DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masalah bisnis, ia bisa sambut pembicaraan tersebut. Jika masalah pribadi,

76 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masalah bisnis, ia bisa sambut pembicaraan tersebut. Jika masalah pribadi,

  karyawan bisa tunda sampai waktu istirahat. Namun ini sama sekali tidak tampak.

  Lain lagi suasana yang mereka rasakan di asuransi yang berlabel syari’ah. Pagi-pagi sekali, mereka sudah dicurigai seolah-olah akan melakukan analisis dan pemeriksaan. Sikap yang tidak simpatik sangat dirasakan oleh mahasiswa. Pertanyaan mereka dijawab seadanya saja. Tidak ada senyum dan sapa. Beda halnya ketika mereka berada di asuransi konvensional. Mereka disambut dan dihantar kebagian marketing. Dialogpun berlangsung dengan hangat. Yang membuat saya terkejut –menurut laporan mahasiswa - ketika hendak pulang, mereka bahkan diantar sampai ke pintu sembari karyawannya berkata, sampai ketemu lagi di lain waktu.

  Kondisi yang tidak kalah mengejutkan adalah ketika mereka berada di MLM yang juga mengusung label syari’ah. Suasana keramahan sangat tidak terasa. Seolah-olah mereka hanya akan melayani orang- orang yang hanya menjadi mitra atau leadernya saja. Sedangkan “orang- orang baru” yang sekedar bertanya, tidak direspon dengan baik. Suasana yang mereka rasakan sangat tidak dinamis. Berbeda halnya ketika mereka di MLM konvensional. Penyambutan dan pelayanan yang diberikan sangat bersahabat. Mahasiswa merasakan aura dinamis dan optimis yang melekat pada orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Padahal di dalam bisnis MLM, bukan hanya memasarkan produk tetapi para leader atau distributornya harus mampu memasarkan dirinya secara simpatik bahkan menjadi teladan bagi orang lain.

  Demikian juga halnya di swalan syari’ah. Sepertinya swalayan syari’ah belum memiliki SOP terhadap pelayanan konsumen atau calon konsumen. Laporan yang diberikan mahasiswa tertangkap kesan, di swalayan Syari’ah mereka tidak menemukan sesuatu yang spesifik yang mendungkung ke syari’ahan tersebut. Kalaupun ada masih sebatas artifisial seperti informasi waktu shalat. Tampilan SPG-nya juga kurang bersahabat. Standar pelayanan sederhana 5S tidak dijalankan dengan baik. Pada hal di dalam Islam, senyum itu sedekah. Sedangkan di konvensional, SOP pelayanan costumer begitu terasa. Misalnya, konsep 5S benar-benar dijalankan oleh SPG-nya. Mereka melayani pelanggannya dengan berdiri, menawarkan produk, menjelaskan dan mendemokan produk dimaksud.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Pada bagian akhir, apakah pembeli tertarik atau tidak, mereka tetap menawarkan produk yang lain.

  Sedangkan kondisi di hotel syari’ah suasanannya tentu lebih baik. Konsep syari’ah kendati ditekankan pada aspek normatif Islam, seperti tidak boleh membawa pasangan yang bukan mahram, tidak adanya minuman keras dan tempat hiburan malam, hal ini jauh lebih baik di banding dengan hotel yang tidak mengusung label syari’ah. Bagi hotel konvensional, yang paling penting adalah tidak ada keributan atau kegaduhan di dalam hotel. Jika semua berlangsung aman, mereka tidak peduli dengan siapa yang di bawa ke dalam kamar hotel. Hanya saja, kritik yang diberikan mahasiswa, konsep 5S (senyum, salam, sapa, sopan dan santun) belum dijalankan oleh karyawan-karyawan di bagian receptionis hotel syari’ah.

  Kondisi yang paling parah tampak di RS yang mengusung label Islam. Mahasiswa membandingkannya dengan salah satu RS yang jelas-jelas mengusung label agama tertentu. Hal ini terlihat tidak saja dari namanya tetapi juga simbol-simbol yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun apa yang mereka rasakan. Pelayanan yang diberikan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Mulai dari SATPAM, pancaran cinta kasih sudah terasa. Mereka disambut, di layani dan ditanyakan maksudnya. Suasananya bertolak belakang ketika mereka berada di RS yang mengusung label Islam. Mahasiswa merasakan sambutan yang kurang bersahabat,cuek dan tidak hangat. Ironisnya, ketiak mahasiswa bertanya kepada pasien, jawaban yang diberikan cukup menyesakkan dada. Ada pasien yang ditelantarkan. Bahkan ada pula yang tidak dilayani sebelum mendapatkan surat keterangan dari Bupati. Tentu banyak lagi info yang membuat kita miris melihat RS yang mengusung label Islam tersebut.

  Contoh-contoh di atas tentu saja terkesan sangat sederhana. Gambaran di atas tidak serta merta membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa Syari’ah telah dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pasar semata. Tidak juga membuat kita segera menyimpulkan bahwa lembaga pengusung label syari’ah ternyata tidak syari’ah. Banyak aspek dan indikator lain yang perlu dikaji, misalnya sistem operasionalnya, model penggajian dan hak-hak karyawan, relasi karyawan dan pemimpin dan sebagainya. Namun setidaknya, info di atas menunjukkan bahwa banyak hal yang