Wakaf Produktif: Fase Baru Ekonomi Islam

192 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS bagi kemiskinan yang diderita ummat. Kita masih menunggu hasil yang lebih besar, kendati secara karitatif, zakat mampu menolong fakir miskin namun belum berhasil memberdayakannya sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan implementasi doktrin ekonomi Islam yang telah disebut di atas, keduanya memberi harapan besar bagi kebangkitan ekonomi Islam pada masa mendatang selama sosialisasi dan pengelolaannya benar-benar dilakukan secara propesional. Hal ini bukan berarti gerakan ekonomi Syari‘ah berhenti sampai di sini. Dipandang perlu untuk menggali institusi-institusi ekonomi Islam yang baru, walaupun sebenarnya institusi tersebut telah pernah dipraktekan dalam sejarah peradaban Islam, namun institusi tersebut tidak dikonteks- tualisasikan dengan perkembangan modern sehingga ia terkubur dalam puing-puing perdaban Islam. Institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf. Setidaknya keinginan menggali dan mengembangkan konsep wakaf ini didasari oleh dua pertimbangan baik yang bersifat ekternal mapun yang bersifat internal. Pertama, adalah satu kenyataan bahwa di negara-negara Islam, wakaf telah dijadikan sebagai salah satu instrument ekonomi Islam yang mampu memberdayakan kehidupan ummat. tentu saja wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf produktif. Sebuah penelitian menunjukkan sampai abad 19 ternyata 75 lahan yang dapat ditanami di daulah khilafah Turki adalah tanah wakaf, 33 lahan di Tunisia, 50 lahan di Al-jazair, 30 lahan di Iran 1930 dan 12, 5 di Mesir 1949 adalah tanah wakaf. Dan tanah-tanah tersebut dimanfaatkan secara produktif apakah dengan menanaminya dengan produk-produk unggulan, mendirikan real estate dan pusat- pusat perbelanjaan. Sehingga harta wakaf tersebut dapat dikembangkan dari bentuk asalnya. 2 Begitu pentingnya wakaf sampai-sampai di Mesir persoalan wakaf ini diurusi oleh seorang menteri wakaf yang disebut dengan wazir al- awqaf wa Syu‘un al-diniyyah menteri wakaf. Di samping itu wakaf 2 Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Dana Wakaf”, Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, Batam, 07-07 Januari 2002. 193 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS juga dikelola secara profesional . Sebagai contoh di Bangladesh wakaf diurus oleh kantor Adm Wakaf dan Yayasan Komite Wakaf. Di Pakistan ada Departemen Awqaf di setiap propinsi, di India ada Dewan Wakaf tingkat propinsi dan koordinasinya di tingkat pusat dilakukan oleh Union Ministry of Law, Justice and Company Affairs yang menterinya juga bertindak sebagai menteri wakaf. Bahkan di Amerika Serikat yang ummat Islamnya minoritas khususnya di New York, wakaf dikelola oleh Kuwait Awqaf Public Foundation KAPF. Beranjak dari pengalaman negara-negara Islam, nyata sekali bahwa potensi wakaf yang begitu besar berhasil mensejahterakan masyarakat karena diproduktifkan dan dikelola dengan manajemen yang profesional ditambah lagi dengan dukungan pemerintah yang besar, apakah dengan mendirikan lembaga wakaf atau dengan cara membuat undang-undang qanun wakaf. Kedua, faktor internal. Berkaitan dengan wakaf di Indonesia sebuah penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah Dosen Pasca Sarjana UI dengan mengambil lokasi di Jakarta Selatan menunjukkan, 74, 62 tanah wakaf dimanfaatkan untuk tempat ibadah sedangkan sisanya, yaitu 25,38 dimanfaatkan untuk sekolah dan Pesantren. Data terakhir menunjukkan bahwa sampai tanggal 1 April 2001 -menurut data Departemen Agama RI- jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi dengan luas 819,207,733,99 M2. Jumlah yang cukup besar ini belum termasuk tanah wakaf yang tidak terdaftar sebagaimana tradisi yang berkembang di daerah-daerah pedesaan. 