Merasakan Kehadiran Tuhan dalam Aktivitas Bisnis

10 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS berbahaya bagi konsumen untuk menekan ongkos produksi, memasang iklan porno untuk mendongkrak volume penjualan, menekan upah buruh serendah-rendahnya, menyingkirkan lawan bisnis dengan cara yang kotor dan contoh-contoh lain yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Namun bukanlah berarti bisnis itu kotor. Dalam konteks inilah diperlukan kontrol moral pelaku bisnis melalui apa yang disebut dengan Etika Bisnis. 9 Sebagai agama yang ajarannya menyeluruh, melingkupi seluruh aspek kehidupan tentulah persoalan etika bisnis tidak luput dari perhatian. Bahkan lebih jauh dari itu, jika etika bisnis konvensional melihat persoalannya pada aspek prilaku, maka Islam memandangnya lebih dalam lagi yaitu menyentuh aspek nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup seseorang. Etika bisnis Islam mulai berkembang sebagai wacana intelektual Islam pada permulaan tahun 1970-an. Sebelumnya kajian etika bisnis Islam muncul menjadi kajian yang berdiri sendiri, pembicaraan etika dalam bisnis terserak-serak dalam kitab-kitab fikih dan kitab-kitab akhlak dan tasawwuf. Dalam kitab fikih ditemukan pembahasan tentang riba, larangan untuk melakukan gharar penipuan dalam jual beli dan topik-topik mu‘amalat lainnya. Untuk menyebut karya beberapa pemikir Islam tentang etika bisnis kita dapat melihat karyanya Yusuf Qardawi yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam. Kemudian karyanya Rafiq Isa Beekun yang berjudul Business Ethics in Islam. Belakangan adalah karyanya Mustaq Ahmad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul Etika Bisnis Islam. Persoalan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah nilai apa yang 9 Kotornya dunia bisnis dilukiskan oleh Muhammad Syakir Sula dengan istilah Marketing Bahlul. Marketing ini adalah bentuk aktivitas bisnis yang mengabaikan etika dan mengeliminasi Allah dalam peraktik bisnis. Beliau dengan cukup apik mencontohkan perilaku bisnis yang kotor itu dengan istilah, Golg Bahlul, Strategi “Buka Kancing”, Cantik “ Bisa Dipakai” alias Bispak, dan isu-isu lain. Risywah dalam berbagai bentuk, wanita yang dijadikan objek atau alat tawar, kerap dijadikan penentu dalam aktivitas bisnis. Untuk melawan aktivitas bisnis tersebut Syakir Sula menawarkan apa yang disebutnya dengan Marketing Syari’ah atau Marketing Spiritual. Lebih luas lihat, Muhammad Syakir Syula, Marketing Bahlul, Jakarta; Sri Gunting, 2008. 11 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ditawarkan etika bisnis Islam kepada pelaku-pelaku bisnis ?. Dan apa yang menjadi karakter perilaku bisnis seorang muslim ? Tauhid: Paradigma Bisnis Islam Tauhid menempati posisi yang sangat penting dalam Etika Bisnis Islam. Setidaknya Tauhid ini melahirkan dua kesadaran dalam diri setiap muslim. 10 Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa alam ini merupakan ciptaan Allah SWT yang diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia dan sekaligus Allah sebagai pemilik mutlak. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan penjelasan yang sangat tegas bahwa segala sumber daya alam atau dalam bahasa ekonomi disebut dengan faktor-faktor produksi adalah milik Allah SWT yang bersifat absolut. Sedangkan kepemilikan manusia bersifat relatif. Implikasinya adalah, panduan al-Qur’an tentang harta yang halal dan haram menjadi sesuatu yang penting untuk dipatuhi manusia karena manfaatnya bagi manusia itu sendiri. Kedua, motivasi penciptaan manusia ke dunia ini adalah untuk mengabdi kepada Allah dan setiap pengabdian yang dilakukan manusia itu akan dinilai sebagai sebuah ibadah. Internalisasi kedua kesadaran ini dalam diri muslim akan memberikan pengaruh pada aktivitas bisnisnya. Pengaruh itu terlihat pada sikap untuk membantu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan modal pinjaman modal, kredit lunak untuk membangun usahanya. Bantuan tidak saja diberikan dalam bentuk karitatif ZIS namun harus bersifat produktif. Sikap ini akan muncul karena ia menyadari bahwa kapital modal yang dimilikinya bukan sepenuhnya miliknya tetapi amanah dari Allah yang harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, jika Allah menciptakan alam dengan segala isinya untuk kebahagian manusia, hal inilah yang harus diterjemahkannya dalam aksi nyata. 10 Ada ungkapan yang menarik dari Pemikir Islam Kontemporer kenamaan, Ismail Raji’ Al-Faruqi di dalam bukunya Tauhid. Jika Muhammad Iqbal pelopor spiritual Islam berani mengatakan, tindakan politik adalah ungkapan spiritualitas Islam, maka kita tanpa keberatan akan mengatakan tindakan ekonomi adalah ungkapan spiritualitas Islam. Di dalam bukunya Tauhid, khususnya Bab XI di bawah judul, Tauhid : Prinsif Tata Ekonomi, Al-Faruqi membahas secara mendalam kaitan tauhid dengan ekonomi. Lihat, Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka Salman, 1995, h. 161-189. 