al-Qur’an kekayaan itu harus diusahakan. Ia tidak datang tanpa sebab dan alasan yang rasional. Tidak ada orang yang bangun tidur langsung menjadi kaya. Oleh sebab itu, ajaran Al-Qur’an tentang profesionalitas, penghargaan terhadap waktu, otonomi manusia, kerja sebagai jihad harus dilihat dalam rangkaian perspektif Islam tentang kaya. Di atas segala-galanya, ajaran Islam tentang kaya tidaklah bermaksud membawa ummat ini menjadi hedonis, menikmati kekayaan untuk kesenangan sendiri. Menjadi kaya paralel dengan ajaran berkhidmah mengabdi untuk kemanusiaan. Semakin banyak hartanya berarti semakin besar pula kesempatannya berkhidmah untuk kemanusiaan. Dengan kata lain, berkhidmah mengabdi kepada Allah tidak akan pernah bermakna sepanjang kita tidak berkhidmah kepada sesama manusia. 3 Muhammad Syafi’ Antonio, Mummad SAW, The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM Centre, 2007, h. 77-95. 4 Ibid., h. 86-89. 26 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

2. Merengguk Kehidupan yang Berkah

Kata barakah atau berkat termasuk kata yang kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata “Kehidupan yang berkah”, “tempat yang berkah”, “waktu yang berkah,” bahkan “nasi berkat” adalah contoh bagaimana kata tersebut digunakan. Ketika kita hendak makan, do’a yang selalu kita lantunkan adalah, allahumma barik lana fima razaqtana Ya Allah berkahilah rezeki yang engkau berikan kepada kami. Demikian pula halnya pada saat kita menghadiri pesta pernikahan rekan atau keluarga, do’a kita adalah, “semoga Allah memberkahi perkawinan kalian berdua.” Lebih dari itu, kata berkah juga sudah di bawa dalam kehidupan kenegaraan kita. Huru-hara, kerusuhan, bencana yang menerpa Indonesia, jangan-jangan menjadi isyarat bahwa Allah telah mencabut keberkahan dari bumi Indonesia, karena kedustaan penduduknya. Dalam bahasa Indonesia barakah ditulis dengan berkat. Artinya adalah karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Kata tersebut juga berarti doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat dan bahagia dari orang-orang yang yang dihormati atau dianggap suci keramat. Ada juga arti lain yaitu, mendatangkan kebaikan. Kata keberkatan dimaknakan dengan keberuntungan atau kebahagiaan. Bahkan di dalam KBBI, salah satu arti berkat adalah makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri. Di dalam Al-Qur’an kata barakah dengan segala derivasinya disebut sebanyak 32 kali. Makna literal dari kata ini adalah tumbuh dan bertambah. Makna lain adalah tetapnya sesuatu. Al-Isfahani memahami arti asal kata ini adalah dada atau punggung unta yang menonjol. Simbolisasi bagian tubuh unta yang menonjol ini mengandung arti adanya pertumbuhan dan pertambahan. Dari sisi terminologi makna barakah adalah, “tetapnya kebaikah ilahi pada sesuatu”. Di dalam Ensiklopedi Al-Qur’an makna terminologi kata ini adalah, “kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya.” 5 Kata kunci yang perlu dipahami dengan baik adalah “al-khair al-ilahi” atau kebaikan ilahi. Kebaikan ilahi adalah kebaikan yang bersumber 5 Yaswirman, “Barakat”, dalam, Ensiklopedi Kosa Kata Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, M. Quraish Shihab Editor Kepala Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2007 h. 131-132. 27 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dari Allah yang muncul tanpa diduga dan tak terhitung pada semua segi kehidupan, baik yang bersifat materi maupun non materi. Keberkatan yang bersifat materi itupun nanti akan bermuara juga kepada keberkatan non materi dan kehidupan akhirat. Sesungguhnya keberkatan ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur. 6 Mengutip Thabathabai, keberkatan itu mencakup pada semua segi kehidupan. Pertama, keberkatan dalam berketurunan dengan munculnya generasi-generasi yang kuat di segala bidang dan harta benda yang melimpah ruah. Kedua, keberkatan di dalam soal makanan seperti mendatangkan kekenyangan. Ketiga, keberkatan di dalam hal waktu, seperti banyaknya waktu yang disediakan oleh Allah untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 7 Menurut Duha Abdul Jabbar dan Burhanuddin dalam Ensiklopedi Makna Al-Qur’an, diuraikan bahwa berkat dalam Al-Qur’an ditemukan dalam empat konteks. Pertama, menerangkan benda mati misalnya air hujan “ma’an mubarakan” di dalam Q.S Qaf50:2. Kedua, menerangkan tentang waktu misalnya menyifati malam turunnya Al-Qur’an dengan malam yang barakah lailatin mubarakatin dalam Q.S Ad-Dukhan 43:3. Ketiga, merujuk terhadap pribadi seseorang diantaranya Nabi Nuh dalam QS Hud11:48. Keempat, berkat yang berkenaan dengan tempat ibadah misalnya Ka’bah yang berada di kota Makkah. Informasi ini ditemukan di dalam QS Ali-Imran3:96. 8 Makna barakah di atas terkesan hanya berhubungan dengan kehidupan individu atau komunitas kecil. Bagaimana memahami berkat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hemat penulis, surah Al-A’raf ayat 96 menarik untuk dicermati lebih jauh. “Seandainya penduduk satu kampung Negara-bangsa beriman dan bertakwa kepada Allah, sungguh akan kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan kami memberikan kepada mereka azab atas apa yang mereka perbuat. 6 Ibid., 7 Ibid., 8 Duha Abdul Jabbar dan Burhanuddin, Ensiklopedi Makna Al-Qur’an: Syarah Alfaazhul Qur’an, Bandung: Fitrah Rabbani, 2012, h. 88-90.