Bank Syari‘ah Tanpa Spirit ?

147 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS BI, dana bank syari‘ah akhirnya ditaruh di SWBI satu cara yang sebenarnya sangat bertentangan dengan filosofi kelahiran perbankan syari‘ah. Lepas dari fenomena fatwa bunga bank haram, penulis melihat ada fenomena tersembunyi yang menarik untuk dianalisis sekaligus diwaspadai. Di masyarakat Islam belakangan ini, muncul kecenderungan untuk mensakralkan mensucikan bank syari‘ah. Diduga kuat, hal ini disebabkan oleh kuatnya intervensi agama yang terlihat pada keterlibatan da‘i, ulama, yang dalam tingkat tertentu sering tidak kritis, dalam menyampaikan da‘wah tentang ekonomi Islam dan bank syari‘ah. Seolah-olah apa yang terjadi di bank syari‘ah otomatis benar dan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur‘an. Ajakan-ajakan para da‘iulama untuk menggunakan bank syari‘ah dalam berbagai acara sosialisasi, yang sering mengutip ayat-ayat suci al-Qur‘an seperti ayat-ayat riba berikut ancaman yang mengerikan bagi pemakannya serta hadis-hadis yang relevan seolah-olah linear segaris– lurus dengan kesucian bank syari‘ah itu sendiri. Akhirnya bank syari‘ah dianggap sebagai bagian dari institusi agama yang memiliki nilai sakralitas. Pada perkembangan selanjutnya, nilai-nilai kritis masyarakat menjadi tumpul. Seolah-olah apa yang berlaku dan terjadi di bank syari‘ah, yang sering kali tidak diketahui secara luas oleh masyarakat, dianggap sudah pasti benar dan sesuai dengan nilai-nilai syari‘ah. Masyarkat diminta untuk menerima saja dan tidak perlu mempertanyakan bagaimana bank syari‘ah itu sebenarnya. Tegasnya, bank syari‘ah seolah-olah tidak pernah salah. Bank syari‘ah akhirnya dengan rasa aman melakukan apa saja karena dapat berlindung dibalik payung syari‘ah. Beberapa kasus yang penulis amati dari pengalaman nasabah bank syari‘ah menunjukkan indikasi ke arah adanya sakralisasi tersebut. Seorang nasabah bank syari‘ah menceritakan ketika ia membuka rekening tabungan deposito salah satu bank syari‘ah, langsung saja disodori formulir untuk di isi. Selanjutnya KTP calon nasabah tersebut di minta sebagai bukti diri. Dalam waktu yang singkat pembukaan rekening selesai, dan nasabah tersebut mendapatkan buku tabungannya. Sampai selesai ia tidak tahu apa yang telah dilakukannya. Ia tidak paham apakah ia sebagai sahib al-mal dalam transaksi mudharabah atau hanya sekedar orang yang menitipkan uang wadi‘ah yang tidak 148 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS mendapatkan bagi hasil kecuali bonus itupun kalau ada. Ia tidak pernah ditanya apakah telah setuju dengan nisbah bagi hasil yang ditawarkan bank atau tidak. Sangat ironis, ia sama sekali tidak paham dengan akad kontrak yang menjadi kata kunci transaksi di bank syari‘ah. Karyawan bank syari‘ah juga tidak menginformasikan apapun kepada nasabah barunya kecuali hal-al yang bersifat rutin, berapa jumlah tabungan pertamanya, pakai ATM atau tidak, potong zakat secara langsung atau tidak. Tidak ada informasi persentase nisbah dan penjelasan akad dan seterusnya. Ironisnya, karyawan bank tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membangun ikatan bathin-ukhuwah islamiyah dengan nasabah barunya. Hubungan itu terasa kering dan bisnis oriented. Yang menarik adalah, nasabah langsung saja yakin bahwa apa yang baru saja dialaminya adalah benar dan sesuai dengan nilai-nilai syari‘ah. Ini baru pada kasus pembukaan rekening. Tidak kalah serunya adalah kejadian yang dialami nasabah di salah satu bank syari‘ah. Kebetulan ia memohon pembiayaan untuk usahanya yang hidup segan mati tak mau. Mungkin karena usahanya menurut pihak bank tidak menjanjikan dan menguntungkan tidak visible dan tidak profitable, maka pihak bank tidak berani mengambil resiko kerugian dengan menawarkan produk mudharabah. Padahal untuk kasus