3 Sayangnya tanah wakaf yang luas tersebut belum dimanfaatkan secara produktif tetapi sebaliknya hanya dimanfaatkan secara konsumtif. Paling-paling tanah wakaf di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk pembangunan Masjid, madrasah, dan yang paling sering digunakan untuk tanah kuburan. Jelas sekali pemanfaatan tanah wakaf seperti ini dipandang tidak produktif. Dikatakan tidak produktif, karena harta wakaf tersebut tidak berkembang bahkan untuk pemeliharaannya saja tidak cukup apa lagi untuk menggaji nazir pengelola wakaf. Tidaklah 3 Uswatun Hasanah, “ Manajemen Kelembagaan Wakaf” Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, Batam, 07-07 Januari 2002. 194 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS mengherankan jika tanah wakaf, “masjid wakaf”, madrasah-madrasah yang berasal dari wakaf sering tidak terurus dengan baik. Berdasarkan realitas ini jelaslah bahwa potensi wakaf di Indonesia wakaf benda tidak bergerak sebenarnya cukup besar. Potensi ini belum lagi termasuk cash waqf wakaf tunai - wakaf uang yang segera akan disosialisasikan. Namun masalahnya terletak pada manajemen penge- lolaannya yang belum profesional ditambah dengan pemahaman ummat Islam yang masih menganggap wakaf semata-mata sebagai ibadah an-sich dan tidak diorientasikan untuk pemberdayaan ekonomi ummat. Beranjak dari kenyataan ini, muncul keinginan untuk mengambil pengalaman- pengalaman negara Islam tersebut untuk selanjutnya dipraktekkan di Indonesia. Wakaf Tunai Cash Waqf Berbicara tentang wakaf produktif bisa mengacu kepada dua hal pokok. Pertama, harta tetap property of permanent- tidak bergerak seperti tanah, rumah, toko dan harta tidak tetap bergerak seperti hewan, buku, dan lain-lain. Kata kuncinya adalah bagaimana harta wakaf itu bisa produktif berkembang. Bendanya ‘ain bisa jadi tetap tetapi pemanfaatannya berkembang secara ekonomis. Misalnya, jika ada orang yang mewakafkan tanah yang subur lalu di atas tanah tersebut didirikan masjid maka wakaf itu tidak produktif. sebaliknya, jika tanah wakaf yang subur -seperti yang terjadi pada kasus Umar RA ketika Ia mendapatkan tanah subur di Khaibar- itu dimanfaatkan dengan cara menanaminya dengan produk unggulan dan hasilnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan ummat, maka wakaf tersebut dikatakan produktif dan berefek ekonomis. 4 Kedua, wakaf produktif dalam arti wakaf uang dan jenis wakaf inilah yang sebenarnya menjadi fokus perhatian dalam Workshof tersebut. Alasan yang paling utama adalah, wakaf benda bergerak atau tidak bergerak bagaimanapun juga sangat terbatas pada segelintir orang- orang yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai 4 Lihat M. Yasir Nasution, Kehidupan Bersendi Kesalehan: Esai-Esai Keislaman dalam Bingkai Pemberdayaan Umat, Medan: IAIN.Press, 2010, h. 9-10. Lihat juga, Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang Bisnis Islami dan Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Erlangga, 2013, h.164-166 195 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS kesadaran berwakaf. Sehingga seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalah khusus orang-orang yang sangat kaya saja. Sedangkan orang yang ekonominya biasa-biasa saja sering tidak dapat berwakaf. Pada hal jumlah muslim yang kehidupannya biasa ekonomi menengah jauh lebih besar dibanding dengan konglomerat- konglomerat muslim tersebut dan jika ini dimanfaatkan maka potensinya jauh lebih besar. Cukup menarik andaian yang disampaikan oleh Mustafa Edwin Nasution Ketua Program Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI PKTTI- UI dalam makalahnya yang berjudul, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi”, yang menyatakan sebagai berikut : Jika umat Islam yang