Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam: Proses yang Belum Selesai
233
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
juga yang berada di PTNPTS, maka kita akan menemukan pola yang sangat beragam.
1
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban sederhananya karena pengajaran Ekonomi Islam merupakan hal baru di Indonesia. Memang terasa aneh,
pada saat kita kerap mengklaim bahwa ajaran Islam itu tidak saja universal tetapi juga syumul melingkupi, namun bidang ekonomi masih menjadi
barang baru bagi umat Islam. Adalah tidak mungkin, Al-Qur’an berbicara tentang semesta yang menginspirasi banyak ilmuwan sehingga melahirkan
ilmu astronomi, geologi, falak, dan ilmu-ilmu alam lainnya, tetapi absen dalam menginspirasi lahirnya ilmu ekonomi yang langsung bersentuhan
dengan kehidupan manusia. Setiap muslim tidak akan menolak doktrin yang menyatakan bahwa Al-Qur’an berbicara tentang ekonomi. Hanya
saja yang belum dilakukan adalah proses konstruksi ilmu ekonomi yang berbasis Al-Qur’an.
Sampai saat ini, setidaknya kita masih berkutat pada tiga mazhab besar ekonomi Islam, mazhab Baqir As-sadr, Mazhab Mainstream dan
Mazhab Alternatif Kritis. Adiwarman A Karim sebagai pelopor kajian ekonomi Islam, berusaha menjelaskan ketiga mazhab tersebut seperti
yang terlihat di dalam bukunya Ekonomi Mikro Islami. Menurutnya, mazhab Baqir As-Sadr berpendapat bahwa ilmu ekonomi dan Islam
tidak akan pernah bisa sejalan. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Untuk menguatkan argumentasinya, Adiwarman mengatakan
jika ilmu ekonomi muncul karena keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya manusia yang tersedia untuk memuaskan
keinginan manusia terbatas. Al-Qur’an menurut Sadr menolak pernyataan ini. Islam tidak mengenal sumber daya terbatas sebagaimana yang
dinyatakan Al-Qur’an. Masalah ekonomi menurut Sadr muncul karena keserakahan manusia. lebih kestrim dari itu, Sadr juga menolak istilah
ekonomi Islami. Istilah yang tepat adalah Al-Iqtisad yang makna asalnya adalah keseimbangan equilibrium.
2
Mazhab mainstream berbeda dengan Baqir Sadr.
3
Bahkan mazhab
1
Lihat Eusi Amalia, Asmawi dan Muhammad Nurianto Al-Arif, Potret Pendidikan Ekonomi Islam di Indonesia, Jakarta: Gramata Publishing, 2012. Lihat juga,
2
Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami,
3
Lebih lanjut lihat, Muhammad Sholihin, Pengantar Metodologi Ekonomi
234
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
ini memiliki kesamaan pandangan dengan mazhab ekonomi konvensional. Bedanya hanyalah pada cara menyelesaikannya. Di dalam ekonomi
konvensional misalnya, penyelesaian dilakukan lewat keputusan pribadi atau pertimbangan sosial, tetapi di dalam Islam keputusan harus diambil
dengan mempertimbangkan bahkan berdasarkan pesan-pesan wahyu. Bagi aliran ini, yang terpenting sesungguhnya bagaimana menerapkan
nilai dan etika Ilahiyyah dalam konstruksi bangun ilmu ekonomi dan peraktiknya. Kedua mazhab ini dikritik oleh Timur Kuran. Mazhab Baqir
Sadr baginya terlalu berambisi untuk menemukan sesuatu yang baru, yang sebenarnya telah ditemukan orang lain. Sedangkan mazhab main
stream hanya menjiplak ekonomi neo klasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat. Baginya, kedua aliran
tersebut harus tetap dikritisi. Al-Qur’an pasti benar, tetapi ekonomi Islam karena ia hanya tafsiran maka bisa saja salah. Kritik terhadap ekonomi
konvensional dan Islam harus terus dilakukan.