12 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Kedua, Setiap pelaku bisnis muslim juga akan menyadari bahwa aktivitas bisnisnya adalah merupakan ibadah kepada Allah SWT. Disebabkan aktivitas bisnis adalah ibadah, maka dalam menjalankan usahanya ia akan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam. Prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Komitmennya untuk berpegang teguh pada ajaran Islam juga akan memunculkan kesadaran pertanggungan jawab dihadapan Qadi Rabb al-jalil di hari akhir nanti. Tentu saja keteguhan berpegang pada prinsip ajaran Islam akan melahirkan dua keuntungan yang tidak bisa dihitung dengan angka- angka. Inilah yang disebut dengan barakah. Barakah merupakan satu konsep yang tidak dikenal dalam etika bisnis konvensional yang sangat positivistik. Barakah adalah satu karunia Tuhan yang tidak bisa dipantau inviseble blessing. Barakah adalah satu bentuk pertumbuhan yang tidak bisa dikalkulasi dengan hitungan dolar. Perolehan barakah sangat ditentukan oleh benar tidaknya prilaku bisnis seseorang. Singkatnya orang yang memperoleh barakah akan membawa ketenangan dan kebahagian dalam menjalankan dan menikmati keuntungan bisnisnya. Lebih jauh seperti apa yang dikatakan oleh Mustaq Ahmad, setiap muslim harus meniru sifat-sifat Tuhan dan merealisasikannya dalam aktivitas bisnis. Kemampuan setiap muslim untuk menginternalisasikan sifat Tuhan dalam dirinya dan mengaktualisasikannya dalam peraktek bisnis akan memberikan keuntungan yang besar. Keuntungan dalam konsep Islam harus mengacu pada dua fase kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Konsep ini tentu berbeda dengan etika bisnis konvensional yang sangat menekankan keuntungan yang bersifat material dengan orientasi duniawi. Ketika terjadi benturan antara keuntungan yang bersifat duniawi dan ukhrawi, maka keputusan etis harus dijatuhkan pada keuntungan yang bersifat abadi akhirat dan meningalkan keuntungan yang bersifat sesaat. 11 Komitmen Terhadap Fakir-Miskin Perhatian Islam tentang perlunya pemerataan kekayaan dan celaan 11 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, terj. Samson Rahman, Jakarta; Al-Kaustar, 2001, h. 19-24 13 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS terhadap kerakusan yang menyebabkan terkonsentrasinya kekayaan pada segelintir orang, ditunjukkan al-Qur’an melalui institusi-institusi distribusi seperti infaq, sadaqaha, khumus,‘usyur, kharaj dan zijyah, harta warisan, kaffarat, adhahi qurban dan yang paling penting zakat. Disamping institusi yang resmi, ada lagi institusi tidak resmi seperti, qard al-hasan, nuzur nazar, waqf, dan wasiat. Institusi ini jika dimaksimalkan penerapannya, akan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan eksploitatif sesama manusia dan sebaliknya akan melahirkan akan satu tatanan sosial ekonomi yang adil. Halal dan Haram Perinsip yang mendasari bagi suatu perilaku bisnis yang sah haruslah mencerminkan: pertama, kebebasan yang mensyaratkan seseorang memiliki hak penuh untuk melakukan tasarruf memanfaatkan atau memindahtangankan terhadap harta yang dimilikinya. Keadilan dan persamaan yang mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hak-hak orang lain adalah sebuah keniscayaan dalam bisnis Islam. Dengan demikian segala bentuk eksploitasi terhadap mitra bisnis apakah dalam bentuk wan prestasi pengingkaran janji, penangguhan pembayaran upah atau pembayaran upah di bawah standar haruslah dihilangkan. Selanjutnya berkaitan dengan bisnis yang terlarang, al-Qur’an telah menyebut beberapa bentuk bisnis terlarang seperti riba, garar penipuan yang mengambil bentuk tathfif curang dalam timbangan, dan al-kizb dusta, mengkonsumsi milik orang lain dengan cara yang tidak halal, tidak menghargai prestasi, partnership yang invalid, pelanggaran terhadap pembayaran gaji, penimbunan, proteksionisme, monopoli, merusak harga pasar dan lain-lain. Perilaku bisnis yang seperti ini akan melahirkan ketidakadilan, merugikan orang lain dan cepat atau lambat akan merugikan dan menghancurkan dirinya sendiri. Lebih dari itu prilaku ini merupakan sesuatu yang sangat ditolak al-Qur’an dan menghilangkan kemerdekaan manusia. Pengawasan Bisnis Bagaimanapun kuatnya Iman seseorang, tidaklah merupakan jaminan bahwa ia akan tetap lurus dan benar dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Disamping pengawasan yang muncul dari diri sendiri diperlukan 14 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pengawasan dari lembaga resmi. Lembaga pengontrol dalam sejarah Islam disebut dengan wilayah al-hisbah. Disinilah peran pemerintah menjadi penting. Bisnis yang bermoral tidak akan tegak dalam perilaku bisnis muslim jika tidak ada pengawasan dari sebuah lembaga resmi. Lembaga inilah yang akan memberikan sanksi terhadap pelanggaran- pelanggran yang terjadi. Urgensi lembaga ini memiliki dasar yang kuat dalam sejarah peradaban Islam. Penutup Kesimpulan yang paling penting bahwa karakter bisnis seorang muslim haruslah berdasarkan ajaran-ajaran Alquran. Konsepsi Alquran tentang etika bisnis bukan hanya bersifat himbauan moral tetapi menjadi bagian dari syari‘ah itu sendiri. Pada gilirannya, pelaku bisnis akan menyadari kehadiran Allah dalam segala bentuk aktivitas bisnisnya. Tidak ada pandagan dikotomik antara Tuhan dan Bisnis. Lebih-lebih sikap yang meyakini bahwa Tuhan absen dalam aktivitas bisnisnya.