penghasilannya Rp. 500.000,- bulan jumlahnya hanya 4 juta orang berwakaf tunai Rp. 5000,-bulan, maka dalam satu tahun dana yang terkumpul mencapai Rp. 240 Milyar. sedangkan umat Islam yang penghasilannya 1 juta- 2 Jutabulan jumlahnya 3 Juta orang dan berwakaf Rp. 10.000,-bulan, maka dana yang terkumpul pertahun mencapai Rp. 360 Milyar. Demikian juga umat Islam yang penghasilannya Rp. 2 juta-5 jutaTahun yang jumlahnya 2 juta orang berwakaf Rp.50.000,-bulan, maka dalam satu tahun jumlah dana yang terkumpul 1,2 Triliun. Sedangkan umat Islam yang penghasilannya Rp, 5 Juta – 10 Juta Tahun yang jumlahnya hanya 1 juta saja, maka dalam satu tahun dana yang terkumpul mencapai Rp.1,2 Triliun. Jumlah dana wakaf dari umat Islam sesuai dengan tingkat penghasilannya di atas selama satu tahun dapat mencapai angka Rp. 3 Triliun. 5 Andaian di atas hanyalah sekedar memperkirakan bahwa kelas menengah umat Islam Indonesia yang penghasilannya Rp. 500.000,- sampai RP. 10 juta bulan hanyalah 10 juta dari total 200.000 juta umat Islam Indonesia. Bisa saja kenyataan kelas menengah muslim Indonesai mencapai jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah di atas. Persoalannya mengapa potensi wakaf tunai yang sangat besar tersebut tidak termanfaarkan selama ini ?. Setidaknya mengapa wakaf tunai uang tidak berkembang didasarkan 5 Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai; Strategi untuk Mensejahterakan dan Melepaskkan Ketergantungan Ekonomi, dalam, Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat, Medan: IAIN. Press, FKEBI dan BWSU, 2004, h. 87-119. 196 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pada pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang masih menganut mazhab Syafi‘i yang tdak membolehkan wakaf uang. Alasannya adalah, dinar dan dirham itu wujudnya akan lenyap ketika dibayarkan. Pada hal yang dimaksud wakaf dalam mazhab Syafi‘i adalah bendanya harus tetap dan tidak boleh lenyap. Lebih jelas dalam mazhab Syafi‘i, wakaf didefinisikan sebagai “penahanan pencegahan harta yang mungkin dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya…”. Kata kunci dari wakaf terletak pada pemanfaatan benda wakaf secara terus menerus tanpa harus kehilangan habis bendanya. Berbeda dengan mazhab Syafi‘i di atas, mazhab Hanafi cenderung membolehkan wakaf uang dinar dan dirham dengan cara uang tersebut harus dijadikan sebagai modal usaha apakah dengan cara mudharabah bagi hasil dan menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun penting di catat, pendapat Mazhab Hanafi ini bagaimanapun majunya, tidak begitu dikenal dalam masyarakat Islam Indonesia. Berkaitan dengan wakaf uang cash waqf di Indonesia, terlihat dengan jelas adanya hambatan pemahaman untuk tidak mengatakannya sebagai keyakinan di masyarakat Islam itu sendiri yang masih terikat dengan mazhab Syafi‘i yang tidak membolehkan. Walaupun ada pendapat yang membolehkannya seperti terdapat dalam mazhab Hanafi, pendapat ini belum tersosialisasi dikalangan umat Islam Indonesia. Atas dasar ini diperlukan fikih wakaf baru yang berwawasan ekonomi dengan menggali berbagai pendapat mazhab yang beragam sehingga bisa ditemukan pendapat yang relevan. Disamping itu agaknya perlu dipertimbangkan, ternyata dalam sejarah Islam, wakaf tunai telah dikenal sejak periode Usmaniyah, demikian pula pada masa Bani Mamluk dan juga di Mesir. 6 Kendati demikian dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar terlebih di saat bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan dan memiskinkan umat Islam dalam jumlah yang cukup mencengangkan, ditambah hutang negara yang cukup besar, pendapat mazhab Hanafi ini layak dikembangkan dan menjadi dasar kebolehan untuk melaksanakan Wakaf uang. Negara yang dipandang berhasil menerapkan sertifikat wakaf 6 M.A. Mannan, “Sertifikat Waqf Tunai; Sebuah Intrument Keuangan Islam,” Jakart: CIBER dan PKTTI-UI, 2001. 