DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS baik (thayyib). Halalan thayyiba bukanlah alternatif, antara yang satu

70 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS baik (thayyib). Halalan thayyiba bukanlah alternatif, antara yang satu

  dengan yang lain. kedua sifat tersebut sejatinya haruslah dalam satu tarikan nafas. Dalam bahasa yang berbeda, secara syar’i sesuatu yang kita konsumsi sejatinya harus dibenarkan oleh syari’at untuk mengkonsumsinya. Sedangkan secara kauni –ilmu kedokteran atau ilmu gizi- materi makanan itu harus menjamin meningkatnya kesehatan pada tubuh. Bukan sebaliknya yang akan mengakibatkan kemafsadatan atau kemudharatan.

  Bagaimanapun juga, berpijak pada penggunaan kata halal di dalam Al-Qur’an kita tidak memperoleh informasi yang jelas dan tegas tentang konsep hal-hal yang boleh dan terlarang. Kata-kata halal dan tayyib di dalam Al-Qur’an hanyalah sebatas perintah yang bersifat normatif teologi. Manusia wajib mengkonsumsi barang yang halal dan baik karena konsumsi merupakan bagian dari media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan perintah normatif teologisnya. 6

  Para ulama memang memberi penjelasan. Di banding dengan ayat- ayat yang memuat informasi tentang haram atau terlarangnya sesuatu yang umumnya lebih rinci, ayat-ayat halal bersifat global. Analisis yang sering dikemukakan adalah, jumlah barang yang dihalalkan Allah SWT sesungguhnya jauh lebih banyak dibanding dengan yang diharamkan. Jika Al-Qur’an memberikan rincian tentang benda-benda yang halal tidak saja terlalu banyak tetapi juga membuat Al-Qur’an kehilangan dimensi sistematis dan mujmalnya. Sedangkan barang yang diharamkan itu jumlahnya sedikit, maka adalah tepat jika Al-Qur’an merincinya. Hal ini juga membuat manusia mendapatkan informasi yang jelas dan tegas.

  Alasan lain yang kerap dikemukakan adalah, tidak disebutnya rincian barang-barang yang halal juga sebagai antisipasi ke masa depan. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang berlaku sepanjang zaman. Jika Al-Qur’an jauh-jauh hari merinci barang-barang yang halal, bagaimana dengan barang atau jenis makanan halal yang munculnya belakang. Apakah yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an menjadi sesuatu yang tidak boleh. Bisa juga orang mengatakan, jika Al-Qur’an tidak memuat dalam rinciannya, akankah dikatakan Al-Qur’an akan ketinggalan zaman?

  6 Buku yang berbicara tentang isu ini dan telah menjadi klasik adalah karya Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal

  Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Sungguh apa yang telah ditetapkan Allah SWT seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah sebuah ketentuan yang penuh hikmah. Informasi halal yang bersifat global membuat Al-Qur’an memiliki fleksibilitas dan elastisitasnya. Pada titik inilah Al-Qur’an akan tetap relevan sepanjang zaman. Oleh sebab itu, untuk memberikan penjelasan yang lebih utuh tentang halal adalah dengan melihat informasi Al- Qur’an yang berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan dalam konsumsi.

  Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub dalam Disertasinya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kreteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis, memberikan kriteria-kriteria yang jelas dan lugas tentang mana hal-hal yang boleh dikonsumsi atau digunakan dan mana yang semestinya dihindarkan. Penulis buku tersebut menggunakan kata mi’yar (kreteria). Yang dimaksud dengan mi’yar (kreteria) adalah suatu sifat atau materi yang dipakai untuk mengetahui hukum sesuatu. Hukum di sini maksudnya adalah hukum secara istilah, yaitu hukum syari’at, seperti halal dan haram. Sedangkan arti sesuatu maksudnya adalah sebuah materi yang dijadikan sebagai bahan pokok untuk makanan, minuman, obat dan kosmetika, bukan berupa pekerjaan. 7

  Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, penulis akan mengutip kriteria-kriteria yang digunakan oleh Prof. Ali Mustafa Ya’kub. Pertama, thayyib dan khabits. Prof. Ali Mustafa Ya’kub menggunakan dua kriteria ini untuk menentukan satu produk makanan itu disebut halal atau haran. Jika makanan tersebut thayyib (thayyibat) maka makanan tersebut halal. Sebaliknya jika khabits maka makanan tersebut dapat dihukumkan haram. Thayyib didefinisikan sebagai sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Kata thayyib ternyata banyak disebut dalam Al-Qur’an dengan konteks yang berbeda-beda. Ada kalanya kata halal dikaitkan dengan tanah atau debu untuk keperluan tayamum. Ada pula dalam konteks perhiasan, sifat usaha atau rizki dan bisa juga berhubungan dengan sifat-sifat wanita. Khusus dalam konteks makanan, kita bisa menganalisis QS. Al-Ma’idah ayat 5 dan juga QS. Al-A”raf ayat 157. 8

  7 Ali Mustafa Ya’kub, Kreteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Firdaus, 2008, h. 11-41

  8 Ibid.,