ini, mudharabah adalah jalan keluar yang paling mungkin dan islami. Akhirnya ditawarkanlah bentuk lain yaitu pembiayaan konsumtif atau murabahah. Karena sejak awal posisi pemohon dan bank tidak sejajar, dan pemohon berada pada posisi yang sulit karena terdesak akan kebutuhannya, akhirnya ia terima saja apa yang ditawarkan oleh pihak bank. Ia tidak paham apa itu murabahah dan bagaimana mekanisme. Dalam benaknya adalah bagaimana mendapatkan uang kesalahan baru juga terjadi di sini secara cepat sehingga ia bisa menghidupi usahanya kembali. Berangkat dari penjelasan yang salah diberikan oleh karyawan bank, ia hanya memahami bahwa ia mendapatkan kredit dari bank syari‘ah yang jumlah marginnya telah ditetapkan fixed rate sebelumnya. Ia langsung teringat dengan pengalamannya ketika berhubungan dengan bank konvensional dalam urusan meminjam kredit. Kendatipun ada disebut-sebut waktu negosiasi ia akan membeli mobil di mana 149 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pihak bank sebagai penjual, namun yang diperolehnya bukan mobil tetapi uang. Ia tidak paham dengan sistem wakalah. faktanya ia menerima uang dan uang itu tidak dibelikannya mobil karena memang ia tidak membutuhkannya. Langsung saja uang tersebut ia kembangkan untuk usahanya. Yang panting baginya setiap bulan harus membayar kepada bank dalam jumlah tertentu dan tetap. Apa yang dipaparkan di atas adalah contoh-contoh yang sangat sederhana yang sering dialami oleh nasabah. Anehnya tidak ada sedikit kecurigaan dikalangan masyarakat Islam, apakah yang dialaminya masih dalam bingkai syari‘ah atau sudah keluar dari ketentuan-ketentuan syari‘ah. Baginya bank syari‘ah itu suci dan tidak pernah salah. Kata syari‘ah yang disandang oleh bank serta tulisan bismillah dalam form lembaran aqad atau slip penarikan dan penyetoran cukup sebagai bukti bahwa bank syari‘ah dijamin tetap sesuai dengan syari‘ah. Dalam konteks ini sebenarnya perlu dibangun sikap kritis di kalangan masyarakat Islam. Bahwa produk-produk bank syari‘ah sedikit rumit adalah sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia pada hakikatnya tidak bisa dipersamakan dengan bank konvensional. Operasional bank syari‘ah sangat berbeda seperti dalam ‘aqad, nisbah bagi hasil, dasar penetapan margin keuntungan murabahah, mekanisme murabahah itu sendiri dan lain-lain. Ironisnya, kelemahan sumber daya insani yang ada di dalam bank- bank syari‘ah, terlebih lagi kebanyakan bankir dan karyawannya adalah orang-orang yang mengalami islamisasi struktur pemahaman dari bank konvensional ke bank syari‘ah, membuat praktek bank syari‘ah yang sejatinya berbeda menjadi sama dengan praktek bank konvensional. karyawan bank syari‘ah gagal membangun kesan perbedaan tersebut kecuali pada hal-hal yang simbolik. Sampai di sini masih diperlukan berbagai upaya serius agar bank- bank syari‘ah benar-benar berada dalam kerangka kesyari‘ahan. Paling tidak ada empat hal yang perlu dilakukan. Pertama, bankir dan karyawan bank syari‘ah sejatinya harus tetap meningkatkan pemahaman mereka tentang filosofi dan operasional perbankan syari‘ah. Mereka tidak boleh merasa aman dengan kata syari‘ah yang disandangnya. Ketika masyarakat menjumpai praktek-praktek yang sebenarnya tidak syari‘ah, maka 150 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS kepercayaan masyarakat akan hilang tidak saja kepada bank-bank syari‘ah tetapi kepada agama itu sendiri. Kedua, masyarakat juga diminta untuk bersikap kritis ketika berhubungan dengan bank syari‘ah. Masyarakat diminta untuk terus belajar dan bersedia mempertanyakan makanisme operasional bank syari‘ah. Ia harus menyadari bahwa mempelajari filosofi dan operasional bank syari‘ah sama dengan mempelajari bagian mu‘amalah dari ajaran- ajaran agama yang dianutnya. Dengan pemahaman yang utuh, masyarakat telah berfungsi