197 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS tunai ini adalah Bangladesh. Diawali dengan gagasan M.A.Mannan seperti yang terlihat dalam artikelnya yang berjudul, Cash-Waqf Certifi- cate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21-Century Voluntary Sector Banking” yang telah diterbitkan edisi Indonesianya dengan judul “Sertifikat Waqf Tunai; Sebuah Intrument Keuangan Islam” CIBER dan PKTTI-UI; 2001. Setidaknya menurut Mannan ada beberapa manfaat yang dapat diraih melalui sertifikat wakaf tunai ini. Pertama, Wakaf Tunai dapat merubah kebiasaan lama di mana kesempatan ber- wakaf hanya untuk orang-orang kaya saja. Meminjam bahasa Dawam Rahardjo, kesempatan untuk mendapatkan “kapling tanah” di surga bukan hanya milik Konglemerat saja tetapi dapat dimiliki setiap umat Islam melalui wakaf uang. Kedua, Wakaf tunai dapat berperan sebagai supplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam sehingga pada gilirannya dapat berubah menjadi Bank Wakf. Dalam konteks ekonomi, sertifikat wakaf tunai dapat berfungsi sebagai investasi strategis untuk menghapuskan kemiskinan dan menangani ketertinggalan di bidang ekonomi, serta di bidang pendidikan, kesehatan dan riset. Menurut Mannan dengan mengikuti program ini seseorang telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social Kapital Market, tetapi juga dibidang sosial investasi permanen. Lebih jauh dari itu, dana wakaf tunai tersebut dapat dimanfaatkan untuk investasi jangka pendek seperti kredit mikro, juga investasi jangka menengah seperti Industri kerajinan, peternakan maupun jangka panjang seperti industri-industri berat. Tentu saja investasi ini akan membuka peluang kerja bagi para pengangguran yang jumlahnya cukup banyak. 7 BWN sampai UU Waqaf Pengalaman selama ini menunjukkan,, berbagai instrumen ekonomi Islam apakah zakat, infaq, sadaqah, dan waqaf tidak memberikan efek ekonomi yang cukup berarti bagi masyarakat muslim yang kurang mampu adalah karena belum maksimalnya pengelolaan instrument tersebut. Sebagai contoh, zakat kendati telah dipraktekkan oleh umat Islam dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun belum berhasil 7 Ibid., 198 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dikelola dengan baik. Persoalan itu biasanya berkisar pada tidak adanya kepercayaan ummat terhadap pengelola zakat, tidak teraplikasinya manajemen modern dalam pengelolaan zakat, dan lain-lain. Kekhawatiran juga muncul berkenan dengan aplikasi wakaf uang dalam kehidupan masyarakat Islam nantinya. Pengalaman negara Islam lainnya seperti yang telah disebut di muka ternayat menunjukkan, keberhasilan wakaf dalam mensejahterakan kehidupan ekonomi masyarakat justru terletak pada pengelolaannya yang profesional sesuai dengan prinsip-prinsip Manajemen modern. Berangkat dari pertimbangan tersebut agaknya perlu dilahirkan Badan Wakaf Nasional BWN yang diharapkan dapat mengatur persoalan wakaf di Indonesia. Saat ini gagasan tersebut telah terpenuhi dengan kelahiran Badan Wakaf Indonesia BWI yang ada di tingkat pusat, propinsi dan daerah tingkat II. Sesungguhnya yang diinginkan bukan sebatas Badan atau UU, tetapi juga harus diwujudkan satu badan yang berdiri sendiri dalam mengurus wakaf atau bisa juga seperti apa yang disebut Dawam Rahardjo Presiden IIIT adalah ditunjuknya seorang menteri wakaf seperti dinegara-negara Islam lainnya. Menteri inilah yang ber- tanggungjawab dalam mengelola harta wakaf di Indonesia. Kendati tawaran Dawam ini terkesan sulit untuk tidak mengatakan utopia, namun secara substansial, gagasan ini layak dipertimbangkan. Ada kesan, selama ini umat Islam agak berat untuk berwakaf karena tidak adanya