Fikih Prioritas dan Peradaban Zakat

179 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dalamnya terkandung tidak saja hal-hal yang normative-teologis tetapi juga menyangkut sebuah sistem bagaiman zakat itu beroperasi dengan baik. Rumusan zakat kita belum tuntas. Sistem dan manajemen zakat kita masih jauh panggang dari api. Saya menduga pelaksanaan zakat yang individual dan tradisional menjadi penyumbang terbesar belum terbentuknya peradaban zakat di Indonesia. Sejatinya, apabila ilmu dan implementasi zakat berjalan dengan baik, kita tidak memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan kita; kemiskinan dan kebodohan. Salah satu analisis yang dapat dikemukakan adalah, kita tidak memiliki skala prioritas. Kita seolah gamang dalam menentukan amalan mana yang seharusnya diprioritaskan. Beberapa contoh dapat kita ajukan. Misalnya mana yang lebih didahulukan ilmu atau amal ? Mana yang diutamakan menghadiri majlis ilmu atau majlis zikir ? Mana yang lebih afdhal melaksanakan umrah atau memberi bea siswa kepada anak yatim dan orang miskin ? Mana yang kita prioritaskan mendistribusikan zakat langsung kepada mustahaknya atau kita memilih memproduktifkannya demi kemanfaatan yang lebih lama dan abadi ? Adalah Syekh Yusuf Al-Qaradhawi yang mengusung gagasan fikih prioritas. Semula buku tersebut ingin diberinya judul Fikih Maratib al- A’mal Fikih urutan amal. Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya ia lebih memilih untuk menggunakan istilah Fiqhul Aulawiyyat. Istilah ini menurutnya lebih menyeluruh, luas dan langsung kena ke sasaran. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, gagasan ini lahir karena keprihatinan Al-Qaradhawi melihat kenyataan umat Islam di seluruh dunia. Ada kerancuan dan kekacauan dalam menilai dan memberikan skala prioritas terhadap perintah-perintah Allah, pemikiran serta amal-amal. Mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikemudiankan. Untuk memudahkan memahami gagasan Al-Qaradhawi dapat dilihat dalam beberapa contoh. Dalam bidang pemikiran misalnya, Al- Qaradhawi menyatakan, pentingnya memprioritaskan ilmu dari amal. Baginya ilmu adalah pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya. Beramal sejatinya berbasiskan ilmu. Ia juga menyarankan untuk menge- depankan pemahaman daripada sekedar menghapal. Konteksnya mungkin dalam bidang pendidikan Islam yang selama ini lebih fokus pada kegiatan 180 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS tahfiz hafalan dan abai terhadap pemahaman yang sebenarnya jauh lebih penting. Demikian juga perlunya mengutamakan tujuan syari’at Maqasid al-syari’at dari zahir nash. Untuk hal ini, beliau telah menulis fiqh Maqasid al-Syari’ah. Dalam melihat nash-nash hukum sejatinya kita tidak lagi menangkap zahir nash walaupun dilalahnya sangat terang. Adalah penting untuk memperhatikan pesan dasarnya. Sebenarnya, Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk menyampaikan teks kepada umat Islam tetapi lebih dari itu bagaimana kita memahami kandungannya. Konsekuensinya, kegiatan ijtihad harus diberi ruang yang luas dan aktivitas taqlid baik yang disengaja atau tidak harus dihentikan. Dalam bidang pengamalan agama, Al-Qaradhawi juga memberikan beberapa contoh konkrit. Misalnya, amal yang tetap kekal harus didahulukan ketimbang amal yang terputus-putus. Amal yang memberi manfaat lebih luas dan langgeng harus diprioritaskan dari amal yang manfaatnya kurang. Ibadah fardhu lebih utama dari ibadah sunnat. Bukan dibalik, ibadah sunnat lebih utama ketimbang amal wajib. Selanjutnya, amal- amal yang berhubungan dengan hak-hak manusia harus didahulukan dari pada amal-amal yang berdimensi hak Allah. Misalnya, membayar hutang lebih didahulukan dari melaksanakan haji. Hak-hak jama’ah diutamakan dari hak-hak perorangan. Terkahir loyalitas terhadap masyarakat atau umat lebih diprioritaskan dari sekedar loyal kepada suku dan perorangan. Saya mendapatkan kesan kuat, Fikih akan mampu mendorong bangkitnya sebuah peradaban Islam yang lebih baru, terkhusus lagi peradaban zakat sepanjang kita mampu untuk membuat skala prioritas tersebut. Tanpa menetapkan skala prioritas, di samping sebuah kerja dan program tidak fokus, kita juga tidak bisa melihat tingkat keberhasilannya. Apakah zakat mampu mengentaskan kemiskinan, tidak akan pernah terjawab sepanjang kita tidak punya skala prioritas dalam pelaksanaan zakat itu sendiri. Dalam konteks membangun peradaban zakat ada beberapa skala prioritas yang kita rumuskan. Pertama, Ilmu zakat dalam maknanya yang komprehensif harus didahulukan perumusannya ketimbang sosialisasi pelaksanaan berzakat. Ilmu zakat bukan sekedar fikih zakat sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih. Bukan sebatas syarat dan rukun zakat. Kita memerlukan cetak biru zakat Indonesia, yang di dalamnya segala infromasi zakat bisa di peroleh. Sistem dan manajemen zakat 181 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS tidak saja menjamin bahwa zakat yang telah dikumpulkan berhasil mem- berdayakan tetapi juga berhasil menarik minat umat untuk menyalurkan zakatnya secara professional. Terkadang kita sulit untuk melihat berapa sebenarnya jumlah muzakki di Indonesia, begutu juga di propinsi, kota kab, kecamatan bahkan sampai tingkat desa. Di mana kita dapat menemukan peta zakat atau kantong-kantong kemiskinan ?. Kedua, Penyerahan zakat kepada lembaga resmi semisal BAZ dan LAZ harus didahulukan daripada penyerahan kepada perorangan. Selama ini yang tejadi sebaliknya. Umat merasa lebih yakin menyerahkan zakatnya langsung kepada orang-perorang. Di samping lebih pasti juga lebih menenteramkan. Jika diserahkan kepada lembaga resmi, BAZ dan LAZ, yang muncul adalah kecurigaan-kecurigaan. Setidaknya emosional keagamaannya tidak terpenuhi. Mereka lupa, penyerahan zakat langsung kepada mustahiknya menyebabkan zakat tidak berdaya untuk member- dayakan sang mustahik. Jika tahun lalu ia masih miskin, tahun depan ia akan tetap masih miskin. Ketiga, pengelolaan zakat secara produktif harus lebih diutamakan daripada pengelolaan zakat secara konsumtif. Dalam berbagai artikel saya kerap mengingatkan bahwa substansi zakat adalah pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan. Makanya di dalam Al-Qur’an zakat diper- hadapkan dengan riba. Riba menyebabkan keterpurukan dan menjerat korbannya ke dalam jurang kehancuran yang sangat dalam. Orang yang terjebak di dalam sistem riba tidak akan pernah bisa bangkit. Alih-alih bisa keluar dari kubangan riba, ia malah menjadi korban yang terus dieskploitasi. Sejatinya tidak ada keraguan kita untuk memproduktifkan zakat. Di samping sesuai dengan substansi zakat juga akan memberi kemanfaatan yang lebih lama dan lebih luas. Zakat bukan ibadah semalam seperti shalat tahajjud. Lebih dari semuanya, cetak biru zakat sangat mendesak untuk dirumuskan di semua tingkatan. Kita perlu memberi keyakinan, mem- produktifkan zakat akan menjamin terciptanya masyarakat yang sejahtera dan makmur dalam ridha Allah. Di samping itu perdebatan konsepsi zakat yang sama sekali tidak berkaitan dengan kesejahteraan, harus segera di tutup dan dihindari. Inilah cemin dari perlunya fikih prioritas. 182 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