Hemat penulis, ketiga aliran ini perwujudannya tampak dalam diskursus dan pengajaran ekonomi Islam di dunia dan lebih spesifik lagi
di Indonesia. Ada perguruan tinggi dan pakar yang memilih mazhab main stream. Mereka melakukan apa yang disebut dengan islamisasi
ilmu ekonomi. Bagi mereka sumbangan Islam sesungguhnya pada aspek axiology semata. Mereka kerap mempertanyakan epistemology ilmu
ekonomi Islam jika ekonomi Islam itu telah menjadi ilmu. Ada pula yang melakukan kritik terhadap ekonomi konvensional dan berupaya
untuk menemukan teori-teori dan model-model baru. Ada pula yang mengkritik kedua-keduanya dan berusaha untuk membangun ekonomi
Islam yang murni Syari’ah. Beberapa waktu yang lalu, buku “Tidak Islamnya Bank Islam” yang ditulis oleh Zaim Saidi, telah diluncurkan di Jakarta.
4
menurut penulis buku tersebut, bank Islam juga melakukan peraktik riba. Menurutnya, bank Syari’ah sampai hari ini masih melakukan apa
yang disebut dengan uang beranak uang. Untuk terhindar dari dilema riba, pilihan transaksinya haruslah dengan dirham. Tentu saja pandangan
Islam: Dari Mazhab Baqir As-Sadr hingga Mazhab Mainstream, Yogyakarta: Ombak, 2013.
4
Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat, Yogyakarta: Delokomotif, 2010.
235
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Zaim Saidi ditolak olah pakar ekonomi Islam lainnya. Ketidaksempurnaan sesuatu tidak harus menghancurkan dan menegasikan apa yang telah
dibangun oleh ulama dan tokoh-tokoh Islam sehingga kita saat ini telah memiliki lembaga perbankan syari’ah. Adalah lebih beradab dan simpatik,
jika perjuangan diarahkan untuk terus menyempurnakan sistem perbankan syari’ah kita.
Diskursus tersebut menunjukkan bahwa pengajaran ekonomi Islam di Indonesia sedang dalam proses pencarian bentuk. Menegasikan
yang satu dan mengafirmasi yang lain adalah sikap yang tidak bijak. Lebih baik kita memberi ruang yang sama kepada ketiga bentuk aliran
tersebut untuk berdialog dan mencari titik temu. Lebih penting dari itu, usaha yang paling mungkin kita lakukan adalah menemukan bentuk
pengajaran Ekonomi Islam yang yang relative sama.
Di samping itu, tugas mendesak eksponen ekonomi Islam dan pengelola Prodi Ekonomi Islam saat ini bukan sekedar merumuskan pola pengajaran
atau kurikulum ekonomi syari’ah yang baku dan terstandard, tetapi tidak kalah pentingnya adalah kita memastikan bahwa kurikulum yang
dirumuskan harus relevan dengan kebutuhan pasar keuangan syari’ah saat ini. Bahkan lebih jauh dari itu, alumni prodi Ekonomi Islam harus
memiliki etos kewirausahaan yang membuatnya mandiri.
Kita saat ini sesungguhnya membutuhkan konstruksi kurikulum ekonomi Islam yang lebih integratif. Bagi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam, Mazhab Baqir Sadr sesuatu yang sulit diterapkan untuk tidak mengatakan tidak mungkin. Mazhab kritis dan mazhab main stream
mungkin lebih realistik. Namun lebih dari itu, kita juga berharap sumbangan Islam bukan hanya sebatas nilai saja, tetapi bagaimana Islam juga
bisa menawarkan teori dan model baru ekonomi yang lebih humanis dan tentu saja sesuai dengan nilai-nilai Islami. Hal inilah yang menjadi
tantangan pakar-pakar ekonomi Islam masa depan.