Zakat Profesi dan Kepedulian Kaum Profesional.

6. Zakat Profesi dan Kepedulian Kaum Profesional.

  Dalam kitab-kitab fikih harta yang wajib dizakati (al-amwal al- zakawiyyah) itu adalah zakat binatang ternak (lembu, kambing, kerbau), Emas dan Perak, Hasil perniagaan, Barang tambang, Hasil pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma dan anggur) dan barang temuan (rikaz). Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran zakat turun pada masyarakat agraris (pertanian) dan masyarakat perdagangan. Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan- perubahan besar dalam kehidupan manusia, maka muncullah kebutuhan baru bagi manusia berupa jasa.

  Jadi yang diproduksi manusia ternyata tidak hanya barang (materi) tetapi juga jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang pelayanan jasa. Dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban zakat ?

  Yusuf Qardawi dalam karyanya yang cukup monumental “Fiqih Zakat” telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia mendapatkan upah, gaji atau honorarium. 6

  Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut: “Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang

  6 Yusuf Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 459-487

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat ber- dasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh. 7

  Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam (1 faddam = ½ ha), sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya.

  Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya sebagian ulama setuju sampai pada angka 2,5 . Ada juga yang menyebutnya

  10 - 20 dengan menyamakannya dengan harta temuan (rikaz). Kontroversi inilah yang ingin diselesaikan oleh penulis buku ini, paling tidak menurut Ijtihadnya sendiri.

  Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 berdasarkan qiyas kepada zakat perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas.

  Di Indonesia angka 2,5 ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 , profesi modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Saat ini cukup banyak profesi yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah seperti komisaris perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 . Demi keadilan hukum, Amin Rais menawarkan zakat profesi sebesar 20 .

  Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 atau

  7 Ibid.,

  184 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  10 . Qiyas yang dilakukan para ulama tersebut tetap menimbulkan kemusykilan-kemusykilan (problema) tersendiri. Kemusykilan-kemusykilan tersebut adalah menyangkut masalah epistemologi hukum Islam yang belum kukuh (debatable). Sebagai contoh bagaimana mungkin mengqiyaskan zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan nisabnya masih diper- selisihkan. Kemusykilan berikutnya, hasil dari qiyas tersebut belum mampu menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, dan rikaz, implikasinya adalah terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi.

  Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian, maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam setahun mengalami dua kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua kali panen menjadi, Rp.1.500.000 X 2 = Rp. 3.000.000,-. Dibagi 12 bulan, sehingga pendapatan petani perbulannya adalah Rp. 250.000. Jadi apabila pendapatan seorang pegawai telah mencapai Rp. 250.000, maka ia wajib membayar zakat profesinya. Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap menerima gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 dan ini merupakan angka yang cukup tinggi. Berangkat dari kemusykilan- kemusykilan yang terjadi dalam penentuan kadar zakat profesi, diperlukan jalan lain.

  Jalaluddin Rakhmat, menawarkan cara baru untuk merumuskan landasan kewajiban zakat profesi dengan cara merujuk ayat-ayat al- Qur’an dan meninggalkan metode qiyas yang selama ini digunakan para ulama. Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat seperti yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang khumus (perlimaan) berkenaan dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga sanggup mengeluarkan 20 dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang dengan mudah mendapatkan uang,

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  seharusnya juga mampu mengeluarkan jumlah sebesar itu karena peng- hasilan profesi juga dapat disebut dengan ghanimah. Jika demikian hasil ghanimah harus dikeluarkan khumus (perlimaan) atau 20 . Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 dengan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadis.

  Terlepas dari perbedaan tentang kadar zakat profesi di atas, yang paling penting sebenarnya adalah komitmen kaum professional untuk mengeluarkan zakat disamping infaq dan sadaqah. Adalah tidak tepat jika alasan perhitungan, perbedaan tentang hukum zakat profesi dan hal-hal tekhnis lainnya dijadikan alasan untuk menolak kewajiban zakat profesi.

  Jika profesi yang digelutinya termasuk profesi “kelas atas” mungkin dapat mengambil bagian yang 20 , sedangkan profesi yang biasa mungkin bias mengambil bagian yang 2,5 . Yang paling penting kemauan untuk membayar zakat profesi tersebut.

  Adalah menarik mencermati tradisi zakat yang dikembangkan para sahabat dan generasi sesudahnya. Mereka tidak terlalu dipusingkan dengan masalah-masalah aturan zakat, apakah nisab, haul, kadar, dan sebagainya. Di dalam diri mereka muncul kesadaran berzakat yang cukup tinggi. Jika merasa hartanya telah memenuhi syarat untuk berzakat, mereka segera menunaikannya. Apabila belum memenuhi syarat, mereka membayar infaq.

  Sebenarnya, jika kaum professional seluruhnya memiliki kesadaran yang sama untuk membayar zakat atas profesinya tanpa harus terkait secara kaku dengan ketentuan praktisnya, maka cukup banyak dana yang terkumpul dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi umat. Setidaknya ada kata-kata bijak yang dapat dipegang, di atas fikih (hukum) ada kebijaksanaan (ke‘arifan). Orang yang ‘arif tidak akan terjebak dengan aturan tekhnis hukum. Dia akan berbuat atas dorongan moral dan kemanusiaan dan bukan atas dorongan hukum.