6. Zakat Profesi dan Kepedulian Kaum Profesional.

Dalam kitab-kitab fikih harta yang wajib dizakati al-amwal al- zakawiyyah itu adalah zakat binatang ternak lembu, kambing, kerbau, Emas dan Perak, Hasil perniagaan, Barang tambang, Hasil pertanian dan buah-buahan gandum, kurma dan anggur dan barang temuan rikaz. Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran zakat turun pada masyarakat agraris pertanian dan masyarakat perdagangan. Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan- perubahan besar dalam kehidupan manusia, maka muncullah kebutuhan baru bagi manusia berupa jasa. Jadi yang diproduksi manusia ternyata tidak hanya barang materi tetapi juga jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang pelayanan jasa. Dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban zakat ? Yusuf Qardawi dalam karyanya yang cukup monumental “Fiqih Zakat” telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia mendapatkan upah, gaji atau honorarium. 6 Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut: “Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang 6 Yusuf Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 459-487 183 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat ber- dasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh. 7 Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam 1 faddam = ½ ha, sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya. Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya sebagian ulama setuju sampai pada angka 2,5 . Ada juga yang menyebutnya 10 - 20 dengan menyamakannya dengan harta temuan rikaz. Kontroversi inilah yang ingin diselesaikan oleh penulis buku ini, paling tidak menurut Ijtihadnya sendiri. Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 berdasarkan qiyas kepada zakat perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas. Di Indonesia angka 2,5 ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 , profesi modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Saat ini cukup banyak profesi yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah seperti komisaris perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 . Demi keadilan hukum, Amin Rais menawarkan zakat profesi sebesar 20 . Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 atau 7 Ibid.,