sebagai pengawas bank syari‘ah itu sendiri. Ketiga, perlu dibangun kerjasama yang independent antara pihak bank syari‘ah dengan akademisi dan ulama. Akademisi dan ulama bukan corong bank tertentu atau sebagai perpanjangan lidah dari bank, yang seringkali tidak kritis terhadap bank syari‘ah. Lebih dari itu, Ulama dan akademisi berada pada posisi yang netral dan sejatinya harus dijadikan sebagai mitra dialog kritis-konstruktif untuk membangun bank syari‘ah dan umat Islam. Keempat, Dewan Pengawas Syari‘ah yang hanya berada di kantor pusat sebenarnya harus juga mengawasi praktek bank syari‘ah di daerah dan bukan hanya sekedar formalitas yang dilakukan dalam masa-masa tertentu. Lebih dari itu DPS bukan hanya sekedar memeriksa apa yang tertulis, yang merupakan persoalan administratif tetapi juga harus menangkap apa yang dirasakan oleh masyarakat sebagai pemakai jasa perbankan syari‘ah. Bagaimanapun juga masyarakatlah yang seringkali mendapatkan perlakuan-perlakuan yang kurang islami dan tidak adil. Penutup Sebagai sebuah lembaga bisnis yang profan dunia, bank syari‘ah tidak kebal terhadap peraktek-praktek yang tidak syari‘ah. Peluang untuk terjadinya penyimpangan begitu terbuka lebar. Untuk itu diminta sikap kritsi dan pengawasan dari masyarakat, ulama, dan DPS agar bank-bank syari‘ah tetap berada pada jalur kesyari‘ahannya.

6. Bank Syari’ah: Asing di Rumah Sendiri

Waspada memuat berita dengan judul, “Pertumbuhan Nasabah Bank Syari’ah Menyedihkan.” Waspada, 30 Januari 09. Pernyataan 151 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ini berdasarkan informasi yang diberikan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah. Kendatipun ada kenaikan tetapi sangat lamban. Bayangkan, jumlah nasabah perbankan syari’ah naik tipis dari 2007 sebanyak 2,845 juta rekening menjadi 3,799 juta rekening hingga 2008. Sedangkan untuk nasabah pembiayaan, keadaannya tidak jauh berbeda. Penyaluran kredit pembiayaan bank syari’ah hanya naik sedikit dari 512 ribu nasabah di 2007 menjadi 589 ribu nasabah di November 2008. Sampai sekarang pangsa pasar bank Syari’ah baru mencapai 2,08 dengan total asset 47 triliun. Sedangkan target pemerintah adalah 5 dengan total asset 90 Triliun. Jumlah minimal inipun agaknya sulit terpenuhi dalam waktu dekat. Ironis memang, di sebuah Negara yang penduduknya mayoritas muslim, pangsa pasar bank syari’ah yang terserap baru sedikit. Berangkat dari kondisi yang menyedihkan inilah tampaknya BI merasa perlu menggelar Festifat Ekonomi Syari’ah FES yang kedua di Jakarta. Festival yang akan berlangsung dari tanggal 4-8 Februari yang akan menampilkan multi jasa bank Syari’ah, pembiayaan investasi dan sebagainya. Tidak tanggung-tanggung, mimpi yang ingin dibangun adalah Indonesia Bisa Lebih Sejahtera lewat ekonomi syari’ah. Tentu saja harapannya, dengan Festival Ekonomi Syari’ah, akselerasi pengembangan perbankan syari’ah bisa dipacu. Sejauh mana efektifitasnya, waktu tentu akan menjawab. Begitu seriusnya BI Pusat – juga BI di daerah, mendorong perkembangan perbankan syari’ah, tampaknya semangat ini tidak diikuti praktisi perbankan di daerah, khususnya di Medan Sumatera Utara. Saya tidak punya data pertumbuhan nasabah bank syari’ah di Sumut begitu juga dengan pertumbuhan pembiayaannya. Namun setidaknya, data nasional sebagaimana yang diajukan Deputi Gubernur BI layak untuk kita jadikan acuan. Itu artinya, perbankan syari’ah di daerah juga jalan di tempat. Sepanjang yang saya ikuti, berkenaan dengan perkembangan perbankan syari’ah di Sumatera Utara sejak tahun 1990-an, nyata jelas bahwa ada pergeseran yang signifikan dalam pengembangan perbankan syari’ah. Jika pada tahun 1990-an sampai tahun 2000 awal, pengembangan bank syari’ah cukup massif, melibatkan semua unsur kekuatan, sekarang ini suasana kebersamaan itu tidak ditemukan lagi.