Bangkitnya Semangat Filantropi Islam

6. Bangkitnya Semangat Filantropi Islam

  Salah satu hikmah Gempa Bumi di Sumatera Barat yang menggoncang ranah Minang beberapa hari yang lalu adalah, bangkitnya solidaritas masyarakat Indonesia (juga masyarakat luar negeri) untuk bersama- sama membantu ranah Minang agar dapat bangkit kembali. Bantuan yang terus mengalir baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri, seolah menyentakkan kita semua bahwa ternyata penduduk dunia ini masih memiliki hati untuk peduli dan berbagi.

  Semangat untuk berbagi dan keinginan untuk saling meringankan inilah yang disebut dengan filantropi. Pertanyaannya adalah, apakah Islam memiliki semangat filantrofi sebagaimana yang berkembang di Barat? Filantropi secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedermawanan, kemurahhatian atau sumbangan sosial manusia. Filantropi juga dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta kepada sesama manusia yang mendorongnya untuk berbuat baik dan tulus kepada manusia yang membutuhkan sehingga dapat meningkatkan kehidupan mereka yang kesusahaan. 13

  Berangkat dari definisi di atas, kita bisa mengatakan bahwa di dalam Islam, institusi filantropi ini terlihat ke dalam bentuk zakat, infaq dan sadaqah dan wakaf (ZISWAF). Ajaran filantrofi ini sesungguhnya memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Bahkan yang cukup menarik adalah, pada awal Islam, filantropi Islam didasari oleh rasa cinta sesama manusia yang membawa kepada keinginan untuk berbagi dan saling merasakan. Namun seiring dengan

  13 Sukron Kamil, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fikih: Problema dan Solusi” dalam, Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi

  Islam, Bandung: Teraju, 2003, h. 41-69.

216 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masa formatif hukum Islam, dimensi hukum filantropi-lah yang menonjol

  dan secara perlahan namun pasti aspek cinta kemanusiaan yang dikandung ZISWAF menjadi kabur untuk tidak mengatakannya hilang sama sekali.

  Para ulama sering menyebutkan, perintah mengeluarkan zakat disebut al-Qur‘an sebanyak 36 kali dan 21 kali diantaranya dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Hal ini menunjukkan, sejatinya manusia tidak saja memiliki hubungan yang baik dengan Allah (habl min Al- lah) tetapi juga harus memiliki hubungan yang harnonis dengan manusia (habl min nas). Hubungan dengan Allah dilambangkan dengan salat sedangkan hubungan sesama manusia disimbolkan dengan zakat.

  Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa sisi hukum zakat ini mendapat perhatian yang luas di dalam kitab-kitab fikih, baik yang klasik ataupun yang kontemporer. Semuanya diatur dengan sangat rinci seperti penentuan syarat-syarat benda yang wajib dizakati, hawl (masa) dan nisab (kadar) sampai penentuan orang-orang yang berhak menerimanya dengan segala kreterianya.

  Kuatnya dimensi hukum zakat ternyata sangat berpengaruh dalam struktur kesadaran batin masyarakat Islam. Mereka membayar zakat karena dorongan hukum. Lewat zakat mereka berupaya untuk menghindari murka Allah. zakat yang semula berorientasi anthroposentris (kemanusiaan) bergeser menjadi teosentris (ketuhanan). Jadilah zakat mirip dengan upeti. Jika seorang demang, harus memberikan upetinya kepada raja, maka manusia juga memberikan upetinya kepada Tuhan melalui zakat. Kritik ini pernah disampaikan ulama NU, Masdar Farid Mas’udi di dalam karyanya yang berjudul, Agama Keadilan.

  Sadar atau tidak, sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari pelaksanaan zakat dan institusi lainnya di dalam masyarakat Islam. Zakat dan institusi lainnya tidak saja dibedakan dari sisi hukum, tetapi juga berbeda secara priorotas. Zakat menjadi utama disbanding yang lainnya. Jika zakat diwajibkan maka infaq, sadaqah, dan waqaf (ZISWAF) hanya dianjurkan (sunnah). Bila dikerjakan berpahala dan tidak mengapa jika ditinggalkan. Padahal di dalam al-Qur‘an, kata infaq, shadaqah, dan zakat selalu digunakan dan dipertukarkan antara yang satu dengan yang lainnya ?.