4. Pemasaran Berbasis Spiritual

Salah satu komponen yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengembangan perbankan Syari’ah pada masa depan adalah pemasaran marketing. Di dalam teori marketing paling tidak ada tiga hal yang harus benar-benar diperhatikan. Oleh Hermawan Kartajaya teori ini dinamakannya dengan segi tiga PDB; positioniong, Differen- tiation, dan brand. Positioning ialah bagaimana sebuah perusahaan mampu secara tepat memposisikan dirinya di benak pelanggan dan terget pasar. Selanjutnya diferensiasi adalah bagaimana positioning tersebut ditopang dengan diferensiasi yang kokoh. Sedangkan branding adalah bagaimana sebuah perusahaan membangun ekuitas merek secara berkelanjutan. Dalam konteks Perbankan Syari’ah, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dapat diajukan adalah bagaimana posisi Perbankan Syari’ah tengah pergulatan perbankan nasional yang ada sekarang ini. Apakah Perbankan Syari’ah mampu memposisikan dirinya menjadi alternatif sistem perbankan nasional atau malah tetap menjadi perbankan syari’ah pinggiran. Untuk menentukan dimana posisi bank Syari’ah, sebenarnya sangat 15 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS tergantung oleh keberadaan perbankan syari’ah itu sendiri seperti SDM yang handal, budaya kerja yang islami, pelayanan yang humanis, bagi hasil yang bersaing, dan sebagainya. Inilah yang sejatinya membuat perbankan syari’ah menjadi berbeda dengan bank-bank konvensional lainnya. Dengan kata lain, ketika orang bertanya apa bedanya perbankan syari’ah dengan bank konvensional, jawabannya haruslah berdimensi kualitatif. Tidak cukup aktivis perbankan syari’ah menyatakan produk dan operasional kami sesuai syari’ah. Karena hal ini juga masih bisa dipertanyakan, benarkan sudah murni syari’ah bank syari’ah. Jangan- jangan masih berbalut syubhat dan sesekali terjerumus pada yang haram. Oleh sebab itu, perbankan syari’ah harus mampu mendefinisikan diferensiasi dirinya dengan bank-bank konvensional lainnya. Sekali lagi, diferensiasi ini bukan terletak pada slogan-slogan, brosur- brosur atau tulisan-tulisan di papan-papan reklame. Perbankan Syari’ah tidak bisa mengatakan dirinya sebagai bank halal, berkah, bagi hasil yang adil, menentramkan dan seterusnya. Perbedaan bank syari’ah dengan bank-bank lainnya harus dapat dirasakan oleh nasabah. Dengan kata lain, diferensiasi itu pada akhirnya adalah tampilan kualitatif bank syari’ah yang mampu dirasakan dan menjadi pengalaman-pengalaman nasabah selama berhubungan dengan bank syari’ah. Pada gilirannya diferensiasi ini akan membentuk brand yang melekat pada diri nasabah. Sehingga ketika disebut bank syari’ah terserah apapun namanya, yang terbayang di dalam benak nasabah dan masyarakat umumnya adalah hal-hal posistif dan islami. Persoalannya sekarang adalah bagaimana membangun diferensiasi dan brand tersebut. Diferensiasi sejatinya harus meniscayakan sesuatu yang dilakukan secara konsisten dan relatif konstan. Diferensiasi tidak boleh berubah-ubah. Misalnya, jika bank syaria’h membangun diferensiasinya pada bagi hasil di mana nasabah akan diiming-imingi dengan bagi hasil yang besar, ini berbahaya karena bagi hasil itu sendiri tidak tetap dan selalu mengalami fluktuasi. Oleh sebab itu diferensiasi sejatinya dibangun melalui sebuah idealitas. Idealitas ini yang penulis maksud dengan nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual tersebut dapat berupa kebersamaan, kepedulian terhadap sesama, keadilan, dan penghormatan kepada harkat dan martabat