sebuah lembaga resmi yang bertanggungjawab terhadap harta wakaf. Biasanya wakaf hanya diurus oleh nazir masjid. Kalaupun ada keterlibatan Kantor Urusan Agama KUA di kecamatan, namun fungsinya tidak tampak dalam masalah wakaf. Untuk mengurus sertfikasi wakaf saja butuh waktu yang cukup lama. Ini belum lagi berkaitan dengan masalah perebutan harta wakaf oleh ahli waris dan masalah-masalah lainnya. Dengan demikian lahirnya Badan Wakaf Indonesia atau “nazir kolektif” sangat diperlukan mengingat lembaga inilah yang nantinya akan mengelola wakaf, mulai dari mengawasi, memelihara dan yang lebih penting mengem- bangkannya sedemikian rupa. Tentu saja BWI harus bersifat indepen- dent dan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator saja. Menurut Uswatun Hasanah, setidaknya BWI bertugas untuk merumuskan Fiqh waqf baru terutama yang berkenaan dengan benda-benda yang 199 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS boleh diwakafkan, pemanfaatan wakaf dan nazir wakaf. Disamping itu BWI juga diharapkan mampu membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif dan melakukan sosialisasi ditengah-tengah masyarakat. Membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga perbankan Syari‘ah yang diharapkan lembaga inilah nantinya yang akan mengelola dana wakaf. Selanjutnya, tidak kalah pentingnya adalah eksistensi UU Wakaf sebagai dasar hukum pelaksanaan dan pengelolaan wakaf di Indo- nesia. Dalam undang-undang wakaf ada beberapa spirit semangat yang harus diperhatikan. Pertama, UU wakaf itu semestinya mengandung semangat bagaimana umat Islam semakin mudah untuk berwakaf. Sampai-sampai pendapat fikih yang jarang dipakai seperti wakaf mu‘aqqat wakaf yang tergantung dengan waktu harus direalisasikan karena potensinya yang cukup besar. Kedua, UU Wakaf harus berorientasi kemaslahatan umum. Ketiga, UU Wakaf harus berorientasi pada produktifitas dengan pengelolaan yang profesional. Keempat, UU Wakaf harus mengandung transformasi sikap keberagamaan ummat dari gerakan ritual menjadi gerakan ekonomi yang dibingkai oleh semangat pengabdian kepada Allah SWT. Kelima, UU Wakaf mengandung semangat pembaharuan hukum wakaf fikih wakaf yang relevan dengan perkembangan zaman. Keenam, UU Wakaf harus mampu meminimalkan peran pemerintah dan memberi peluang yang besar untuk kelompok-kelompok civil so- ciety yang independent dan profesional. Harapan Baru Diskursus Wakaf Produktif menyiratkan seberkas harapan besar akan kebangkitan ekonomi ummat dengan semakin berdayanya instrument- instrument ekonomi Islam. Secercah harapan itu setidaknya bisa dilihat di atas kertas dengan pengandaian-pengandaian yang telah dijelaskan di muka. Namun harus diingat, sudah terlalu lama sebenarnya kita berandai- andai tentang potensi dana ummat yang begitu besar. Masih segar dalam ingatan kita, bahwa belum lama kita berbicara zakat dengan pengandaian yang begitu indah dan menakjubkan. Jika ummat Islam maun berzakat mal maka dalam satu tahun kita dapat mengmpulkan dana sebesar 7 Triliun. Tetapi kenyataannya dana yang terkumpul di BAZNAS dan LAZ dari berbagai tingkatan masih sangat minim. 200 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Jika demikian, berandai-andai tidaklah salah, setidaknya kita mampu memprediksi kekuatan potensi yang dimiliki. Akan tetapi lebih penting dari berandai-andai tersebut adalah bagaimana menyiapkan strategi penerapannya. Untuk itu ada beberapa catatan yang diberikan berkenaan dengan gerakan wakaf yang penulis istilahkan dengan “Gerakan Sadar Wakaf Tunai”. Pertama, Harus ada kesadaran dikalangan ummat Islam bahwa pengentasan kemiskinan bukanlah tanggungjawab pemerintah semata, melainkan tanggungjawab seluruh ummat. Selama ummat masih ber- anggapan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah pemerintah, maka selama itu pula, dana ummat akan sulit termobilisasi. Kedua, Pemerintah harus menahan diri untuk tidak terlalu bersemangat mengumpulkan dana ummat. Pemerintah harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator yang baik. Pengalaman BAZ menunjukkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut karena dikelola oleh “orang-orang pemerintah-birokrat” yang hanya sambilan mengurus zakat dan tidak profesional. Jalan keluarnya harus tumbuh lembaga-lembaga independent dari kelompok civil society untuk mengelola wakaf secara profesional dan amanah. Berkaitan dengan ini beberapa lembaga seperti Dompet Du`afa Republika dan Pos Keadilan Ummat layak dijadikan contoh. Ketiga, harus dilakukan transformasi pemahaman ummat secara bertahap tentang wakaf dari wakaf konsumtif kepada wakaf produktif. lebih dari itu perlu ditingkatkan kesadaran dikalangan ummat untuk berwakaf melalui wakaf uang atau sertifikat wakaf. Namun lebih penting dari semua itu adalah kesatuan gerak langkah dari seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan dan Ormas-ormas Islam. Singkatnya, Wakaf Produktif ini harus kita jadikan sebagai proyek bersama untuk kebangkiutan lehidupan ekonomi ummat Islam.

2. Wakaf Uang: Sebuah Harahapan Baru.

Ketika Nabi Muhammad SAW sampai di Yastrib, lebih kurang 1435 tahun yang lalu, ternyata Nabi tidak berdiam diri. Di saat usianya yang beranjak tua, 53 tahun, Nabi membuat perencanaan strategis. Di saat 201 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS semua penduduk Madinah menawarkan rumahnya untuk didiami Nabi, Ia memilih sendiri tempat di mana ia harus tinggal. Ketika kaum anshar menyiapkan segala keperluan material nabi, sandang, papan dan pangan, Nabi yang mulai itu memilih untuk mencari pasar suq. 8 Nabi sesungguhnya ingin menegaskan bahwa, hijrah bukan berdiam diri. Hijrah tidak sekedar menangis dan bermuhasabah. Hijrah adalah bekerja. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan jihad. Jika dirumuskan, ketika Nabi hijrah, yang dilakukannya adalah; Pertama, membangun visi. Caranya dengan merubah Yastrib semua nama pendiri kota Yasrib menjadi Madinah peradaban. Kedua, Rasul membangun masjid yang telah diawali dengan meletakkan fondasi masjid Quba. Selanjutnya membangun Masjid Nabawi. Ketiga, membangun persaudaraan yang abadi antara anshar dan muhajirin. Keempat, Membangun ekonomi dengan menggerakkan entrepreneurship orang Makkah dengan cara terjun ke pasar. Kelima, membangun konsensus dengan orang Yahudi, Nasrani dan kelompok lainnya dalam sebuah piagam yang disebut mistaq al-Madinah. Intinya, kerja-kerja yang dilakukan Nabi adalah sesuatu yang konkrit dan strategis. Jika saat ini kita sudah berada di tahun baru Islam 1435 H, apa yang sudah kita rencanakan ? Program apa yang telah kita susun setidaknya satu tahun ke depan. Strategi apa yang kita persiapkan untuk membangun Islam dan ummatnya ? Saya khawatir jangan-jangan umat ini telah kehilangan visi ? Bahkan mungkin juga kita tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan visi besar tersebut ?. Saya menawarkan pemikiran untuk menjadikan tahun baru Islam 8 Al-Qur’an menginformasikan salah satu keheranan orang Yahudi tentang keberadaan Nabi yang sering keluar masuk pasar. Di dalam QS. Al-Furqan ayat 7 Allah SWT berfirman, Dan Mereka berkata, Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat, agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia. Selanjutnya pada QS. Al-Furqan ayat 20 Allah kembali menegaskan bahwa: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar, dan adalah Tuhanmu maha melihat. Penjelasan lebih lanjut tentang Rasul dan Pasar dapat dilihat, Amiur Nuruddin, Ekonomi Syariah; Menepis Badai Krisis dalam Semangat Kerakyatan, Bandung: 2009.