  Dalam konteks ini, sebenarnya ZISWAF telah mengalami reduksi

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  makna yang cukup berarti. Ketika ZISWAF dijadikan sebagai masalah hukum yang tentu saja membutuhkan rumusan hukum yang sistematis dan mekanistis. pendeknya ZISWAF sebagai filantrofi Islam telah kehilangan substansinya.

  Sejatinya pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya atau lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap ancaman hukuman, melainkan satu bentuk komitmen sosial seorang muslim terhadap muslim lainnya. Pemberian itu hendaknya didasarkan rasa cinta yang tulus kepada sesama manusia. Dengan demikian, pembayaran zakat, juga sadaqah dan infaq tidak lagi semata-mata sebatas kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan (ridha) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Singkatnya, ZISWAF dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi.

  Jika ZISWAF di lihat sebagai satu bentuk perwujudan rasa cinta kepada sesama manusia, maka potensi ZISWAF yang sebenarnya sangat besar jika dapat teraktualkan. Sebaliknya, jika ZISWAF hanya dilihat dari sisi hukumnya saja, maka akibatnya adalah, ZISWAF akan terperangkap di dalam aturan-aturan hukum yang kaku. Pada gilirannya, filantrofi Islam yang dimaksudkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin, menjadi tidak terwujud. Sampai di sini, perubahan paradigma dalam memandang institusi filantrofi Islam menjadi sebuah keniscayaan.

  ZISWAF sebagai bentuk filantropi Islam, jika dikembalikan kepada makna asalnya dipastikan dapat mendatangkan sumber dana yang besar. Syaratnya paradigma yang mendasarinya harus digeser. Selama ini infaq dan sadaqah dipahami sekedar pemberian karitatif yang ala kadarnya. Sehingga, infaq dan sadaqah seringkali tidak dipersiapkan dengan matang karena dianggap bukan pemberian yang sungguh- sungguh.

  Untuk membuktikannya, kita bisa melihat bagaimana isi kotak- kotak infaq seperti yang terlihat setiap hari jum‘at. Di dalam kota infaq itu, ditemukan recehan uang kalaupun ada yang besar paling

218 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS satu dua harga sepuluh atau duapuluh ribu Contoh berikutnya, penghasilan

  yang di dapat pengemis yang telah kehilangan satu kakinya. Mereka tidak lebih mendapatkan kumpulan recehan, kalaupun ada yang besar, paling-paling seribu rupiah. Lagi-lagi ada paradigma yang salah, karena infaq itu hukumnya sunnah, boleh dilakukan dan juga tidak ada cela jika ditinggalkan.

  Perubahan paradigma yang dimaksud adalah, mengembalikan ZISWAF sebagai bentuk filantrofi Islam yang diimplementasikan dalam bentuk kepedulian dan kecintaan kepada sesama manusia. Sejatinya, ia tidak lagi dibelenggu oleh konsep-konsep hukum yang kaku, melainkan ia menjadi sesuatu yang bebas dan hanya diikat oleh komitmen kemanusiaan.

  Seorang muzakki yang telah mengeluarkan zakatnya pada tahun tertentu, tidak berarti ia telah lepas dari tanggungjawab. Sebaliknya ia akan selalu berusaha untuk mengangkat taraf hidup orang yang susah ke arah yang lebih baik. Ia akan merasa belum berhasil, jika ZISWAF yang dikeluarkannya tidak dapat mensejahterakan orang lain.

  Gempa Sumbar mengajarkana kepada kita, memberi didasarkan atas nama kemanusiaan berhasil melampaui sekat-sekat hukum. Mereka mengeluarkan hartanya tidak lagi didasarkan kewajiban dan keterpaksaan melainkan kerelaan. Mereka yang memberi tidak terjebak dengan haul dan nishab. Yang penting bagaimana bisa memberi dan berempati. Ternyata hasil yang dikumpulkan cukup besar dan melampaui perolehan zakat dan wakaf yang diselenggarakan bertahun-tahun.

  Bedanya adalah jika filantropi yang berkembang di Barat semata- mata didasarkan humanisme universal. Sedangkan filantrofi Islam didasari semangat berbakti kepada Allah dan berempati kepada manusia. Lepas dari itu adalah penting bagi kita untuk membudayakan semangat filantrofi Islam dan tidak memposisikannya hanya sebagai aktivitas yang sporadis dan temporer.